Senin, 28 Januari 2013

Pengadaan Logistik Pilkadal


KPUD KOTA KUPANG
DAN PENGADAAN  LOGISTIK PILKADAL
Oleh. Paul SinlaEloE


Walaupun pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung  (PILKADAL)  dalam rangka memilih Walikota dan Wakil Walikota yang akan memimpin Kota Kupang untuk periode 2007-2012 sudah diagendakan/dipersiapkan jauh hari sebelumnya, namun dalam hal  implementasi pengadaan logistik oleh KPUD Kota Kupang, tetap saja bermasalah. Salah satu permasalahan di seputar pengadaan Logistik oleh KPUD Kota Kupang ini adalah proses tender yang dilakukan melalui mekanisme Penunjukan Langsung. 

Ada 5 (Lima) paket pekerjaan pengadaan logistik di KPUD Kota Kupang yang kesemuanya dilakukan dengan mekanisme Penunjukan Langsung, yakni: Pertama, Proyek pengadaan formulir  pemilih dan perhitungan suara dengan nilai proyek sebesar Rp.127.007.760 dipercayakan kepada CV. JN-Rekanan Lokal. Kedua. Nilai proyek sebesar Rp.114.591.000 untuk pengadaan petunjuk teknis dan peraturan perundang-undangan diberikan kepada CV. Bolelebo-Rekanan Lokal. Ketiga, CV. Natalia-Rekanan Lokal,  mendapat proyek pengadaan brosur/Leflet dengan nilai proyek sebesar Rp.250.000.000. Keempat, Proyek pengadaan surat suara dengan nilai proyek sebesar Rp.645.750.000 dianugerahkan kepada PT. Panca Wira Usaha-Rekanan Asal Surabaya. Kelima, Proyek pengadaan kartu pemilih dengan nilai proyek sebesar Rp.693.000.000 diserahkan kepada  PT. Swadarama Eragrafindo-Rekanan Asal Jakarta).

Bertolak dari realita yang demikian dan dalam rangka melakukan pendidikan hukum kritis bagi warga Kota Kupang untuk memantau kinerja dari KPUD Kota Kupang, maka dalam tulisan ini akan diuraikan tentang apakah kebijakan atau keputusan dari KPUD Kota Kupang dalam pengadaan logistik PILKADAL adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum atau bukan merupakan perbuatan melawan hukum...?? 

Perihal tata cara pengadaan barang dan jasa instansi Pemerintah sebenarnya telah diatur dalam Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003. Di dalamnya dijelaskan secara spesifik keadaan atau syarat-syarat yang membuat Penunjukan Langsung dalam pengadaan barang/jasa dapat dilakukan. Paling tidak, alasan Penunjukan Langsung dalam pengadaan barang dan jasa dapat dibagi dalam tiga hal, yakni: Pertama, Penunjukan Langsung dapat dilakukan jika nilai proyek tidak melebihi Rp.50 Juta. Di atas batas itu, pengadaan barang/jasa harus dilakukan dengan tender terbuka. Klausul pada lampiran I poin C nomor 4 dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 ini sudah sangat jelas sehingga tidak mungkin muncul penafsiran ganda. Akan tetapi, bukan berarti syarat ini tidak bisa diakali. Nilai proyek di atas Rp. 50 Juta tetap bisa dilakukan Penunjukan Langsung dengan memecah proyek itu ke dalam beberapa proyek kecil, yang nilainya tidak melebihi Rp. 50 Juta. Atau jika nilai proyeknya tidak bisa dipecah, bisa menggunakan alasan lainnya mengingat dalam Keppres No. 80 Tahun 2003, syarat-syarat Penunjukan Langsung tidak berlaku kumulatif.

Kedua, sesuai dengan Pasal 17 ayat (5) Keppres No. 80 Tahun 2003, dalam keadaan khusus atau tertentu, Penunjukan Langsung dapat dilakukan. Sementara itu, dalam lampirannya dijelaskan bahwa yang dimaksud keadaan khusus atau tertentu adalah penanganan darurat seperti bencana alam, pekerjaan yang dirahasiakan karena menyangkut pertahanan dan keamanan negara yang ditetapkan Presiden. Mencakup keadaan khusus dan tertentu adalah proyek berskala kecil dengan nilai maksimum Rp.50 Juta. Siklus anggaran juga sangat memengaruhi menguatnya praktik Penunjukan Langsung, khususnya mekanisme Anggaran Belanja Tambahan (ABT) di tingkat pusat atau APBD perubahan (APBDP) di tingkat daerah, yang biasanya dibahas pada pertengahan tahun.

Jika dikaji lebih jauh, item anggaran pada mekanisme ABT atau APBDP sering kali tidak berbeda dengan item anggaran dalam keadaan normal. Mekanisme itu kadang dimanfaatkan hanya untuk menciptakan keadaan khusus atau tertentu, waktu yang mendesak sehingga pada saat implementasi anggaran, ada pembenaran untuk Penunjukan Langsung. Rekayasa keadaan tertentu atau khusus akan kian bermasalah, jika negara dirugikan dalam Penunjukan Langsung. Kerugian yang timbul itu akibat dari adanya unsur kesengajaan untuk menggelembungkan (mark-up) biaya proyek. Harga barang atau jasa yang seharusnya ditetapkan berdasarkan nilai wajar bisa tiba-tiba meroket hingga mencapai 100%–200%. Ketika praktik Penunjukan Langsung diikuti dengan tindakan menggelembungkan harga proyek, praktik pengadaan telah memasuki wilayah pelanggaran hukum (baca:  korupsi). Begitu juga apabila dalam mekanisme Penunjukan Langsung ini ditemukan unsur penyuapan dan  bid rigging, yakni pemberian uang pelicin oleh peserta lelang kepada panitia lelang.

Ketiga, Penunjukan Langsung dapat dilakukan pada pengadaan barang/jasa khusus. Istilah Khusus dalam pengertian ini adalah pekerjaan yang berdasarkan tarif resmi pemerintah, pekerjaan spesifik yang hanya dilaksanakan oleh satu penyedia atau pemegang hak paten, serta pekerjaan yang kompleks dan berteknologi tinggi. Alasan ketiga berkaitan dengan Penunjukan Langsung ini juga rawan dengan manipulasi. Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) NTT, pernah melakukan Advokasi sebuah kasus dugaan korupsi pengadaan di satu instansi pemerintah. Alasan Penunjukan Langsungnya karena rekanan tersebut memegang hak paten. Ketika dikaji lebih jauh, peraturan mengenai hak paten lebih bertujuan untuk menjaga sebuah produk agar tidak dipalsukan, ditiru, dan diproduksi secara ilegal sehingga dapat merugikan pemilik paten. Alasan perusahaan yang ditunjuk memegang hak paten menjadi tidak relevan sebab barang yang dibeli beredar luas di pasaran dengan spesifikasi, harga, dan merek yang bervariasi. 

Pada akhirnya, meskipun peraturan mengenai Penunjukan Langsung sudah didesain sedemikian rupa, namunupaya-upaya untuk memanipulasi pengertian itu akan selalu terjadi. Supaya persoalan Penunjukan Langsung tidak menjadi perdebatan yang kontra-produktif, pendekatan hukum untuk melihat persoalan tersebut secara lebih dalam harus dijadikan acuan. Penunjukan Langsung akan menjadi persoalan ketika diikuti oleh penggelembungan harga dan atau suap. Penunjukan Langsung juga absah secara hokum ketika syarat-syarat untuk melakukannya terpenuhi. (Tulisan ini pernah di publikasikan dalam Harian Pagi, TIMOR EKSPRESS, tanggal 21 April 2007).


--------------------------
Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT

Sabtu, 19 Januari 2013

Peranan Pemimpin dalam Berkoalisi

PERANAN PEMIMPIN DALAM MEMBANGUN KOALISI
DALAM KONTEKS KEPEMIMPINAN1)
Oleh. Paul SinlaEloE2)


Berdasarkan Term of Reference (TOR) yang diberikan oleh penyelenggara kegiatan ini, maka pada kesempatan ini saya diminta  untuk menyampaikan pemikiran mengenai “PERANAN PEMIMPIN DALAM MEMBANGUN KOALISI DALAM KONTEKS KEPEMIMPINAN”. Agar materi yang akan saya paparkan ini menjadi terfokus pada judul, maka dalam materi ini pertama-tama akan diuraikan tentang konsep kepemimpinan. Selanjutnya akan digambarkan singkat tentang pentingnya koalisi sekaligus dengan peranan pemimpin dalam membangun koalisi.

Pada umumnya sudah diketahui oleh umum bahwa, kepemimpinan (Leadership) berasal dari kata pimpin yang berarti bimbing atau tuntun3). Akan tetapi pengertian kepemimpinan sering diartikan sesuai dengan latar belakang dari yang membuat definisi tersebut. Ada yang mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan seni dalam membujuk/menciptakan kesepahaman dengan  orang lain dalam rangka mengatur orang tersebut (Leadership As Art Inducing Comliance)4). Ada juga yang mengartikan kepemimpinan tidak lain dari kesiapan mental yang terwujud dalam kemampuan seseorang untuk memberi inspirasi kepada orang lain5). Bahkan ada pula yang memahami kepemimpinan sebagai sarana penggunaan pengaruh oleh pihak tertentu atas pihak lain untuk pelaksanaan tujuan atau maksud tertentu6).

Berkaitan dengan beberapa definisi tentang kepemimpinan di atas, maka dalam makalah ini, saya lebih cenderung untuk mendefinisikan kepemimpinan sebagai ilmu Penerapan Pengaruh7), kepada seseorang atau sekelompok orang dalam rangka pencapaian tujuan secara efisien dan efektif dengan prinsip kerjasama yang tulus8).

Jika pengertian kepemimpinan yang saya utarakan di atas, diterapkan atau dijalankan oleh seorang pemimpin dalam proses pencapaian tujuan dari suatu organisasi, maka dengan sendirinya pemimpin tersebut harus berfungsi sebagai: Pertama, Penggagas. Maksudnya, seorang pemimpin harus bisa mengembangkan suatu pandangan atau pendekatan baru untuk pemecahan persoalan yang dihadapi organisasi yang dipimpinnya secara sederhana, dengan berpikir kreatif analistis. Kedua, Pengarah. Artinya, seorang pemimpin harus menjelaskan peranan dari setiap anggotanya, dengan memberi petunjuk secara rinci mengenai apa yang harus dikerjakan, kapan, dimana, dan bagaimana cara kerjanya. Ketiga, Pendorong. Artinya, seorang pemimpin harus memberikan support dan motivasi kepada para anggotanya dalam segala persoalan, dengan melakukan pendekatan-pendekatan individu. Keempat, Pengawas. Maksudnya, seorang pemimpin harus mengontrol kinerja dari setiap anggotanya, dengan jalan lebih banyak melakukan kontak dengan para anggota dan juga harus memperlancar kontak antar anggota.

Sejalan dengan paradigma di atas, maka seorang pemimpin dalam menjalankan roda organisasinya idealnya harus memiliki beberapa kemampuan, yakni:  Pertama, berorientasi ke depan. Artinya, dalam menentukan kebijaksanaan dan pemecahan persoalan, masa yang akan datang harus diperhitungkan karena kita tidak hidup untuk masa lampau tetapi untuk masa yang akan datang. Kedua, berpola pikir ilmiah. Maksudnya, dalam mengambil suatu keputusan, tidak boleh didasarkan pada emosi semata-mata, tetapi harus dilakukan dengan prosedur yang baik dan benar, yakni penentuan masalah, pengmpulan data, penentuan data, analisa data dan penarikan kesimpulan. Ketiga, berprinsip efektif dan efisien. Artinya, dalam menyelesaikan suatu kegiatan harus dengan waktu yang sesingkat-singkatnya, serta biaya dan sarana bahkan tenaga yang minimal, tetapi memperoleh hasil yang maksimal.

Terlepas dari konsep kepemimpinan yang saya tawarkan, perlu diketahui juga bahwa dalam menjalankan suatu kepemimpinan, seorang pemimpin dapat mempergunakan berbagai cara secara komplementer yang lazimnya dapat dikelompokan kedalam 3 (tiga) tipe9), yakni: Pertama, Tipe Otoriter dengan ciri-ciri kepemimpinannya adalah (1). Pemimpin menentukan segala kebijakan organisasi secara sepihak. (2).  Pemimpin tidak melibatkan para anggota dalam proses perumusan cara-cara untuk mencapai tujuan organisasi. (3). Pemimpin terpisah dari organisasi dan seakan-akan tidak ikut dalam proses interaksi organisasi. Kedua, Tipe Demokratis dengan ciri-ciri kepemimpinannya antaralain (1). Pemimpin selalu bermusyawarah mufakat para anggotanya dalam segala hal. (2). Pemimipin secara aktif ikut berpartisipasi di dalam kegiatan-kegiatan organisasi. (3). Pemimpan dan para anggotanya dapat saling mengkritik (Ada Kritik Positif). Kedua, Tipe Bebas  dengan ciri-ciri kepemimpiannya (1). Pemimpin menjalankan perannya secara pasif. (2). Pemimpin menyerahkan kepada para anggotanya untuk menentukan cara-cara yang akan dipakai untuk mencapai tujuan organisasi. (3). Pemimpin hanya menyediakan berbagai sarana dan menyediakan arena yang diperlukan oleh para anggotanya.

Dalam menjalankan kepemimpinannya di “era persaingan tinggi” seperti sekarang ini, seorang pemimpin harus memahami dengan benar tentang koalisi. Hal ini disebabkan karena berkoalisi merupakan salah satu syarat untuk mencapai sukses ketika memperjuangkan tujuan tertentu dan atau cita-cita tertentu, yang hendak dicapai oleh individu maupun kelompok terentu. Dalam pengertian yang “sangat longgar” berkoalisi dapat dipahami sebagai bergabungnya berberapa kelompok organisasi dan atau individu yang bekerja sama dan sama-sama kerja dengan cara terkoordinsi menuju kearah tujuan dan atau cita-cita yang hendak dicapai bersma10). 
                                                
Sebelum memutuskan untuk berkoalisi, seorang pemimpin terlebih dahulu harus mencermati, apakah koalisi sejenis sudah ada atau belum. Kalau sudah ada, cobalah untuk mempertimbangkan bergabung dalam koalisi tersebut. Jika ternyata kita merasa tidak dapat bersinergi dengan koalisi yang ada, maka bangunlah koalisi sendiri. Hal-hal yang perlu di pertimbangkan sebelum memutuskan untuk bergabung dalam suatu koalisi adalah: (a). Apakah anggota dalam koalisi tersebut mempunyai reputasi yang baik?; (b). Siapa yang berperan (Charge) dalam koalisi? Apakah kelompok/organisasi yang ada dalam koalisi dapat bekerja sama dengan anda? Apakah mereka mempunyai skill untuk memimpin?; (c). Apa tujuan, strategi dan pendekatan yang dipakai oleh koalisi? Apakah ada konsensus antar anggota yang kuat dalam persoalan yang menjadi fokus advokasi?; (d). Apakah anggota dari koalisi mempunyai hubungan yang baik?; (e). Apa koalisi mempunyai sumber daya yang memadai untuk melancarkan agendanya?; (f). Peran apa yang ditawarkan pada organisasi anda sebagai anggota dari koalisi. 

Sedangkan untuk membangun sebuah koalisi pertama-pertama tanyakan terlebih dahulu pada kolega anda, apakah mereka mempunyai cukup waktu, energi dan komitmen yang dibutuhkan untuk suatu koalisi. Kemudian identifikasikanlah organisasi-organisasi yang bisa diajak berkoalisi.

Dalam memilih rekan yang akan diajak untuk membangun suatu koalisi, hal-hal yang mesti dijadikan pertimbangan adalah: (a). Bagaimana visi mereka?; (b). Apakah ada pertentangan ideologi?; (c). Apa potensi yang mereka miliki dan apa potensi yang lembaga kita miliki?; (d). Keuntungan-keuntugan apa yang dapat diperoleh jika kita melakukan koalisi dengan lembaga tersebut?; (e). Hal-hal apa yang jadi penghambat?

Untuk memastikan bahwa koalisi yang kita bangun dapat bekerja secara efektif, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a). Mulai dengan membangun kepercayaan; (b). Harus ada kejelasan dalam pembagian kerja yang didasarkan atas potensi masing-masing lembaga; (c). Adanya kesepakatan antara anggota untuk memperjuangkan suatu isu untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan bersama; (d).  Tetapkan fokus terhadap isu; (e). Membuat aturan main yang disepakati bersama.

Demikianlah sumbangan pemikiran saya mengenai “PERANAN PEMIMPIN DALAM MEMBANGUN KOALISI DALAM KONTEKS KEPEMIMPINAN”, kiranya bermanfaat dan ini dapat mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas.




Kupang, 18 Januari 2008
KEPEMIMPINAN ITU TINDAKAN BUKAN JABATAN, KARENANNYA
PEMIMPIN SEJATI ITU TIDAK BUTUH MEMIMPIN






1) Materi ini dipresentasikan dalam Pelatihan, Ketrampilan Kepemimpinan Mahasiswa, yang dilaksanakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Univ. Nusa Cendana (BEM-UNDANA) Kupang, di Aula BAAKPSI UNDANA, Kota Kupang, pada tanggal 19 Januari 2008.
2) Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT
3) W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka), Jakarta, 1991. Hal. 754.
4) Ralph M. Stogdill, A Handbook of Leadership, (The Free Press), New York, 1974. P.9.                                   
5) Dr. I Wayan Mertha Sutedja, Kepemimpinan Tradisonal Sebagai Landasan Kepemimpinan Nasional Berdasarkan Pancasila, dalam MIMBAR BP-7, No. 22/IV/1996, (BP-7 Pusat), Jakarta, 1986. Hal. 7.
6) Dr. O. Notohamidjojo, SH, Kepemimpinan dan Pembinaan Pemimpin, (YBD & UKSW), Salatiga, 1993. Hal. 8.
7) Penerapan pengaruh adalah suatu ilmu pengetahuan yang mengajarkan bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain, agar orang yang dipengaruhi tersebut dapat : Pertama, menerima suatu garis kebijaksanaan yang telah ditetapkan bersama dengan ikhlas. Kedua, mematuhi kebijaksanaan yang telah ditetapkan tersebut dengan segenap hati. Ketiga, melaksanakan kegiatan yang telah ditentukan tersebut secara sukarela. Lihat, Paul SinlaEloE, Kepemimpinan dan Organisasi Kemahasiswaan Dalam Kaitannya Dengan Mengembangan Kemahasiswaan di Universitas Kristen Artha Wacana, Makalah, Diskusi Terbatas, “Kepemimpinan dan Organisasi Kemahasiswaan”, pada kegiatan Masa Bimbingan Mahasiswa Baru Fakultas Hukum Universitas Kristen Artha Wacana (FH-UKAW) Periode 2000/2001, yang dilaksanakan oleh Senat Mahasiswa FH-UKAW (Panitia MABIM FH-UKAW Periode 2000/2001), di Aula Kampus UKAW, Kota Kupang, pada tanggal 14 Oktober 2000.
8) Definisi yang saya utarakan ini bertolak dari realitas bahwa kepemimpinan dalam berbagai dimensi mempunyai keterkaitan erat dengan ilmu komunikasi dan ilmu physicologi yang dapat dikembangkan melalui pendekatan keilmuan, metode ilmiah dan gejala sosial.
9) Ketiga tipe yang lazim dimiliki/dipergunakan oleh seorang pemimpin ini, idealnya harus diterapkan sesuai dengan situasi yang dihadapi.
10) Paul SinlaEloE, ADVOKASI ANGGARAN: Alternatif Dalam Meminimalisir Terjadinya Korupsi, Artikel dalam Harian Kota KURSOR, tanggal 3 Desember 2004.


Menggugat Perda Retribusi Pelayanan Kesehatan di NTT


MENGGUGAT PERDA PROV. NTT NO. 4 TAHUN 2006, 
TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN1)
Oleh. Paul SinlaEloE2)



CATATAN  PENGANTAR
Dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa: “Indonesia adalah negara hukum”. Sebagai konsekwensi dari suatau negara hukum, maka segala aspek kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum.

Untuk mewujudkan negara hukum tersebut diperlukan tatanan yang tertib antara lain dibidang pembentukan peraturan perundang-undangan. Tertib Pembentukan peraturan perundang-undangan harus dirintis sejak perencanaan sampai dengan pengundangannya. 

Dalam hal pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yang baik (baik itu di tingkat pusat maupun di level daerah), para pengambil kebijakan (legislatif dan eksekutif) telah membentuk UU No. 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang disahkan pada tanggal 22 Juni 2004 dan telah diundangkan dalam LN-RI Tahun 2004 No. 53, Tambahan LN-RI No. 4389, yang mana materinya telah secara lengkap dan terpadu mengatur tentang proses penyiapan, pembahasan pengesahan dan pengundangan dari suatu peraturan perundang-undangan, termasuk didalamnya juga telah diatur mengenai sistem, jenis, materi dan asas berkaitan dengan pembuatan suatu peraturan perundang-undangan.

Walaupun Indonesia telah memiliki UU. No. 10 Tahun 2004, yang harus dijadikan acuan dasar pada saat membentuk suatu peraturan perundang-undangan, ironisnya para pengambil kebijakan (legislatif dan eksekutif) di NTT tidak menghiraukan amanat yang terkandung dalam UU. No. 10 Tahun 2004 ini, ketika mereka membentuk Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan, yang di tetapkan pada tanggal 6 Februari 2006 dan di undangkan dalam Lembaran Daerah Propinsi NTT Tahun 2006, NOMOR 004 SERI C NOMOR 001.

DASAR HUKUM PENOLAKAN PERDA PROV. NTT NO. 4 TAHUN 2006
Bahwa pasal 4 ayat (1) TAP MPR No. III/MPR/2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan: “Sesuai dengan tata urutan Perundang-undangan ini, maka setiap aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi”.

ALASAN-ALASAN PENOLAKAN PERDA PROV. NTT NO. 4 TAHUN 2006
Bahwa didalam pasal 2 TAP MPR No. III/MPR/2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan: Pertama, Tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan dibawahnya. Kedua, Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia secara berturut-turut mulai dari yang tertinggi adalah: Undang-Undang Dasar 1945 (UUD), Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. (TAP MPR), Undang-Undang. (UU), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (PERPU), Peraturan Pemerintah. (PP), Keputusan Presiden. (KEPRES), Peraturan Daerah. (PERDA).

Bahwa pada tanggal 6 Februari 2006, telah disahkan dan diundangkan dalam Lembaran Daerah Propinsi NTT Tahun 2006, NOMOR 004 SERI C NOMOR 001, Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan.

Bahwa Perda Prop. NTT No. 4 Tahun 2006, tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan, telah mengabaikan prinsip-prinsip hukum hingga melanggar, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni:  Pertama, Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. (Lihat Lampiran). Kedua, Bertentangan dengan TAP MPR No. III/MPR/2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Ketiga, Bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. (Lihat Lampiran).

CATATAN PENUTUP
a.  Bahwa, Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan, yang disahkan pada tanggal 16 Februari 2006 dan di undangkan dalam Lembaran Daerah Propinsi NTT Tahun 2006, NOMOR 004 SERI C NOMOR 001 bertentangan dengan Asas Kejelasan Rumusan. Asas ini mengharuskan setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan  perundang-undangan, sehingga sistematikanya maupun terminologi dan bahsa hukumnya jelas sehingga tidak menimbulkan interpretasi ganda.
b.   Bahwa, Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, tentang Retribusi Pelayanan, pada tanggal 16 Februari 2006 dan di undangkan dalam Lembaran Daerah Propinsi NTT Tahun 2006, NOMOR 004 SERI C NOMOR 001 bertentangan dengan Asas Lex Superior Derogate Lex Inferiori (Asas tata susunan peraturan perundang-undangan) adalah asas yang mewajibkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
c.  Bahwa Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan, yang disahkan pada tanggal 16 Februari 2006 dan di undangkan dalam Lembaran Daerah Propinsi NTT Tahun 2006, NOMOR 004 SERI C NOMOR 001 bertentangan dengan TAP MPR No. III/MPR/2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
d.  Bahwa Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan, yang disahkan pada tanggal 16 Februari 2006 dan di undangkan dalam Lembaran Daerah Propinsi NTT Tahun 2006, NOMOR 004 SERI C NOMOR 001 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
e.  Bahwa Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan, yang disahkan pada tanggal 16 Februari 2006 dan di undangkan dalam Lembaran Daerah Propinsi NTT Tahun 2006, NOMOR 004 SERI C NOMOR 001 bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang disahkan pada tanggal 22 Juni 2004 dan telah diundangkan dalam LN-RI Tahun 2004 No. 53, Tambahan LN-RI No. 4389.
f.        Bahwa, berdasarkan argumen sebagaimana yang terdapat dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, maka secara yuridis Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan, yang disahkan pada tanggal 16 Februari 2006 dan di undangkan dalam Lembaran Daerah Propinsi NTT Tahun 2006, NOMOR 004 SERI C NOMOR 001 harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.



Kupang, 15 Februari 2007
Ahli hukum yang paling mahir adalah bukan sarjana hukum yang pintar dalam teknik-teknik 
hukum saja, tapi harus juga memahami kepentingan massa-rakyat
---------------------------------------------------------------------------------------------


DAFTAR BACAAN:
  1. H. Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Jakarta,  1998. 
  2.  Hadi Setia Tunggal, Pedoman Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan, Penerbit Harvarindo, Jakarta, 2000.
  3. Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998.
  4. Undang-Undang Dasar 1945.
  5. TAP MPR No. III/MPR/2000, tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
  6. UU No. 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
  7.  Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan.


LAMPIRAN:
1.       KONTRADIKSI PERDA PROV. NTT NO. 4 TAHUN 2006 
DENGAN UUD 1945.
  • Dalam pasal 8 ayat (1) Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, disebutkan bahwa: “Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif pelayanan, dimaksudkan untuk menutup biaya penyelenggaraan pelayanan dan tidak bertujuan mencari laba serta ditetapkan berdasarkan asas gotong-royong, adil dengan mengutamakan kepentingan masyarakat berpenghasilan rendah”.  Sedangkan dalam Pasal 28 H UUD 1945, diamantkan bahwa: “Setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan”. (Catatan Kontradiksi: Pertama, bahwa pasal 28 H UUD 1945 menganut asas equality before the law/persamaan di hadapan hukum tanpa membedakan penduduk berdasarkan strata penghasilan, namun para petinggi di NTT menafsirkan secara salah amanat 28 H UUD 1945 sehingga pasal 8 ayat (1) Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006 hanya mengutamakan pelayanan kesehatan hanya bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kedua, Bahwa jika dikategarikan berdasarkan penghasilan, maka di NTT terdapat masyarakat yang tidak berpenghasilan, masyarakat yang berpenghasilan rendah, masyarakat yang berpenghasilan sedang dan masyarakat yang erpenghasilan tinggi. Ketiga, bahwa bertolak dari argument yang demikian, maka dapat ditarik satu titik simpul bahwa pasal 8 ayat (1) Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006  bertentangan dengan Pasal 28 H UUD 1945).
  •  Dalam pasal 8 ayat (2) Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, disebutkan bahwa: “Biaya penyelenggaraan pelayanan di RSUD dipikul bersama antara pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara dan keadaan sosial ekonomi masyarakat”. (Catatan Kontradiksi: Pertama, Bahwa Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, mewajibkan untuk: “Negara bertanggungjawab atas pelayanan kesehatan”. Kedua, Bahwa Konsep tanggungjawab negara sebagimana yang terdapat dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 UUD 1945, dipahami secara salah oleh para petinggi di NTT sehingga di reduksi menjadi konsep partisipasi masyarakat sebagaimana yang tertera dalam pasal 8 ayat (2) Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006.Ketiga, bahwa bertolak dari argument yang demikian, maka dapat ditarik satu titik simpul bahwa pasal 8 ayat (2) Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006  bertentangan dengan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945).

2.       KONTRADIKSI PERDA PROV. NTT NO. 4 TAHUN 2006
DENGAN UU NO. 10 TAHUN 2004
  • Dalam Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, Ketentuan pidana diatur dalam Bab XV sedangkan Ketentuan Penyidikan diatur dalam Bab XVI. Itu berarti dalam sistematika penulisan Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, ketentuan pidana ditempatkan sebelum ketentuan penyidikan. (Catatan Kontradiksi: Pertama, Bahwa Dalam UU No. 10 Tahun 2004, khususnya lampiran Bab II HAL-HAL KHUSUS,  poin B PENYIDIKAN, angka 182, disebutkan bahwa:”Ketentuan penyidikan ditempatkan sebelum ketentuan pidana atau jika dalam Undang-undang atau Peraturan Daerah tidak diadakan pengelompokan, ditempatkan pada pasal (-pasal) sebelum ketentuan pidana”. Kedua, bahwa dengan sistematika ketentuan pidana ditempatkan sebelum ketentuan penyidikan sebagaimana yang tertera dalam Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, maka Secara yuridis, status Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006 adalah cacat hukum karena bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2004, khususnya lampiran Bab II HAL-HAL KHUSUS, poin B PENYIDIKAN, angka 182, yang mengharuskan bahwa dalam sistematika penulisan suatu peraturan perundang-undangan, ketentuan penyidikan harus ditempatkan sebelum ketentuan pidana, ...)
  • Dalam Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, istilah wajib retribusi dipergunakan sebanyak 7 (tujuh) kali, yakni terdapat dalam Bab IX TATA CARA PEMBAYARAN pasal 15 ayat (1), pasal 15 ayat (3), Bab X TATA CARA PENAGIHAN pasal 17 ayat (2), Bab XII SANKSI ADMINISTRASI pasal 20, Bab XII KADALUWARSA pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), dan Bab XV KETENTUAN PIDANA pasal 23 ayat (1). (Catatan Kontradiksi: Pertama, Bahwa Dalam UU No. 10 Tahun 2004, khususnya lampiran Bab I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, poin C.1 KETENTUAN UMUM angka 74 huruf b disebutkan bahwa: ”Ketentuan umum berisi batasan pengertian atau definisi dan singkatan atau akronim yang digunakan dalam suatu peraturan”. Kedua, Bahwa Dalam UU No. 10 Tahun 2004, khususnya lampiran Bab I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN,  poin C.1 KETENTUAN UMUM  angka 78 disebutkan bahwa: ”Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang kali di dalam pasal (-pasal) selanjutnya”. Ketiga, Bahwa Dalam UU No. 10 Tahun 2004, khususnya lampiran Bab III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN,  poin  A  BAHASA BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN  angka 214  disebutkan bahwa:”Jika kata atau frase tertentu digunakan berulang-ulang, maka untuk menyederhanakan rumuan dalam peraturan perundang-undangan, kata atau frase sebaiknya didefinisikan dalam pasal yang memuat arti kata, istilah, pengertian atau digunakan singkatan atau akronoim”. Keempat, Bahwa Dengan mempergunakan istilah wajib retribusi sebanyak 7 (tujuh) kali dan istilah wajib retribusi ini tidak didefinisikan serta tidak ditempatkan dalam bab KETENTUAN UMUM, maka secara yuridis Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, adalah cacat hukum karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yakni UU No. 10 Tahun 2004, khususnya: Pertama, Lampiran Bab I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, poin C.1 KETENTUAN UMUM  angka 74 huruf b. Kedua,  lampiran Bab I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN,  poin C.1 KETENTUAN UMUM angka 78. Ketiga, Lampiran Bab III RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, poin A BAHASA BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN angka 214).
  • Dalam Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, terdapat 8 (delapan) pasal yang mengatur tentang pendelegasian wewenang, yakni: pasal 2 ayat (3), pasal 9 ayat (3), pasal 15 ayat (2), pasal 16 ayat (3), pasal 18, pasal 19 ayat (2), pasal 21 ayat (3), dan pasal 25. (Catatan Kontradiksi: Pertama, bahwa Dalam UU No. 10 Tahun 2004, khususnya lampiran Bab II HAL-HAL KHUSUS, poin A PENDELEGASIAN WEWENANG, angka 165 disebutkan bahwa: “Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah”. Kedua, Bahwa Dalam UU No. 10 Tahun 2004, khususnya lampiran Bab II HAL-HAL KHUSUS, poin A PENDELEGASIAN WEWENANG,  angka 166 dijelaskan bahwa pendelegasian kewenangan mengatur, harus menyebut dengan tegas ruang lingkup materi yang diatur dan jenis peraturan perundang-undangan. Ketiga, Bahwa Kecuali pasal 2 ayat (3), seluruh pasal dari Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, yang mengatur tentang pendelegasian wewenang, adalah cacat hukum karena bertentangan dengan UU No. 10 Tahun 2004, khususnya lampiran Bab II HAL-HAL KHUSUS, poin A PENDELEGASIAN WEWENANG angka 166 yang mengharuskan bahwa pendelegasian kewenangan mengatur, harus menyebut dengan tegas ruang lingkup materi yang diatur dan jenis peraturan perundang-undangan).
  • Dalam Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, Bab XVIII KETENTUAN PENUTUP, pasal 26, disebutkan bahwa: ”Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peeraturan daerah Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur Nomor 10 Tahun 1998 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 7 Tahun 2000 tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Nusa Tenggara Timur Nomor 10 Tahun 1998 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan dinyatakan tidak berlaku lagi”. (Catatan Kontradiksi: Pertama, Bahwa Dalam UU No. 10 Tahun 2004, khususnya lampiran Bab I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, Poin C.5 KETENTUAN PENUTUP, angka 118, disebutkan bahwa: “Rumusan pencabutan diawali dengan frase Pada saat Undang-Undang (NB. Disesuaikan dengan jenis eraturan perundang-undangan) ini mulai berlaku, kecuali untuk pencabutan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan pencabutan tersendiri”. Kedua, Bahwa Dalam UU No. 10 Tahun 2004, khususnya lampiran Bab I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, Poin C.5 KETENTUAN PENUTUP, angka 120, disebutkan bahwa:”Untuk mencabut Peraturan Perundang-Undangan yang telah diundangkan dan telah mulai berlaku, gunakan frase dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”. Ketiga, Bahwa dalam UU No. 10 Tahun 2004, khususnya lampiran Bab II HAL-HAL KHUSUS, Poin C PENCABUTAN, angka 187, disebutkan bahwa:”Jika Peraturan Perundang-undangan baru mengatur kembali suatu materi yang sudah diatur dan sudah diberlakukan, pencabutan Peraturan Perundang-undangan itu dinyatakan dalam salah satu pasal dalam ketentuan penutup dari Peraturan Perundang-undangan yang baru dengan menggunakan rumusan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”. Keempat, Bahwa Secara yuridis pasal 26 Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, ini adalah cacat hukum karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yakni UU No. 10 Tahun 2004, Khususnya: Pertama, Lampiran Bab I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, Poin C.5 KETENTUAN PENUTUP, angka 118. Kedua, Lampiran Bab I KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN,  Poin C.5 KETENTUAN PENUTUP, angka 120 Jo. lampiran Bab II HAL-HAL KHUSUS, Poin C PENCABUTAN, angka 187).

3.       CACAT BAWAAN DARI PERDA PROV. NTT NO. 4 TAHUN 2006
  • Pelayanan kesehatan meliputi pelayanan kesehatan yang bersifat kuratif (Pengobatan) dan pelayanan kesehatan yang bersifat prefentif (pencegahan). Ironisnya, Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan, hanya mengatur tentang pelayanan yang bersifat Kuratif (Pengobatan).
  • Secara yuridis, Sebelum Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan, dibentuk para petinggi di NTT membentuk terlebih dahulu Perda Prov. NTT, tentang Pelayanan Kesehatan. Ironisnya, sampai dengan saat ini Perda Prop. NTT, tentang Pelayanan Kesehatan belum ada atau belum di bentuk oleh para petinggi di NTT.
  •  Dalam Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan, tidak diatur tentang komplain dari subyek retribusi berkaitan dengan pelayanan kesehatan di RSUD W. Z. Johannes Kupang. Secara yuridis, produk hukum yang demikian sangat bertentangan dengan asas keadilan. Dalam  ilmu hukum, KEADILAN harus dipahami sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  • Dengan diberlakukannya Perda Prov. NTT No. 4 Tahun 2006, tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan, maka para pengambil kebijakan di NTT telah menaikan tarif retribusi pelayanan kesehatan di RSUD W. Z. Johannes Kupang sebesar 666,67%. Pertanyaannya apakah benar dibutuhkan peningkatan PAD dari sumber RSUD untuk menutupi biaya penyelenggaran RSUD, sehingga tarif harus dinaikkan..? fakta membuktikan bahwa dalam APBD Prop. NTT TA 2006 disebutkan dengan jelas bahwa: PAD dari RSUD sebesar Rp.15.472.500.000,- sedangkan BIAYA PENYELENGGARAAN RSUD sejumlah Rp.59.238.645.425,- Ini berarti terjadi DEFISIT sebanyak Rp.43.766.145.425,-. Namun perlu diingat bahwa DANA ALOKASI UMUM UNTUK RSUD telah dialokasikan sebesar Rp.48.892.795.050,-. Jadi sebenarnya, defisit PAD sudah ditutupi oleh DAU dari Pemerintah Pusat. Bahkan alokasi DAU melebihi defisit PAD sebesar  Rp. 5.126.649.625,- (NB: hitungan ini belum termasuk dana dekon sejumlah Rp.11M lebih dan dana bantuan pemerintah Jepang sebesar Rp.10M).


1) Materi ini dipresentasikan dalam diskusi publik, “PRO KONTRA PEMBERLAKUAN PERDA PROV. NTT  NO. 4 TAHUN 2006, TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN”, yang diselenggarakan oleh Forum Peduli NTT Sehat, di Aula Kampus Univ. Kristen Artha Wacana, Kota Kupang, pada Tanggal 16 Februari 2007.
2) Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT.



TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...