Jumat, 09 Februari 2018

Dakwaan Tindak Pidana Perdagangan Orang Batal Demi Hukum

DAKWAAN TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG BATAL DEMI HUKUM
Oleh. Paul SinlaEloE


Eksepsi atau keberatan/penolakan dari Penasihat Hukum Terdakwa Yosep Paragaye alias Yosep, diterima dan surat dakwaan Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara: PDM-02/KEFAM/02/2017, tanggal 22 Maret 2017, batal demi hukum karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kabur, tidak memenuhi syarat formal dan materil. Itulah inti dari amar putusan sela terkait perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), yang di bacakan majelis hakim, pada sidang tanggal 28 April 2017 di Pengadilan Negeri Kefamenanu.

Vonis batal demi hukum atas dakwaan Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara: PDM-02/KEFAM/02/2017, meninggalkan sejumlah ”tanda tanya” bagi masyarakat awam maupun korban beserta keluarganya. Tanggapan dari para aktivis anti perdagangan orang dan pemerhati hukum diberbagai media terkait dengan amar putusan sela ini adalah sangat beragam. Keseluruhan tanggapan tersebut pada intinya mempertanyakan tentang: Pertama, apakah JPU dari Kejaksaan Negeri Kefamenanu tidak mampu membuat suatu surat dakwaan yang sempurna? Kedua, apakah terjadi kekeliruan penafsiran surat dakwaan oleh Majelis Hakim? Ketiga, apakah terjadi proses negosiasi perkara yang berimplikasi pada terjadinya korupsi dalam proses peradilan (judicial corruption)?

Tulisan ini dibuat tidak dalam rangka untuk mengkritisi dokumen dakwaan dari JPU ataupun menggugat materi putusan sela dari Majelis Hakim. Tulisan ini dimaksudkan untuk membangun pemahaman bersama tentang bagimana seharusnya menyusun suatu surat dakwaan yang sempurna dan bagaimana modus korupsi dalam proses peradilan (judicial corruption) terkait dengan penyusunan surat dakwaan. Dalam tulisan ini akan dibahas juga tentang langkah-langkah yang harus dilakukan oleh JPU terkait vonis batal demi hukum.

Surat Dakwaan dan Judicial Corruption
Surat Dakwaan (telastelegging) menempati posisi sentral, strategis dan merupakan dasar dalam pemeriksaan perkara pidana di pengadilan. Ditinjau dari berbagai kepentingan para pihak yang berkepentingan dengan pemeriksaan perkara pidana, Paul SinlaEloE (2015:2) berpendapat bahwa surat dakwaan berfungsi untuk: Pertama, Pengadilan/hakim. Surat dakwaan merupakan dasar dan sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, sebagai dasar melakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, dan dasar pertimbangan dalam penjatuhan keputusan;

Kedua, Penuntut Umum. Surat dakwaan merupakan dasar pembuktian, dasar melakukan penuntutan, dasar pembahasan yuridis dalam requisitoir, dasar melakukan upaya hukum; Ketiga, Terdakwa/penasehat hukum. Surat dakwaan merupakan dasar utama untuk mempersiapkan pembelaan dalam pledoi, dasar mengajukan bukti meringankan, dasar mengajukan upaya hukum; Keempat, Pemantau peradilan/masyarakat sipil, surat dakwaan merupakan dasar untuk menilai kinerja penegak hukum dalam proses penegakan hukum.

Dengan posisi surat dakwaan yang sangat penting (sentral dan strategis) dalam proses penegakan hukum suatu tindak pidana (termasuk TPPO), maka tidaklah mengherankan apabila dalam proses pembuatannya seringkali terjadi proses negosiasi perkara yang berimplikasi pada terjadinya korupsi dalam proses peradilan (judicial corruption).

Menurut Paul SinlaEloE (2015:3-4), pengalaman Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) Nusa Tenggara Timur dalam melakukan advokasi untuk membongkar mafia peradilan, menemukan sejumlah modus korupsi dalam pembuatan surat dakwaan, di antaranya: Pertama, pola utamanya adalah pengurangan tuntutan dengan modus Jaksa akan menawarkan pada tersangka pasal apa yang akan diterapkan kalau ingin tuntutan yang ringan dan konsekwensinya, tersangka harus menyerahkan uang kepada Jaksa. Aktor dari modus ini adalah Jaksa, Penasehat Hukum dan tersangka.

Kedua, pola yang dipergunakan adalah melepaskan tersangka. Modus yang dipergunakan adalah membuat dakwaan yang kabur (obscuur libel) sehingga tersangka bisa bebas. Dengan demikian, tersangka akan dibebaskan melalui pengadilan yang sah dan Jaksa/Penuntut Umum dan akan diberi imbalan sesuai kesepakatan. Pada modus sepeti ini, Jaksa/Penuntut Umum dan Penasehat Hukum yang menjadi aktornya.

Surat Dakwaan yang Sempurna
Dalam proses penegakan hukum suatu tindak pidana, terdakwa hanya dapat dipidana berdasarkan apa yang terbukti mengenai kualifikasi tindak pidana yang dilakukan oleh seorang terdakwa menurut rumusan surat dakwaan (Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Jadi walaupun terdakwa terbukti melakukan tindak pidana dalam pemeriksaan persidangan tetapi tidak didakwakan dalam surat dakwaan, maka terdakwa dimaksud tidak dapat dijatuhi hukuman dan hakim jadinya akan membebaskan terdakwa. Bahkan menurut Pasal 191 ayat (2) KUHAP, jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan képada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa harus diputus lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle recht vervolging).

Berpijak pada aturan main yang demikian, maka sudah seharusnya JPU yang adalah Jaksa pilihan dari institusi Kejaksaan dan merupakan satu-satunya jabatan di Indonesia yang diberikan kewenangan oleh negara untuk membuat surat dakwaan (Pasal 14 huruf d KUHAP), harus mampu membuat suatu surat dakwaan yang sempurna. Sutau surat dakwaan dikatakan sempurna apabila telah memenuhi syarat formil dan syarat materil serta diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap. Apalagi dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP dan Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-004/JA/11/1993, Tentang Pembuatan Surat Dakwaan, telah diatur dengan cermat, jelas dan lengkap bagaimana seharusnya suatu surat dakwaan dibuat.

Menurut Pasal 140 ayat (1) KUHAP, pembuatan surat dakwaan dilakukan oleh Penuntut Umum bila ia berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan. Sesuai amanat Pasal 143 ayat (2) KUHAP, syarat formil dan syarat materil yang harus terdapat dalam surat dakwaan adalah: Pertama, Syarat Formil. Syarat formil yang harus dipenuhi atau terdapat dalam suatu surat dakwaan, yakni harus terdapat tanggal dari surat dakwaan, surat dakwaan harus ditandatangani oleh JPU dan wajib berikan identitas terdakwa/para terdakwa. Apabila syarat formil yang terdapat dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP tidak seluruhnya dipenuhi, maka surat dakwaan dapat dibatalkan oleh hakim (vernietigbaar) karena dinilai tidak jelas terhadap siapa dakwaan tersebut ditujukan.

Pentingnya pencantuman tanggal dalam surat dakwaan diperlukan guna memenuhi syarat sebagai suatu akte/surat. Selain itu, pencantuman tanggal dalam surat dakwaan sangat bermanfaat untuk mengantisipasi terjadinya pembuatan surat dakwaan mendahului terjadinya suatu peristiwa pidana. Surat dakwaan harus ditanda tangani oleh Penuntut Umum dalam rangka memenuhi syarat sebagai suatu akte/surat. Alasan lainnya terkait dengan surat dakwaan harus ditanda tangani oleh Penuntut Umum adalah untuk menunjukan identitas dari pihak yang bertanggung jawab atas surat dakwaan, sekaligus merupakan penegasan tentang pihak yang berwenang (Pasal 14 huruf d KUHAP) untuk menandatangai suatu surat dakwaan.

Syarat formil lainnya yang wajib terdapat dalam surat dakwaan adalah identitas dari terdakwa/para terdakwa. Pentingnya identitas dari terdakwa/para terdakwa dalam suatu surat dakwaan adalah untuk menghindari agar orang yang didakwa dan diperiksa di depan sidang pengadilan adalah benar-benar terdakwa yang sebenarnya dan bukan orang lain (error in persona). Menurut Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP, identitas dari terdakwa/para terdakwa yang harus terdapat dalam surat dakwaan meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa.

Kedua, Syarat Materil. Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP, mengamanatkan bahwa surat dakwaan harus memuat secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan oleh terdakwa. Jika syarat materil ini tidak dipenuhi, maka Pasal 143 ayat (3) KUHAP mengharuskan dakwaan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvanklijk verklaard) dan batal demi hukum (absolut niettig).

Walaupun di dalam KUHAP tidak dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan istilah cermat, jelas, dan lengkap, namun dalam penyusunan surat dakwaan JPU harus berpedoman pada amanat yang terdapat dalam Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-004/JA/11/1993, Tentang Pembuatan Surat Dakwaan, yakni: Pertama, Uraian Harus Lengkap. Uraian harus lengkap adalah bahwa dalam menyusun surat dakwaan uraian surat dakwaan harus mencakup semua unsur yang ditentukan secara lengkap. Jangan sampai terjadi ada unsur delik yang tidak dirumuskan secara lengkap atau tidak diuraikan perbuatan materilnya secara tegas dalam dakwaan, sehingga berakibat perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana menurut undang-undang.

Kedua, Uraian Harus Cermat. Cermat yang dimaksud di sini adalah ketelitian JPU dalam mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan undang-undang yang berlaku bagi terdakwa, serta tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan batalnya surat akwaan atau tidak dapat dibuktikan. Dengan kata lain, JPU diharuskan untuk bersikap teliti dengan semua hal yang berhubungan dengan keberhasilan penuntutan perkara di persidangan, di antaranya: (a) apakah ada pengaduan dalam hal delik khusus atau tindak pidana umum?; (b) apakah penerapan hukumnya sudah tepat?; (c) apakah terdakwa dapat diminta pertanggungjawaban dalam suatu tindak pidana; (d) apakah tindak pidana tersebut belum atau sudah daluwarsa; (e) apakah tindak pidana yang didakwakan itu tidak nebis in idem, yakni terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya.

Ketiga, Uraian Harus Jelas. Uraian yang jelas dan mudah dimengerti dengan cara menyusun redaksi yang mempertemukan fakta-fakta (perbuatan materil) terdakwa dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, sehingga terdakwa atau penasehat hukum yang mendengar atau membacanya akan mengerti dan mendapatkan gambaran tentang: (a) siapa yang melakukan tindak pidana; (b) tindak pidana apa yang dilakukan; (c) kapan dan di mana tindak pidana tersebut dilakukan; (d) apa akibat yang ditimbulkan; dan (e) mengapa terdakwa melakukan tindak pidana itu. Uraian komponen-komponen tersebut disusun secara sistematik dan kronologis dengan bahasa yang sederhana. Hal ini dimaksudkan untuk para pihak yang terlibat dalam berperkara dapat mengetahui secara jelas, apakah unsur yang diuraikan tersebut sebagai tindak pidana dengan kualifikasi, misalnya penipuan atau penggelapan atau pencurian, dsb.

Dalam kejelasan terkait uraian pada surat dakwaan, harus diperincikan juga secara jelas dan tegas tentang apakah terdakwa dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan tersebut dalam kapasitas sebagai pelaku (dader) dengan peran: Orang yang melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doenpleger), orang yang turut serta melakukan (medepleger), orang yang menganjurkan untuk melakukan (uitlokker), atau hanya sebagai pembantu melakukan (medeplichting). Khusus untuk kasus TPPO harus cermati juga apakah terdakwa merupakan subjek hukum yang berkategori pelaku dengan peran sebagai orang yang merencanakan melakukan (ontwerpen) suatu tindak pidana.

Putusan Sela dan Perlawanan JPU
Putusan sela (interim meascure) adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum memeriksa substansi atau pokok perkara. Materi putusan sela hanya terkait dengan aspek kesempurnaan dari suatu surat dakwaan yang telah disyaratkan dalam produk hukum acara pidana. Putusan sela merupakan bagian dari mekanisme kontrol terhadap kinerja Jaksa/Penuntut Umum, yang mana dimaksudkan agar mereka tidak gegabah dalam membuat surat dakwaan, dalam mengajukan suatu tuntutan atau dalam melakukan suatu penyidikan. Dalam Praktik pemeriksaan perkara pidana, putusan sela biasanya dijatuhkan karena adanya eksepsi (keberatan/penolakan atas dakwaan) dari terdakwa atau Penasihat Hukumnya.

Terhadap eksepsi yang disampaikan terdakwa maupun penasihat hukumnya, hakim dapat menjatuhkan putusan sela berupa: Pertama, putusan yang berisi pernyataan tentang tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu perkara (onbevoegde verklaring). Sesuai dengan pasal 148 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut umum untuk selanjutnya dilimpahkan kepada pengadilan negeri di wilayah yang berhak untuk mengadilinya. Kedua, putusan yang menyatakan bahwa surat dakwaan penuntut umum batal (nietig) karena tidak memenuhi syarat formil yang terdapat dalam 143 ayat (2) huruf a KUHAP atau putusan dinyatakan batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat materil yang terdapat dalam 143 ayat (2) huruf b KUHAP.

Ketiga, putusan yang berisi pernyataan bahwa surat dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima (niet ontvelijk verklaard), misalnya karena perkara yang diajukan oleh penuntut umum sudah daluarsa, nebis in idem, perkara memerlukan syarat aduan (klacht delict). Keempat, Putusan yang berisi penundaan pemeriksaan perkara oleh karena ada perselisihan prejedusiel (perselisihan kewenangan), karena di dalam perkara yang bersangkutan diperlakukan untuk menunggu suatu putusan hakim perdata. Kelima, putusan yang menyatakan bahwa keberatan dari terdakwa atau penasihat hukumnya tidak dapat diterima atau hakim berpendapat bahwa hal tersebut baru diputus setelah selesai pemeriksaan perkara a quo, maka dakwaan penuntut umum dinyatakan sah dan persidangan dapat dilanjutkan untuk pemeriksaan materi pokok perkara, sesuai degan ketentuan dalam Pasal 156 ayat (2) KUHAP.

Dalam kaitannya dengan vonis putusan sela yang menyatakan bahwa dakwaan Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara: PDM-02/KEFAM/02/2017, tanggal 22 Maret 2017 adalah batal demi hukum, maka sudah seharusnya JPU mengajukan upaya hukum berupa perlawanan (verzet) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 156 ayat (3) KUHAP. Apalagi dalam amar putusan sela atas kasus TPPO dengan nomor perkara 7/Pid.Sus/2017/PN Kfm, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kefamenanu juga memerintahkan mengembalikan berkas perkara ini kepada Penuntut Umum; memerintahkan terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan; dan membebankan biaya perkara kepada Negara.

Perlawanan (verzet) sebagai upaya hukum dari JPU atas putusan sela yang menyatakan bahwa dakwaan Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara: PDM-02/KEFAM/02/2017, tanggal 22 Maret 2017 adalah batal demi hukum, pada dasarnya bertujuan untuk membuktikan apakah dakwaan JPU memang lemah atau terjadi kekeliruan penafsiran oleh majelis hakim. Mekanismenya adalah JPU mengajikan perlawanan (verzet) ke Pengadilan Tinggi, melalui Pengadilan Negeri dimana perkara tersebut diperiksa. Walaupun upaya hukum perlawanan (verzet) ini diperiksa oleh Pengadilan Tinggi, namun upaya hukum perlawanan (verzet) tidaklah sama dengan upaya hukum banding.

Secara sederhana Yahya Harahap (2002:456-457) menjelaskan bahwa anatara upaya hukum perlawanan (verzet) dengan upaya hukum banding, memiliki beberapa perbedaan pokok, yaitu: Pertama, upaya perlawanan bersifat insidentil karena disediakan oleh Undang-Undang dalam hal-hal tertentu. Kedua, upaya perlawanan tidak ditujukan terhadap putusan akhir. Ketiga, upaya perlawanan hanya dapat diajukan terhadap putusan atau penetapan Pengadilan Negeri yang berkaitan dengan perlawanan tersangka atau penasehat hukum terhadap perpanjangan penahanan (Pasal 29 ayat (2) KUHAP), perlawanan Penuntut Umum atas penetapan pengadilan negeri tentang tidak berwenang mengadili (Pasal 154 ayat (1) KUHAP); dan perlawanan terhadap putusan eksepsi sesuai dengan ketentuan Pasal 156 KUHAP. Keempat, proses pemeriksaan perlawanan sangat sederhana jika dibandingkan dengan pemeriksaan perkara di tingkat banding.


DAFTAR RUJUKAN
1. Paul SinlaEloE, Memahami Surat Dakwaan, Penerbit Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR NTT), Kota Kupang, 2015.
2. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2002.
3.   Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981, Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
4.    Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: SE-004/JA/11/1993, Tentang Pembuatan Surat Dakwaan.
5.   Dokumen Putusan Sela atas Perkara Nomor 7/Pid.Sus/2017/PN Kfm, tanggal 28 April 2017.
6.    Dokumen Surat Dakwaan Nomor Reg. Perkara: PDM-02/KEFAM/02/2017, tanggal 22 Maret 2017.


-------------------------------------------------------------
KETERANGAN:
1.    Penulis adalah Aktivis PIAR NTT
2. Tulisan ini merupakan hasil editing (Pengoreksian dan Penyempurnaan) dari makalah berjudul: Kinerja Jaksa Dalam Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang dipresentasikan dalam diskusi terbatas “Peranan Jaksa Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang”, yang dilaksanakan oleh Lembaga Advokasi Masyarakat Sipil Cendana Wangi (Lakmas CW - NTT), di Kantor Lakmas CW - NTT, Kefamenanu, pada tanggal 2 Mei 2017.

TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...