Kamis, 04 Juli 2013

Korupsi Pelayanan Publik

KORUPSI PELAYANAN PUBLIK
Oleh. Paul SinlaEloE



Penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara merupakan tanggung jawab negara. Itulah maksud yang tersirat dalam pembukaan UUD 1945. Ironisnya, dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik yang prima belum dapat berjalan sebagaimana mestinya dan masih dihadapkan sejumlah persoalan korupsi.

Pada konteks Nusa Tenggara Timur (NTT), buruknya pelayanan publik dapat dibuktikan dengan melihat masih banyak anak dari keluarga kurang mampu yang tidak bisa sekolah. Banyaknya orangtua/wali murid yang mengeluhkan mahalnya biaya pendidikan serta berbagai macam pungutan dari pihak sekolah merupakan potret buram pelayanan publik. Di sektor kesehatan, kasus bayi gizi buruk dan kematian ibu melahirkan masih terus terjadi. Mahalnya biaya kesehatan dan seringnya penolakan terhadap pasien miskin di RSUD WZ Johannes, juga masih menjadi keluhan warga. Minimnya alokasi anggaran untuk sektor kesehatan adalah indikator masih kurangnya perhatian pemerintah terhadap derajat kesehatan warga. Pelayanan publik yang memprihatinkan terjadi juga di bidang administrasi dasar. Lamanya mengurus perizinan (walaupun sudah disatupintukan) dan berbagi kasus pelayanan publik lainnya yang setiap hari selalu menjadi topik utama pemberitaan media merupakan realita yang tidak dapat dipungkiri.


Buruknya pelayanan publik di NTT diperparah lagi dengan maraknya korupsi yang terjadi di sektor pelayanan publik. Data PIAR NTT menunjukkan bahwa pada 2012 terdapat 135 kasus korupsi di NTT dan 98 kasus (73 persen) di antaranya terjadi pada sektor pelayanan publik yang bersentuhan langsung dengan warga. Sedangkan 37 kasus (27 persen) lainnya merupakan kasus yang tidak bersentuhan secara langsung. Perincian jumlah kasus per-sektor dengan total indikasi kerugian negara sebesar Rp 449.851.831.680 sebagai berikut: sosial kemasyarakatan 15 kasus, perhubungan dan transportasi 13 kasus, pendidikan 17 kasus, kesehatan 14 kasus, informatika/telekomunikasi dua kasus, pemerintahan 15 kasus, keuangan daerah 16 kasus, spiritual keagamaan satu kasus, dana bantuan 10 kasus, perikanan dan kelautan sembilan kasus, pertanian/perkebunan/peternakan lima kasus, perumahan rakyat dua kasus, perbankan dua kasus, pemilu/pilkada dua kasus, air bersih dua kasus, pajak/retribusi satu kasus, kebudayaan dan pariwisata tiga kasus, pertambangan/energi/kelistrikan tiga kasus, dana desa tiga kasus.

Maraknya korupsi di NTT yang terjadi pada sektor pelayanan publik dan buruknya pelayanan publik, membenarkan bahwa antara kualitas pelayanan publik dengan praktik korupsi memiliki hubungan kausalitas. Artinya, semakin marak praktik korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik, maka akan semakin buruk kualitas pelayanan publik. Demikian juga sebaliknya, semakin buruk kualitas pelayanan publik, akan semakin besar kemungkinan terjadinya korupsi.

Untuk mengatasi persoalan buruknya pelayanan publik dan maraknya korupsi yang terjadi di sektor pelayanan publik, maka sudah seharusnya konsep penyelenggaraan pelayanan publik yang prima merupakan sesuatu yang urgen untuk diterapkan. Penyelenggaraan pelayanan publik yang prima bisa dipahami sebagai rangkaian kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau serta mengandung unsur kejelasan hak dan kewajiban, sesuai kebutuhan, agar dapat memberikan keamanan, kenyamanan, kelancaran, kepastian dan kerja sama di antara stakeholders pembangunan.

Secara konseptual, Tjiptono (1996:58) berpendapat bahwa pelayanan publik yang prima (service excellence) harus mengandung empat unsur, yaitu kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan. Keempat komponen ini merupakan satu kesatuan yang terintegrasi, artinya pelayanan menjadi tidak “excellence” bila ada komponen yang kurang. Kualitas jasa atau layanan yang baik akan dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat, yang pada akhirnya akan menciptakan loyalitas masyarakat kepada organisasi (institusi). Selain keempat unsur tadi, masih ada unsur lain yang tidak boleh diabaikan oleh Indonesa yang menganut konsep negara kesejahteraan (welfare state), yakni pelayanan publik yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik (negara) haruslah murah (cheaper).

Konsep penyelenggaraan pelayanan publik yang prima ini hanya bisa berjalan optimal, jika para pengambil kebijakan secara serius melakukan reformasi pada sektor pelayanan publik. Reformasi pelayanan publik harus difokuskan pada aspek: Pertama, kebijakan pelayanan publik. Walaupun selama ini reformasi kebijakan pelayanan publik sudah berjalan, namun implementasi dari berbagai kebijakan tersebut belum secara signifikan meningkatkan kualitas pelayanan publik sesuai  harapan masyarakat. Untuk itu, reformasi kebijakan pelayanan publik haruslah ditujukan untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfill) hak-hak dasar masyarakat. Penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar inilah yang harus dijadikan acuan oleh para pengambil kebijakan dalam penyusunan konsep maupun implementasi kebijakan pelayanan publik.

Kedua, kelembagaan pelayanan publik. Dalam melakukan reformasi kelembagaan berkaitan dengan pelayanan publik harus difokuskan untuk mengatasi masalah tumpang tindihnya penugasan, baik antarorganisasi maupun antarsatuan tugas organisasi. Selain itu, reformasi kelembagaan pelayanan publik juga harus mampu mengatasi ketimpangan antara volume kerja dengan besaran struktur organisasi, termasuk pemerataan sumber daya (aparat, anggaran dan sarana), dan yang terakhir yang harus diatasi adalah permasalahan koordinasi pelaksanaan tugas yang kurang optimal karena belum adanya mekanisme kerja yang baku (Marsono 2009:12-13). Paradigma reformasi kelembagaan pelayanan publik yang seperti ini bertolak dari kenyataan bahwa sampai sejauh ini belum ada kesepakatan tentang pelembagaan fungsi pemerintah serta kriterianya (Alisjahbana, 2006).

Ketiga, birokrasi pelayanan publik. Upaya nyata dalam reformasi birokrasi pelayanan publik adalah melakukan perbaikan terhadap sumber daya manusia (SDM) dari pelayanan publik itu sendiri. Perbaikan SDM sebagai pelayan publik dapat dititikberatkan pada perubahan mindset, perubahan sikap mental dan perubahan etika pada SDM pelayanan publik. Menurut Wahyudi Kumorotomo (2006:16), dalam melakukan reformasi birokrasi pelayanan publik, strategi yang dipergunakan harus difokuskan untuk mengikis budaya paternalistik dalam birokrasi pemerintahan, menegakkan kriteria efektivitas dan efisiensi, merampingkan struktur dan memperkaya fungsi, menerapkan sistem penggajian berdasar kinerja (merit system) serta sistem pelayanan harus berorientasi kepada pengguna layanan.

Keempat, proses pelayanan publik. Reformasi proses pelayanan publik idealnya diarahkan untuk meningkatkan pelayanan publik yang cepat, tepat, murah, transparan, akuntabel dan tidak diskriminatif sebagaimana asas pelayanan publik yang telah ditentukan dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Langkah konkret yang dapat dilakukan dalam rangka reformasi terhadap proses pelayanan publik antara lain melakukan perbaikan terhadap standar pelayanan minimal (SPM), standar pelayanan (SP), standar operating procedure (SOP), menyempurnakan instrumen Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) dan mengoperasionalkan maklumat pelayanan.

Pada akhirnya, apapun solusi yang ditawarkan untuk mengatasi persoalan buruknya pelayanan publik dan maraknya korupsi di sektor pelayanan publik, harus diingat bahwa rakyat yang memiliki kedaulatan tertinggi harus dilibatkan serta mau terlibat dalam melakukan kontrol. Kontrol rakyat ini akan dapat dilakukan secara efektif, jika sudah terorganisir. Terorganisir tidak selalu merujuk pada pembentukan organisasi pemantau, namun lebih kepada bagaimana rakyat sadar akan haknya dan melakukan perlawanan ketika haknya diinjak-injak (Donny Ardyanto, 2000:143). Selama rakyat yang terdidik, terpimpin dan terorganisir belum terbentuk, teori atau konsep apa pun yang hendak diterapkan di Indonesia, tetap tidak akan memperbaiki apa pun. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Victory News, tanggal 04 Juli 2013).


-------------------------------
Penulis: Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT
TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...