Minggu, 28 Maret 2010

Memahami Ideologi

MEMAHAMI IDEOLOGI
Oleh. Paul SinlaEloE
( Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT )
       

Ideologi merupakan suatu terminologi asing, yang diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu. Tujuan utama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik.

Secara semantik, ArthurSchlesinger.Jr1)  memaknai ideologi sebagai sebuah istilah yang mengandung norma, nilai, falsafah, kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan atau wawasan tentang dunia, etos dan semacamnya. Salah seorang pakar mengenai Ideologi, Edward Shills, secara tegas menyebutkan bahwa ideology adalah a system of ideas.2) Dengan pemahaman seperti ini, maka secara harafiah Ideologi dapat diartikan sebagai suatu rangkaian ide yang telah dipadu menjadi satu.

Menurut Antonio Gramsci,3) ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’ manusia dan memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan mereka dan sebagainya.

Frans Magnis Suseno,4) menegaskan bahwa ideologi merupakan keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk hubungan kekuasaaan.

Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi persoalan tersebut. Dalam konteks inilah kajian ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali diabaikan.

Franz Magnis Suseno,5) juga secara sederhana mengemukakan tiga kategorisasi ideologi. Pertama, ideologi dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam arti penuh berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang bagaimana suatu masyarakat harus di tata. Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan ini Franz Magnis Suseno mencontohkan ideologi Marxisme-Leninisme.

Kedua, ideologi dalam arti terbuka. Artinya ideologi yang menyuguhkan kerangka orientasi dasar, sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Operasionalisasi dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan secara apriori melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama. Dengan demikian ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok orang.

Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat. Ideologi semacam ini ditemukan dalam keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakekat realitas dan bagaimana manusia harus hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan namun cita-cita dan keyakinan itu sering berdimensi ideologis, karena mendukung tatanan sosial yang ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu seperti kekuasaan suatu kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain.

Dari 3 (Tiga) fungsi tersebut diatas, terlihat bahwa pengaruh ideologi terhadap perilaku kehidupan sosial berkaitan erat. Memahami format sosial politik suatu masyarakat akan sulit dilakukan tanpa lebih dahulu memahami ideologi yang ada dalam masyarakat tersebut. Dari sinilah terlihat betapa ideologi merupakan perangkat mendasar dan merupakan salah satu unsur yang akan mewarnai aktivitas sosial dan politik.

Dalam penggunaannya, istilah Ideologi ini dipakai secara luas dalam bidang politik untuk menunjukan seperangkat nilai yang terpadu, berkenaan dengan aktivitas manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu berarti ideologi adalah gagasan-gagasan politik manusia yang timbul didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang kemudian ditata secara sistematis untuk dijadikan suatu kesatuan yang utuh. Jika pemahaman ini adalah benar atau setidaknya mempunyai nilai kebenaran, maka apabila ideologi itu disusun pada saat berlangsungnya aktifitas manusia dibidang politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, logikanya ideologi itu merupakan salah satu ciri dari matangnya suatu konsep pemikiran politik.

Alfian6berpendapat bahwa apabila relevansi dari suatu ideologi terhadap perkembangan aspirasi massa-rakyat dan tuntutan perubahan jaman, ingin tetap dipelihara, maka ideologi tersebut harus memiliki tiga dimensi penting, yakni: Pertama, Dimensi Realita. Artinya, nilai-nilai dasar yang terkandung dalam suatu ideologi harus bersumber dari nilai-nilai yang riil lahir dan berkembang didalam masyarakat, sehingga mereka betul-betul dapat merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar itu adalah milik mereka bersama.

Kedua, Dimensi Idealisme. Artinya, suatu ideologi perlu mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. untuk itu, ideologi harus di ketahui dan dipahami oleh masyarakat sehingga mereka dapat ikut berpartisipasi dalam menentukan serta mengarahkan arah kehidupan bersama yang ingin dibangun. Ketiga, Dimensi Fleksibelitas. Artinya, suatu ideologi harus dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, berkembangnya pemikiran-pemikiran baru berkaitan dengan upaya pengembangan suatu ideologi tanpa menghilangkan hakekat yang terkandung didalamnya, mutlak diperlukan.


Suatu Konsep Ideologi sebenarnya selalu mengandung dua konsep dasar tentang “perubahan” (change) dan “nilai-nilai” (values). Disebut demikian karena ideologi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai nilai-nilai yang mengubah masyarakat, baik mengubah kearah yang lebih progresif atau membawanya kepada kemunduran (retrogesif). Dalam barbagai literatur, terdapat berbagai prespektif tentang sifat dari ideologi dan dapat di Generalisir dalam 5 (Lima) kategori, yakni: Radikal, Liberal, Konservatif, Moderat dan Reaksioner. Kontinuitas kategori sifat ideology dapat dijelaskan dalam gambar berikut: (Lihat Gambar).



Jika spektrum dilihat, misalnya dari kiri ke kanan,7) maka dapat dibuat identifikasi sifat dan sekaligus mengetahuii hubungan khusus diantara sifat-sifat atau jenis ideologi itu, misalnya mengapa radikal lebih dekat ke kiri, sementara reaksioner ke kanan.

Dalam terminologi politik, radikal identik dengan kelompok ekstrimis kiri, tetapi bukan ekstrimis kanan. Sementara dalam penggunaan yang lebih popular, istilah radikal seringkali dirujukkan kepada kelompok ekstrimis baik kiri maupun kanan.

Pada akhirnya Antonio Gramsci mengingatkan bahwa suatu ideologi tidak bisa dilihat dari kebenaran atau kesalahannya tetapi harus dinilai dari kemanjurannya dalam mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda kedalam suatu wadah, dan dalam peranannya sebagai dasar atau agen penyatuan social8).


Kupang, Maret 2010


------------------------------------------------------------------
REFERENSI:
1.      Arthur Schlesinger, Jr., The Crises of Confidence, New York; Bantam Books, 1960, P. 47.
2.  Edward Shills, Ideology, dalam International Encyclopedia of the Social Change, Vol. 7. The Mcmillan and The Free Press, New York, 1972, P.66-67.
3. Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Penerbit INSIST & Pustaka Pelajar, Jakarta, 1999, Hlm. 83.
4.    Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1992, Hlm, 230.
5.  Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1992, Hlm. 232.
6.     Alfian, Ideologi, Idealisme dan Integrasi Nasional, dalam Prisma No. 8, Agustus 1986, Penerbit LP3ES, Jakarta, 1986.
7. Istilah kiri dan kanan berasal dari tradisi politik Perancis, kelompok yang secara umum mendukung kebijakan-kebijakan penguasa/raja adalah kelompok kanan. Sedang yang menawarkan perubahan dalam system itu disebut kelompok kiri.
8. Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, Penerbit INSIST & Pustaka Pelajar, Jakarta, 1999, Hlm.86-87.

Senin, 22 Maret 2010

Laki-Laki dan Penghapusan KDRT

LAKI-LAKI DAN PENGHAPUSAN KDRT
Oleh. Paul SinlaEloE dan Adi Nange
 

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), merupakan bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia, kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga merupakan tindakan diskriminasi. Oleh karena itu, KDRT harus dihapuskan. Dengan maksud itulah, para pengambil kebijakan membentuk UU No. 23 Tahun 2004, Tentang Penghapusan KDRT.
 
Dalam Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2004, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan KDRT adalah Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan ataupun penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam Rumah Tangga.

Lingkup rumah tangga yang dimaksud dalam UU No. 23 Tahun 2004 meliputi: Suami, Istri dan Anak, Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan Suami, Istri dan Anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam Rumah Tangga dan atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Artinya, orang yang bekerja membantu rumah tangga akan dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Sedangkan bentuk kekrasan yang dilarang adalah: Pertama, Kekerasan Fisik. Perbuatan yang ditujukan terhadap fisik seseorang yang mengakibatkan rasa sakit, atau luka berat. Kedua, Kekerasan Psikis. Perbuatan yang mengakibatkan hilangnya rasa percaya diri, kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya atau penderitaan psikis berat. Ketiga, Kekerasan Seksual. Berbagai bentuk manipulasi, eksploitasi maupun pemaksaan untuk melakukan tindakan seksual hanya demi pemuasan pelaku, tanpa memperhatikan dampaknya pada korban. Keempat, Penelantaran. Tidak memberikan nafkah, membatasi/melarang untuk bekerja sehingga korban berada di bawah kendalinya. (Pasal 5 s/d Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004).

Walaupun UU No. 23 Tahun 2004, Tentang Penghapusan KDRT ini telah diundangkan dalam LN-RI Tahun 2004 No. 95, Tambahan LN-RI No. 4419, pada tanggal 22 September 2004, namun hingga kini kasus KDRT masih terus terjadi dan semakin menjadi-jadi. Pada konteks Nusa Tenggara Timur (NTT), Kasus KDRT bukan saja terjadi pada kalangan rakyat, tetapi dilakukan juga oleh mereka yang menjabat/menduduki jabatan-jabatan penting pada setiap level pemerintahan yang ada di “Bumi Flobamora” ini.

Catatan Akhir Tahun PIAR NTT berkaitan dengan Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM sepanjang tahun 2009 di NTT, menunjukan bahwa di NTT telah terjadi 385 peristiwa/kasus tindak kekerasan dan Pelanggaran HAM yang memakan korban sebanyak 3.677 orang. Catatan Akhir Tahun PIAR NTT berkaitan dengan Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM sepanjang tahun 2009, juga membuktikan bahwa kasus KDRT di NTT menempati peringkat kedua dengan jumlah kasus sebanyak 57 kasus. Sedangkan yang menjadi korban dalam kasus KDRT sebanyak 59 orang. (NB: Keseluruhan kasus KDRT sepanjang tahun 2009 di NTT yang dimuat dalam Catatan Akhir Tahun PIAR NTT, hanya merupakan kasus yang diadvokasi oleh PIAR NTT).

Data Pendampingan RUMAH PEREMPUAN sejak tahun 2006-2009, juga menunjukan bahwa kasus KDRT selalu menempati ranking teratas dari berbagai jenis kasus kekerasan lain yang dialami oleh perempuan dan Anak. Pada tahun 2006, RUMAH PEREMPUAN mendampingi 190 kasus yang mana 73 kasusnya adalah kasus KDRT. RUMAH PEREMPUAN di tahun 2007, mendata 95 kasus KDRT dari 178 kasus yang didampinginya. Untuk tahun 2008, terdapat 98 kasus KDRT dari 177 total kasus yang didampingi oleh RUMAH PEREMPUAN. Sedangkan untuk tahun 2009, RUMAH PEREMPUAN mendampingi 191 kasus yang mana 100 diantaranya adalah kasus KDRT.

Berdasarkan pengalaman pendampingan RUMAH PEREMPUAN dan PIAR NTT, ditemukan bahwa terjadinya kasus KDRT di NTT, kebanyakan dipicu oleh Budaya Patriarkhi yakni budaya yang memberi pembenaran terhadap penguasaan atau superioritas laki-laki atas perempuan. Budaya Patriarkhi yang merupakan hegemoni laki-laki atas perempuan ini terlegitimasi dalam nilai, norma sosial di masyarakat.

Menurut Koordinator RUMAH PEREMPUAN, Libby SinlaEloE (2009), ciri-ciri dari budaya patriarkhi yang nampak dalam kehidupan bermasyarakat di NTT, adalah: Pertama, Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran. Kedua, Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. Ketiga, Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.

Keempat, Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan. Kelima, tradisi bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi. Keenam, Kepribadian dan kondisi psikologis suami dan anak yang tidak stabil. Ketujuh, tradisi bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.

PIAR NTT dan RUMAH PEREMPUAN dalam kerja-kerja pendampingannya mendata berbagai dampak dari kasus KDRT yang dialami oleh korban. Pertama, DAMPAK FISIK: Dampak kekerasan terhadap fisik korban seperti lebam, lecet, patah tulang, kepala bocor, pusing, dll. Kedua, DAMPAK PHSIKIS: Dampak phsikis dari seksualitas korban takut berhubungan seks, hilangnya keinginan untuk berhubungan seks, trauma, gangguan kejiwaan dll. Semua korban KDRT juga mengalami gangguan psikis seperti cemas, gelisah, malu, rendah diri, keinginan untuk bercerai, gangguan ingatan.

Ketiga, DAMPAK TERHADAP KESEHATAN KORBAN: Dampak terhadap kesehatan korban seperti terganggunya organ reproduksi, mengalami pendarahan, terjadi kehamilan yang tidak diinginkan (NB: Khusuanya Kasus Incest). Keempat, DAMPAK EKONOMI: Dililit utang, karena harus meminjam uang keorang lain untuk membiayai hidup. Kelima, DAMPAK SOSIAL: biasanya korban akan menarik diri dari pergaulan dan keluarga, tetangga, bahkan untuk sementara waktu ada juga korban yang berhenti melakukan akstivitas sosial maupun ritual keagamaan.

Untuk mengatasi persoalan KDRT ini, maka salah satu solusinya adalah Pelibatan Laki-Laki Dalam Penghapusan KDRT. Mengapa laki-laki harus terlibat dan dilibatkan..?? Sesuai dengn pengalaman pendampingan dari PIAR NTT dan RUMAH PEREMPUAN terhadap korban kasus KDRT, pelibatan laki-laki dalam penghapusan KDRT sangat penting karena persoalan KDRT adalah persoalan laki-laki dan perempuan. Selain itu, data yang ada menjukan bahwa pelaku KDRT terbanyak adalah kelompok laki-laki. Pengalaman pendampingan dari PIAR NTT dan RUMAH PEREMPUAN juga membuktikan bahwa lebih sering laki-laki pelaku KDRT di hukum, tapi tidak menjamin adanya perubahan perilaku. Wujud konkrit dari pelibatan dan keterlibatan laki-laki dalam upaya penghapusan KDRT diantaranya melakukan kampanye anti KDRT, menjadi konselor dan mengikuti/terlibat dalam program konseling.

Pada akhirnya, dengan pelibatan dan keterlibatan laki-laki dalam upaya-upaya penghapusan KDRT ini diharapkan dapat: Pertama, Meningkatkan pemahaman kelompok laki-laki sehingga dapat menjadi pribadi yang Sensitive Gender. Kedua, Kaum laki-laki memiliki komitmen untuk Tidak Melakukan KDRT. Ketiga, Mengubah pola penanganan KDRT yang terfokus pada pendampingan korban, sedangkan pelaku terabaikan dari sisi konseling dan hanya diancam oleh hukum formal, seperti sanksi kurungan dan atau denda saja. Laki-laki akan menjadi terhormat, jika tidak melakukan KDRT ... !!! (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Pagi TIMOR EXPRESS, tanggal 22 Maret 2010).



-----------------------
Penulis: Aktivis PIAR NTT
TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...