Jumat, 02 Maret 2018

Perdagangan Anak Berkedok Adopsi


PERDAGANGAN ANAK BERKEDOK ADOPSI
Oleh. Paul SinlaEloE



Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan masalah yang cukup menarik perhatian masyarakat, baik nasional maupun internasional. Berbagai upaya telah dilakukan guna pemberantasan terjadinya praktik TPPO. Secara normatif, terdapat banyak produk hukum yang sudah diciptakan guna mencegah dan mengatasi/menindak pelaku TPPO. Ironisnya, TPPO masih tetap berlangsung dengan modus yang semakin bervariasi dan beragam.

Salah satu modus TPPO yang saat ini mendapat sorotan dari berbagai pihak adalah perdagangan anak berkedok adopsi. Kasus perdagangan anak berkedok adopsi ini, paling banyak ditemukan dan diungkap oleh penegak hukum di Sumatera Utara. Walaupun demikian, bukan berarti perdagangan anak berkedok adopsi hanya terjadi di Provinsi Sumatera Utara saja. Secara subyektif, penulis menduga bahwa kasus perdagangan anak berkedok adopsi terjadi juga dengan merata di seluruh wilayah Indonesia, namun belum terungkap.

Secara substansi, TPPO yang terkait dengan pengangkatan anak (adopsi) diatur dalam Pasal 5 UUPTPPO dengan rumusan delik sebagai berikut: “Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Rumusan Pasal 5 UUPTPPO mengandung 3 (tiga) unsur delik, yakni: Pertama, Unsur Pelaku. Pelaku adalah subjek hukum yang melakukan TPPO. Istilah ‘setiap orang’ yang terdapat dalam Pasal 5 UUPTPPO, menunjukan bahwa yang menjadi pelaku TPPO adalahorang perseorangan dan/atau korporasi (Pasal 1 angka 4 UUPTPPO). Orang perseorangan pada konteks setiap orang ini, dalam ilmu hukum pidana dimaknai sebagai orang individu (naturlijk persoon), baik itu yang berwarga negara Indonesia maupun asing. Sedangkan, korporasi berdasarkan Pasal 1 angka 3 UUPTPPO, diartikan sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Kedua, Unsur Perbutan. Perbuaatan sebagai unsur dari suatu tindak piadana dapat diartikan sebagai setiap tindakan aktif dan/atau pasif yang dilakukan secara sadar maupun tidak dan dalam konteks Pasal 5 UUPTPPO tergambar dalam kalimat:melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu. Ketiga, Unsur Tujuan/Akibat. Tujuan dalam unsur ketiga ini dipahami sebagai sesuatu yang nantinya akan tercapai dan/atau terwujud sebagai akibat dari tindakan dari pelaku, dalam hal ini dengan maksud untuk dieksploitasi.

Pasal 5 UUPTPPO, pada dasarnya didesain oleh perumus UUPTPPO sebagai delik formil untuk melakukan perlindungan terhadap anak dengan cara mencegah sedini mungkin terjadinya TPPO yang berkedok adopsi. Menurut E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi (2012:237), delik formal ialah delik yang dianggap telah selesai jika perbuatan/tindakan yang menjadi larangan dalam suatu rumusan delik telah selesai dilakukan, tanpa bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan.

Sebagai konsekwensi dari delik formil, maka yang harus diperhatikan dalam penegakan hukum terkait Pasal 5 UUPTPPO adalah walaupun unsur tujuan/akibat, yakni dengan maksud untuk dieksploitasi belum terwujud, namun apabila unsur perbuatan/tindakan dalam hal ini melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu telah terjadi dengan sempurna, maka setiap orang yang menjadi pelaku sudah dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya karena melakukan TPPO sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 UUPTPPO.


Aspek Kesengajaan dalam Perdagangan Anak
Berkedok Adopsi
Dalam konteks penegakan hukum terkait kasus perdagangan anak berkedok adopsi, harus diingat bahwa frasa ‘dengan maksud yang terdapat dalam unsur tujuan/akibat dari rumusan delik Pasal 5 UUPTPPO menunjukan bahwa aspek kesengajaan dari setiap orang (pelaku) dalam melakukan perbuatan pidana adalah point penting yang harus dibuktikan, jika Pasal 5 UUPTPPO akan dipergunakan untuk menuntut pertanggungjawaban pidana dari pelaku.

Kesengajaan dalam konteks hukum pidana pemaknaannya selalu mengacu pada Memory van Toelichthing (MvT atau Penjelasan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda/KUHPidana Belanda), yang menyebutkan bahwa: “Pidana hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”. Argumen ini disampaikan oleh Menteri Kehakiman Belanda, ketika memberi masukan pada waktu mengajukan crimineel wetboek/wetboek van strafrecht (KUHPidana Belanada) tahun 1881, yang kemudian menjadi KUHPidana pada tahun 1951 (Moeljatno, 2002:186).

Berdasarkan pengertian tersebut, oleh kebanyakan pakar kesengajaan selalu dimaknai dalam 2 (dua) indikator, yaitu: ‘menghendaki dan mengetahui’ atau ‘willens en wetens’. Maksud dari istilah ‘menghendaki/willens dalam konteks kesengajaan adalah menghendaki terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan arti dari istilah ‘mengetahui/wetens adalah mengetahui/menginsafi akibat yang akan terjadi dari tindak pidana yang dilakukan. Dengan demikan, dapatlah dikatakan bahwa setiap orang disebut telah melakukan suatu perbuatan pidana dengan sengaja, apabila setiap orang tersebut harus menghendaki perbuatan itu dan mengetahui/menginsafi atau menyadari tentang apa yang dilakukan dan akibat yang akan timbul dari padanya.

Ada 2 (dua) teori dalam hukum pidana yang menjelaskan tentang kesengajaan, yakni teori kehendak atau wills theorie dan teori membayangkan voorstellings theorie (Bambang Poernomo, 1987:155-156). Teori Membayangkan (voorstellings theorie) yang juga dikenal sebagai Teori Pengetahuan ini diajarkan oleh Frank yang merupakan seorang ahli hukum Jerman, dalam karyanya yang berjudul, Voorstelling und Wille in der Moderner Doluslehre’, tahun 1890 dan ‘Ueber den Aufbaudes Schulsbegriffs, tahun 1907, yang pada intinya menerangkan bahwa tidaklah mungkin akibat dari suatu perbuatan dapat dikehendaki oleh pelaku. Dalam kesengajaan, pelaku hanya dapat membayangkan atau mengetahui akan akibat yang timbul dari perbuatannya. Orang tak bisa menghendaki akibat, tapi hanya dapat membayangkannya atau mengetahuinya. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh pelaku tentang apa yang akan terjadi pada waktu pelaku akan melakukan suatu perbuatan pidana.

Teori Kehendak (wills theorie) ini mengajarkan bahwa kesengajaan itu merupakan kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu dan akibat dikehendaki ini yang menjadi maksud dari tindakan tersebut. Dalam perkembangannya, Teori Kehendak (wills theorie) dikemukakan oleh Von Hippel dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1903 dengan judul, Die Grenze Vorsatz und Fahrlassigkeit, bermetamorfosa dan terbagi menjadi 2 (dua) ajaran, yakni: (1). Ajaran Determinisme yang berpegang teguh bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Manusia hanya dapat melakukan suatu perbuatan apabila didorong oleh beberapa hal, baik yang berasal dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya; (2). Ajaran  Indeterminisme, yang muncul sebagai reaksi dari aliran determinasi dan mengajarkan bahwa walaupun untuk melakukan sesuatu perbuatan dipengaruhi oleh bakat dan milieu/lingkungan, tetapi manusia dapat menentukan kehendaknya secara bebas.

Berdasarkan doktrin ilmu hukum pidana, Leden Marpaung (1991:192) mengelompokan kesengajaan (dolus-Perancis; opzet-Belanda; doleus-Latin) kedalam 7 (tujuh) jenis, yakni: Pertama, dolus aberratio ictus, yaitu dolus yang mana seseorang dengan sengaja melakukan tindak pidana untuk tujuan terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai objek yang lain; Kedua, dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana terlebih dahulu; Ketiga, dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat kepastian objek, misalnya menghendaki matinya seseorang; Keempat, dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat ketidakpastian objek, misalnya menembak segerombolan orang;

Kelima, dolus alternatives, yaitu kesengajaan dimana pelaku dapat memperkirakan satu dan lain akbat. Misalnya meracuni sumur; Keenam, dolus directus, yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya, tetapi juga kepada akibat dari perbuatannya; Ketujuh, dolus indirectus, yaitu bentuk kesengajaaan yang menyatakan bahwa semua akibat dari perbuatan yang disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Misalnya dalam pertengkaran, seseorang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan tergilas mobil (NB: dolus ini berlaku pada Code Penal Perancis, namun KUHPidana Indonesia tidak menganut dolus ini).

Menurut P. A. F. Lamintang (1984:295), dalam hal seseorang melakukan suatu tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja, maka akan terdapat 3 (tiga) bentuk sikap batin yang menunjukkan tingkatan dari kesengajaan tersebut, yakni: Pertama, kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk); Kedua, kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheids bewustzijn); dan Ketiga, kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids bewustzijn atau dolus eventualis).

Ketiga bentuk dari kesengajaan berdasarkan tingkatatan ini, oleh banyak pakar dimaknai dengan cara pandang yang berbeda sesuai dengan latar belakang dan kepentingannya masing-masing, tetapi pada intinya dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk). Kesengajaan sebagai maksud pada dasarnya merupakan perbuatan dari pelaku dengan tujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Dengan kata lain, pelaku benar-benar menghendaki terwujudnya akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana.

Bentuk kesengajaan sebagai maksud ini, memiliki arti yang sama dengan menghendaki (willens) untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif) dan mengetahui serta menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu atau yang sering disebut dengan tindak pidana materil (Adami Chazawi, 2002:96).

Kedua, kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheids bewustzijn). Suatu tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja dapat dikategorikan sebagai kesengajaan sebagai kepastian apabila pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari perbuatan pidana, tetapi pelaku menyadari dengan benar bahwa akibat yang dilarang pasti akan mengikuti perbuatannya tersebut (S. R. Sianturi, 1986:91). Sederhanya, pelaku dalam perbuatannya tidak menghendaki akibat yang dilarang terjadi, tetapi dengan tindakan pelaku yang demikian, pasti akibat yang tidak dikehendaki itu akan terwujud.

Dalam bentuk kesengajaan sebagai kepastian, perbuatan pelaku mempunyai 2 (dua) akibat, yaitu: (1). Akibat yang memang dituju oleh pelaku yang dapat merupakan delik tertentu ataupun merupakan delik tersendiri. (2). Akibat yang tidak diinginkan oleh pelaku, tapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam akibat pada delik tertentu.

Ketiga, kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids bewustzijn atau dolus eventualis). Kesengajaan sebagai kemungkinan adalah kesengajaan dari pelaku untuk melakukan suatu perbuatan yang diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang pelaku tidak inginkan dari perbuatannya, namun begitu besarnya kehendak untuk mewujudkan perbuatan, pelaku tidak mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan (Adami Chazawi, 2002:97).

Suatu perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan sebagai kemungkinan, pada dasarnya pelaku tidak menghendaki terjadinya akibat, namun pelaku menyadari bahwa kemungkinan besar akan timbul akibat lain yang tidak dikehendakinya, jika perbuatan itu dilakukan. Dalam perbuatan dengan kesengajaan sebagai kemungkinan, yang harus dicermati adalah ada keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi, kemudian ternyata benar-benar terjadi. Adanya kesengajaan sebagai kemungkinan diperlukan 2 (dua) syarat, yaitu: (1). Pelaku mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaanya yang merupakan delik. (2). Sikapnya terhadap kemungkinan itu apabila benar terjadi, maka resiko tetap diterima untuk mencapai apa yang dimaksud.

Terkait dengan ajaran tentang bentuk kesengajaan, Edward Omar Syarif Hiariej (2016) berpendapat bahwa apabila dalam suatu rumusan delik dipergunakan istilah dengan maksud, maka tidak ada corak kesengajaan lain selain sengaja sebagai maksud atau opzet als oogmerk. Itu berarti, istilah dengan maksud dalam ajaran tentang kesengajaan tidak dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheids bewustzijn) ataupun kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids bewustzijn atau dolus eventualis).

Menurut Edward Omar Syarif Hiariej (2016), doktrin dalam hukum pidana mengajarkan bahwa, istilah ‘dengan maksud’ yang terdapat dalam pasal pada setiap produk hukum terkait pidana, menunjukan rumusan delik tersebut mengandung atau menghendaki adanya motif. Dengan demikian, motif atau alasan yang terdapat dalam sikap batin pelaku untuk melakukan kejahatan adalah salah satu substansi yang wajib dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan terkait penegakan hukum terkait Pasal 5 UUPTPPO.

Perdagangan Anak Berkedok Adopsi
Berbeda dengan Adopsi Anak Secara Ilegal
Dalam perspektif yuridis, adopsi (pengangkatan anak) dipahami sebagai suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat (Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak/PP Pengangkatan Anak).

Pengertian adopsi (pengangkatan anak) yang terdapat dalam Pasal 1 angka 2 PP Pengangkatan Anak, sejalan dengan pemaknaan tentang anak adopsi atau anak angkat, yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 PP Pengangkatan Anak, maupun Pasal 1 angka 9 UU No. 35 Tahun 2014, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak), yakni: Anak Angkat adalah Anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan Keluarga Orang Tua, Wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan Anak tersebut ke dalam lingkungan Keluarga Orang Tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan”.

Jika Anak yang dalam Pasal 1 angka 5 UUPTPPO dan Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak didefinisikan sebagi seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, diadopsi atau diangkat tidak sesuai dengan aturan/illegal, maka sesuai amanat Pasal 79 UU Perlindungan Anak, pelaku akan dikenai sanksi pidana berupa penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Berpijak dari pengertian adopsi beserta sanksinya, maka dapat ditarik titik simpul bahwa perdagangan anak berkedok adopsi dan adopsi ilegal merupakan dua hal yang berbeda. Dari aspek pengertiannya perdagangan anak berkedok adopsi dapat dipahami sebagai serangkaian tindakan dari pelaku yang telah sempurna memenuhi unsur-unsur TPPO dari Pasal 5 UUPTPPO. Sedangkan yang dimaksud dengan adopsi anak secara illegal adalah pengangkatan anak yang dilakukan dengan cara tidak mematuhi aturan hukum.

Dasar hukum yang dipakai untuk menindak pelaku yang terbukti melakukan adopsi ilegal adalah Pasal 79 UU Perlindungan Anak dengan sanksi pidana berupa penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).  Sedangakan dasar hukum untuk menuntut pertanggungjawaban pidana dari pelaku perdagangan anak berkedok adopsi adalah Pasal 5 UUPTPPO dengan sanksi pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).



DAFTAR RUJUKAN

  1. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002.
  2. Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1987.
  3. Edward Omar Syarif Hiariej, Tentang Pasal Pembunuhan Berencana Tak Memerlukan Motif, Keterangan Ahli, disampaikan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tanggal 25 Agustus 2016, dipublikasikan pada tanggal 25 Agustus 2016 dalam: https://www.youtube.com/watch?v=Fq52cBFxusQ, diakses pada tanggal 29 Agustus 2017 - 08:39AM WITA.
  4. E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi. Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit Storia Grafika, Jakarta, 2012.
  5. Leden Marpaung. Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik). Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1991.
  6. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
  7. P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar untuk Mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku di Indonesia, Penerbit Sinar-Baru, Bandung, 1984.
  8. S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Penerbit Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1986.
  9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
  10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak (UUPA).
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

--------------------------------------------
KETERANGAN:
1.       Penulis adalah Aktivis PIAR NTT.
2.  Tulisan ini merupakan hasil editing (Pengoreksian dan Penyempurnaan) dari makalah berjudul: Perdagangan Anak Berkedok Adopsi, yang dipresentasikan dalam diskusi terbatas “Perdagangan Anak Dalam Konteks Tindak Pidana Perdagangan Orang”, yang dilaksanakan oleh Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR-NTT), di Kantor PIAR NTT, Kota Kupang, pada tanggal 2 September 2017.

TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...