Sabtu, 04 Desember 2010

Musrenbang Desa

MUSRENBANG DESA & PELAKSANAANNYA*)
Oleh. Paul SinlaEloE**)


A. CATATAN PENGANTAR
Desa adalah “Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Itulah pengertian desa sebagaimana yang tertera dalam pasal 1 ayat (5) PP No. 72 Tahun 2005, tentang Desa. Dari Pemaknaan desa yang seperti ini, maka seharusnya desa memiliki kewenangan dan hak untuk mengurus wilayahnya sesuai dengan aspirasi masyarakat yang hidup di wilayah desa bersangkutan.

Ironinya, fakta membuktikan bahwa sampai dengan saat ini kewenangan dan hak yang dimiliki desa untuk mengurus wilayahnya sesuai dengan aspirasi masyarakat yang hidup di wilayah desa bersangkutan sangat bersefat semu dan terdapat sejumlah permasaalah dalampelaksanaannya. Buktinya, aspirasi dan kebutuhan masyarakat desa yang sudah dirumuskan melalui musrenbang desa, tidak banyak yang diakomodir oleh para pengambil kebijakan pada level yang lebih tinggi dengan alasan keterbatasan anggaran dan atau usulan dari masyarakat desa tersebut bukan prioritas pembangunan pada level kabupaten.

Pada sisi yang lain, penyelenggaraan musrenbang desa seringkali belum mencerminkan semangat musyawarah yang bersifat partisipatif dan dialogis. Bahkan musrenbang desa sering kali menjadi forum yang tidak bersahabat bagi warga masyarakat, terutama kelompok miskin dan perempuan dalam menyuarakan aspirasi dan kebutuhannya. Beberapa penyebab dan kendala yang dapat diidentifikasi antara lain: tidak cakapnya fasilitator untuk memandu forum-forum perencanaan partisipatif dan inklusif, metodologi yang tidak sesuai, kurang kesediaan media bantu, dan kurangnya kapasitas lembaga penyelenggara.

Berpijak pada realita yang demikan dan sesuai dengan Sesuai dengan Term of Reference (TOR) yang diberikan oleh penyelenggara kegiatan ini kepada saya, maka pada kesempatan ini saya akan menyampaikan pemikiran mengenai Musrenbang Desa dan Pelaksanaannya dengan titik fokus pada pelaksana musrenbang desa. Agar diskusi ini lebih terfokus, maka dalam makalah ini diuraikan dengan sistematika sebagai berikut: Pertama, Catatan Pengantar. Kedua, Memahami Musrenbang Desa. Ketiga, Pelaksana Musrenbang Desa. Keempat, Catatan Penutup.

B. MEMAHAMI MUSRENBANG DESA
Pembangunan yang baik akan terselenggara apabila diawali dengan perencanaan yang baik pula, sehingga mampu dilaksanakan oleh seluruh pelaku pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk itu, maka proses perencanaan memerlukan keterlibatan masyarakat, diantaranya dengan melakukan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Penyelenggaraan musrenbang meliputi tahap persiapan, diskusi dan perumusan prioritas program/kegiatan, formulasi kesepakatan musyawarah dan kegiatan pasca musrenbang. (Lihat Gambar).
Musyawarah Perencanaan Pembangunan atau Musrenbang sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 25 Tahun 2004 adalah forum antar pelaku dalam menyusun dan merumuskan rencana pembangunan nasional dan daerah (termasuk desa). Perencanaan pembangunan menggunakan 4 (empat) pendekatan yaitu: Politik, Teknokratik, Partisipatif, Top-Down dan Bottom-Up. (Nb: Musrenbang merupakan arena penggabungan keempat pendekatan tersebut, dengan harapan, musrenbang bisa menghasilkan perencanaan pembangunan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat).

Dalam Pasal 1 ayat (11) Permendagri No. 66 Tahun 2007, Tentang Perencanaan Pembangunan Desa disebutkan bahwa: “Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa yang selanjutnya (MUSRENBANG DESA) adalah forum musyawarah tahunan yang dilaksanakan secara partisipatif para pemangku kepentingan desa (pihak berkepentingan untuk permasalahan desa dan pihak yang akan terkena dampak hasil musyawarah) menyepakati rencana kegiatan di desa 5 (lima) dan 1 (satu) tahunan”.

Musrenbang Desa pada dasarnya dilaksanakan dengan tujuan untuk: Pertama, Menyepakati prioritas kebutuhan dan kegiatan desa yang akan menjadi bahan penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Desa. Kedua, Menyepakati Tim Delegasi Desa yang akan memaparkan persoalan daerah yang ada di desanya pada forum musrenbang kecamatan untuk penyusunan program pemerintah daerah/SKPD tahun berikutnya.

Dalam pelaksanaan Musrenbang pada umumnya dan khususnya di Desa, ada sejumlah prinsib yang harus dipegang teguh oleh semua pihak yang terlibat. Prinsip-prinsip ini tidak boleh dilanggar agar Musrenbang Desa benar-benar menjadi forum musyawarah pengambilan keputusan bersama dalam rangka menyusun program kegiatan pembangunan desa. Prinsip-prinsip tersebut adalah: Prinsip Pertama, Kesetaraan. Peserta musyawarah adalah warga desa dengan hak yang setara untuk menyampaikan pendapat, berbicara, dan dihargai meskipun terjdi perbedaan pendapat. Sebaliknya, juga memiliki kewajiban yang setara untuk mendengarkan pandangan orang lain, menghargai perbedaan pendapat, dan juga menjunjung tinggi hasil keputusan bersama. Prinsip Kedua, Musyawarah Dialogis. Peserta Musrenbang Desa memiliki keberagaman tingkat pendidikan, latar belakang, kelompok usia, jenis kelamin, status sosial-ekonomi, dan sebagainya. Perbedaan dan berbagai sudut pandang tersebut diharapkan menghasilkan keputusan terbaik bagi kepentingan masyarakat banyak dan desa di atas kepentingan individu atau golongan.

Prinsip Ketiga, Anti Dominasi. Dalam musyawarah, tidak boleh ada individu/kelompok yang mendominasi sehingga keputusan-keputusan yang dibuat tidak lagi melalui proses musyawarah semua komponen masyarakat secara seimbang. Prinsip Keempat, Keberpihakan. Dalam proses musyawarah, dilakukan upaya untuk mendorong individu dan kelompok yang paling ’diam’ untuk menyampaikan aspirasi dan pendapatnya, terutama kelompok miskin, perempuan dan generasi muda.

Prinsip Kelima, Anti Diskriminasi. Semua warga desa memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam menjadi peserta musrenbang. Kelompok marjinal dan perempuan, juga punya hak untuk menyatakan pendapat dan pikirannya dan tidak boleh dibedakan. Prinsip Keenam, Pembangunan Desa Secara Holistik. Musrenbang Desa dimaksudkan untuk menyusun rencana pembangunan desa, bukan rencana kegiatan kelompok atau sektor tertentu saja. Musrenbang Desa dilakukan sebagai upaya mendorong kemajuan dan meningkatkan kesejahteraan desa secara utuh dan menyeluruh sehingga tidak boleh muncul egosektor dan egowilayah dalam menentukan prioritas kegiatan pembangunan desa.

C. PELAKSANA MUSRENBANG DESA
Pelaksanaan musrenbang merupakan salah satu tugas pemerintah desa untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Dalam melaksanakan tugasnya ini, idealnya Pemerintah Desa harus membentuk suatu tim yang akan bekerja menyusun dan melaksanakan perencanaan pembangunan desa.

Dalam menyusun dan melaksanakan perencanaan pembangunan desa, PP No. 72 Tahun 2005, tentang Desa, membolehkan Pemerintah Desa untuk membentuk Lembaga Kemasyarakatan (LKM) atau Lembaga Pengembangan Masyarakat (LPM) yang salah satu tugas/fungsinya adalah membantu sebagai penyusun rencana, pelaksana dan pengelola pembangunan serta pemanfaat, pelestarian dan pengembangan hasil-hasil pembangunan secara partisipatif. (Lihat Penelasan, I Umum, PP No. 72 Tahun 2005, tentang Desa). Karena itu, biasanya beberapa Kepala Desa sering menunjuk Ketua LKM/LPM untuk menjadi Ketua Tim Pelaksana Musrenbang Desa. Walaupun demikian, Kepala desa tetap berperan menjadi penanggung jawab dari keseluruhan pelaksanaan musrenbang di desanya (Pasal 14 ayat (1) PP No. 72 Tahun 2005).

Peran/tugas Tim Pelaksana Musrenbang Desa, dapat dikelompokan dalam 2 (dua), yaitu Menyusun/Mendesain Proses dan Merumuskan Hasil. Peran/tugas dari Tim Pelaksana Musrenbang Desa dalam Menyusun/mendesain proses adalah: Pertama, Membuat uraian tugas dan peran dari tim pelaksana dan menyusun jadwal keseluruhan proses persiapan, pelaksanaan, dan paska musrenbang. Kedua, Membentuk tim pemandu (Siapa, Peran dan Tugas). Ketiga, Menyepakati tatacara menentukan dan mengundang peserta. Keempat, Mengelola anggaran penyelenggaraan musrenbang secara terbuka, efektif, dan efisien. Kelima, Mengorganisir seluruh proses Musrenbang Desa, mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan, dan paska-pelaksanaan sampai selesai tersusunnya RKP-Desa untuk Musrenbang Desa dan APB-Desa. Keenam, Menyusun daftar cek-list dan mengkoordinir persiapan peralatan, bahan (Materi), tempat, alat dan bahan yang diperlukan. Ketujuh, Menyusun jadwal dan agenda pelaksanaan Musrenbang Desa. Kedelapan, Memastikan bahwa narasumber memberikan masukan yang dibutuhkan (relevan) untuk melakukan musyawarah perencanaan desa. Mengorganisir seluruh proses Musrenbang Desa, mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan, dan paska-pelaksanaan sampai selesai tersusunnya RKP-Desa untuk Musrenbang Desa dan APB-Desa.

Sedangkan Peran/tugas dari Tim Pelaksana Musrenbang Desa dalam bidang perumusan diantaranya: Pertama, Merekap data/informasi hasil kajian desa (per-dusun/RW atau per-sektor). Kedua, Membuat Rancangan Awal Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKP-Desa). Ketiga, Merumuskan Dokumen RPJM-Desa. Keempat, merekap Hasil evaluasi RKP-Desa tahun sebelumnya. Kelima, Membuat Rancangan awal RKP-Desa tahun yang sedang berjalan. Keenam, Merumuskan draft Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Ketujuh, Merumuskan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).

Bertolak dari pentingnya peran/tugas tim pelaksana Musrenbang Desa dalam proses musrenbang, maka idealnya: Pertama, Rekruitmen anggota tim pelaksana musrenbang harus dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip Tata Kelola Pemerintahan yang Demokratis. Kedua, Ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan, yakni: (a). Berkaitan dengan Nalar. Berwawasan luas, memahami situasi dan budaya setempat, sensitive gender, memahami kondisi forum, sadar resiko, kemampuan analisis, menguasai metodologi. (b). Berkaitan dengan Sikap/Sifat. Rendah hati, tidak bersifat apriori, tidak menggurui, netral dalam memediasi, tidak membuat jarak, tenang (Berpikir jernih dan tidak emosional).

D. CATATAN PENUTUP
Demikianlah sumbangan pemikiran saya, mengenai Musrenbang Desa dan Pelaksanaannya, kiranya bermanfaat dan mampu mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas.

-----------------------------------------------------------------------
Catatan Kaki:


*) Makalah ini di Presentasikan dalam Semiloka: ”PERENCANAAN dan PENGANGGARAN PARTISIPATIF – Gender Sosial Inklusif (GSI), yang dilaksanakan atas kerjasama PIAR NTT dan ACCESS dengan didukung oleh AUSAID-ANTARA, di Aula Gereja Talitakumi, Desa Sillu, Kec.Fatuleu, Kab. Kupang, anggal 2 - 3 Desember 2010.
**) Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT.



DAFTAR BACAAN
  1. Paul SinlaEloE, Korupsi dalam Pengelolaan Anggaran Publik, Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas: “ANGGARAN PUBLIK SUMBER KORUPSI...?”, yang dilaksanakan oleh Yayasan PANTAU bekerjasama dengan Harian Flores Pos & Perhimpunan Wartawan Flores, di Aula Bung Karno Penerbit Nusa Indah – Ende/Flores, pada tanggal 17 Mei 2008.
  2. Paul SinlaEloE, Korupsi dalam Pengelolaan APBD, Artikel, Harian Umum TIMOR EXPRESS, pada tanggal 10 Juli 2009.
  3. Rianingsih Djohani, Panduan Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa, Penerbit Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM), Bandung, 2008.
  4. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005, tentang Desa.
  5. Permendagri No. 66 Tahun 2007, Tentang Perencanaan Pembangunan Desa.
  6. UU No. 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara.
  7. UU No. 25 Tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
  8. UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah.
  9. UU No. 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Kamis, 28 Oktober 2010

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Daerah

LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI & KORBAN 
DI DAERAH: Perlukah…???(1)  
Oleh. Paul SinlaEloE(2)


 

CATATAN PENGANTAR
Sesuai dengan Term of Reference (TOR) yang diberikan oleh penyelenggara kegiatan, maka pada kesempatan ini saya diminta untuk menyampaiakan pemikiran mengenai: “Urgensi Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi & Korban Daerah dalam Prespektif Masyarakat”. Namun tanpa seijin penyelenggara, saya merubah judulnya menjadi seperti apa yang tertera dalam makalah ini.

Agar diskusi ini lebih terfokus, maka dalam makalah ini akan di uraikan dengan sistematika sebagai berikut:
Pertama, Catatan Pengantar. Kedua, Catatan Kritis Terhadap UU No. 13 Tahun 2006. Ketiga, Memahami Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Keempat, Urgensi Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Daerah. Kelima, Catatan Penutup. 

CATATAN KRITIS TERHADAP UU No. 13 TAHUN 2006
Masyarakat pendamba keadilan pada tanggal 11 Agustus 2006 menyambut gembira di undangkannya UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban
(3). Walaupun demikian patut diingat bahwa UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban dinilai belum maksimal dalam mengatur perlindungan terhadap Saksi dan Korban karena masih banyak bolong disana sini.

Catatan PIAR NTT
(4) menunjukan bahwa: Pertama, Tujuan dari UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hanya sebatas melindungi saksi dengan memberikan rasa aman saat saksi dan korban memberikan keterangan di peradilan pidana. Pada hal, masalah yang dihadapi adalah efektivitas dalam penegakan hukum, terutama dalam hal penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan penyelesaian kasus korupsi. Hambatan utama dalam penyelesaian kasus-kasus tersebut adalah minimnya partisipasi masyarakat untuk berperan sebagai pelapor dan saksi. Karena itu, seharusnya tujuan keberadaan UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bukan sebatas untuk melindungi saksi, melainkan lebih untuk meningkatkan efektivitas dalam penegakan hukum, terutama penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan kasus korupsi. 

Kedua, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak berperspektif pemberantasan korupsi. Melihat modus korupsi yang tersistematis dengan baik, disertai adanya keterlibatan para pejabat negara ataupun orang-orang yang cukup berpengaruh, ketakutan para saksi atau pelapor adanya indikasi korupsi perlu dihilangkan dengan kepastian hukum dan pemenuhan akan rasa keadilan yang hendak dicapainya. Dalam hal ini, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, jelas diperlukan untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi para saksi yang memiliki keberanian untuk mengungkapkan kasus korupsi. Konsekwensinya, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diharapkan mampu memotivasi orang yang mengetahui terjadinya tindak pidana korupsi untuk berani menguak kebenaran yang selama ini sengaja ditutupi oleh konspirasi dari para koruptor. Namun, dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, perspektif tersebut tidak ditemukan. Hal itu dapat terlihat dengan tidak dimasukkannya UU Antikorupsi dalam pertimbangannya, padahal saksi kasus korupsi termasuk yang harus dilindungi. Selain itu, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, ini belum memasukkan unsur pelapor dalam kasus korupsi. Pelapor didefinisikan seperti yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, padahal pelapor kasus korupsi belum tentu akan menjadi saksi. Pelapor kasus korupsi perlu diakomodir di dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, mengingat posisi pentingnya dalam mengungkap kasus korupsi yang tidak terungkap di permukaan dan minimnya alat bukti yang ditemukan(5).
 
Ketiga, Dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, terdapat kerancuan dalam menempatkan hak-hak saksi dan perlakuan terhadap saksi. Seharusnya hak-hak saksi dan perlindungan saksi dipisahkan demi kepastian hukumnya. Konsekuensi dari kerancuan tersebut, hak-hak saksi menjadi sangat umum dan tidak mempertimbangkan cakupan saksi yang harus mendapatkan perlindungan atau perlakuan khusus. Banyaknya jenis saksi seharusnya menuntut pemisahan hak-hak dan perlakuannya. Sedangkan menyangkut perlindungan saksi, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak dapat secara terperinci mendefinisikan jenis dan bentuk perlindungan, walaupun tata cara perlindungan sudah sedikit banyak disinggung. Di sisi lain, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, cenderung menyamakan hak-hak dan perlakuan saksi dan korban. Dalam kasus pelanggaran HAM, hal itu dimungkinkan mengingat posisi saksi yang hampir pasti sebagai korban. Tapi, dalam kasus korupsi, hampir bisa dipastikan tidak ada korban, atau korbannya adalah negara. Selain itu, perlakuan terhadap korban pascaputusan pengadilan, terutama korban pelanggaran HAM berat, belum diperhatikan.
 
Keempat, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, belum mengatur tentang peran serta masyarakat dan penghargaan terhadap orang yang memberikan kesaksian atau melaporkan tindak pidana. Untuk mengungkap kasus tindak pidana, terutama pelanggaran HAM dan korupsi, peran serta masyarakat sangat menentukan. Beberapa kasus pelanggaran HAM dapat terungkap karena adanya kesaksian dari korban, tapi masih lebih banyak yang tidak terungkap karena korban tidak mau bersaksi mengingat besarnya risiko yang harus dihadapi. Sedangkan dalam kasus korupsi, peran whistleblower sangat menentukan. Mengingat besarnya risiko yang harus dihadapi oleh masyarakat dalam berperan melaporkan atau menjadi saksi tindak pidana, sudah sewajarnya apabila mereka diberi penghargaan sesuai dengan perannya. Selain itu, memasukkan unsur penghargaan bagi peran serta masyarakat penting dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melaporkan tindak pidana.
 
MEMAHAMI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI & KORBAN
Dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang diundangkan pada tanggal 11 Agustus 2006 dalam LN-RI Tahun 2006 Nomor 64, tambahan LN-RI Nomor 4653, disebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang
(6).

Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK memiliki tugas dan kewenangan
(7) sebagai berikut: Pertama, Menerima permohonan Saksi dan/atau Korban untuk perlindungan. (Pasal 29). Kedua, Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau Korban. (Pasal 29). Ketiga, Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/atau Korban. (Pasal 1). Keempat, Mengehentikan program perlindungan Saksi dan/atau Korban. (Pasal 32). Kelima, Mengajukan ke Pengadilan (NB: Berdasarkan Keinginan Korban) berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat; dan hak atas restitusi atau ganti rugi yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. (Pasal 7). Keenam, Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang mewakili korban untuk bantuan (Pasal 33 dan Pasal 34). Ketujuh, Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan di berikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban. (Pasal 34). Kedelapan, Bekerjasama dengan instansi terkait yang berwenang dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan. (Pasal 36).

UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya pasal 13 ayat (1) juga mengamantkan bahwa LPSK dalam menjalankan tugas dan kewenangannya bertanggung jawab kepada presiden(8). Disamping itu, LPSK juga wajib memberikan laporan kepada DPR-RI(9).
 
URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA
PERLINDUNGAN SAKSI & KORBAN DI DAERAH

Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan di tingkat pengadilan, terutama yang berkenaan dengan saksi. Tidak sedikit kasus yang kandas di tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi
(10).

Bertolak dari realita yang demikian, maka terlepas dari tidak sempurnanya UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun
KEHADIRAN LPSK DI DAERAH SANGAT DIBUTUHKAN. Walaupun UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memprioritaskan kedudukan LPSK ini berada di ibukota Negara Republik Indonesia(11), namun disamping berkedudukan di ibukota Negara, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, juga memberi keleluasan bagi LPSK untuk membentuk perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan dari LPSK(12).

Pilihan UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, untuk memberikan akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan di daerah adalah pilihan yang tepat karena secara geografis wilayah Republik Indonesia yang akses informasi dan komunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar ibukota Negara dengan wilayah lainnya. Apalagi, kasus-kasus intimidasi terhadap saksi maupun korban yang terjadi selama ini justru paling banyak terjadi diluar wilayah Ibukota Negara Republik Indonesia
(13).

Perwakilan LPSK di daerah ini bisa ditafsirkan secara luas, yakni bisa berada di tingkat region tertentu (NB: Terdiri dari beberapa provinsi) ataupun di tiap Provinsi. Bahkan bisa juga didirikan di level Kabupaten. Atau dalam kondisi khusus (Penting dan Mendesak) LPSK bisa didirikan di wilayah terpilih. Disamping itu Perwakilan LPSK di daerah juga bisa didirikan secara permanen atau secara ad hoc, sangat tergantung dari dari situasi yang mendukungnya.

Satu hal yang tidak boleh diabaikan atau dilupakan adalah kebutuhan untuk mendirikan perwakilan LPSK di daerah, juga akan memberikan implikasi atas sumberdaya yang besar pula dari segi pembiayaan maupun penyiapan infrastruktur dan sumberdaya manusia. Hal ini menjadi penting karena jangan sampai pendirian perwakilan LPSK di daerah yang sangat dubutuhkan oleh masyarakat pendamba keadilan ini, justru akan menjadi sesuatu yang kontra produktif, jika ketiga aspek ini tidak dikaji dengan benar.
 
CATATAN PENUTUP
Demikianlah sumbangan pemikiran saya mengenai urgen tidaknya keberadaan lembaga perlindungan saksi dan korban di daerah, Kiranya bermanfaat dan ini dapat mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas.


----------------
CATATAN KAKI:

  1. Makalah ini dipresentasikan dalam Sosialisasi dan Diskusi Publik: “URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI & KORBAN DI DAERAH”, yang dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi & Korban bekerjasama dengan POLDA NTT, di Hotel Kristal, Kota Kupang, pada tanggal 22 Oktober 2010.
  2. Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT.
  3. Mungkin tidak semua masyarakat, tapi itulah paling tidak yang dirasakan oleh Koalisi Perlindungan saksi yang terdiri dari 38 Organisasi Masyarakat Sipil termasuk didalamnya PIAR NTT. Karena Undang-Undang ini dalam pembahasannya sempat mandeg di DPR-RI sekitar 5 (lima) tahun.
  4. Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR), adalah organisasi non pemerintah yang bersifat independent dan non profit di NTT yang pendiriannya telah dilegalformalkan dengan Akte Notaris Nomor 71 pada tanggal 15 November 2002, dan terdaftar pada Pengadilan Negeri Kupang, dengan nomor 1/AN/PIAR/Lgs/2002/PN.KPG, pada tanggal, 23 November 2002. PIAR NTT dalam kerja-kerjanya konsern pada isue Hak Asasi Manusia, Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi.
  5. Perlindungan bagi pelapor kasus korupsi harus diakomodir dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Jika tidak, maka akan banyak kasus korupsi yang tidak akan terungkap. Pada konteks NTT terdapat sejumlah pelapor kasus dugaan korupsi yang dijadikan tersangka oleh aparat penegak hukum padahal laporan kasus dugaan korupsi yang dilaporkannya belum diproses. Para pelapor kasus dugaan korupsi tersebut diantaranya: Sarah Lerry Mboeik (Direktur PIAR - NTT), Rm. Franz Amanue, pr (Keuskupan Larantuka), Pius Hamid (Direktur SANKARI - NTT) dan Mateus Hamsi (Ketua DPRD Manggarai Barat).
  6. Lihat Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
  7. Para perumus UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak menjabarkan Tugas dan Kewenangan dari LPSK dalam suatu bagian atau bab tersendiri melainkan menyebarkan di seluruh UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
  8. Implikasi dari pasal 13 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, adalah presiden sebagai pejabat Negara tertinggi yang bertanggungjawab atas kerja-kerja LPSK dan oleh karena itu pula maka Presiden harus memfasilitasi lembaga ini sesuai dengan mandat dan tugasnya. Artinya, lembaga ini jangan sampai “dikucilkan” dan tak terdukung oleh Presiden. Lihat, Supryadi Widodo Edyyono, Lembaga Perlindungan Saksi di Indonesia, Penerbit Indonesia Corruption Watch (ICW), Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 2007, Hal.6.
  9. Lihat pasal 13 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
  10. Pada Konteks NTT, Catatan akhir tahun 2009 yang dikeluarkan oleh PIAR NTT berkaitan dengan persoalan korupsi di NTT menunjukan bahwa Dari 125 (Seratus Duapuluh Lima) kasus korupsi yang dipantau oleh PIAR NTT, terdapat indikasi kerugian negara sebesar Rp. 256.337.335.434,00 (Dua Ratus Lima Puluh EnamMilyar Tiga Ratus Tiga Puluh Tujuh Juta Tiga Ratus Tiga Puluh Lima Ribu Empat Ratus TigaPuluh Empat Rupiah). Pelaku bermasalah dari ke-125 (Seratus Duapuluh Lima) kasus korupsi yang terjadi di NTT ini sebanyak 514 (Lima Ratus Lima empat belas) orang. Dari 514 (Lima Ratus Lima empat belas) Pelaku bermasala/aktor ini terdapat 76 (Tujuh Puluh Enam) orang yang melakuakan pengulangan tindak korupsi. Jika dilahat dari usia kasus, kasus korupsi di NTT yang dipantau oleh PIAR NTT dapat dipilah menjadi 2 (Dua) kategori, yakni: Kasus Lama dan Kasus Baru. Kasus Lama adalah Kasus korupsi usaianya lebih dari 3 (Tiga) tahun atau kasus yang terjadi dari tahun 2000 S/D 2006). Sedangkan Kasus Baru ialah Kasus korupsi usaianya kurang dari 3 (Tiga) tahun atau kasus korupsi yang terjadi pada tahun 2007 dan 2009. Dengan pengkategorian seperti ini, maka terdapat 97 (77,6%) kasus yang merupakan Kasus Lama dan Kasus Baru sebanyak 28 (22,4%) kasus. Salah satu alasan utama berlarut-larutnya penanganan kasus korupsi ini adalah tidak adanya saksi yang mau bersaksi. Catatan akhir tahun 2009 PIAR NTT berkaitan dengan persoalan HAM juga tidak jauh berbeda dengan persoalan korupsi. Pada tahun 2009 terdapat 31 kasus perkosaan yang tidak tertangani secara maksimal oleh PIAR NTT karena ketiadaan saksi.
  11. Lihat Pasal 11 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Menurut Supryadi Widodo Edyyono, Lembaga Perlindungan Saksi di Indonesia, Penerbit Indonesia Corruption Watch (ICW), Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 2007, Hal.6. Hal ini merupakan kebiasaan yang dapat dimaklumi karena LPSK merupakan sebuah lembaga Negara.
  12. Lihat Pasal 11 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
  13. Supriyadi Widodo, dkk, Sanksi dalam Ancaman: dokumentasi Kasus, Penerbit ELSAM, Jakarta, 2004.

Politik Hukum Pemberantasan Korupsi

POLITIK HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI
Oleh. Paul SinlaEloE


Dalam berbagai literatur ilmu sosial, pembangunan atau yang disebut dengan istilah apapun, semestinya diarahkan pada penciptaan kesejahteraan warganya. Itu berarti, tujuan utama pembangunan adalah kesejahteraan manusia (Human Welfare). Pada konteks Indonesia, UUD 1945-pun mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan langkah-langkah dalam upaya perlindungan terhadap segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang masih merupakan bagian integral dari Indonesia, pembangunan yang mensejahterakan warga bukanlah sesuatu yang mudah dicapai. Ada banayak kendala yang dihadapi para pengambil kebijakan (Decision Makers) untuk melakukan pembangunan yang mensejahterakan warga. Salah satu diantaranya persoalan korupsi. Di NTT, praktik korupsi begitu subur dan menjamur. Media massa lokal setiap harinya selalu menyuguhkan kasus (dugaan) korupsi yang terjadi hampir semua tingkat birokrasi pemerintahan, mulai dari desa hingga provinsi. Bahkan, korupsi sudah menggerogoti lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif, sehingga muncul kesan, praktik itu telah menjadi ”gaya hidup” baru kalangan pejabat atau birokrat.

Catatan akhir tahun 2009 yang dikeluarkan oleh PIAR NTT menunjukan bahwa Dari 125 (Seratus Duapuluh Lima) kasus korupsi yang dipantau oleh PIAR NTT, terdapat indikasi kerugian negara sebesar Rp.256.337.335.434,00 (Dua Ratus Lima Puluh Enam Milyar Tiga Ratus Tiga Puluh Tujuh Juta Tiga Ratus Tiga Puluh Lima Ribu Empat Ratus Tiga Puluh Empat Rupiah). Pelaku bermasalah dari ke-125 (Seratus Duapuluh Lima) kasus korupsi yang terjadi di NTT ini sebanyak 514 (Lima Ratus Lima empat belas) orang. Dari 514 (Lima Ratus Lima empat belas) Pelaku bermasala/aktor ini terdapat 76 (Tujuh Puluh Enam) orang yang melakuakan pengulangan tindak korupsi.

Modus operandi yang dipergunakan oleh para pelaku bermasalah dalam tindak korupsi berdasarkan hasil pantauan PIAR NTT, dapat diperincikan sebagai berikut: Pertama, Mark Up 30 (24%) Kasus. Kedua, Manipulasi 27 (21,6%) Kasus. Ketiga, Penggelapan 25 (20%). Kasus Keempat, Penyelewengan Anggaran 17 (13,6%) Kasus. Kelima, Memperkaya Diri Sendiri/Orang Lain 13 (10,4%) Kasus. Keenam, Pengerjaan Proyek Tidak Sesuai Bestek 10 (8%) Kasus. Ketujuh, Mark Down 3 (2,4%) Kasus. Korupsi di NTT Juga terbanyak terjadi di sektor Pengadaan barang dan Jasa dengan jumlah sebanyak 58 (46,4%) kasus. Selanjutnya, sektor APBD 43 (34,4%) kasus, Sektor Dana Bantuan 20 (16%) kasus, Sektor Perbankan 2 (1,6%) kasus, sektor PEMILU/PILKADA 2 (1,6%) kasus.

Hasil pantauan PIAR NTT menemukan bahwa Korupsi di NTT paling banyak ditemui pada bidang Pemerintahan yakni 55 (44%) kasus, Pengembangan Kecamatan 14 (11,2%) kasus, Air Bersih 7 (5,6%) kasus, kehutanan dan perkebunan 7 (5,6%) kasus, Perikanan dan Kelautan 6 (4,8%) kasus, Perhubungan dan Transportasi 5 (4%) kasus, Perumahan dan Pertanahan 3 (2,4%) kasus, Energi dan Listrik 2 (1,6%) kasus, Perbankan 2 (1,6%) kasus, Kesehatan 2 (1,6%) kasus, PEMILU/PILKADA 2 (1,6%) kasus, BUMN 1 (0,8%) kasus, Komunikasi dan Informasi 1 (0,8%) kasus, Lain-lain 2 (1,6%) kasus.

Maraknya kasus korupsi di NTT ini sangat berkorelasi positif dengan persoalan kemiskinan. Buktinya, Data kehidupan bernegara di NTT sebagaimana yang dipublis BPS, menunjukan bahwa penduduk miskin provinsi NTT pada Maret 2010 mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan Maret 2009. Pada tahun 2009 penduduk miskin di NTT sebanyak 1.013.200 orang (23,31%) sedangkan pada tahun 2010 penduduk miskin di NTT sebanyak 1.014.100 orang (23,03%). Posisi NTT juga termasuk 10 besar Provinsi miskin di Indonesia dengan peringkatkat: Pertama, Provinsi Papua 36,80%. Kedua, Papua Barat 34,88%. Ketiga, Maluku 27,74. Keempat, Sulawesi Barat 23,19%. Kelima, Gorontalo 23,10%. Keenam, NTT 23,03%. Ketujuh, NTB 21,55%. Kedelapan, Aceh 20,98%. Kesembilan, Lampung 18,94%. Kesepuluh, Bengkulu 18,30%.

Angka statistik juga menunjukan Jumlah Angkatan kerja NTT pada Februari 2010 mencapai 2,39 juta orang,atau bertambah 44,9 ribu orang jika dibandingkan angkatan kerja Februari 2009 sebesar 2,34 juta orang. Secara nasional angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2010 mencapai 115,9 juta orang, bertambah 2,2 juta orang dibanding angkatan kerja Februari 2009 sebesar 113,7 juta orang. Penduduk yang bekerja di Nusa Tenggara Timur pada Februari 2010 mencapai 2,30 juta orang, bertambah 26,7 ribu orang dibanding dengan keadaan pada Februari 2009 sebesar 2,28 juta orang. Secara nasional, penduduk yang bekerja di Indonesia pada Februari 2010 mencapai 107,4 juta orang, bertambah hampir 3 juta orang dibanding dengan Februari 2009 sebesar 104,5 juta orang.

Untuk Pengangguran Terbuka (TPT) NTT pada Februari 2010 mencapai 3,49 persen, atau naik 0,71 poin dari Februari 2009 sebesar 2,78 persen. Secara nasional TPT Indonesia pada Februari 2010 mencapai 7,41 persen, turun 0,73 poin dibanding keadaan Februari 2009 sebesar 8,14 persen. Data BPS juga menunjukan bahwa Tingkat pendidikan tenaga kerja NTT juga sangat rendah yaitu lebih dari 70% berpendidikan SD kebawah, bahkan sebanyak 7,7% tenaga kerja NTT tidak pernah bersekolah. Dari sisi status pekerjaan, sebanyak 34% tenaga kerja NTT masuk kategori Pekerja tidak dibayar.

Dari aspek kesehatan, data UNICEF tahun 2009 menunjukan bahwa Di NTT lebih buruk lagi. Kesehatan masyarakat NTT paling jeblok. Untuk angka kematian ibu (AKI), NTT masih di atas rata-rata nasional. AKI NTT tercatat 554 per 100.000 kelahiran. Rata-rata nasional, 307 per 100.000 kelahiran. Angka Kematian Bayi (AKB) NTT juga terbilang tinggi, 62 per 1.000 kelahiran. Artinya sebanyak 62 bayi meninggal dari setiap 1.000 kelahiran hidup. Dua angka indikator kesehatan ini terbilang tinggi. Hampir semua kabupaten di NTT ikut menyumbang membengkaknya AKI dan AKB.

Sejalan dari realitas korupsi dan kemiskinan diatas, maka secara logika yang logis akan timbul pertanyaan: Apakah korupsi sebagai penyebab ataukah merupakan akibat dari kemiskinan...??? Dalam melihat korupsi dan kemiskinan di NTT sebagai suatu hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari prespektif teoritis, memang tidaklah gampang karena akan timbul perdebatan yang hasilnya dapat diprediksi yakni “Akbar Tanjung” (Baca: Akan Berakhir Tanpa Ujung). Apalagi sudah menjadi rahasia umum bahwa hasil dari suatu perdebatan sangat tergantung dari latar belakang dan kepentingan dari pihak yang mengeluarkan argumen sehingga akan mengaburkan kondisi riil yang terjadi di NTT.

Pengalaman PIAR NTT dalam melakukan advokasi kasus korupsi dan persoalan kemiskinan menunjukan bahwa kemiskinan merupakan akibat dari korupsi. Buktinya, kasus-kasus korupsi disektor kesehatan seperti kasus SARKES yang terindikasi merugikan keuangan negara sebesar Rp. 3,38 Milyar (NB: Kasus ini Belum Dituntaskan), padahal kondisi kesehatan masyarakat NTT sangat memprihatinkan. Bukti lainnya adalah banyak kasus korupsi di sektor pendidikan pada hal pendidikan di NTT begitu terpuruk di level nasional.

Bertolak dari keyakinan penuh bahwa Korupsi merupakan salah satu penyebab utama kemiskinan di NTT, maka sudah seharusnya “Para Petinggi” di NTT dan segenap jajarannya, harus lebih serius dalam memberantas korupsi. Keberhasilan pemberantasan korupsi sangat ditentukan oleh ada tidaknya dukungan politik hukum dari “penguasa” di NTT. Dukungan politik hukum ini dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk kebijakan, yang kesemua itu bermuara pada ruang, keadaan, dan situasi yang mendukung program pemberantasan korupsi untuk bekerja lebih efektif. Disisi lain adanya dukungan politik hukum “penguasa” di NTT dapat juga mendorong partisipasi masyarakat untuk bersama-sama memberantas kourpsi. Pemberantasan korupsi di NTT juga, harus dilaksanakan lintas sektoral.

Dengan paradigma seperti ini, maka seharusnya dalam konsep pembangunan NTT tahun 2011 yang berthemakan: “Peningkatan kesejahteraan dan penguatan kapasitas perekonomian masyarakat melalui pembangunan berbasis desa dan kelurahan”, program pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas urama. Pemberantasan korupsi juga harus menjadi mainstreaming dalam penyusunan Kebijakan Umum APBD Prov. NTT Tahun Anggaran 2011 & Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) APBD Prov. NTT Tahun Anggaran 2011.

Ironisnya, dalam Kebijakan Umum APBD Prov. NTT Tahun Anggaran 2011 & Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) APBD Prov. NTT Tahun Anggaran 2011 dengan proyeksi pendapatan sebesar Rp. 1.063.441.769.000,- (NB: dalam proyeksi ini pos lain-lain pendapatan yang sah diasumsikan nol/tidak ada), hanya terdapat 1 (satu) issue yang berkaiatan dengan pemberantasan korupsi yakni: Meningkatkan penegakan supremasi hukum dalam rangka menjelmakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN serta mewujudkan masyarakat yang adil dan sadar hukum. Program utamanya adalah Program Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan; Program Penerapan Kepemerintahan Yang Baik; Program Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah. Dengan program utama seperti ini, maka aktivitas seperti yang sudah sering dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya diprediksi akan berulang kembali. Untuk itu, pertanyaannya adalah sudahkah para “petinggi” di NTT serius untuk memberantas korupsi…??? ONLY HEAVEN KNOWS…!!! (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Pagi TIMOR EXPRESS, tanggal 6 Oktober 2010).


-------------------
Penulis: Staf Divisi Anti Korupsi PIAR NTT

Minggu, 29 Agustus 2010

Gereja yang Membebaskan

KE-MERDEKA-AN
Oleh. Paul SinlaEloE



Kemerdekaan. Itulah kata dan atau suasana yang selalu ada dibenak dan impian setiap orang atau masyarakat yang sementara mengalami ketertindasan. Begitu juga yang dialami oleh bangsa Indonesia ketika masih ditindas oleh bangsa kolonial. Hal ini dapat dimaklumi karena secara harfiah, kemerdekaan itu sendiri bermakna kebebasan atau lepas dari ikatan dan kungkungan. Kini, kemerdekaan Indonesia genap berusia 65 tahun tepatnya pada tanggal 17 Agustus 2010.

Ironinya, di tengah bangsa yang merdeka ini justru tengah berlangsung sejarah penindasan bangsa, dengan bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Sebuah penindasan atas nama negara oleh bangsa sendiri terhadap rakyatnya. Pada saat semua pihak lagi sibuk dengan kegiatan perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia, disaat yang bersamaan pula terjadi penindasan atas nama agama yang mengkalim diri mayoritas, membakar tempat ibadah dari agama lain yang dikira minoritas.

Sejarah juga mencatat selama kurun waktu yang tidak singkat, realitas ketertindasan dan kemiskinan telah menjadi bagian integral bangsa ini. Namun, satu hal yang menggembirakan adalah sejarah juga menulis bahwa selama bangsa ini dijajah, selalu muncul beragam bentuk perlawanan rakyat sebagai upaya untuk membebaskan bangsa ini dari ketertindasan. Anehnya, mental perlawanan dan pembebasan yang telah terbangun jauh sebelum kemerdekaan tersebut, justru lenyap ketika rakyat tengah menghadapi penjajahan baru pasca-kemerdekaan. Dampaknya, segala bentuk penindasan di negeri ini justru semakin lestari dan subur sampai hari ini.

Secara konseptual, penindasan sebenarnya dapat dikategorisasi ke dalam dua bagian. Pertama, ketertindasan struktural. Ketertindasan oleh struktur yang berada di luar diri orang yang tertindas ini telah mengakibatkan kemiskinan struktural. Pada konteks Indonesia, kemiskinan struktural ini selain ditengarai oleh kebijakan yang tidak bijak dari para pemegang kebijakan, juga ditopang oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan bernegara yang tidak menguntungkan pada kepentingan rakyat tertindas. Dikatakan tidak menguntungkan karena kehidupan bernegara di Indonesia tidak hanya melahirkan kemiskinan tetapi juga melanggengkan kemiskinan.

Tatanan kehidupan bernegara yang tidak menguntungkan akibat perlakuan negara yang korup, tidak adil, diskriminatif dan eksploitatif ini, telah menyebabkan banyak warga massa-rakyat yang gagal memperoleh peluang dan atau akses untuk mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya. Bahkan mereka yang malang semakin terjerumus dan terjebak dalam kehidupan yang serba berkekurangan atau tak setara dengan tuntutan hidup yang layak dan bermartabat sebagai manusia. Fakta penindasan dalam konteks struktural ini senantiasa terjadi setiap harinya di pelupuk mata para petinggi agama yang diduga lebih berpikir tentang indahnya surga, pada hal belum tentu mereka itu lulus dalam ujian duniawi. 

Kedua, ketertindasan mental. Ketertindasan semacam ini lebih disebabkan oleh faktor dalam diri kaum yang tertindas itu sendiri. Di satu sisi, faktor ini menjelma menjadi sebuah ketidaksadaran akan ketertindasan. Di sisi lain, dapat pula menjelma berupa apa yang disebut oleh Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed sebagai kesadaran magis, yakni sebuah anggapan bahwa ketertindasan dan kemiskinan tersebut adalah sebuah jalan hidup yang harus diterima dengan lapang dada. Sehingga, pada bagian ini, mereka yang tertindas cenderung menikmati ketertindasannya. Inilah yang dalam istilah sosiologi disebut sebagai “desublimasi represif”, yaitu sebuah kondisi di mana kaum tertindas tidak menyadari, bahkan cenderung menikmati ketertindasan yang menimpanya. 

Apabila dilacak ke akar filosofisnya, maka pendapat dari Zulfan Barron (2004) bahwa faktor agama adalah salah satu variabel dominan yang membentuk mental para penindas dan kaum tertindas, ada benarnya. Betapa tidak, kekuatan transendental yang adalah kekuatan dari luar manusia yang telah terlembaga dalam sebuah pemahaman teologi masyarakat, ternyata berpengaruh signifikan bagi pembentukan perilaku dan gaya hidup manusia. Juga tidak dapat dipungkiri, hal itu telah menghantarkan mereka kepada gaya hidup yang pasrah pada nasib (gaya hidup yang fatalistik). Sehingga, pesan keadilan, perdamaian dan pembebasan yang dibawa oleh agama, telah menjelma menjadi alat penindas. Pada kondisi semacam inilah, statemen Karl Marx yang mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat (Religion is Opium of the People) yang telah menjelma menjadi alat penindas, menemukan relevansinya.

Bertolak dari kenyataan di atas, sudah seharusnya agama-agama pada umumnya dan khususnya gereja dapat berperan maksimal, terutama dalam mereformasi dirinya. Secara internal, gereja harus menghilangkan tradisi patriakhal dan menjadi gereja yang berasal dari dan untuk semua orang. Secara eksternal, gereja harus menjadi suatu kekuatan yang efektif yang mewakili pemahaman mengenai kerajaan Allah dalam sejarah, melalui suatu kritik terhadap pengilahian ekonomi, social dan budaya dan melalui mandat pemuridan yakni keadilan dan cinta yang spesifik/khas. Dengan perubahan seperti inilah gereja diharapkan mampu menjadi kekuatan perubahan dan transformatif-progresif atau menjadi gereja yang membebaskan. 

Gereja yang membesakan merupakan suatu perkumpulan mesianik dalam masyarakat, yang membangun persekutuan dengan dua sisi sejarah, yakni dari penderitaan dan pembebasan. Penderitaan, dalam aspek moralnya, merupakan dosa sosial oleh tradisi bernegara yang menguntungkan beberapa orang, sementara sebagian lainnya tertekan dan mengalami dehumanisasi. Jürgen Moltmann yang merupakan salah seorang dari para penganjur teologi politik, melambangkan penderitaan dalam masyarakat kontemporer dalam lima lingkaran setan kematian, yakni: (1). Kemiskinan dalam bidang ekonomi. (2). Dominasi suatu kelas/bangsa terhadap lainnya dalam kehidupan politik. (3). Struktur alienasi antara ras, gender, kelompok etnis dalam hubungan kebudayaan. (4). Polusi industri di bidang ekologi. (5). Ada perasaan dimana orang merasa diri tak berarti dan kehilangan tujuan hidup. 

Pembebasan dari aspek sejarahnya, dilambangkan dengan kebangkitan Kristus. Pdt. I.N. Frans dalam berbagai percakapannya dengan berbagi kelompok tertindas selalu mengatakan bahwa kebangkitan Kristus merupakan perwujudan dari harapan akan suatu kehidupan yang lebih sempurna, dimana berbagai kehidupan masa lalu yang tidak beradab dan tidak bermoral ditinggalkan. Pada tataran yang lebih operasional, Johannes Baptist Metz memaknai pembebasan atau kebangkitan Kristus sebagai suatu panggilan untuk memihak kepada orang-orang yang diabaikan dan yang dikorbankan dan untuk mulai mengikutsertakan mereka dalam praktek yang emansipatif dalam kehidupan sehari-hari yang membebaskan.

Menurut Pdt. I.N. Frans, gereja yang membebaskan, biasanya akan hadir sebagai bentuk refleksi juga kontemplasi orang-orang yang diperhadapkan dengan berbagai pergumulan konteks. Kemiskinan, penindasan, ketidakadilan dan lain sebagainya, adalah persoalan konteks yang hampir selalu mewarnai kehidupan manusia di manapun berada. Untuk melawan para penindas yang menindas kaum tertindas, gereja yang membebaskan juga akan tampil dengan nilai-nilai kekristenan yang merupakan pengejawantahan dari karya agung Yesus Kristus, baik pelayanan, pesan, penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya. Karena, keseluruhan karya Agung Yesus itu adalah dalam usaha yang tulus dan murni sebagai bentuk cinta Allah untuk suatu kemerdekaan yang holistik.

Pada akhirnya, perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-65, tepatnya tanggal 17Agustus 2010, boleh dikatakan hanyalah sebuah ritual kenegaraan saja karena kemerdekaan yang holistik ini seakan sebuah impian yang masih jauh dan semakin menjauh untuk diraih. Ini tidak berarti kemerdekaan yang holistik itu tidak dapat diraih. Bagi umat kristen (paling tidak saya) sendiri, kemerdekaan yang holistik bisa diwujudkan. Caranya...?? Gereja melalui misi pembebasannya harus dapat lebih mengasihi orang lain dan melalui kasih itu, gereja akan melayani mereka sebagai seorang hamba dan pada saat yang bersamaan gereja akan menjadi tuan yang benar-benar bebas dari segala perhambaan. MERDEKA…??? (Tulisan ini Pernah di Publikasi Dalam Berita GMIT, Edisi Agustus 2010, Thema:Anatara HUT RI dan Gereja Yang Membebaskan).



-------------------
Penulis: 
Sekretaris Bidang Informasi dan Jaringan BPP. GMIT Periode 2008 – 2012
TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...