PERMUFAKATAN JAHAT MELAKUKAN TPPO
Oleh
Paul SinlaEloE
Permufakatan jahat atau conspiracy (Inggris) atau samenspanning (Belanda), merupakan salah satu tindakan atau
perbuatan yang oleh UU No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang/UUPTPPO, dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan
orang (TPPO).
Dalam Pasal 11 UUPTPPO ditegaskan, bahwa: “Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama
sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,
dan Pasal 6”.
Hadirnya pasal terkait dengan permufakatan jahat dalam UUPTPPO,
merupakan perwujudan tekad dari pemgambil kebijakan untuk memberantas TPPO
dengan cara mencegah sedini mungkin
terjadinya TPPO (Bandingkan dengan Pasal 56 UUPTPPO). Sebagai usaha dini agar TPPO
itu benar-benar tidak terjadi, maka ketentuan tentang permufakatan jahat dalam
UUPTPPO harus dimaknai sebagai upaya represif dengan pendekatan preventif dalam
pemberantasan TPPO.
Upaya represif dengan pendekatan preventif dalam
pemberantasan TPPO adalah penting karena TPPO merupakan kejahatan yang serius dan telah
meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak
terorganisasi, baik bersifat antar negara maupun dalam negeri, sehingga menjadi
ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma
kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia (Penjelasan
Umum UUPTPPO).
Pada sisi yang lain, maksud dan tekad dari pengambil kebijakan untuk menggunakan upaya represif dengan pendekatan preventif dalam pemberantasan TPPO, tidak didukung dengan kapasitas legal drafting (penyusunan produk hukum) yang memadai.
Hal ini dapat
dibuktikan dengan mencermati secara cerdas konstruksi hukum dari rumusan delik
yang terdapat dalam Pasal 11 UUPTPPO.
Dilihat dari aspek
teknis pembentukan peraturan perundang-undangan, Pasal 11 UUPTPPO adalah wujud
dari bentuk kriminalisasi yang tidak sempurna (uncomplete criminalization). Alasannya, Pasal 11 UUPTPPO
hanya memuat sanksi pidana yang dapat dijatuhkan (strafmaat dan strafsoort), itupun dengan merujuk pada
sanksi pidana yang ada dalam rumusan tindak pidana dari Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 5, dan Pasal 6, tanpa memberikan
rumusan unsur-unsur perbuatan yang dilarangnya (strafbaar).
Hasil kriminalisasi yang
tidak sempurna (uncomplete
criminalization), bisa juga dilihat dari aspek substansi Pasal 11 UUPTPPO yang hanya melarang dan
mengancam dengan pidana bagi setiap orang (orang perseorangan atau korporasi) yang melakukan ‘percobaan TPPO’ dan ‘permufakatan jahat TPPO’, tanpa menguraikan bagaimana cara melakukannya (strafmodus).
Bahkan,
tidak terdapat penjelasan lebih lanjut
mengenai maknanya, tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan-perbuatan atau istilah-istilah tersebut. Seolah-olah
unsur beserta makna dari perbuatan-perbuatan atau
istilah-istilah tersebut
telah jelas, tegas dan sempurna.
Konsekuensi dari rumusan norma permufakatan jahat dalam Pasal 11
UUPTPPO yang tidak jelas secara tertulis, tidak tegas
batas-batasnya dan tidak jelas maksudnya,
akan berdampak pada saat implementasi terutama dalam kerja-kerja penegakan hukum.
Menurut Chairul Huda (2016),
fakta yang demikian otomatis akan berakibat juga pada tidak terjaminnya kepastian hukum karena multi tafsir.
Mengingat bahwa norma permufakatan jahat yang terdapat dalam Pasal 11 UUPTPPO adalah norma yang samar (vaagennorm) pengertiannya, maka Pasal 88 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) dapat dijadikan rujukan dalam
implementasi atau kerja-kerja penegakan hukum karena secara
otentik telah merumuskan pengertian dari permufakatan jahat. Pembenaran
lain terkait Pasal 88 KUHPidana dapat
dijadikan rujukan untuk memaknai istilah ‘permufakatan jahat’ yang
terdapat dalam Pasal 11 UUPTPPO adalah UUPTPPO merupakan kekhususan dari KUHPidana.
Pasal 88 KUHPidana pada intinya menguraikan bahwa suatu tindak
pidana permufakatan jahat dikatakan ada, apabila dua orang atau lebih telah
sepakat akan melakukan kejahatan. Unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan
permufakatan jahat pada Pasal 88 KUHPidana, yaitu: Unsur Pertama, adanya dua orang atau lebih (pelakunya). Unsur pelaku
dalam permufakatan jahat merupakan suatu perkecualian dari dari sistem hukum
pidana Indonesia, karena pelaku adalah dua orang atau lebih, bukan satu orang
seperti yang terdapat dalam setiap rumusan tindak pidana pada
KUHPidana maupun UUPTPPO.
Dalam disiplin ilmu hukum pidana, istilah ‘dua
orang atau lebih’ tidak lagi termasuk pengertian dader (pelaku) dalam rumusan tindak pidana, akan tetapi menjadi
atau merupakan pengertian lain yang terdapat dalam ajaran penyertaan (deelneming) maupun konsep pembantuan (medeplichtigheid)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 KUHPidana,
Pasal 56 KUHPidana, Pasal 10 UUPTPPO dan Pasal 23 UUPTPPO.
Menurut Adami Chazawi (2005:375), istilah
‘dua orang atau lebih’ yang dimaksud dalam unsur pertama dari
kejahatan permufakatan jahat, harus dianggap sebagai
pelaku (dader) dan bukannya yang satu
dianggap sebagai pelaku pelaksana (pleger)
dan satunya sebagai pelaku peserta (medepleger)
atau yang satu dianggap sebagai pelaku pelaksana (pleger) dan lainnya dikategorikan sebagai pelaku
pembantu (medeplichtige). Bahkan keduanya tidak
dapat dipahami sebagai pelaku peserta (medepleger) atau
keduanya dianggap sebagai pelaku pembantu (medeplichtige).
Unsur Kedua, adanya
kesepakatan akan melakukan kejahatan. Kesepakatan
dalam konteks permufakatan jahat pada
dasarnya dapat dipahami sebagai persesuaian pernyataan kehendak baik tertulis
maupun tidak tertulis, antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya yang
mengadakan perjanjian untuk melakukan kejahatan.
Perjanjian
untuk melakukan kejahatan di sini tidak dapat dipersamakan dengan arti perjanjian
(overeenkomst) dalam konteks hukum
perdata (H. A. K. Moch. Anwar, 1979:229).
Sebab, salah satu unsur dari perjanjian sebagaimana yang terdapat dalam Pasal
1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgerlijk
wetboek) adalah sebab (isi perjanjian) yang halal. Sedangkan dalam
permufakatan jahat (samenspanning),
persetujuan terhadap sesuatu yang diperjanjikan adalah sebab (isi perjanjian)
yang tidak halal (ongeoorloofd) atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maupun bertolak belakang
dengan kepentingan hukum.
Merujuk pada pengertian dan uraian unsur permufakatan jahat dari
Pasal 88 KUHPidana, maka secara sederhana permufakatan
jahat dapat dipahami sebagai
kejahatan untuk melakukan suatu kejahatan, sebab tindak pidana yang disepakati
untuk diwujudkan belum terwujud. Itu berarti, permufakatan
jahat dianggap telah terjadi dengan sempurna setelah dua orang atau lebih
mencapai suatu kesepakatan untuk melakukan TPPO yang telah diperjanjikan (overeengekomen).
Dengan demikian, meskipun TPPO yang disepakati untuk dilakukan
tidak dilakukan atau belum diwujudkan, namun para pihak yang telah bersepakat
untuk melakukan TPPO tersebut sudah dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya
sebagai pelaku permufakatan jahat untuk melakukan TPPO. Inilah
yang dimaksud dengan upaya represif dengan pendekatan preventif dalam
pemberantasan TPPO.
Kesimpulan ini sejalan dengan teori geen
straf zonder schuld atau (tiada
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan) yang
mengajarkan bahwa permufakatan jahat (termasuk
permufakatan jahat dalam TPPO) dianggap sudah terjadi dan dapat
dikenakan sanksi pidana, jika telah memenuhi 2 (dua)
unsur, yaitu adanya unsur perbuatan jahat (actus reus) dan unsur niat
jahat atau mens rea (Chairul Huda, 2006:19-23).
Chairul Huda (2016)
berpendapat bahwa komponen kesalahan (mens rea)
dari tindak pidana yang disebut permufakatan jahat, yakni: terdapat persesuaian
kehendak, kesamaan niat atau meeting of minds diantara dua orang atau
lebih, yang tertuju untuk melakukan suatu tindak pidana (termasuk TPPO) dan
berdampak terhadap kepentingan hukum. Sedangkan komponen perbuatan (actus reus) dari permufakatan jahat
adalah permufakatan jahat itu sendiri atau dengan kata lain actus reus-nya
berupa adanya kesepakatan dua orang atau lebih untuk melakukan tindak pidana dalam hal ini adalah TPPO.
-----------------------------------------------------------
KETERANGAN:
1.
Penulis adalah Aktivis PIAR NTT.
2. Tulisan ini pernah
dipublikasikan dalam Harian Umum Victory News, dengan
judul: “Permufakatan Jahat Dalam TPPO”, pada tanggal 22 November 2017.