AKSES TERHADAP KEADILAN
Oleh. Paul SinlaEloE
Ketiga
tujuan dari hukum ini, memiliki keterpaduan yang erat sehingga idealnya harus diwujudkan secara serentak dan
proporsional, sehingga terjaminnya setiap orang atas hak dan kesempatan yang
sama di mata hukum. Namun, jika tidak memungkinkan, maka
haruslah diprioritaskan terlebih dahulu aspek keadilan, kemudian aspek kemanfaatan
dan aspek kepastian yang menjadi prioritas terakhir. Inilah prinsip dasar dalam
mewujudkan akses terhadap keadilan dalam suatu Negara hukum.
Prinsip yang
demikian, harus juga menjadi dasar pikir dalam keterlibatan Indonesia untuk
pencapaian tujuan
16 dari Sustainable Development Goals
(SDGs), yakni mendukung masyarakat yang
damai dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses terhadap
keadilan bagi semua dan membangun institusi-institusi yang efektif, akuntabel
dan inklusif di semua level dan khususnya target 3, yaitu mendukung
perangkat hukum di tingkat nasional dan internasional dan akses keadilan yang
sama untuk semua.
Terkait dengan akses
terhadap keadilan, pengambil kebijakan di Indonesia telah membuat pedoman untuk
mengukur akses terhadap keadilan melalui Strategi Nasional Akses pada Keadilan
(SNAK) yang untuk pertama kalinya dikeluarkan pada tahun 2009. Kemudian SNAK
ini diperbaharui lagi pada tahun 2016 untuk periode 2016-2019 dan mengartikan
akses terhadap keadilan sebagai keadaan dan proses di mana Negara menjamin
terpenuhinya hak-hak dasar berdasarkan UUD 1945 dan prinsip-prinsip universal
hak asasi manusia, dan menjamin akses bagi setiap warga Negara agar dapat
memiliki kemampuan untuk mengetahui, memahami, menyadari dan menggunakan
hak-hak dasar tersebut melalui lembaga-lembaga formal maupun nonformal.
Visi yang
diangkat dalam SNAK 2016-2019 adalah “Pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasar
pada kelompok miskin dan terpinggirkan berdasarkan UUD 1945 dan prinsip prinsip
universal hak asasi manusia, melalui akses terhadap pelayanan hak-hak dasar,
peradilan dan mekanisme penyelesaian sengketa non formal, bantuan hukum dan
penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam”.
Untuk
menjalankan visi, maka misi yang akan dilaksanakan pada periode 2016-2019
adalah: Pertama, Menyempurnakan kerangka perundangan dan kebijakan yang menjamin
terpenuhinya akses kepada sumber-sumber kesejahteraan bagi masyarakat miskin
dan terpinggirkan; Kedua, Menyediakan forum penyelesaian sengketa dan konflik
yang melindungi hak-hak masyarakat miskin dan terpinggirkan; Ketiga,
Meningkatkan kesadaran masyarakat miskin dan terpinggirkan terhadap hak-haknya
melalui pemberdayaan dan bantuan hukum; dan Keempat, Menyediakan alokasi sumber
daya alam yang adil bagi masyarakat miskin dan terpinggirkan.
Sasaran yang
ingin dicapai oleh SNAK 2016-2019 adalah: (1). Terpenuhinya akses masyarakat
terutama yang rentan atau terpinggirkan pada pelayanan dan pemenuhan hak-hak
dasar yang tidak diskriminatif, mudah dan terjangkau; (2). Terpenuhinya akses
masyarakat terutama yang rentan atau terpinggirkan pada forum penyelesaian
sengketa dan konflik yang efektif dan memberikan perlindungan hak asasi
manusia; (3). Terpenuhi akses masyarakat terutama yang rentan atau
terpinggirkan pada sistem bantuan hukum yang mudah diakses, berkelanjutan dan
terpercaya; dan (4). Terwujudnya penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah
dan sumber daya alam yang berkepastian hukum dan berkeadilan bagi masyarakat.
Pada
tataran praktis, keempat sasaran ini juga telah diuraikan dalam bentuk strategi
untuk memberikan panduan dalam pelaksanaan SNAK 2016-2019. Strategi yang
dirumuskan untuk mencapai sasaran di atas adalah: Pertama, Strategi 1:
Memperkuat Akses Keadilan pada Pelayanan & Pemenuhan Hak-hak Dasar; Kedua,
Strategi 2: Memperkuat Akses Keadilan pada Peradilan dan Penyelesaian Sengketa;
Ketiga, Strategi 3: Memperkuat Akses Keadilan pada Bantuan Hukum; dan keempat,
Strategi 4: Memperkuat Akses Keadilan pada Penguasaan, Pengelolaan dan
Pemanfaatan Tanah dan Sumber Daya Alam.
Kalau dicermati
dengan cerdas, maka konsep terkait SNAK 2016-2019 ini belum bisa dikatakan
sempurna. Karena definisi akses terhadap keadilan dalam SNAK 2016-2019, tidak
membedakan antara konsep Negara menjamin dengan konsep Negara memenuhi, padahal
dalam perspektif hak, pembedaan kedua konsep ini sangat penting dilakukan, sebab
konsep negara menjamin lebih fokus pada hak sipil dan politik, sedangkan konsep
negara memenuhi lebih mengarah pada hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu,
definisi akses terhadap keadilan dalam SNAK 2016-2019 juga terlalu abstrak
untuk menangkap berbagai persoalan pada konteks lokal kedaerahan.
Parahnya lagi, visi,
misi, sasaran dan strategi yang dipergunakan dalam SNAK 2016-2019 sangat
sektoral, padahal karakter persoalan akses terhadap keadilan di lokal
kedaerahan, sangat berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Dampaknya, kemungkinan besar SNAK 2016-2019 tidak akan menjawab semua permasaalahan
akses terhadap keadilan di Indonesia. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip utama SDGs, yakni Leave No One Behind.
Berpijak pada realita yang demikian, maka idealnya konsep akses terhadap
keadilan yang terdapat dalam SNAK 2016-2019 tidak boleh diperbaharui lagi.
Apalagi diperbaharui dengan cara tambal sulam. SNAK 2016-2019 harus
ditinjau kembali untuk mendudukan hak atas akses terhadap keadilan secara
sempurna, sehingga memiliki indikator yang dapat mengukur 2 (dua) hal, yakni bagaimana negara menjamin dan memenuhi hak semua orang
untuk mengakses keadilan dan sejauhmana keadilan bagi semua orang dapat terjawab.
Dalam perspektif hak,
akses terhadap keadilan harus dimaknai sebagai jalan yang disiapkan oleh Negara dalam rangka menjamin dan
memenuhi hak setiap orang atas keadilan (prosedural maupun subtansial). Dengan pengertian akses
terhadap keadilan yang demikian, maka Negara
sebagai pemangku tanggung jawab (duty
bearer), yang harus menjamin dan memanuhi kewajiban-kewajibannya demi
terwujudnya akses terhadap keadilan dari baik secara nasional maupun
internasional dari pihak pemegang hak (right
holder) terutama individu dan kelompok-kelompok masyarakat.
Kewajiban Negara
dalam Menjamin (ensure), artinya
Negara tidak menghambat pemenuhan dan harus bertindak aktif untuk memberikan jaminan
atas akses terhadap keadilan. Ada 2 (dua)
indikator yang dapat dipergunakan untuk mengukur keseriusan Negara dalam
menjamin hak semua orang terkait dengan akses terhadap keadilan, yakni:
Pertama, Negara Menghormati (respect). Tanggungjawab Negara
dalam konteks menghormati ini, menuntut Negara untuk wajib tidak melakukan
tindakan-tindakan yang akan menghambat pemenuhan dari seluruh hak termasuk
akses terhadap keadilan.
Kedua, Negara
Melindungi (protect). Konsep Negara
melindungi ini menuntut kewajiban Negara agar bertindak aktif untuk memberikan
jaminan perlindungan terhadap hak warganya atas akses terhadap keadilan.
Karenanya, Negara hanya berkewajiban mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah
pelanggaran hak oleh pihak ketiga sehingga hak atas akses terhadap keadilan
dari semua orang dapat terwijud.
Konsep
Negara Memenuhi (fullfill) ini mengharuskan Negara berkewajiban untuk
mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan
tindakan-tindakan lain untuk merealisasikan hak atas akses terhadap keadilan secara
penuh. Ada 4 (empat) indikator untuk
mengukur keseriusan Negara dalam melakukan pemenuhan akses terhadap keadilan,
yakni: Pertama, Availability (ketersediaan). Hak
Ketersediaan lebih menekankan pada adanya sarana dan fasilitas bagi semua orang
(baik itu yang berkebutuhan khusus maupun yang tidak berkebutuhan khusus,
perempuan maupun laki-laki dan individu ataupun kelompok-kelompok masyarakat)
untuk memperoleh akses terhadap keadilan;
Kedua, Accessibility (keterjangkauan). Hak keterjangkauan
ini menuntut Negara harus menghapuskan seluruh praktik-praktik diskriminasi
(gender, rasial, dll) serta menjamin pelaksanaan hak atas akses terhadap
keadilan secara merata. Hak keterjangkauan juga menekankan aspek finansial dan
aspek jarak tidak boleh menjadi faktor penghambat bagi semua orang (baik itu
yang berkebutuhan khusus maupun yang tidak berkebutuhan khusus, perempuan
maupun laki-laki dan individu ataupun kelompok-kelompok masyarakat)
untuk memperoleh akses terhadap keadilan. Hak keterjangkauan ini akan dapat
dipenuhi, jika hak ketersediaan sudah terpenuhi;
Ketiga, Acceptability (keberterimaan). Hak
keberterimaan ini akan terwujud, jika hak ketersediaan dan hak keterjangkauan
sudah dipenuhi. Hak keberterimaan ini mempersyaratkan kualitas atau jaminan
minimal mengenai mutu pelayanan pemenuhan akses terhadap keadilan. Kualitas
atau jaminan minimal ini harus dipastikan agar semua orang (baik itu yang
berkebutuhan khusus maupun yang tidak berkebutuhan khusus, perempuan maupun
laki-laki dan individu ataupun kelompok-kelompok masyarakat)
untuk memperoleh akses terhadap keadilan;
Keempat, Adaptability
(kebersesuaian). Hak kebersesuaian mempersyaratkan Negara
untuk tanggap pada semua orang (baik itu yang berkebutuhan khusus maupun
yang tidak berkebutuhan khusus, perempuan maupun laki-laki dan individu ataupun
kelompok-kelompok masyarakat) untuk memperoleh
akses terhadap keadilan. Artinya, Negara berkewajiban untuk mewujudkan akses
terhadap keadilan dengan menyesuakan pada kebutuhan akan akses terhadap
keadilan dari semua orang. Hak kebersesuaian merupakan hak lanjutan dari tiga
hak pertama yang harus dipenuhi oleh negara sehingga akses terhadap keadilan
dari semua orang dapat terwujud.
Keseluruhan
indikator hak akses terhadap keadilan yang telah digambarkan diatas, dapat juga
dipergunakan sekaligus untuk menilai aspek keadilan prosedural, yaitu sejauh mana seluruh
pihak terutama yang selama ini tertinggal dapat terlibat dalam keseluruhan
proses pembangunan. Bahkan dapat juga dipakai untuk membobot keadilan
subtansial, yakni sejauh mana kebijakan dan program pembangunan dapat atau
mampu menjawab persoalan-persoalan warga terutama kelompok tertinggal.
--------------------------------
KETERANGAN:
- Penulis adalah Aktivis PIAR NTT
- Tulisan ini Pernah di Publikasikan dalam: https://www.teropongntt.com/akses-terhadap-keadilan/, pada tanggal 12 November 2019