Sabtu, 19 Agustus 2017

Prostitusi Dalam Konteks Tindak Pidana Perdagangan Orang

PROSTITUSI DALAM KONTEKS TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Oleh: Paul SinlaEloE


Masih segar dalam ingatan publik, artis papan atas Indonesia Nikita Mirzani alias (NM) dan Puty Revita Sari alias (PR) finalis Miss Indonesia 2014, ditangkap pada Kamis, 10 Desember 2015, terkait kasus prostitusi artis di kamar Hotel Indonesia-Kempinski, Jakarta Pusat, dalam keadaan tanpa busana. Pada saat penangkapan, pihak Kepolisian juga mengamankan barang bukti berupa pakaian dalam, kunci hotel, kondom, bukti transfer dan Handphone. Mereka ditangkap bersama Ferry Okviansah alias  (F) dan Ronal Rumagit alias (O).

 

Terungkapnya kasus prostitusi dikalangan artis ini, merupakan hasil kerja cerdas dari pihak Kepolisian. Menurut Kepala Subdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim POLRI, Kombes Pol. Umar Surya Fana, sebagaimana yang di publish oleh berbagai media (cetak, online dan elektronik), bahwa anak buahnya sempat menyamar sebagai pengguna jasa esek-esek kalangan artis. Anak buahnya, menyamar sebagai pengusaha dan memesan NM dan PR melalui mucikari O, F dan AS. Setelah itu, ditransfer uang muka sebesar Rp.10 juta dan disepakati bertemu untuk menindaklanjuti kesepakatan di hotel yang disepakati, pada tanggal 10 Desember 2015, pukul 21.00 WIB.

 

Dari penyelidikan, diketahui bahwa yang menentukan tempatnya atau hotelnya adalah NM dan PR. Selain itu, NM dan PR juga yang menentukan tarif kencannya. NM mematok tarif sekali kencan short time (3 jam) sebesar Rp.65 juta dan tarif yang dipatok oleh PR adalah Rp.50 juta untuk sekali kencan short time (3 jam). Dalam penyelidikan, terungkap juga bahwa untuk ”mendapatkan” PR, anggota Kepolisian yang menyemar sebagai pengusaha memesan pada O, lalu O meminta pada F dan kemudian F membawa PR ke hotel yang disepakati untuk menjalankan kesepakatan. Sedangkan, NM diboking oleh anggota Kepolisian yang menyemar sebagai pengusaha dengan cara memesan pada O dan kemudian O meminta pada F, namun karena F tidak mempunyai koneksi dengan NM, maka F menghubungi AS dan selanjutnya AS membawa NM ke hotel yang disepakati untuk kepentingan pemenuhan kesepakatan.

 

Berdasarkan hasil penyelidikan, pihak Kepolisian juga berkesimpulan bahwa NM dan PR adalah korban TPPO. Sedangkan, O dan F dikategorikan sebagai mucikari dan ditetapkan sebagai tersangka karena oleh pihak Kepolisian diduga melakukan TPPO sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 UUPTPPO jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Substansi dari Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana adalah mengatur tentang peran dari pelaku terkait dengan keturutsertaan (deelneming) dalam suatu tindak pidana dengan kategori peran sebagai berikut, yakni: Orang yang melakukan (pleger) suatu tindak pidana/TPPO, Orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana/TPPO (doenpleger) dan orang yang turut serta melakukan suatu tindak pidana/TPPO (medepleger).

 

Tersangka lainnya dalam kasus ini adalah AS yang juga dikategorikan sebagai mucikari oleh pihak Kepolisan dan menjadi buronan polisi ketika kasus ini mulai terungkap. AS ditangkap pada tanggal 16 Januari 2016, Pukul 01.00 WIB, di Pelabuhan Bakauheuni, Lampung Selatan, ketika tersangka yangberniat menyebarang dari Lampung menuju Jakarta. Dari pengkapan tersebut, pihak Kepolisian juga mengamankan barang bukti berupa sebuah telepon genggam, sebuah memory card, sebuah SIM A atas nama Sahrri Armansir Sungkar, dan sebuah tas warna kuning berisi pakaian. Mucikari AS ini, juga dijadikan tersangka dengan mempergunakan Pasal 2 UUPTPPO jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

 

Memaknai Pasal 2 UUPTPPO

Perdagangan orang sebagai tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UUPTPPO, diklaster dalam 2 (dua) kategori delik, yakni delik formil dan delik materil yang dirumuskan secara berurutan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO dan Pasal 2 ayat (2) UUPTPPO

 

Materi TPPO yang diatur dalam rumusan delik Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO adalah setiap orang akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah), jika melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di Wilayah Negara Republik Indonesia.

 

Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO ini memiliki unsur-unsur sebagai berikut: Pertama, Unsur Pelaku atau orang yang melakukan TPPO yang dalam UUPTPPO tdibagi menjadi 4 (empat) kategori, yakni Orang Perseorangan, Korporasi, Kelompok Terorganisasi dan Penyelenggara Negara. Walaupun dalam Pasal 2 UUPTPPO disebutkan bahwa pelakunya adalah setiap orang yang berdasarkan Pasal 1 angka 4 UUPTPPO diartikan sebagai orang perseorangan atau korporasi yang melakukan TPPO, namun tidak menutup kemungkinan bahwa Kelompok Terorganisasi dan Penyelenggara Negara juga  bisa menjadi pelaku TPPO dalam Pasal 2 UUPTPPO (Bandingkan dengan amanat Pasal 8 UUPTPPO dan Pasal 16 UUPTPPO).

 

Kedua, Unsur Perbuatan. Istilah perbuatan ini dimaknai sebagai setiap tindakan aktif dan/atau pasif yang dilakukan secara sadar maupun tidak, yang berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO perbuatan dimaksud meliputi perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang.

 

Ketiga, Unsur Kesengajaan yang dimaknai oleh Leden Marpaung (2005:13) sebagai kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Unsur kesengajaan ini bisa ditemukan dalam rumusan kalimat, yakni: ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain.

 

Keempat, Unsur Tujuan. Sesuatu yang ingin diwujudkan atau hendak dicapai oleh pelaku TPPO dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan, dalam hal ini mengeksploitasi orang. Kelima, Unsur Locus Delictie. Tempat terjadinya TPPO adalah di Wilayah Negara Republik Indonesia.

 

Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO ini dirumuskan oleh para perumus sebagai delik formil untuk menjerat setiap orang yang melakukan TPPO. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kata ‘untuk tujuan’ sebelum frasa ‘mengeskploitasi orang tersebut’ pada rumusan Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO. Dalam bagian penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan delik formil ialah adanya TPPO cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan akibat. Artinya, setiap orang akan dihukum bukan karena akibat yang ditimbulkan dari suatu TPPO, tetapi karena perbuatan yang dilarang dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO telah dilakukan.

 

Rumusan delik dari Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO, memiliki kemiripan dengan rumusan tindak pidana yang terdapat pada Pasal 2 ayat (2) UUPTPPO. Apalagi, sanksi sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO, juga berlaku dan dikenakan pada setiap tindakan dari pelaku yang mengakibatkan orang tereksploitasi (Pasal 2 ayat (2) UUPTPPO). Perbedaannya dengan Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO adalah Pasal 2 ayat (2) UUPTPPO ini didesain oleh para perumus sebagai delik materil karena penekanannya pada unsur akibat, yakni tereksploitasi orang. Artinya, unsur perbuatan yang dilarang tidak menjadi persoalan sebab setiap orang akan dihukum apabila unsur akibat yang dilarang telah terwujud. Dengan kata lain, sempurnanya suatu tindak pidana pada delik materil bukan bergantung pada selesainya wujud perbuatan tetapi ditentukan pada apakah dari wujud perbuatan itu, akibat yang dilarang telah timbul atau belum (Satochid Kartanegara, Tanpa Tahun:136-137).

 

Prostitusi Sebagai TPPO

Prostitusi berasal dari bahasa Latin prostituere atau prostauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan, percabulan, pergendekan (Kartini Kartono, 2009:207). Dalam bahasa Inggris prostitusi disebut prostitution yang artinya tidak jauh beda dengan bahasa latin, yaitu pelacuran, persundalan atau ketunasusilaan.

 

Pada era kekinian, prostitusi sudah bermetamorfosa menjadi cabang dari industri yang selevel dengan pornografi atau tari telanjang. Dalam konteks yang lebih luas, prostitusi disejajarkan dengan eksploitasi aktivitas seksual dan pertunjukan yang berkenaan dengan seksualitas untuk menghibur orang lain, demi mendapatkan materi yang dibutuhkan dalam kehidupan. Jadi, pelacuran itu tidak sebatas hanya.

 

Di Indonesia, istilah prostitusi dipahami sama dengan istilah pelacuran yang dimaknai sebagai pekerjaan yang menukarkan hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi jual beli atau perdagangan. Dengan kata lain, pelacuran itu adalah penjualan jasa seksual, seperti seks oral atau berhubungan seks sebagai mata pencaharian. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur.

 

Pelacuran dalam UUPTPPO, dikategorikan sebagai salah satu bentuk dari tindakan eksploitasi, walaupun tindakan tersebut dilakukan dengan atau tanpa persetujuan korban (Pasal 1 angka 7 UUPTPPO). Namun demikian, tidak semua tindak pelacuran masuk dalam kategori TPPO karena yang diperdagangkan dalam pelacuran adalah layanan seksual dan bukan orang.

 

Pelacuran dikategorikan sebagai TPPO sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 UUPTPPO, apabila kegiatan pelacuran tersebut pada prosesnya harus ada perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan cara ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga seseorang dijadikan sebagai pelacur.

 

Secara sederhana, pelacuran dikatakan bukan sebagai suatu TPPO dapat diketahui dari cara seseorang menjadi pelacur. Jika seseorang yang sudah dewasa menjadi pelacur secara sukarela atau tidak berdasarkan paksaan, maka tidak dapat dimasukan kedalam kategori TPPO versi Pasal 2 UUPTPPO. Sedangkan, jika seseorang menjadi pelacur dengan cara ketidaksukarelaan, seperti: ditipu, dipaksa, diiming-imingi, diculik, dijebak atau praktek-praktek serupa perbudakan, penghambaan dan termasuk didalamnya adalah partisipasi secara tidak sukarela dalam pelacuran, maka dapat dijerat dengan Pasal 2 UUPTPPO.

 

Seseorang yang dijadikan sebagai pelacur dengan cara penjeratan hutang adalah bagian dari TPPO dan dapat dipidana dengan Pasal 2 UUPTPPO. Pelacuran dengan jeratan hutang, dapat juga terjadi dalam situasi ketika seseorang setuju untuk bekerja dalam industri pelacuran tetapi tidak mengetahui dan tidak menyetujui bahwa penghasilan dan kebebasannya akan diambil darinya.

 

Pihak Kepolisian Hanya Ingin Menjerat Mucikari

Jika dicermati konstruksi hukum yang dibangun oleh pihak Kepolisian dalam penegakan hukum kasus pelacuran/prostitusi artis dengan menjadikan artis NM dan PR sebagai korban, serta menetapkan AS, O dan F sebagai tersangka karena mereka diduga sebagai mucikari atau germo, maka dapat disimpulkan bahwa yang ingin dijerat oleh pihak Kepolisian dalam kasus ini hanyalah mereka yang diduga sebagai mucikari.

 

Apabila pihak Kepolisian hanya ingin menjerat mucikari dalam kasus pelacuran/prostitusi artis ini, maka sebenarnya pihak Kepolisian bisa mempergunakan Pasal 296 KUHPidana dan Pasal 506 KUHPidana. Kedua pasal ini dirancang oleh para pembuat KUHPidana untuk menghukum orang yang kerjaannya menyediakan dan menarik keuntungan dari suatu layanan seksual atau yang lebih dikenal dengan istilah lain sebagai mucikari, germo atau perantara.

 

Dalam Pasal 296 KUHPidana diatur bahwa: “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”. Sedangkan, pada Pasal 506 KUHPidana pada intinya ditegaskan bahwa barang siapa yang terbukti menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencaharian, akan dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.

 

Menurut Umar Husain (2015), kasus prostitusi/pelacuran artis yang melibatkan AS, O, F, NM dan PR, bukanlah kasus TPPO, tetapi lebih mengarah pada kerjasama bisnis. Sehingga penggunaan Pasal 2 UUPTPPO untuk menjerat tersangkanya adalah tidak tepat. Sebab, fakta menunjukkan bahwa dalam kasus yang melibatkan AS, O, F, NM dan PR, inisiatif aktivitas ‘jual-beli’ tersebut, muncul dari pihak yang dianggap sebagai korban yang meminta tolong kepada pihak ketiga agar dicarikan pasar.

 

Argumen dari Umar Husain ini memiliki nilai kebenaran, karena walaupun NM dan PR yang adalah artis dan oleh pihak Kepolisian dikategorikan sebagai korban TPPO, namun pihak kepolisian belum dapat membuktikan bahwa NM dan PR telah memenuhi kriteria dari korban TPPO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UUPTPPO, yakni: “Seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan TPPO”.

 

Pihak kepolisian juga bisa mempergunakan Pasal 12 UUPTPPO, jika hanya ingin menjerat mucikari/germo. Karena, Pasal 12 UUPTPPO dirancang untuk menghukum: Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban TPPO dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindakpidana perdagangan orang, mempekerjakan korban TPPO untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil TPPO dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.

 

Pasal 12 UUPTPPO ini tidak saja dapat dipergunakan oleh pihak Kepolisian untuk menghukum mucikari/germo, tetapi bisa juga diterapkan untuk mereka yang dikategorikan sebagai pengguna/penikmat layanan dari pelacur. Syarat bagi pihak Kepolisian agar bisa menggunakan Pasal 12 UUPTPPO adalah pihak Kepolisian harus memastikan dan membuktikan bahwa NM dan PR dalam kasus pelacuran/prostitusi artis adalah korban TPPO sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 UUPTPPO.

 

Berpijak pada fakta hukum terkait kasus pelacuran/prostitusi artis yang melibatakan NM, PR, AS, O dan F, maka dapat ditarik suatu titik simpul bahwa pihak Kepolisian diduga telah keliru dalam menerepkan pasal dan/atau aturan (error in juris) karena menggunakan Pasal 2 UUPTPPO untuk menjerat mereka yang diduga sebagai mucikari dalam penegakan hukum kasus pelacuran/prostitusi artis dengan korban NM dan PR.



---------------------------------------------------
KETERANGAN:
1.    Penulis adalah Aktivis PIAR NTT
2. Tulisan ini merupakan hasil editing (Pengoreksian dan Penyempurnaan) dari makalah berjudul: Prostitusi dan TPPO, yang dipresentasikan dalam diskusi terbatas “Aspek Yuridis Persoalan Prostitusi Online”, yang dilaksanakan oleh Rumah Perempuan, di Kantor Rumah Perempuan, Kota Kupang, pada tanggal 11 Maret 2016.

TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...