PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG PERSEORANGAN DALAM TPPO
Oleh: Paul SinlaEloE –
Aktivis PIAR NTT
Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam http://www.nttonlinenow.com/new-2016/2020/07/20/pertanggungjawaban-pidana-orang-perseorangan-dalam-tppo/, pada
Senin, 20 Juli 2020
Orang perseorangan merupakan istilah hukum
dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang/UUPTPPO yang
dipergunakan oleh pengambil kebijakan untuk mengklaster salah satu kategori
subjek hukum atau pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang/TPPO (Pasal 1 Angka 4 UUPTPPO). Akan
tetapi, dalam UUPTPPO tidak dijelaskan apa atau siapa yang dimaksud dengan
orang perseorangan.
Secara sederhana, istilah “orang
perseorangan” dalam UUPTPPO, bisa diketahui maknanya dari kata “orang” yang
berarti “manusia” dan kata “perseorangan” yang merupakan kata benda untuk
menjelaskan perihal orang secara pribadi. Dengan demikian, istilah “orang perseorangan” dapat
dimaknai sebagai subjek hukum secara
kodrati atau secara alami dalam
hal ini adalah manusia atau natuurlijke persoon. Itu berarti, dalam konteks UUPTPPO
istilah “orang perseorangan” memiliki arti yang sama dengan istilah “barang siapa/hij die” dalam KUHPidana.
Merujuk pada alur pikir diatas, maka sebagai
subyek hukum yang melakukan TPPO, istilah “orang perseorangan” dapat
didefinisikan sebagai setiap individu/perorangan yang secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama melakukan semua unsur-unsur delik terkait TPPO sebagaimana
unsur-unsur tersebut dirumuskan di dalam UUPTPPO.
Dengan definisi yang seperti ini, maka sebenarnya Penyelenggara Negara yang
melakukan TPPO adalah merupakan bagian dari pelaku TPPO yang berkategori orang
perseorangan. Perbedaannya hanya terletak pada kualitas pelaku, dimana yang
satunya merupakan Penyelenggara Negara dan satunya lagi adalah bukan
Penyelenggra Negara.
Berpijak pada definisi
tentang orang perseorangan, maka tidaklah mengherankan apabila Paul SinlaEloE (2017:38) berpendapat bahwa pelaku TPPO yang berkategori orang perseorangan bisa meliputi setiap individu, seperti: Aparat (Presiden, Anggota
Legislatif, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Lurah, RW, RT, TNI, Polisi, Jaksa, Hakim, Bidan, dan lain-lain), tokoh
masyarakat, mantan korban TPPO,
para perantara pengerah
tenaga kerja dan pengirim, perantara internasional, agen perjalanan, pejabat
yang korupsi (pejabat yang terkait dengan pengiriman tenaga kerja). Bahkan, pelaku TPPO yang berkategori orang perseorangan ini bisa juga berusia anak maupun orang terdekat
yang seharusnya melindungi, diantaranya adalah: orang tua, tetangga, pacar,
teman, suami/istri, kakak/adik, saudara dan sanak kerabat.
Sebagai subjek hukum atau pelaku TPPO, maka
orang perseorangan dapat dituntut dan diminta pertanggungjawaban pidananya,
sebagai konsekuensi atas perbuatan yang telah dilakukannya. Dalam hukum pidana,
pertanggungjawaban pidana (criminal
responsibility atau teorekenbaardheid) pada intinya merupakan suatu mekanisme yang menjurus pada pemidanaan pelaku tindak pidana untuk menentukan apakah seorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana (tersangka atau terdakwa) mampu bertanggung jawab atas tindakan pidana yang
dilakukannya atau tidak.
Pelaku TPPO dengan kategori orang perseorangan
dapat diminta pertanggungjawaban pidananya dan dituntut, apabila orang tersebut
adalah orang yang mampu bertanggung jawab. E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi (2012:250) berpendapat
bahwa kemampuan bertanggungjawab dari orang yang diduga sebagai pelaku tindak
pidana, harus didasarkan pada keadaan dan kemampuan “jiwa” (geestelijke vermogens) dan bukan keadaan
dan kemampuan “berfikir”. (verstanddelijke
vermogens).
Menurut E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi
(2012:249), yang dimaksud dengan keadaan jiwa dari seorang yang diduga sebagai
pelaku tindak pidana yang mampu bertanggung jawab adalah berkaitan dengan
keadaan sadarnya yang meliputi: Pertama, tidak terganggu oleh penyakit
terus-menerus atau sementara (temporair);
Kedua, tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya); dan Ketiga, tidak terganggu karena
terejut, hypnotisme, amarah yang
meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe
bewenging, melindur/slaapwandel,
mengigau karena demam/koorts, ngidam
dan lain sebagainya.
Terkait dengan kemampuan jiwa, E. Y. Kanter
dan S. R. Sianturi (2012:249) menjelaskan bahwa seorang yang diduga sebagai
pelaku tindak pidana dan dianggap mampu bertanggung jawab, apabila: Pertama,
dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya; Kedua, dapat menentukan kehendaknya
atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak; dan Ketiga, dapat
mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Sanksi bagi pelaku TPPO yang berkategori
orang perseorangan berdasarkan UUPTPPO adalah dipidana dengan pidana penjara
minimal-maksimal dan denda minimal-maksimal sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4, pasal 5, Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 UUPTPPO, serta akan
dikenakan sanksi sebagaimana
amanat dari Pasal 50 ayat (4) UUPTPPO, yakni pidana
kurungan sebagai pengganti, jika tidak
mampu membayar restitusi.
Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) UUPTPPO, pelaku
TPPO yang berkategori orang perseorangan, akan diperberat pidananya jika
melakukan TPPO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2), Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 5 dan Pasal 6 UUPTPPO, mengakibatkan korban menderita luka berat,
gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya,
kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya. Pemberatan
pidananya berupa tambahan 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (2), Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 5, dan Pasal 6 UUPTPPO.
Jika TPPO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6, mengakibatkan matinya korban,
maka berdasarkan Pasal 7 Ayat (2) UUPTPPO, pelaku TPPO yang berkategori orang
perseorangan akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara
seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Pemberatan pidana juga akan dikenakan bagi
pelaku TPPO yang berkategori orang perseorangan, jika TPPO sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UUPTPPO, dilakukan terhadap anak (Pasal 17
UUPTPPO). Apabila TPPO yang dilakukan oleh pelaku TPPO yang berkategori orang
perseorangan telah memenuhi rumusan delik dari Pasal 17 UUPTPPO, maka sesuai amanat Pasal
17 UUPTPPO, pemberatan pidananya adalah tambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 2, Pasal
3, dan Pasal 4 UUPTPPO.
Keseluruhan sanksi terhadap pelaku TPPO yang berkategori
orang perseorangan ini pada dasarnya sejalan dengan tujuan pokok dari pemidanaan atau penerapan
sanksi pidana yang diutarakan oleh Koeswadji (1995:12), yaitu: Pertama, untuk
mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving
van de maatschappelijke orde); Kedua, untuk memperbaiki kerugian yang
diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad onstane
maatschappelijke nadeel); Ketiga, untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader); Keempat, untuk
membinasakan si penjahat (onschadelijk
maken van de misdadiger); dan Kelima adalah untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).
Pada akhirnya, jika sanksi terhadap pelaku TPPO
yang berkategori orang perseorangan dapat diimplementasikan dengan benar dan
bijak, maka TPPO yang dilakukan oleh orang perseorangan dan telah menjadi ancaman terhadap Masyarakat, Bangsa, dan Negara, serta merupakan ancaman terhadap
norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, dapat “diberantas”.
Daftar Bacaan
1. E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi. Asas-Asas hukum Pidana di
Indonesia dan Penerapannya, Penerbit Storia Grafika, Jakarta, 2012.
2. Koeswadji, Perkembangan
Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Penerbit Citra
Aditya Bhakti, Bandung, 1995.
3. Paul SinlaEloE, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Penerbit Setara Press, Malang, 2017.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.