LIMBAH RUMAH
SAKIT MENGANCAM KOTA KUPANG
Oleh: Paul SinlaEloE – Aktivis PIAR NTT
Minimal
ada 403,95 Kg limbah medis yang dihasilkan perhari oleh 12 (duabelas) Rumah Sakit di Kota Kupang. Demikianlah temuan dari Dinas Lingkungan
Hidup (DLH) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dipublish pada 30 November
2017, saat menggelar Rapat Evaluasi Pengelolaan Limbah Medis Pada 12 Rumah
Sakit (RS) Se-Kota Kupang. Rincian penghasil limbah medis berdarkan temuan DLH
Provinsi NTT adalah RS Siloam sebanyak 71 Kg, RS Kartini sebanyak 0,15 Kg, RS St.
Carolus Boromeus 25 Kg, RS Mamami 7,40 Kg, RS TK. IV. Wirasakti sebanyak 37Kg,
RS Dedari 12,70 Kg, RS TNI AL Samuel Moeda 34 Kg, RS Bhayangkara Tingkat III
Drs. Titus Uli 16 Kg, RS S. K. Lerik sebanyak 72 Kg, RS Prof. Dr. W. Z. Yohanes
sebanyak 96 Kg, RS Leona sebanyak 33 Kg dan RS TNI AU El Tari adalah
satu-satunya Rumah Sakit yang data limbah medisnya belum terdata oleh pihak DLH
Provinsi NTT.
Dalam
publikasinya, pihak DLH Provinsi NTT juga menyampaikan bahwa dari 12 (duabelas) Rumah Sakit yang berada di Kota Kupang,
hanya 3 (tiga) Rumah Sakit saja yang
memiliki dan menggunakan incinerator (alat pembakar limbah) sendiri, yakni RS Prof.
Dr. W. Z. Yohannes Kupang, RS S.K. Lerik
dan RS St. Carolus Borromeus. Kendatipun demikian, ketiga Rumah Sakit
ini tidak memiliki Izin penggunaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia. Bahkan, saat ini incinerator milik RS Prof.
Dr. W. Z. Yohannes Kupang dalam keaadaan rusak.
Bagi Rumah Sakit yang tidak
memiliki incinerator, pengelolaan (penyimpanan dan
pengolahan) limbah medisnya diserahkan atau
bekerjasama dengan pihak ketiga termasuk bekerjasama dengan Rumah Sakit di Kota
Kupang dan Bali yang memiliki incinerator.
Ironisnya, selain RS Siloam yang
bekerja sama dengan PT. Multazam, sesuai kontrak kerjasama Nomor
014/PKS/SBY/LB3/MTZ/VI/2017, tanggal 1 Juni 2017, berlaku sampai 31 Mei 2018, 7 (tujuh) Rumah Sakit lainnya yang berada
di Kota Kupang bekerjasama dengan pihak ketiga termasuk bekerjasama dengan Rumah
Sakit di Kota Kupang dan Bali yang tidak memiliki izin pengelolaan limbah
medis.
Khusus untuk RS TNI AU El Tari, limbah medisnya dikelola
sendiri oleh pihak Rumah Sakit dengan cara dibakar disekitar lokasi Rumah
Sakit. Hal ini disebabkan karena selain
RS TNI AU El Tari tidak memiliki incinerator,
Rumah Sakit ini tidak bekerjasama dengan pihak manapun dalam hal pengelolaan
limbah medis. Terkait dengan pengelolaan limbah medis, pihak DLH Provinsi NTT berpendapat bahwa semua Rumah Sakit yang
berada di Kota Kupang, efektivitas pengelolaan Masih dianggap bermasalah karena
penyimpanan di tempat penyimpanan sementara, melampaui batas waktu yang
dipersyaratkan dan efesiensi sisa pembakaran masih jauh dibawah standar.
Temuan
lainnya dari DLH Provinsi NTT adalah sebagian besar Rumah sakit di Kota Kupang,
tidak memiliki izin penyimpanan sementara terkait dengan limbah medis. Rumah
Sakit yang memiliki izin penyimpanan sementara adalah: Pertama, RS Bhayangkara Tingkat
III Drs. Titus Uli (Nomor: Din.LHK.660.30/028/2017, tanggal 04 September 2017);
Kedua, RS St. Carolus Borromeus
(Nomor: Din.LHK.660.32/36/2017, tanggal 10 Januari 2017); Ketiga, RS Siloam (Nomor:
BPLHD.660.32/067/2015, tanggal 3 November 2015), dan Keempat, RS Dedari (Nomor:
BPLHD.660.32/019/2016, tanggal 31 Mei 2016).
Walaupun keempat Rumah Sakit ini telah
memiliki izin penyimpanan sementara, namun kalau ditinjau dari aspek tata cara
penyimpanan, DLH Provinsi NTT berpendapat
bahwa bangunan tempat penyimpanan sementara, waktu penyimpanan, pengemasan,
pelabelan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, yakni Pasal 8 ayat (2)
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.56/Menlhk-Setjen/2015,
tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 101
Tahun 2014, tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Pengelolaan limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3) dari fasilitas layanan kesehatan harus
dikelola dengan benar karena limbah B3 sangat berbahaya bagi lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Pengelolaan limbah
B3 yang dihasilkan oleh fasilitas layanan kesehatan, paling tidak harus memenuhi
syarat yang terdapat dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.56/Menlhk-Setjen/2015, yakni pengolahan limbah B3
harus memenuhi syarat lokasi dan peralatan dan teknis pengoperasian peralatan.
Lokasi untuk mengolah limbah B3, harus
bebas banjir dan tidak rawan bencana alam atau dapat direkayasa dengan
teknologi untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Lokasi
pengelolaan limbah B3, harus juga berada pada jarak paling dekat 30 meter dari
jalan umum dan atau jalan tol, daerah pemukiman, perdagangan, hotel, restoran,
fasilitas keagamaan dan pendidikan garis pasang naik laut, sungai, daerah
pasang surut kolam, danau, rawa, mata air dan sumur penduduk dan daerah cagar
alam, hutan lindung, dan/atau daerah lainnya yang dilindungi. Sedangkan
persyarataran peralatan pengelolaan limbah B3, harus meliputi pengoperasian
peralatan (temperatur dan lama menggunakan alat) dan uji validasi.
Berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor: 1204/MENKES/SK/X/2004, tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah
Sakit, limbah medis ini merupakan bagian dari limbah padat dari Rumah Sakit,
selain Limbah padat non-medis yang dipahami sebagai limbah padat yang
dihasilkan dari kegiatan di Rumah Sakit di luar medis yang berasal dari dapur,
perkantoran, taman, dan halaman yang dapat dimanfaatkan kembali apabila ada
teknologinya. Sedangkan, limbah medis padat adalah limbah padat yang terdiri
dari limbah infeksius, limbah
patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan, dan limbah dengan
kandungan logam berat yang tinggi.
Selain limbah padat yang terdiri
dari limbah medis dan limbah non medis, Rumah Sakit juga menghasilkan limbah
cair dan limbah gas. Menurut Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1204/MENKES/SK/X/2004, tentang Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit, limbah cair adalah semua air buangan
termasuk tinja yang berasal dari kegiatan Rumah Sakit yang kemungkinan
mengandung mikroorganisme, bahan
kimia beracun dan radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan. Sedangkan, limbah gas
adalah semua limbah yang berbentuk gas yang berasal dari kegiatan pembakaran di
Rumah Sakit seperti incinerator,
dapur, perlengkapan generator, anastesi,
dan pembuatan obat citotoksik.
Berpijak pada temuan dari pihak DLH Provinsi NTT, maka dapat ditarik
suatu titik simpul bahwa pengelolaan limbah Rumah Sakit di Kota Kupang adalah
buruk dan tidak sesuai aturan. Konsekuensinya, hidup dan kehidupan di Kota
Kupang sementara terancam oleh limbah Rumah Sakit. Kondisi pengelolaan limbah Rumah Sakit yang buruk dan tidak
sesuai aturan ini, diduga dilakukan secara terencana oleh pihak Rumah Sakit di
Kota Kupang. Sebab, pihak Rumah Sakit di Kota Kupang sangat nekat untuk melawan
semua aturan terkait pengelolaan limbah. Anehnya, meskipun kondisi ini sudah
berlangsung sejak lama, namun para pengambil kebijakan seakan-akan melakukan
pembiaran dan tetap mengamini berjalannya model pengelolaan limbah Rumah Sakit yang buruk dan tidak sesuai aturan, tanpa melakukan penegakan hukum.
Ada sejumlah
aturan yang dapat dipergunakan oleh pengambil kebijakan untuk menindak para
pihak yang tidak mengelola limbah Rumah Sakit secara benar, diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008, tentang
Pengelolaan Sampah. Terdapat banyak pasal dalam kedua undang-undang ini yang
bisa dipakai untuk menindak para pihak sesuai
dengan jenis kesalahannya, terkait
dengan pengelolaan limbah Rumah Sakit.
KETERANGAN:
Tulisan ini merupakan materi yang dipresentasikan dalam diskusi terbatas tentang “Penegakan Hukum Kasus Limbah Medis Rumah Sakit”, yang dilaksanakan oleh Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR NTT), di Sekretariat PIAR NTT, pada tanggal 16 Desember 2017.