PERANAN MASYARAKAT SIPIL DALAM
PEMANTAUAN PERADILAN*)
Oleh. Paul SinlaEloE**)
A. PENGANTAR
Sudah hampir satu dekade agenda reformasi digulirkan. Ironisnya, salah satu agenda reformasi yakni penegakan supremasi hukum1) di seluruh sektor dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sistem dan lembaga peradilan (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) kita yang tidak independent dalam melakukan kerja-kerja judicial adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri. Bobroknya kinerja dari institusi peradilan (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) ini di sebabkan oleh korupsi.2) Korupsi yang terjadi dilembaga peradilan Indonesia lebih dikenal dengan istilah Mafia peradilan.3)
Bertolak dari fakta diatas, maka dalam rangka menegakan supremasi hukum di Indonesia otomatis institusi peradilan yang adalah garda terdepan dalam penegakan hukum harus dikawal kinerjanya, agar institusi peradilan yang ada dapat bekerja secara merdeka, berwibawa, bersih, jujur serta tidak memihak. Proses pengawalan institusi peradilan ini dapat dilakukan dengan cara pemantauan peradilan4) secara intensif.
Dalam hal pengawalan peradilan, sebenarnya telah ada lembaga pemantau internal5) di setiap institusi peradilan. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa kinerja dari lembaga pemantau internal tersebut tidak bisa dibanggakan. Lemahnya kinerja dari lembaga pemantau (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) ini disebabkan oleh beberapa faktor,6) antara lain: Pertama, Kualitas dan integritas pemantau/pemantau yang tidak memadai. Kedua, Proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan. Ketiga, Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses).
Keempat, Semangat membela sesama korps (Esprit De Corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu. Kelima, Tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindak-lanjuti hasil pemantauan. Keenam, Tidak mempunyai kekuatan rill didaerah dan sangat bergantung pada pemerintah/negara (terutama dalam hal keuangan).
Sejalan dengan lemahnya kinerja dari lembaga pemantauan intarnal dalam mengontrol kerja-kerja dari intitusi peradilan, maka secara logika yang logis masyarakat sipil diharuskan untuk menjalankan tanggungjawabnya sebagai pemantau eksternal.
B. MEMAKNAI MASYARAKAT SIPIL
Istilah masyarakat sipil (Civil Society), berasal dari proses sejarah masyarakat barat. Civil Society sebagai sebuah konsep, Akar perkembangannya dapat dirunut mulai dari Cicero yang pada abad ke-18 mempergunakan istilah Societes Civilis dalam filsafat politiknya dan dalam tradisi eropa dianggap sama dengan pengertian negara (The State).7) Dalam perkembangannya setelah abad ke-18, istilah Civil Society ini pernah juga dipahami sebagai antitesis dari negara (State).
Masyarakat sipil (Civil Society) dapat dimaknakan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisir (menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri), tidak terkungkung oleh kondisi material, serta tidak terkooptasi di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi.8) Dengan pemaknaan seperti ini, maka yang disebut sebagai masyarakat sipil tersebut memiliki 3 (tiga) ciri,9) yakni: Pertama, adanya kemandirian dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat terutama ketika berhadapan dengan negara. Kedua, adanya ruang publik yang bebas sebagai wahana keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melaluiwacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik. Ketiga, adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar tidak interfensionis.
Dari pengertian masyarakat sipil diatas, maka pengejawantahan masyarakat sipil dapat mewujud dalam bentuk organisasi/asosiasi yang dibuat oleh masyarakat diluar pengaruh negara, seperti Lembaga-Lembaga Non Pemerintah (Non Government Organization/NGO), pers, organisasi keagamaan, organisasi sosial, paguyuban dan organisasi/asosiasi lainnya.
C. PIAR NTT10) DAN PEMANTAUAN PERADILAN BERBASIS KOMUNITAS
1. Realitas Penegakan Hukum di NTT
Stagnasi dalam proses penegakan hukum yang berindikasi adanya praktek "Mafia Peradilan" terjadi pada proses peradilan di tingkat pusat, tetapi juga sudah merambah ke daerah seiring dengan diterapkannya politik desentralisasi. Pada konteks NTT praktek "Mafia Peradilan" ini tergambar dengan jelas dalam sejumlah kasus terutama yang melibatkan para pengambil kebijakan.11) Alasan klasik, seperti kekuarangan bukti, menjadi senjata pamungkas aparat penegak hukum untuk mengeluarkan SP3 terhadap sejumlah kasus.12) Bahkan untuk melindungi para koruptor, aparat penegak hukum secara "membabibuta" memproses sejumlah aktivis organisasi Masyarakat Sipil yang konsen dengan issue-issue korupsi dan HAM karena dituduh melakukan pencemaran nama baik.13)
Fakta-fakta tersebut secara jelas menunjukkan, bahwa aparat penegak hukum di NTT diduga telah terkontaminasi dengan praktek KKN. Karenanya tidaklah mengherankan apabila kondisi ketidak adilan dalam proses penegakan hukum kasus korupsi, berakibat rakyat memilih pola penyelesaian sendiri dengan melakukan peradilan masa seperti yang terjadi di Larantuka.14)
2. Sinergi Gerakan PIAR NTT dan Komunitas Dalam Pemantauan Peradilan
Bertolak dari pemaparan realitas diatas, maka PIAR-NTT yang selama ini konsent bekerja pada upaya perubahan demi terwujudnya masyarakat yang adil di dalam kemakmuran dan makmur didalam keadilan, otomatis advokasi melalui pemantauan peradilan yang berbasis komunitas menjadi signifikan untuk didorong secara maksimal.
Pemantauan peradilan berbasis komunits dalam rangka mewujudkan supremasi hukum yang dilakukan oleh PIAR-NTT ini, pada dasarnya bertujuan untuk mendorong upaya perbaikan dan perubahan baik pada tataran produk kebijakan, proses, kualitas aparat. Untuk terwujudnya tujuan yang mulia ini, PIAR-NTT membangun sinergi gerakan dengan bermain pada 3 (tiga) aras, yakni: Pertama, Grass Root. Mendorong dan memperkuat kapasitas komunitas melakukan kontrol/pemantauan pada proses peradilan yang tengah berlangsung. Selain itu juga harus Membangun gerakan bersama untuk pemantauan peradilan.
Kedua, Stakeholder. Mendorong penguatan institusi penegak hukum, Profesionalisme Aparat Penegak hukum mendorong Kesadaran hukum Masyarakat Sipil. Ketiga, Decision Makers. Mendorong konsistensi penegakan hukum dan melakukan kajian-kajian dan masukan bersama masyarakat akademisi, NGO dan legislatif terhadap sejumlah produk-produk kebijakan publik/peraturan perundang-undangan.
D. PENUTUP
Pada akhirnya, Semoga melalui forum yang cerdas ini dapat ditemukan alternatif solusi bagi kerja-kerja pemantauan yang progresif, sehingga harapan massa-rakyat akan adanya institusi peradilan yang dapat bekerja secara merdeka, berwibawa, bersih, jujur serta tidak memihak bisa diwujudkan. Untuk itu, maka mungkin perlu dipikirkan untuk segera dibentuk jaringan pemantau peradilan yang terdiri dari pemantau internal dan pemantau eksternal yang dapat bekerja secara terpadu. Demikianlah pemikiran saya mengenai peranan masyarakat sipil dalam pemantauan peradilan, kiranya bermanfaat dan ini dapat mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas.
-----------------------------------------
Catatan Kaki:
*). Makalah ini dipresentasikan dalam Semiloka: "MEMBANGUN KOMITMEN MULTIPIHAK DALAM MEWUJUDKAN LEMBAGA PERADILAN YANG MANDIRI, FAIR, NETRAL, KOMPETEN DAN BERWIBAWA", yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial-RI bekerjasama dengan FH-Universitas Mataram, di Hotel Lombok Raya Mataram, pada tanggal 24 Agustus 2006. **). Staf PIAR-NTT.
Bertolak dari fakta diatas, maka dalam rangka menegakan supremasi hukum di Indonesia otomatis institusi peradilan yang adalah garda terdepan dalam penegakan hukum harus dikawal kinerjanya, agar institusi peradilan yang ada dapat bekerja secara merdeka, berwibawa, bersih, jujur serta tidak memihak. Proses pengawalan institusi peradilan ini dapat dilakukan dengan cara pemantauan peradilan4) secara intensif.
Dalam hal pengawalan peradilan, sebenarnya telah ada lembaga pemantau internal5) di setiap institusi peradilan. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa kinerja dari lembaga pemantau internal tersebut tidak bisa dibanggakan. Lemahnya kinerja dari lembaga pemantau (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) ini disebabkan oleh beberapa faktor,6) antara lain: Pertama, Kualitas dan integritas pemantau/pemantau yang tidak memadai. Kedua, Proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan. Ketiga, Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses).
Keempat, Semangat membela sesama korps (Esprit De Corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu. Kelima, Tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindak-lanjuti hasil pemantauan. Keenam, Tidak mempunyai kekuatan rill didaerah dan sangat bergantung pada pemerintah/negara (terutama dalam hal keuangan).
Sejalan dengan lemahnya kinerja dari lembaga pemantauan intarnal dalam mengontrol kerja-kerja dari intitusi peradilan, maka secara logika yang logis masyarakat sipil diharuskan untuk menjalankan tanggungjawabnya sebagai pemantau eksternal.
B. MEMAKNAI MASYARAKAT SIPIL
Istilah masyarakat sipil (Civil Society), berasal dari proses sejarah masyarakat barat. Civil Society sebagai sebuah konsep, Akar perkembangannya dapat dirunut mulai dari Cicero yang pada abad ke-18 mempergunakan istilah Societes Civilis dalam filsafat politiknya dan dalam tradisi eropa dianggap sama dengan pengertian negara (The State).7) Dalam perkembangannya setelah abad ke-18, istilah Civil Society ini pernah juga dipahami sebagai antitesis dari negara (State).
Masyarakat sipil (Civil Society) dapat dimaknakan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisir (menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri), tidak terkungkung oleh kondisi material, serta tidak terkooptasi di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi.8) Dengan pemaknaan seperti ini, maka yang disebut sebagai masyarakat sipil tersebut memiliki 3 (tiga) ciri,9) yakni: Pertama, adanya kemandirian dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat terutama ketika berhadapan dengan negara. Kedua, adanya ruang publik yang bebas sebagai wahana keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melaluiwacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik. Ketiga, adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar tidak interfensionis.
Dari pengertian masyarakat sipil diatas, maka pengejawantahan masyarakat sipil dapat mewujud dalam bentuk organisasi/asosiasi yang dibuat oleh masyarakat diluar pengaruh negara, seperti Lembaga-Lembaga Non Pemerintah (Non Government Organization/NGO), pers, organisasi keagamaan, organisasi sosial, paguyuban dan organisasi/asosiasi lainnya.
C. PIAR NTT10) DAN PEMANTAUAN PERADILAN BERBASIS KOMUNITAS
1. Realitas Penegakan Hukum di NTT
Stagnasi dalam proses penegakan hukum yang berindikasi adanya praktek "Mafia Peradilan" terjadi pada proses peradilan di tingkat pusat, tetapi juga sudah merambah ke daerah seiring dengan diterapkannya politik desentralisasi. Pada konteks NTT praktek "Mafia Peradilan" ini tergambar dengan jelas dalam sejumlah kasus terutama yang melibatkan para pengambil kebijakan.11) Alasan klasik, seperti kekuarangan bukti, menjadi senjata pamungkas aparat penegak hukum untuk mengeluarkan SP3 terhadap sejumlah kasus.12) Bahkan untuk melindungi para koruptor, aparat penegak hukum secara "membabibuta" memproses sejumlah aktivis organisasi Masyarakat Sipil yang konsen dengan issue-issue korupsi dan HAM karena dituduh melakukan pencemaran nama baik.13)
Fakta-fakta tersebut secara jelas menunjukkan, bahwa aparat penegak hukum di NTT diduga telah terkontaminasi dengan praktek KKN. Karenanya tidaklah mengherankan apabila kondisi ketidak adilan dalam proses penegakan hukum kasus korupsi, berakibat rakyat memilih pola penyelesaian sendiri dengan melakukan peradilan masa seperti yang terjadi di Larantuka.14)
2. Sinergi Gerakan PIAR NTT dan Komunitas Dalam Pemantauan Peradilan
Bertolak dari pemaparan realitas diatas, maka PIAR-NTT yang selama ini konsent bekerja pada upaya perubahan demi terwujudnya masyarakat yang adil di dalam kemakmuran dan makmur didalam keadilan, otomatis advokasi melalui pemantauan peradilan yang berbasis komunitas menjadi signifikan untuk didorong secara maksimal.
Pemantauan peradilan berbasis komunits dalam rangka mewujudkan supremasi hukum yang dilakukan oleh PIAR-NTT ini, pada dasarnya bertujuan untuk mendorong upaya perbaikan dan perubahan baik pada tataran produk kebijakan, proses, kualitas aparat. Untuk terwujudnya tujuan yang mulia ini, PIAR-NTT membangun sinergi gerakan dengan bermain pada 3 (tiga) aras, yakni: Pertama, Grass Root. Mendorong dan memperkuat kapasitas komunitas melakukan kontrol/pemantauan pada proses peradilan yang tengah berlangsung. Selain itu juga harus Membangun gerakan bersama untuk pemantauan peradilan.
Kedua, Stakeholder. Mendorong penguatan institusi penegak hukum, Profesionalisme Aparat Penegak hukum mendorong Kesadaran hukum Masyarakat Sipil. Ketiga, Decision Makers. Mendorong konsistensi penegakan hukum dan melakukan kajian-kajian dan masukan bersama masyarakat akademisi, NGO dan legislatif terhadap sejumlah produk-produk kebijakan publik/peraturan perundang-undangan.
D. PENUTUP
Pada akhirnya, Semoga melalui forum yang cerdas ini dapat ditemukan alternatif solusi bagi kerja-kerja pemantauan yang progresif, sehingga harapan massa-rakyat akan adanya institusi peradilan yang dapat bekerja secara merdeka, berwibawa, bersih, jujur serta tidak memihak bisa diwujudkan. Untuk itu, maka mungkin perlu dipikirkan untuk segera dibentuk jaringan pemantau peradilan yang terdiri dari pemantau internal dan pemantau eksternal yang dapat bekerja secara terpadu. Demikianlah pemikiran saya mengenai peranan masyarakat sipil dalam pemantauan peradilan, kiranya bermanfaat dan ini dapat mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas.
-----------------------------------------
Catatan Kaki:
*). Makalah ini dipresentasikan dalam Semiloka: "MEMBANGUN KOMITMEN MULTIPIHAK DALAM MEWUJUDKAN LEMBAGA PERADILAN YANG MANDIRI, FAIR, NETRAL, KOMPETEN DAN BERWIBAWA", yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial-RI bekerjasama dengan FH-Universitas Mataram, di Hotel Lombok Raya Mataram, pada tanggal 24 Agustus 2006. **). Staf PIAR-NTT.
- Dalam berbagai literatur tentang ilmu hukum, disebutkan bahwa penegakan supremasi hukum sangat ditentukan oleh 4 (empat) faktor, yakni: Pertama, sistem pemerintahan. Kedua, Produk hukum, Ketiga, aparat dan fasilitas penunjang. Keempat, Kesadaran hukum Masyarakat.
- Wasingatu Zakiyah, dkk, Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, Penerbit Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, 2002.
- Mafia dalam istilah ini bukan merujuk pada kejahatan terorganisir seperti mafia Sisilia di Italia, tapi mafia yuang dimaksud disini lebih mengarah pada konspirasi di antara aparat keadilan untuk mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi. Bandingkan dengan, Wasingatu Zakiyah, dkk, Panduan Ekseminasi Publik, Penerbit Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, 2004.
- Secara konseptual pemantauan peradilan dalam rangka mewujudkan lembaga peradilan yang dapat bekerja secara merdeka, berwibawa, jujur serta tidak memihak sekaligus bersih dan bebas dari KKN, dapat dilakukan secara internal maupun eksternal. Pemanatauan peradilan yang dilakukan secara internal maupun eksternal ini pada dasarnya dimnaksudkan unuk: Pertama, Mengetahui jalannya pekerjaan, apakah lancar atau tidak. Kedua, Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pegawai/aparat dan mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan yang sama atau timbulnya kesalahan yang baru. Ketiga, Mengetahui apakah penggunaan budget yang telah ditetapkan dalam rencana terarah kepada sasarannya dan sesuai dengan yang direncanakan. Keempat, Mengetahui pelaksanaan kerja sesuai dengan program (fase tingkat pelaksanaan) seperti yang telah ditentukan dalam planning atau tidak. Kelima, Mengetahui hasil pekerjaan dibandingkan dengan yang telah ditetapkan dalam planning.
- Dalam konteks makalah ini, yang dimaksud dengan lembaga pemantauan internal adalah setiap lembaga pemantau peradilan yang dibuat oleh pemerintah/negara dan mendasari eksistensi maupun wibawanya pada kekuasaan negara.
- Mas Achmad Sentosa, Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial, Artikel dalam harian kompas, tanggal 2 Maret 2005. Khusus untuk poin enam, merupakan pendapat dari penulis.
- Muhamad AS Hikam, Demokasi dan Civil Society, Penerbit LP3ES, Jakarta, 1999.
- Ibid.
- Jhon Keane, Democray and civil Society, MIT Press, Cambridge, 1992.
- 10). Perkumpulan Pengembangan Inisiatif Advokasi Rakyat (PIAR-NTT) adalah organisasi masyarakat sipil yang berbentuk Perkumpulan Terbatas.
- Pada konteks NTT, mandeknya kerja-kerja lembaga peradilan di NTT dalam proses penegakan hukum terhadap sejumlah kasus, merupakan pembenaran terhadap argumen ini. Kasus-kasus tersebut diantaranya: kasus SARKES yang terindikasi merugikan keuangan negara sebesar Rp. 3,38M dan diduga melibatkan PIET A. TALLO (Gubernur NTT), Kasus Penyalahgunaan Dana Keuangan Negara Pemda Kab. TTS Untuk Membayar Dana Purna Bhakti Anggota DPRD Kab. TTS Periode 1999-2004 yang melibatkan 35 Anggota DPRD Kab TTS Periode 1999-2004 dan DANIEL A BANUNAEK (Bupati TTS) yang diduga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 1,4 M, Kasus Penyalahgunaan Dana Kenaikan Tunjangan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPRD Kab. Belu yang melibatkan Ketua, wakil ketua dan seluruh anggota DPRD kab. Belu periode 1999-2004 dengan total dugaan kerugian negara sebesar Rp. 55.153.560,00, Kasus Penyalahgunaan Dana Bantuan Operasional Tahun 2003-2004 di Pemkot Kupang yang diduga merugikan keuangan negara Rp. 4.500.000.000,00 dan diduga melibatkan MAGDALENA HERMANUS (Bendahara Umum Pemkot Kupang),YEFTA BENGU (Kabag Umum Pemkot Kupang), BELINA ULY (Mantan Kabag Keuangan Pemkot Kupang/sekarang Ass. II Kota Kupang), YONAS SALEAN (Sekda Kota Kupang) dan S.K. LERIK (Walikota Kupang) dan 29 Anggota DPRD Kota Kupang Periode 1999-2004, kasus dana kontigensi di lingkup Pemkot Kupang, yang terindikasi merugikan keuanagan negara sebesar Rp.2. 682.800.000,00 dan diduga melibatkan S.K. LERIK (Walikota Kupang), YONAS SALEAN (Sekda Kota Kupang) dan 29 Anggota DPRD Kota Kupang Periode 1999-2004, kasus penembakan terhadap sejumlah petani kopi di manggari pada maret 2004 yang mengakibatkan meninggalnya 6 (enam) petani, namun dalam proses penegakan hukumnya tersangka tunggal yang adalah AKBP. BONIFASIUS TAMPOI (mantan kapolres) difonis bebas, kasus penganiyaaan oleh petugas LAPAS Kupang terhadap tahanan titipan Polresta kupang (Alfred Ullu) hingga buta, tapi dalam proses hukumnya hanya 1 orang saja yang dipidana sedangkan pelaku lainnya masih belum tersentuh hukum, kasus meninggalnya tahanan (Yupiter Manek) di tahanan Polres Belu akibat penganiyaaan, namun hingga saat ini tidak pernah direspon oleh pihak kepolisian padahal hasil temuan dari Tim investigasi yang dibentuk Kapolres Belu membuktikan bahwa memang Yupiter Manek meninggal akibat adanya penganiyaan. (PIAR-NTT, Kertas Posisi Kasus Dugaan Korupsi dan Pelanggaran HAM di Nusa Tenggaa Timur, Tahun 2003, Tahun 2004 & Tahun 2005).
- Salah satu kasus di NTT yang sudah di SP3-kan oleh aparat penegak hukum adalah Kasus Dugaan Korupsi Dana Proyek Ressetlemen Di Tude-Mauta- Kabupaten Alor sebesar Rp. 5.540.000.000, yang terjadi yang kebocoran sebesar Rp. 1.375.658.571.
- Para aktivis tersebut diantaranya: Sarah Lerry Mboeik (Direktur PIAR - NTT), Rm. Franz Amanue, pr (Keuskupan Larantuka) dan Pius Hamid (Direktur SANKAR - NTT).
- Pada tanggal 15 November 2003, massa-rakyat membakar kantor Pengadilan Negeri (PN Larantauka) dan Kantor Kejaksaan Negeri Flores Timur, karena dianggap tidak serius dalam menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan Bupati Flores Timur (Felix Fernandez). (PIAR-NTT, Kertas Posisi Kasus Dugaan Korupsi dan Pelanggaran HAM di Nusa Tenggaa Timur, Tahun 2003).