Jumat, 07 Juli 2017

Pahlawan Devisa Dalam Pusaran Tindak Pidana Perdagangan Orang

PAHLAWAN DEVISA DALAM PUSARAN TPPO
Oleh: Paul SinlaEloE



Pahlawan devisa merupakan julukan yang diberikan kepada buruh migran oleh rezim Orde Baru. Orang yang pertama kali menjuluki buruh migran dengan sebutan pahlawan devisa adalah Laksamana Sudomo, Menteri Tenaga Kerja pada masa Kabinet Pembangunan IV, Rezim Orde Baru, periode 1983/1988 (M. Irsyadul Ibad, dkk, 2015:17).

Pada saat itu, Sudomo ‘sangat sukses’ mengendalikan dan mengontrol kehidupan perburuhan yang penuh dengan dinamika politik. Sudomo juga berhasil menjadikan istilah ‘pahlawan devisa’ sebagai ‘mantra’ untuk memotivasi setiap warga Negara Indonesia untuk menjadi buruh migran. Padahal, motivasi/tujuan utama dari Pemerintahan Orde Baru terkait dengan penempatan buruh migran di Luar Negeri adalah untuk mendapatkan devisa, memperkecil gejala sosial yang mungkin muncul akibat adanya pengangguran (bagian dari proses tertib politik Orde Baru). Instrumen pertama yang dipergunakan untuk menempatan buruh migran di Luar Negeri adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) Nomor Kep.408/Men/1984, Tentang Pengerahan dan Pengiriman Tenaga Kerja ke Malaysia.

Demi melanggengkan kewajiban pegiriman uang hasil kerja (remitansi), rezim Orde Baru menyiapkan instrumen represif yang dikenakan kepada buruh migran Indonesia agar tidak mengungkapkan kondisi kerja yang buruk. Dalam Kepmenaker Nomor Kep.420/Men/1985, Tentang persyaratan dan Kewajiban Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia (PPTKI) ke Luar Negeri, ditegaskan bahwa setiap buruh migran Indonesia yang menghadapi masalah dalam masa kerjanya dilarang berbicara dengan pihak eksternal, terutama media massa. Kepmenaker Nomor Kep.420/Men/1985, juga merupakan cikal bakal yang memupuk lahirnya industrialisasi penempatan buruh migran melalui pemberian kewenangan kepada PPTKI untuk menjalankan bisnis penempatan Tenaga Kerja Indonesia.

Menurut M. Irsyadul Ibad, dkk, (2015:18), kehendak yang lebih kuat agar Indonesia secara sistematik meningkatkan perolehan remitansi dari pengiriman buruh migran ke Luar Negeri, datang juga dari lembaga keuangan internasional melalui paket-paket kondisionalitas yang mengikat Indonesia dalam Letter of Intent (LoI) dengan International Monetering Fund (IMF) yang ditandatangani pada Februari 1988.

Pada saat sekarang, program penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri dilegitimasi dengan UU No. 39 Tahun 2004. Substansinya pun masih sama dan belum berpihak pada pekerja migran. UU No. 39 Tahun 2004 hanya menjadi alat pemacu kucuran remitansi dari keringat pekerja migran dan belum menjadi payung perlindungan bagi buruh migran.

Perlindungan terhadap buruh migran dan anggota keluarganya seakan semakin menjauh dari harapan. Padahal sudah sejak tanggal 2 Mei 2012, Indonesia telah mengesahkan konvensi internasional mengenai perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan anggota keluarganya dalam UU No. 6 Tahun 2012. Terobosan utama Konvensi ini adalah orang-orang yang memenuhi kualifikasi sebagai pekerja migran dan anggota keluarganya, sesuai ketentuan-ketentuan Konvensi, berhak untuk menikmati hak asasi manusia, apapun status hukumnya.

Walaupun demikian, sistem penempatan buruh migran ke Luar Negeri yang didesain oleh Pemerintah Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 39 Tahun 2004, telah lama mengabaikan aspek perlindungan dan merentankan pekerja migran menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Proses penempatan calon pekerja migran, memang berbeda dengan TPPO. Tetapi pada praktiknya, TPPO banyak dialami pekerja migran. Bahkan, TPPO seakan telah menjadi bagian integral dalam proses migrasi itu sendiri karena maraknya buruh migran yang menjadi korban TPPO.

Untuk pemberantasan TPPO, saat ini Indonesia sudah memiliki UU No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO). Namun, kelemahan dari UUPTPPO ini dapat ditemukan dalam pengaturan pasal-pasal tindak pidananya, terutama yang terkait dengan TPPO untuk tujuan eksploitasi di luar wilayah Republik Indonesia.

Rumusan Pasal 2 UUTPPO, hanya memberikan sanksi pada setiap orang yang melakukan TPPO dengan tujuan mengeksploitasi orang di wilayah Negara Republik Indonesia saja. Itu berarti, setiap orang yang melakukan TPPO untuk tujuan mengeksploitasi di luar wilayah Negara Republik Indonesia, tidak bisa dipidana karena dianggap telah melanggar Pasal 2 UUPTPPO.

Pengaturan TPPO dengan tujuan eksploitasi di luar wilayah Negara Republik Indonesia dalam UUPTPPO, terdapat dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6. Pada Pasal 3 UUPTPPO diatur tentang pemberian sanksi, sekaligus melarang “setiap orang untuk memasukkan orang ke wilayah Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah Negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di Negara lain...”. Dalam penjelasan dari Pasal 3 UUPTPPO, dikatakan bahwa ketentuan ini dimaksudkan bahwa wilayah Negara Republik Indonesia adalah sebagai Negara tujuan atau transit.

Kata ‘memasukan’ yang terdapat dalam rumusan Pasal 3 UUPTPPO, menunjukan bahwa Warga Negara Asing-lah yang dilindungi dengan maksud untuk tidak dieksploitasi di wilayah Negara Republik Indonesia. Artinya, pekerja migran Indonesia yang dieksploitasi di Indonesia maupun di Luar Negeri, pelakunya tidak bisa dijerat dengan pasal ini.

UUTPPO juga melarang “setiap orang yang membawa warga Negara Indonesia ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah Negara Republik Indonesia...” (Pasal 4 UUPTPPO). Penekakanan dalam rumusan delik dari Pasal 4 UUPTPPO adalah pada kata ‘membawa’ yang terdapat di unsur proses. Ironisnya, pada bagian penjelasan dari Pasal 4 UUPTPPO hanya disebutkan ‘cukup jelas’, tanpa menguraikan apa yang dimaksud dari kata ‘membawa’ tersebut.

Jika mengacu pada Pasal 1 angka 9 UUPTPPO, maka membawa merupakan bagian dari tindakan perekrutan. Namun ini bukan berarti membawa memiliki arti yang sama dengan perekrutan. Dari aspek semantik, kata ‘membawa’ ini memiliki makna yang sama dengan kata pengangkutan, pengiriman atau pemindahan.  Itu berarti, Pasal 4 UUPTPPO dirancang hanya untuk menjerat pelaku TPPO yang membawa atau melakukan proses pengangkutan, pengiriman atau pemindahan seseorang untuk tujuan eksploitasi di luar wilayah Negara Republik.

Dengan demikian, jelaslah bahwa Pasal 4 UUPTPPO tidak dikonstruksi untuk menjerat pelaku TPPO yang membawa atau melakukan proses pengangkutan, pengiriman atau pemindahan seseorang untuk tujuan eksploitasi di dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Selain itu, pelaku yang melakukan proses perekrutan, penampungan atau penerimaan seseorang untuk tujuan eksploitasi di luar wilayah Indonesia, tidak dapat dijerat dengan Pasal 4 UUPTPPO.

Pasal 6 UUPTPPO pada dasarnya dirumuskan untuk melindungi anak agar tidak menjadi korban TPPO. Pasal 6 UUPTPPO mempidanakan pelaku yang melakukan TPPO terhadap anak, dengan rumusan delik sebagai berikut: setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke Luar Negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi…”.

Frasadengan cara apapun yang terdapat dalam Pasal 6 UUPTPPO menunjukan bahwa semua cara yang dilakukan oleh pelaku dan mengakibatkan tereksploitasinya anak, termasuk cara-cara yang tercantum dalam Pasal 2 UUPTPPO, yakni: dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, dapat dijerat dengan Pasal ini.

Pasal 6 UUPTPPO ini didesain oleh para perumus sebagai delik materil, bukannya delik formil. Artinya, TPPO sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UUPTPPO dikatakan telah sempurna dan pelakunya dapat dipidana, apabila unsur akibat yang dilarang telah terwujud. Karena dikonstruksi sebagai delik materil, maka aspek pencegahan terjadinya eksploitasi anak dalam Pasal 6 UUPTPPO, terkesan diabaikan. Bahkan, rumusan norma yang terdapat pada Pasal 6 UUPTPPO ini dikonstruksi dengan kurang mempertimbangkan hak-hak anak yang harus dilindungi.  

Konsekuensinya, perbuatan mengirim anak ke Luar Negeri khususnya untuk tujuan eksploitasi tidak dapat dilakukan penegakan hukum. Karena, Pasal 6 UUPTPPO ini hanya dapat dilakukan penegakan hukumnya apabila perbuatan pengiriman anak ke dalam atau ke Luar Negeri dengan cara apapun, sudah menimbulkan akibat, yakni anak tereksploitasi. Dengan kata lain, untuk melakukan penegakan hukum berdasarkan Pasal 6 UUPTPPO, harus menunggu anak yang dikirim ke Luar Negeri untuk dieksploitasi, sudah tereksploitasi di Luar Negeri, sebagai akibat dari rangkaian perbuatan pengiriman anak ke Luar Negeri.

Berpijak pada keseluruhan argumen diatas, maka bisa ditarik suatu titik simpul bahwa UUPTPPO tidak dapat menjangkau keseluruhan TPPO dengan korban pahlawan devisa dan/atau calon pekerja migran. Walaupun demikian, bukan berarti pelaku TPPO tidak dapat dipidana karena melakukan eksploitasi terhadap ‘pahlawan devisa dan/atau calon pekerja migran, sebab Indonesia telah memiliki banyak produk hukum yang bisa dipergunakan untuk menindak atau menghukum pelaku TPPO, apabila dipahami dan diimplementasikan dengan baik oleh mereka yang diberi kewenanagan oleh Negara.



----------------------------------------
Keteranagan:
1. Penulis adalah Aktivis PIAR NTT.
2.Tulisan ini pernah dipublikasikan dengan judul: "Pahlawan Devisa dan TPPO", dalam Harian Umum Victory News, pada tanggal 06 Juli 2017.








TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...