Rabu, 27 Maret 2019

Pemalsuan Dokumen Dalam Konteks Tindak Pidana Perdagangan Orang


PEMALSUAN DOKUMEN DALAM KONTEKS TPPO
Oleh: Paul SinlaEloE


Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan bentuk modern dari perbudakan manusia. Selain itu, TPPO juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari kejahatan terhadap harkat dan martabat manusia. Saat ini, TPPO telah memakan banyak korban dan terjadi secara meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi.

Kejahatan terkait perdagangan orang ini terjadi dengan melibatkan tidak hanya orang perseorangan, tetapi juga korporasi, kelompok terorganisir dan penyelenggara negara yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku TPPO memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar wilayah dalam negeri, tetapi juga antar negara.

Salah satu modus yang sering dan banyak dipergunakan dalam praktek TPPO adalah pemalsuan dokumen. Pemalsuan dokumen dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO) diatur dalam Pasal 19 dan diklaster sebagai salah satu bentuk tindak pidana lain yang berkaitan dengan TPPO. Dalam rangka pemberantasan TPPO, memahami pemalsuan dokumen dari aspek ilmu hukum pidana adalah mutlak diperlukan.

Memaknai Pasal 19 UUPTPPO
Secara substansi, Pasal 19 UUPTPPO pada intinya mengatur dan melarang setiap orang supaya tidak memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya TPPO. Bagi yang melanggar amanat Pasal 19 UUPTPPO ini, akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).

Istilah “setiap orang” yang terdapat dalam Pasal 19 UUPTPPO harus dipahami sebagaimana apa yang tertera dalam Pasal 1 angka 4 UUPTPPO, yakni: “orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang”. Sesuai dengan Pasal 1 angka 6 UUPTPPO, istilah "korporasi" yang terdapat dalam Pasal 1 angka 4 UUPTPPO ini didifinisikan sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik, merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Berdasarkan penjelasan Pasal 19 UUPTPPO, maka yang dimaksud dengan “dokumen negara” itu, pemaknaannya adalah mencakup tetapi tidak terbatas pada paspor, kartu tanda penduduk, ijazah, kartu keluarga, akte kelahiran, dan surat nikah. Sedangkan istilah “dokumen lain” dalam ketentuan Pasal 19 UUPTPPO pemaknaannya meliputi tetapi tidak terbatas pada surat perjanjian kerja bersama, surat permintaan tenaga kerja Indonesia, asuransi, dan dokumen yang terkait (Penjelasan Pasal 19 UUPTPPO).

Kalau dicermati konstruksi hukum yang terdapat dalam Pasal 19 UUPTPPO, maka para perumus UUPTPPO menghendaki agar pemalsuan dokumen yang terdapat dalam Pasal 19 UUPTPPO hanya mencakup aspek pemalsuan materil dimana sifat palsunya terletak pada isi dokumen (Suparmin, 2013). Alasannya, rumusan delik dari Pasal 19 UUPTPPO, hanya difokuskan pada perbuatan pelaku yang memalsukan dokumen dengan cara memberikan atau memasukan keterangan yang tidak benar pada dokumen negara atau dokumen lain.

Dengan demikian, pemalsuan dokumen yang terdapat dalam Pasal 19 UUPTPPO adalah berbeda secara substansi dengan makna pemalsuan surat/dokumen yang terdapat dalam Pasal 263 ayat (1) KUHPidana. Pasal 19 UUPTPPO hanya mengatur dan mengancam pidana setiap orang memalsukan dokumen. Sedangkan, Pasal 263 ayat (1) KUHPidana didesain untuk mempidanakan barang siapa yang memalsukan surat/dokuman dan/atau barang siapa yang membuat surat/dokumen palsu.

Perbedaan antara memalsukan dokumen dan membuat dokumen palsu adalah dalam perbuatan memalsukan dokumen, sebelum perbuatan itu dilakukan, sudah ada sebuah dokumen (dokumen asli). Kemudian pada dokumen asli ini, terhadap isinya (termasuk nama dan tanda tangan) dilakukan perbuatan memalsu yang akibatnya dokumen yang semula benar menjadi dokumen yang sebagian atau seluruh isinya tidak benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Dokumen hasil perbuatan memalsu ini sering disebut dengan dokumen yang dipalsu.

Pada perbuatan membuat dokumen palsu atau membuat palsu dokumen, logikanya adalah sebelum perbuatan dilakukan, dokumennya belum ada dan kemudian dibuat suatu dokumen yang isinya (termasuk nama dan tanda tangan) baik itu sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Dokumen yang dihasilkan dari perbuatan membuat dokumen palsu atau membuat palsu dokumen ini disebut dokumen palsu atau atau tidak asli.

Solusi untuk Implementasi Pasal 19 UUPTPPO
Mengingat bahwa UUPTPPO merupakan kekhususan dan KUHPidana dan rumusan delik yang terdapat dalam Pasal 19 UUPTPPO hanya difokuskan untuk menjerat setiap orang yang memalsukan dokumen, maka pasal-pasal pemalsuan surat/dokumen yang terdapat dalam KUHPidana sebagaimana yang diatur mulai dari Pasal 263 KUHPidana sampai dengan Pasal 276 KUHPidana, dapat dipergunakan atau di juncto-kan dengan Pasal 19 UUPTPPO, jika ingin menindak pelaku pemalsuan dokumen untuk mempermudah dan/atau mengakibatkan terjadinya TPPO.

Argumen ini berpijak pada amanat Pasal 65 UUPTPPO yang pada intinya menyatakan bahwa hanya Pasal 297 KUHPidana dan Pasal 324 KUHPidana yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku ketika UUPTPPO diberlakukan. Artinya, semua pasal terkait dengan TPPO yang terdapat dalam KUHPidana, masih berlaku dan dapat dipergunakan oleh penegak hukum untuk mempidanakan setiap orang yang terbukti sebagai pelaku TPPO, kecuali Pasal 297 KUHPidana dan Pasal 324 KUHPidana.

--------------------------------------------
KETERANGAN:
1.   Penulis adalah Aktivis PIAR NTT
2.   Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum  Victory News, pada tanggal 27 Maret 2019.

Rabu, 20 Maret 2019

BUKU HUKUM: Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

INFO BUKU


Judul Buku: Penanganan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Penulis: Paul SinlaEloE dan Libby SinlaEloE
Editor: Yedityah Tridarty Mella
Penyelia Aksara: Tim Rumah Perempuan
Penerbit: Rumah Perempuan
ISBN: 978-602-96517-0-6
Dimensi: 13,5 cm x 20 cm
Ketebalan: 110 Halaman
Bahasa: Indonesia
Tahun Terbit: 2019
Desain Sampul & Isi: Ragil Sukriwul


DESKRIPSI BUKU:
Pemenuhan keadilan bagi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tidak cukup hanya dengan dipidananya pelaku, melainkan harus sampai pada dipulihkannya kerugian penderitaan korban akibat Tindak Pidana yang dialaminya. Karenanya, penanganan korban TPPO demi pemenuhan serta terjaminnya hak-haknya seacra penuh mutlak diperlukan.

Secara yuridis, penanganan korban TPPO adalah tanggungjawab Negara dan masyarakat diharpkan untuk berperan serta. Untuk itu, para pengambil kebijakan telah mendesain sistem dalam penanganan korban TPPO secara terpadu dan komprehensif yang melibatkan seluruh elemen bangsa.

Walaupun demikian, hingga saat ini masih banyak pihak yang belum memahami secara sempurna sistem penanganan korban TPPO. Parahnya lagi, ada juga pihak-pihak yang sudah sering terlibat dalam penanganan korban, namun tidak mengetahui mekanisme dan prinsip-prinsip dalam penanganan korban TPPO. Akibatnya korban-korban yang ditangani tidak mendapatkan pelayanan yang optimal dan sejumlah haknya menjadi terabaikan. Bahkan dalam beberapa kasus, korban dipersalahkan (blaming the victim) karena dianggap memberikan kontribusi pada kejadian tindak pidana yang dialaminya sendiri.

Bertolak dari realita yang demikian, maka kehadiran buku kecil ini, diharapkan dapat berkontribusi langsung bagi pemahaman yang utuh dari pihak-pijhak berkait dengankerja-kerja penanganan korban TPPO, sekaligus bisa menjadi semacam “panduan praktis” bagi siapa saja yang ingin, maupun sedang melayani dan mendampingi para korban TPPO.


TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...