Selasa, 10 September 2019

Limbah Rumah Sakit Mengancam Kota Kupang

LIMBAH RUMAH SAKIT MENGANCAM KOTA KUPANG
Oleh: Paul SinlaEloE – Aktivis PIAR NTT


Minimal ada 403,95 Kg limbah medis yang dihasilkan perhari oleh 12 (duabelas) Rumah Sakit di Kota Kupang. Demikianlah temuan dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dipublish pada 30 November 2017, saat menggelar Rapat Evaluasi Pengelolaan Limbah Medis Pada 12 Rumah Sakit (RS) Se-Kota Kupang. Rincian penghasil limbah medis berdarkan temuan DLH Provinsi NTT adalah RS Siloam sebanyak 71 Kg, RS Kartini sebanyak 0,15 Kg, RS St. Carolus Boromeus 25 Kg, RS Mamami 7,40 Kg, RS TK. IV. Wirasakti sebanyak 37Kg, RS Dedari 12,70 Kg, RS TNI AL Samuel Moeda 34 Kg, RS Bhayangkara Tingkat III Drs. Titus Uli 16 Kg, RS S. K. Lerik sebanyak 72 Kg, RS Prof. Dr. W. Z. Yohanes sebanyak 96 Kg, RS Leona sebanyak 33 Kg dan RS TNI AU El Tari adalah satu-satunya Rumah Sakit yang data limbah medisnya belum terdata oleh pihak DLH Provinsi NTT.

Dalam publikasinya, pihak DLH Provinsi NTT juga menyampaikan bahwa dari 12 (duabelas) Rumah Sakit yang berada di Kota Kupang, hanya 3 (tiga) Rumah Sakit saja yang memiliki dan menggunakan incinerator (alat pembakar limbah) sendiri, yakni RS Prof. Dr. W. Z. Yohannes Kupang, RS S.K. Lerik dan RS St. Carolus Borromeus. Kendatipun demikian, ketiga Rumah Sakit ini tidak memiliki Izin penggunaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Bahkan, saat ini incinerator milik RS Prof. Dr. W. Z. Yohannes Kupang dalam keaadaan rusak.

Bagi Rumah Sakit yang tidak memiliki incinerator, pengelolaan (penyimpanan dan pengolahan) limbah medisnya diserahkan atau bekerjasama dengan pihak ketiga termasuk bekerjasama dengan Rumah Sakit di Kota Kupang dan Bali yang memiliki incinerator. Ironisnya, selain RS Siloam yang bekerja sama dengan PT. Multazam, sesuai kontrak kerjasama Nomor 014/PKS/SBY/LB3/MTZ/VI/2017, tanggal 1 Juni 2017, berlaku sampai 31 Mei 2018, 7 (tujuh) Rumah Sakit lainnya yang berada di Kota Kupang bekerjasama dengan pihak ketiga termasuk bekerjasama dengan Rumah Sakit di Kota Kupang dan Bali yang tidak memiliki izin pengelolaan limbah medis.

Khusus untuk RS TNI AU El Tari, limbah medisnya dikelola sendiri oleh pihak Rumah Sakit dengan cara dibakar disekitar lokasi Rumah Sakit. Hal ini disebabkan karena selain RS TNI AU El Tari tidak memiliki incinerator, Rumah Sakit ini tidak bekerjasama dengan pihak manapun dalam hal pengelolaan limbah medis. Terkait dengan pengelolaan limbah medis, pihak DLH Provinsi NTT berpendapat bahwa semua Rumah Sakit yang berada di Kota Kupang, efektivitas pengelolaan Masih dianggap bermasalah karena penyimpanan di tempat penyimpanan sementara, melampaui batas waktu yang dipersyaratkan dan efesiensi sisa pembakaran masih jauh dibawah standar.

Temuan lainnya dari DLH Provinsi NTT adalah sebagian besar Rumah sakit di Kota Kupang, tidak memiliki izin penyimpanan sementara terkait dengan limbah medis. Rumah Sakit yang memiliki izin penyimpanan sementara adalah: Pertama, RS Bhayangkara Tingkat III Drs. Titus Uli (Nomor: Din.LHK.660.30/028/2017, tanggal 04 September 2017); Kedua, RS St. Carolus Borromeus (Nomor: Din.LHK.660.32/36/2017, tanggal 10 Januari 2017); Ketiga, RS Siloam (Nomor:  BPLHD.660.32/067/2015, tanggal 3 November 2015), dan Keempat, RS Dedari (Nomor: BPLHD.660.32/019/2016, tanggal 31 Mei 2016).

Walaupun keempat Rumah Sakit ini telah memiliki izin penyimpanan sementara, namun kalau ditinjau dari aspek tata cara penyimpanan, DLH Provinsi NTT berpendapat bahwa bangunan tempat penyimpanan sementara, waktu penyimpanan, pengemasan, pelabelan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, yakni Pasal 8 ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.56/Menlhk-Setjen/2015, tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014, tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dari fasilitas layanan kesehatan harus dikelola dengan benar karena limbah B3 sangat berbahaya bagi lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan oleh fasilitas layanan kesehatan, paling tidak harus memenuhi syarat yang terdapat dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.56/Menlhk-Setjen/2015, yakni pengolahan limbah B3 harus memenuhi syarat lokasi dan peralatan dan teknis pengoperasian peralatan.

Lokasi untuk mengolah limbah B3, harus bebas banjir dan tidak rawan bencana alam atau dapat direkayasa dengan teknologi untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Lokasi pengelolaan limbah B3, harus juga berada pada jarak paling dekat 30 meter dari jalan umum dan atau jalan tol, daerah pemukiman, perdagangan, hotel, restoran, fasilitas keagamaan dan pendidikan garis pasang naik laut, sungai, daerah pasang surut kolam, danau, rawa, mata air dan sumur penduduk dan daerah cagar alam, hutan lindung, dan/atau daerah lainnya yang dilindungi. Sedangkan persyarataran peralatan pengelolaan limbah B3, harus meliputi pengoperasian peralatan (temperatur dan lama menggunakan alat) dan uji validasi.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1204/MENKES/SK/X/2004, tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, limbah medis ini merupakan bagian dari limbah padat dari Rumah Sakit, selain Limbah padat non-medis yang dipahami sebagai limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan di Rumah Sakit di luar medis yang berasal dari dapur, perkantoran, taman, dan halaman yang dapat dimanfaatkan kembali apabila ada teknologinya. Sedangkan, limbah medis padat adalah limbah padat yang terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan, dan limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi.

Selain limbah padat yang terdiri dari limbah medis dan limbah non medis, Rumah Sakit juga menghasilkan limbah cair dan limbah gas. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1204/MENKES/SK/X/2004, tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, limbah cair adalah semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari kegiatan Rumah Sakit yang kemungkinan mengandung mikroorganisme, bahan kimia beracun dan radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan. Sedangkan, limbah gas adalah semua limbah yang berbentuk gas yang berasal dari kegiatan pembakaran di Rumah Sakit seperti incinerator, dapur, perlengkapan generator, anastesi, dan pembuatan obat citotoksik.

Berpijak pada temuan dari pihak DLH Provinsi NTT, maka dapat ditarik suatu titik simpul bahwa pengelolaan limbah Rumah Sakit di Kota Kupang adalah buruk dan tidak sesuai aturan. Konsekuensinya, hidup dan kehidupan di Kota Kupang sementara terancam oleh limbah Rumah Sakit.  Kondisi pengelolaan limbah Rumah Sakit yang buruk dan tidak sesuai aturan ini, diduga dilakukan secara terencana oleh pihak Rumah Sakit di Kota Kupang. Sebab, pihak Rumah Sakit di Kota Kupang sangat nekat untuk melawan semua aturan terkait pengelolaan limbah. Anehnya, meskipun kondisi ini sudah berlangsung sejak lama, namun para pengambil kebijakan seakan-akan melakukan pembiaran dan tetap mengamini berjalannya model pengelolaan limbah Rumah Sakit yang buruk dan tidak sesuai aturan, tanpa melakukan penegakan hukum.

Ada sejumlah aturan yang dapat dipergunakan oleh pengambil kebijakan untuk menindak para pihak yang tidak mengelola limbah Rumah Sakit secara benar, diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008, tentang Pengelolaan Sampah. Terdapat banyak pasal dalam kedua undang-undang ini yang bisa dipakai untuk menindak para pihak sesuai dengan jenis kesalahannya, terkait dengan pengelolaan limbah Rumah Sakit.

Penindakan terhadap para pihak yang tidak patuh pada aturan terkait dengan pengelolaan limbah Rumah Sakit adalah sangat penting. Sebab, limbah Rumah Sakit sangat berbahaya bagi lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya. Penindakan terhadap para pihak yang tidak patuh pada aturan dalam hal pengelolaan limbah padat, cair, bahan gas yang bersifat infeksius, bahan kimia beracun dan bersifat radioaktif yang dihasilkan oleh Rumah Sakit, dapat menjadi pembelajaran bagi pihak lainnya seperti puskesmas, tempat praktek dokter dan lain-lain yang sampai saat ini pengelolaan limbahnya tidak pernah diketahui oleh warga Kota Kupang.


KETERANGAN:
Tulisan ini merupakan materi yang dipresentasikan dalam diskusi terbatas tentang “Penegakan Hukum Kasus Limbah Medis Rumah Sakit”, yang dilaksanakan oleh Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR NTT), di Sekretariat PIAR NTT, pada tanggal 16 Desember 2017.

Rabu, 04 September 2019

Memaknai Hak Menguasai Negara


MEMAKNAI HAK MENGUASAI NEGARA
Oleh: Paul SinlaEloE - Aktivis PIAR NTT
Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Victory News, tanggal 4 September 2019


Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Itulah amanat yang tertuang dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, dan menjadi hukum dasar dalam pengelolaan Sumberdaya Agraria di Indonesia. Konsep hak dari Negara untuk menguasai Sumberdaya Agraria dalam hal pengelolaan (Konsep Hak Menguasai Negara), juga bersumber dari Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 ini.

Negara diberi hak (hak berian/kewenangan) untuk menguasai Sumberdaya Agraria, karena bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, merupakan kekayaan nasional (Pasal 1 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria/UUPA) dan Negara merupakan organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 Ayat (1) UUPA). Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara ini, secara definitive dibatasi oleh kewajiban etis, yakni digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur (Pasal 2 Ayat (3) UUPA).

Wewenang atas penguasaan Sumberdaya Agraria berdasarkan sifatnya dan pada azasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat (Penjelasan Pasal 2 UUPA). Namun demikian, pelaksanaan Hak Menguasai Negara dapat dikuasakan kepada Daerah-Daerah Swatantra dan Masyarakat Hukum Adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah (Pasal 2 Ayat (4) UUPA). Ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (4) UUPA berkaitan erat dengan azas otonomi dan medebewind (penugasan pemerintah pusat kepada daerah dan desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu) dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Karenanya, segala sesuatunya harus diselenggarakan menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional.

Dalam perspektif Hukum Administrasi Negara, dasar perolehan kewenangan Negara sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPA Juncto Pasal 2 Ayat (4) UUPA, disebut dengan istilah ‘atribusi’. Kewenangan atributif ini, merupakan wewenang yang diperoleh secara atribusi bersifat asli (orisinil) berasal dari peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada.

Menurut Jean Bodin (1530–1596), konsep Hak Menguasai Negara merupakan turunan dari Teori Kedaulatan (sovereignty theory). Argumennya, kedaulatan merupakan atribut maupun ciri khusus dan bahkan menjadi hal pokok bagi setiap kesatuan yang berdaulat atau dikenal dengan sebutan Negara. Tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat membatasi kekuasaan Negara. Teori Kedaulatan ini kemudian melahirkan penguasaan Negara atas seluruh wilayah dalam kedaulatan Negara beserta isinya. Berdasarkan kedaulatan tersebut, maka harta kekayaan (property) yang menjadi hak warga Negara tergantung pada diskresi dari pemegang kedaulatan.

Dalam ajaran kontrak sosial, Jean Jacques Rousseau (1712-1778) menegaskan bahwa kedaulatan pada hakikatnya bukanlah kekuasaan dan kekuasaan Negara adalah bukan kekuasaan tanpa batas. Kekuasaan Negara dibatasi oleh hukum alam dan hukum Tuhan, serta hukum umum yang berlaku pada semua bangsa yang dinamakan leges imperii. Kekuasaan Negara sebagai suatu badan atau organisasi rakyat, bersumber dari hasil perjanjian masyarakat (contract soscial) yang esensinya merupakan suatu bentuk kesatuan untuk membela dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan milik setiap individu.

Di Indonesia, konsep Hak Menguasai Negara seringkali dipergunakan secara tidak tepat dan/atau diterapkan dengan tidak sempurna. Pada tataran implementasi, penekanan dari konsep Hak Menguasai Negara atas Sumberdaya Agraria di Indonesia, lebih dititikberatkan pada aspek penguasaan Negara dan tak jarang ungkapan demi kemakmuran rakyat hanya dijadikan sebagai pembenaran atas penguasaan tersebut. Pengelolaan Sumberdaya Agraria oleh Negara yang dilakukan dengan cara perampasan, pencaplokan, penggusuran adalah potret buram yang seringkali terjadi dalam implementasi konsep Hak Menguasai Negara. Inilah realita yang terjadi dalam kehidupan bernegara di Indonesa, sejak merdeka sebagai sebuah negara bangsa.

Penerapan konsep terkait Hak Menguasai Negara yang tidak tepat dan/atau tidak sempurna ini, telah berdampak pada: Pertama, ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan Sumberdaya Agraria; Kedua, ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan Sumberdaya Agraria; Ketiga, ketidakadilan dalam relasi produksi dan distribusi Sumberdaya Agraria; dan Keempat, ketidakpastian, ketimpangan dan ketidaksesuaian dalam alokasi ruang dan pendayagunaan Sumberdaya Agraria.

Konsekuensinya adalah para subjek hukum (Rakyat, Masyarakat Adat, Negara, Institusi Keagamaan, Pemilik Modal, Korporasi dan Partai Politik,), saling berkonflik untuk memperebutkan Sumberdaya Agraria. Karenanya, memaknai konsep Hak Menguasai Negara secara benar dan mengimplementasikannya secara sempurna adalah hal yang penting dan mendesak untuk segera diwujudkan demi tercapainya masyarakat Indonesia yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.

Secara yuridis, konsep terkait hak Negara dalam menguasai Sumberdaya Agraria, telah diatur secara tegas dalam UUPA. Pada Pasal 2 Ayat (2) UUPA dijabarkan bahwa dalam mengimplementasikan Hak Menguasai Negara, Negara hanya diberi wewenang untuk: Pertama, mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; Kedua, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan  bumi, air dan ruang angkasa; dan Ketiga, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Konsep terkait hak Negara dalam menguasai Sumberdaya Agraria, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) UUPA, pada dasarnya menghendaki agar konsep dikuasai oleh Negara, haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh Negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya”. Termasuk pula di dalamnya kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Artinya, makna dari istilah “dikuasai oleh Negara” yang terdapat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 maupun Pasal 2 Ayat (2) UUPA, tidak boleh diartikan sebagai pemilikan dalam arti hukum perdata (privat) oleh Negara. Sebab, apabila Hak Menguasai Negara diartikan sebagai memiliki (eigensdaad), maka tidak ada jaminan bagi pencapaian tujuan dari hak menguasai tersebut, yakni sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pemaknaan Hak Menguasai Negara yang bukan dalam arti perdata (privat) ini, sejalan dengan Putusan Mahkaman Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; Putusan Mahkaman Konstitusi No. 50/PUU-X/2012 tentang pengujian UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum; dan Putusan Mahkaman Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dalam pertimbangan hukum pada Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang Minyak dan Gas, Undang-Undang Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang Sumber Daya Air, Mahkamah Konstitusi menafsirkan Hak Menguasai Negara bukan dalam makna Negara memiliki (eigensdaad), tetapi dalam pengertian bahwa Negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad) yang semuanya ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Pada akhirnya, harus dipahami bahwa Hak Menguasai Negara adalah instrumen yang wajib dipergunakan oleh Negara untuk mencapai tujuan, yakni kemakmuran rakyat. Dalam perspektif hukum, konesp Hak Menguasai Negara terkait dengan Sumberdaya Agraria dapat dijelaskan sebagai hubungan hukum antara Negara sebagai subjek dan objeknya adalah Sumberdaya Agraria. Hubungan hukum ini melahirkan hak dan kewajiban bagi Negara. Negara diberi hak (hak berian/kewenangan) untuk menguasai Sumberdaya Agraria dengan kewajiban bahwa penggunaan Sumberdaya Agraria tersebut harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...