Rabu, 04 Juli 2018

Penghapusan Pidana Bagi Korban Perdagangan Orang

PENGHAPUSAN PIDANA BAGI KORBAN PERDAGANGAN ORANG1)

Oleh: Paul SinlaEloE2)


Dalam suatu peristiwa hukum terkait dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dapat dipastikan akan menimbulkan kerugian di pihak korban. baik itu yang bersifat materil dan/atau imateril. Karenanya, tidaklah mengherankan apabila para pengambil kebijakan telah merumuskan dan memasukan sejumlah pasal terkait dengan perlindungan korban dalam UU No. 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang (UUPTPPO), sebagai wujud kepedulian Negara terhadap Korban TPPO yang berdasarkan Pasal Pasal 1 angka 3 UUPTPPO dipahami sebagai seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan TPPO.


Salah satu pasal dalam UUPTPPO yang dirumuskan oleh pengambil kebijakan dalam rangka melindungi korban adalah Pasal 18 UUPTPPO yang mengamantkan bahwa: ”Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana”. Secara substansi, Pasal 18 UUPTPPO ini dirancang oleh pengambil kebijakan untuk melindungi korban dengan cara memberikan penghapusan pidana bagi korban TPPO yang dipaksa oleh pelaku TPPO untuk melakukan tindak pidana.


Konsep Penghapusan Pidana

Penghapusan atau peniadaan pidana (strafuitluitingsgronden) bagi orang/korban TPPO yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh orang lain/pelaku TPPO, merupakan kewenangan hakim berdasarkan ketentuan undang-undang dan hukum. Teknisnya, hakim memutus perkara dengan membenarkan atau memaafkan pelaku untuk tidak dipidana atas perbuatannya yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik. Alasan yuridis bagi hakim untuk penghapusan hukuman pidana (strafuitluitingsgronden) bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana, dapat berupa alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden) atau alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden).


Pengkategorian alasan penghapusan pidana menjadi alasan pembenar dan alasan pemaaf ini, sejalan atau memiliki korelasi dengan ilmu pengetahuan hukum pidana yang melakukan pembedaan antara ‘dapat dipidananya perbuatan’ dan ‘dapat dipidananya pembuat/pelaku’. Menurut Moeljatno (2002:137), alasan pemaaf sebagai alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, dimana perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum dan tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi terdakwa tidak dipidana karena tidak ada kesalahan, sedangkan alasan pembenar dimaknai sebagai alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum, sehingga secara hukum apa yang dilakukan oleh terdakwa telah dipandang menjadi perbuatan yang patut dan benar.


Secara sederhana, alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) dalam konsep penghapusan pidana dipahami sebagai alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dari suatu perbuatan pidana. Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) ini, berkaitan dengan actus reus atau perbuatan jahat dalam suatu tindak pidana (strafbaarfeit). Sedangkan, konsep penghapusan pidana terkait dengan alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan pelaku/terdakwa, baik itu yang bersifat kesengajaan (dolus) maupun kesalahan karena kealpaan (culpa). Alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) ini berhubungan dengan keadaan dari pelaku, pertanggungjawaban pidana (toerekeningsvatbaarheid) dan mens rea (niat jahat).


Penghapusan Pidana Versi Pasal 18 UUPTPPO

Kata ‘dipaksa’ yang terdapat dalam rumusan Pasal 18 UUPTPPO, merupakan kata kerja pasif dan dimaknai sebagai suatu keadaan di mana seseorang/korban TPPO disuruh melakukan sesuatu sedemikian rupa sehingga melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendak sendiri (Penjelasan Pasal 18 UUPTPPO). Secara substansi, istilah ‘dipaksa’ yang terdapat pada Pasal 18 UUPTPPO, memiliki kesamaan dengan istilah ‘daya paksa’ atau ‘overmacht’ yang dalam Memori Van Toelichting (penjelasan KUHPidana Belanda) dimaknai sebagai setiap kekuatan, setiap paksaan, setiap dorongan yang tidak dapat dielakan. 


Daya paksa atau overmacht, oleh Satochid Kartanegara (Tanpa Tahun:446) diartikan sebagi paksaan yang menimbulkan keadaan tak berdaya. Pendapat dari Satochid Kartanegara ini penekanannya lebih kepada akibat dari suatu paksaan yang menghasilkan suatu ketidakberdayaan karena situasi. Sedangkan daya paksa (overmacht) dalam Memori Van Toelichting (penjelasan KUHPidana Belanda) pengertiannya lebih dititik beratkan pada pilihan tindakan yang harus dilakukan oleh orang yang dipaksa. Jika mengacu pada apa yang diuraikan dalam Memori Van Toelichting (penjelasan KUHPidana Belanda) dan pendapat dari Satochid Kartanegara, maka dapat ditarik suatu titik simpul bahwa yang dimaksud dengan ‘daya paksa’ atau ‘overmacht adalah setiap kekuatan, setiap paksaan, setiap dorongan yang tidak dapat dielakan sehingga menimbulkan keadaan tak berdaya.


Konsep tentang daya paksa (overmacht) dalam ilmu hukum pidana, pada intinya melarang untuk mempidanakan atau menghukum setiap orang yang melakukan tindak pidana karena didorong oleh daya paksa. Jika mengacu pada Memori Van Toelichting (penjelasan KUHPidana Belanda), maka daya paksa atau overmacht ini dapat berwujud paksaan fisik dan psikis maupun oleh keadaan dan oleh Jan Engbertus Jonkers (1987:261), diketegorikan dalam 3 (tiga) klaster, yakni: Pertama, daya paksa yang besifat mutlak (vis absoluta); Kedua, daya paksa yang bersifat relatif (vis compulsiva); dan Ketiga, keadaan terpaksa/darurat (noodtoestand).


Daya paksa yang besifat mutlak (vis absoluta) senantiasa terjadi dalam hal orang yang dipaksa untuk melakukan suatu tindak pidana/TPPO, tidak dapat berbuat lain selain mengikuti apa yang dikehendaki oleh orang yang memaksa (R. Sugandhi, 1980:55). Itu berarti, orang yang dipaksa tersebut mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat dielakkan olehnya dan tidak mungkin memilih jalan lain. Sedangkan untuk suatu daya paksa bersifat relatif (vis compulsiva), maka orang yang dipaksa atau terpaksa untuk melakukan suatu tindak pidana/TPPO, masih mempunyai kesempatan untuk memilih tindakan mana/apa yang akan dilakukan (R. Sugandhi, 1980:55). Daya pakasa yang bersifat relatif ini, sering juga disebut sebagai kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak.


Menurut Moeljanto (2002:140), daya paksa relatif (vis compulsiva) dapat dibedakan menjadi daya paksa dalam arti sempit (overmacht in engere zin) sebagai paksaan atau daya paksa yang berasal oleh orang lain dan keadaan terpaksa/darurat (noodtoestand). Perbedaan antara keadaan terpaksa/darurat (noodtoestand) dengan daya paksa dalam arti sempit (overmacht in engere zin) terletak pada apa yang memaksa. Pada noodtoestand, daya paksa dimaksud tidak disebabkan oleh orang lain sebagaimana overmacht in engere zin, melainkan disebabkan oleh keadaan tertentu. Perbedaan lainnya adalah kalau daya paksa (overmacht) baik itu yang bersifat relatif (vis compulsiva) maupun yang besifat mutlak (vis absoluta), masuk dalam kategori alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden) dari konsep penghapusan atau peniadaan pidana (strafuitluitingsgronden), sedangkan noodtoestand merupakan strafuitluitingsgronden yang berkategori alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden).


Satochid Kartanegara (Tanpa Tahun:451) menjelaskan bahwa noodtoestand merupakan keadaan ketika suatu kepentingan hukum dalam keadaan bahaya dan untuk dapat terhindar bahaya itu, terpaksa dilanggar kepentingan hukum yang lain. Itu berarti, dalam suatu keadaan terpaksa/darurat (noodtoestand) terdapat suatu pertentangan antara 2 (dua) macam kepentingan hukum yang berbeda. Selain itu, keadaan terpaksa/darurat (noodtoestand), dapat juga terjadi ketika terdapat kondisi dimana ada pertentangan antara suatu kepentingan hukum dengan suatu kewajiban hukum. Pertentangan antara dua macam kewajiban hukum yang berbeda, masuk juga dalam kategori noodtoestand atau keadaan terpaksa/darurat (Satochid Kartanegara, Tanpa Tahun:452).


Pada konteks noodtoestand, Satochid Kartanegara (Tanpa Tahun:451-452) mengartikan kepentingan hukum sebagai suatu atau segala kepentingan yang diperlukan manusia menyangkut berbagai segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, anggota masyarakat, maupun bagian dari suatu Negara, yang wajib dijaga dan dipertahankan kebebasannya agar tidak dilanggar oleh perbuatan orang lain. Sedangkan, kewajiban hukum dimaknai oleh Satochid Kartanegara (Tanpa Tahun:451-452) sebagai kewajiban yang dibebankan pada subjek hukum untuk tunduk serta menjalankan setiap hukum yang berlaku dan apabila tidak dipatuhi, akan berakibat hukum bagi pelakunya.


Walaupun konsep tentang keadaan terpaksa/darurat (noodtoestand) sudah diakui dalam ilmu hukum pidana di Indonesia sejak awal kemerdekaan, namun konsep tentang keadaan terpaksa/darurat (noodtoestand) ini merupakan hal yang terabaikan dari UUPTPPO. Buktinya, konsep penghapusan atau peniadaan pidana (strafuitluitingsgronden) bagi korban TPPO yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 18 UUPTPPO beserta penjelasannya, hanya mengatur tentang orang/korban TPPO yang melakukan suatu tindak pidana karena dipaksa oleh orang/pelaku TPPO yang dalam perspektif hukum pidana tidak mencakup aspek kondisi atau keadaan terpaksa/darurat (noodtoestand) yang memaksa orang/korban TPPO yang melakukan suatu tindak pidana.


Pasal 18 UUPTPPO Mengabaikan Konsep Pembelaan Terpaksa

Salah satu poin penting yang terabaikan juga dalam UUPTPPO termasuk didalamnya rumusan delik Pasal 18 UUPTPPO beserta penjelasannya adalah tidak terdapatnya konsep pembelaan terpaksa (noodweer). Padahal, berdasarkan pengalaman advokasi kasus TPPO yang dilakukan oleh berbagai lembaga yang konsern terhadap korban TPPO, diantaranya Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR-NTT), Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC), Rumah Perempuan Kupang serta LAKMAS Cendana Wangi, ditemukan bahwa pembelaan terpaksa (noodweer) ini merupakan tindakan yang paling sering dilakukan oleh korban TPPO.


Secara substansi, konsep tentang pembelaan terpaksa (noodweer), berbeda dengan konsep daya paksa (overmacht). Adami Chazawi (2002:49-50) berpendapat bahwa setidaknya terdapat 4 (empat) perbedaan antara noodweer dan overmacht, yakni: Pertama. Daya paksa terjadi apabila perbuatan yang menjadi pilihan oleh orang yang diserang adalah berupa perbuatan yang memang dimaksudkan dan dinginkan si penyerang dan pada pembelaan terpaksa, perbuatan yang menjadi pilähan orang yang diserang adalah berupa perbuatan yang tidak menjadi tujuan atau maksud si penyerang; Kedua. Pada daya paksa, orang yang diserang terpaksa melakukan perbuatan yang dihendaki si penyerang, karena orang yang diserang tidak berdaya untuk melawan serangan yang memaksa itu. Sedangkan pada pembelan terpaksa, orang yang melakukan pembelaan terpaksa ada kemampuan berbuat untuk melwan serangan oleh si penyerang;


Ketiga, Pada pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan terhadap serangan-serangan yang bersifat melawan hukum dalam tiga bidang alah: tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda. Sedangkan untuk daya paksa, tidaklah ditentukan bidang kepentingan hukum apa dalam hal penyerangan yang dapat dilakukan daya paksa; dan Keempat, Pada daya paksa dapat terjadi dalam hal keadaan darurat, yaitu terjadi dalam hal konflik antara dua kepentingan hukum, konflik antara dua kewajiban hukum dan konflik antara kewajiban hukum dengan kepentingan hukum. Sebaliknya, pembelan terpaksa tidak dapat terjadi dalam keadaan darurat.


Menurut R. Sugandhi (1980:58-59), suatu tindakan dikategorikan sebagai noodweer apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: (1). Tindakan yang dilakukan itu harus benar-benar terpaksa untuk mempertahankan (membela) dalam artian pertahanan atau pembelaan itu harus demikian perlu sehingga boleh dikatakan tidak ada jalan lain yang lebih baik dari tindakan yang dilakukan; (2). Pembelaan atau pertahanan yang harus dilakukan itu hanya terhadap kepentingan-kepentingan diri sendiri atau orang lain, peri kesopanan atau kesusilaan, dan harta benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain; dan (3). Harus ada serangan yang melawan hukum dan ancaman yang mendadak (pada saat itu juga). Untuk dapat dikatakan “melawan hukum”, penyerang yang melakukan serangan itu harus melawan hak orang lain atau tidak mempunyai hak untuk itu.


Pembelaan terpaksa (noodweer) oleh E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi (2012:289-292), dikategorikan sebagai kewajiban mutlak dari setiap individu termasuk korban TPPO untuk membela atau mempertahankan dan melindungi kepentingan hukum (rechtsbelang) dirinya sendiri atau orang lain dari suatu ancaman serangan atau serangan (aanranding) yang bersifat melawan hukum (wederrechtlijk) yang terjadi atau dikhawatirkan akan segera menimpa (onmiddelijk dreigend) atas diri/badan (lijf), kehormatan/kesusilaan (eerbaarheid), atau barang-barang (goederen) dan langsung dihadapi atau di respons seketika itu (ogenblikklijk).


Pembelaan terpaksa atau noodweer dalam ilmu hukum pidana dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: noodweer (pembelaan terpaksa) itu sendiri dan noodweer exces. Menurut Satochid Kartanegara (Tanpa Tahun:480), yang dimaksud dengan noodweer exces adalah cara pembelaan diri yang melampaui batas-batas keperluan pembelaan. P. A. F. Lamintang (2013:502), menjelaskan bahwa suatu tindakan yang disebut sebagai noodweer exces dapat diketahui dari perbuatan dalam hal pembelaannya yang melampaui batas. Perbuatan melampaui batas ini bisa meliputi perbuatan melampaui batas keperluan maupun dapat pula berkenaan dengan perbuatan melampaui batas dari pembelaannya itu sendiri. Batas-batas dari keperluan yang telah dilampaui itu dapat diketahui dari cara-caranya yang telah dipergunakan untuk melakukan pembelaan. Sedangankan, untuk batas-batas dari sutu pembelaan itu disebut telah dilampaui, jika setelah pembelaan yang sebenarnya itu telah selesai, orang masih tetap menyerang si penyerang, walaupun serangan dari si penyerang itu sendiri sebenarnya telah berakhir.


Persamaan antara pembelaan terpaksa yang melampau batas (noodweer exces) dengan pembelaan terpaksa (noodweer) menurut Adami Chazawi (2002:51) adalah: Pertama, pada kedua-duanya ada serangan atau ancaman serangan yang meawan hukum, yang ditujukan pada 3 (tiga) kepentingan hukum (tubuh, kehormatan kesusilaan dan harta benda); Kedua, pada kedua-duanya, melakukan perbuatan pembelaan memang dalam keadaan yang terpaksa (noodzakelijk) dalam usaha untuk mempertahankan dan melindungi suatu kepentingan hukum yang terancam bahaya oleh serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum; dan Ketiga, pada kedua-dua pembelaan itu ditujukan untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan hukum (rechtsbelang) diri sendiri atau kepentingan hukum orang lain.


Adami Chazawi (2002:51-53) juga membedakan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dengan pembelaan terpaksa yang melampau batas (noodweer exces). Perbedaannya, yaitu: Pertama, bahwa perbuatan apa yang dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa haruslah perbuatan yang seimbang dengan bahaya dari serangan atau ancaman serangan, perbuatannya haruslah sepanjang perlu dalam hal pembelaan terpaksa, tidak diperkenankan melampaui dari apa yang diperlukan dalam pembelaan itu. Tetapi pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, ialah perbuatan apa yang menjadi pilihannya sudah melebihi dari apa yang diperlukan dalam hal pembelaan atas kepentingan hukumnya yang terancam, yang artinya pilihan perbuatan itu sudah tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkan oleh adanya serangan atau ancaman serangan;


Kedua, bahwa dalam hal pembelaan terpaksa, perbuatan pembelaan hanya dapat dilakukan pada ketika adanya ancaman serangan atau serangan sedang beriangsung dan tidak boleh dilakukan setelah serangan terhenti atau tidak ada lagi serangan. Tetap pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, perbuatan pembelaan itu masih boleh dilakukan sesudah serangan terhenti; dan Ketiga, tidak dipidananya si pembuat pembelaan terpaksa oleh karena kehilangan sifat melawan hukum pada perbuatannya, jadi merupakan alasan pembenar. Dasar peniadaan pidana karena pembelaan terpaksa terletak pada perbuatannya. Sedangkan, tidak dipidananya si pembuat pembelaan terpaksa yang melampaul batas oleh karena adanya alasan penghapus kesalahan pada diri si pembuat, jadi merupakan alasan pemaaf. Dasar tidak dipidananya si pembuat dalam pembelaan yang melampaui batas terletak pada diri orangnya, dan bukan pada perbuatannya

 

DAFTAR BACAAN 

  1. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002.
  2. E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi. Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit Storia Grafika, Jakarta, 2012.
  3. J. E. Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, (Judul Asli: Handboek Van Het Nederlandsch-Indische Strafrech), diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Bina Aksara, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1987.
  4. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
  5. P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013.
  6. R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya, Penerbit Usaha Nasional, Surabaya, 1980.
  7. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Ke Satu, diperbanyak oleh Balai Lektur Mahasisiwa, Jakarta, Tanpa Tahun.
  8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


1) Tulisan pernah dipresentasikan dalam diskusi terbatas “Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang”, yang dilaksanakan oleh Lembaga Advokasi Masyarakat Sipil Cendana Wangi (Lakmas CW - NTT), di Kantor Lakmas CW - NTTKefamenanu, pada tanggal 20 Juni 2018.

2) Aktivis PIAR NTT

Senin, 16 April 2018

Penyelenggara Negara dan Tindak Pidana Perdagangan Orang


PENYELENGGARA NEGARA dan TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Oleh. Paul SinlaEloE


Melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Itulah amanat yang tertera dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, dan merupakan tujuan dari didirikannya Negara Indonesia. Demi mewujudkan tujuan mulia ini, diperlukan suatu usaha bersama dimana tanggung jawab utamanya berada pada Pemerintah (Penyelenggara Negara) dan seluruh rakyat Indonesia harus mendapat kesempatan yang sama untuk berpartisipasi.

Sebagai penanggungjawab utama dalam mewujudkan tujuan Negara Indonesia, maka setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 5 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).

Penyelenggara Negara juga harus menjalankan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, sesuai dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yakni: asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas.

Berpijak pada alur pikir yang demikian, maka dalam upaya untuk mewujudkan tujuan negara, idealnya Penyelenggara Negara tidak boleh menyalahgunakan kekuasaannya maupun bertindak sewenang-wenang dengan kekuasaannya dalam penyelenggaraan negara. Dengan pemahaman yang seperti ini, tidaklah mengherankan apabila terdapat banyak ketentuan hukum yang mengatur tentang pemberian pidana bagi setiap Penyelenggara Negara yang menyalahgunakan kekuasaannya maupun bertindak sewenang-wenang dengan kekuasaannya dalam penyelenggaraan negara.

Penyelenggara Negara Sebagai Pelaku TPPO
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO), merupakan salah satu dari sekian banyak produk hukum di Indonesia yang dikonstruksi untuk menghukum setiap Penyelenggara Negara, jika menyalahgunakan kekuasaan yang ada padanya dalam penyelenggaraan negara.

Rumusan delik dalam Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO, secara tegas mengamanatkan bahwa: “Setiap Penyelenggara Negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana di maksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6”.

Terdapat 3 (tiga) unsur tindak pidana yang terkandung dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO, yakni: Pertama, unsur pelaku. Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO dirumuskan untuk menjerat setiap Penyelenggara Negara yang melakukan setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Dalam konteks UUPTPPO, Penyelenggara Negara dipahami sebagai pejabat pemerintah, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat keamanan, penegak hukum atau pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau mempermudah tindak pidana perdagangan orang (Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO).

Unsur pertama dari Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO ini menekankan pada aspek spesifikasi dari kualitas pelaku, yakni Penyelenggara Negara. Maksudnya, jika pelaku TPPO adalah bukan Penyelenggara Negara, maka tidak dapat dijerat dengan Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO. Kata ‘mempermudah’ yang terdapat dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO, menunjukan bahwa pembuat UUPTPPO menghendaki agar setiap Penyelenggara Negara yang akan dihukum dengan Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO, tidak saja berperan sebagai pelaku yang secara langsung melakukan TPPO dengan cara menyalahgunakan kekuasaanya, namun dapat juga dihukum karena perannya sebagai pelaku karena perbuatan penyertaan (deelneming) maupun tindakan pembantuan (medeplichtigheid) dalam TPPO.


Unsur kedua terkait dengan rumusan delik dari Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO adalah unsur perbuatan, yakni penyalahgunaan kekuasaan. Perbuatan sebagai unsur TPPO dipahami sebagai setiap tindakan aktif dan/atau pasif yang dilakukan secara sadar maupun tidak untuk terwujudnya TPPO. Sedangkan yang dimaksud dengan menyalahgunakan kekuasaan berdasarkan penjelasan Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO adalah menjalankan kekuasaan yang ada padanya tidak sesuai dengan ketentuan peraturan.

Dalam prespektif hukum pidana, tindakan atau perbuatan penyalahgunaan kekuasaan oleh Penyelenggara Negara dapat berbentuk tindak pidana aktif atau tidak pidana positif (delict commission), maupun berbentuk tindak pidana pasif atau tindak pidana negatif (delict omission). Menurut H. A. Zainal Abidin (2007:213), delict omissionis merupakan delik atau tindak pidana yang hanya dapat diwujudkan dengan perbuatan (feit) pasif. Artinya, Penyelenggara Negara dikategorikan sebagai pelaku TPPO karena tidak berbuat atau mengabaikan kewajiban hukum, dimana seharusnya Penyelenggara Negara berbuat aktif. Sebaliknya delict commissionis ialah terwujudnya perbuatan pidana atau TPPO karena setiap Penyelenggara Negara yang dikategorikan sebagai pelaku, tidak patuh terhadap undang-undang dengan cara berbuat aktif untuk melanggar apa yang dilarang.

Penyalahgunaan kekuasaan oleh Penyelenggara Negara sehingga menjadikan seseorang atau sekelompok orang menjadi korban kejahatan TPPO sebagaimana yang dimaksud dalam unsur kedua dari Pasal 8 UUPTPPO, merupakan bentuk paling umum dari viktimasi struktural. Viktimisasi struktural ini senantiasa berkaitan dengan struktur sosial dan kekuasaan yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkonsekwensi pada terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Praktek perbudakan, ageism, diskriminasi, rasisme, seksisme, penyiksaan, penderitaan, eksploitasi, kerja paksa, merupakan sebagaian dari bentuk viktimisasi struktural yang membedakannya dari berbagai bentuk viktimisasi lainnya.

Ketiga, unsur tujuan/akibat. Unsur tujuan atau akibat ini dipahami sebagai sesuatu yang nantinya akan tercapai dan atau terwujud, sebagai akibat dari tindakan pelaku dalam kapasitasnya sebagai Penyelenggara Negara. Unsur tujuan/akibat dalam Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO adalah terjadinya TPPO sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Unsur tujuan/akibat sangat penting dalam penegakan hukum karena Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO ini dirancang oleh perumus undang-undang sebagai delik materil.

Menurut Satochid Kartanegara (Tanpa Tahun:136-137), unsur perbuatan yang dilarang dalam delik materil bukanlah merupakan persoalan inti yang harus dipersoalkan, sebab setiap orang baru akan dihukum apabila unsur akibat yang dilarang telah terwujud. Dengan kata lain, sempurnanya suatu tindak pidana pada delik materil bukan bergantung pada selesainya wujud perbuatan, tetapi ditentukan pada apakah dari wujud perbuatan itu, akibat yang dilarang telah timbul. Dengan demikian, jika akibat yang dilarang belum terjadi, maka tindak pidana dimaksud dianggap belum selesai/terjadi atau bisa juga dikategorikan dalam percobaan melakukan tindak pidana.

Para perumus UUPTPPO juga mendesain Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO sebagai tindak pidana yang tidak berdiri sendiri, karena sempurnanya TPPO berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO masih digantungkan pada terwujudnya TPPO sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 UUPTPPO. Dengan kata lain, setiap Penyelenggara Negara yang menyalahgunakan kekuasaan baru dapat dipidana sebagai pelaku TPPO, jika salah satu dari antara Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 atau Pasal 6 UUPTPPO, telah terwujud.

Sanksi untuk Penyelengara Negara
yang Melakukan TPPO
Sanksi merupakan istilah yang diadopsi dari bahasa Belanda, yakni ‘sanctie’, dan dalam ilmu hukum dapat dipahami sebagai hukuman yang akan dijatuhkan oleh pengadilan pada setiap orang yang tidak mentaati norma-norma yang berlaku (Paul SinlaEloE, 2017:91). Menurut E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi (2012:30), sanksi merupakan alat preventif sekaligus menjadi alat represif, karena: Pertama, sanksi adalah alat pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma hukum ditaati oleh setiap orang. Kedua, merupakan akibat hukum (rechtsgevolg) bagi setiap orang yang melanggar norma hukum.

Dalam hal sanksi, Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO dirancang untuk memberikan hukuman bagi pelaku (setiap Penyelenggara Negara) yang menyalahgunakan kekuasaan dengan pemberatan pidana berupa tambahan pidana 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 UUPTPPO. Karena sanksi yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO mengacu pada ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 UUPTPPO, maka Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO juga menganut stelsel komulatif dengan mempergunakan model sanksi pidana penjara minimal-maksimal dan denda minimal-maksimal.

Terkait dengan pemberatan pidana untuk Penyelenggara Negara, Pasal 8 ayat (2) UUPTPPO mengamanatkan bahwa setiap Penyelenggara Negara yang terbukti sebagai pelaku TPPO, dapat juga dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya. Pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya harus dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan (Pasal 8 ayat (3) UUPTPPO).

Pemberatan pidana bagi setiap Penyelenggara Negara yang terbukti sebagai pelaku TPPO karena menyalahgunakan kekuasaan adalah penting. Sebab, tugas utama dari Penyelenggara Negara adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Cacat Bawaan Terkait Sanksi
Bagi Penyelenggara Negara
Salah satu cacat bawaan terkait dengan rumusan delik dari Pasal 8 UUPTPPO adalah pengaturannya tentang penjatuhan sanksi. Dalam Pasal 8 UUPTPPO, aspek klasifikasi dan stratifikasi jabatan dari setiap Penyelenggara Negara yang menyalahgunakan kekuasaan sehingga terwujudnya TPPO, belum mendapat perhatian dari para perumus UUPTPPO. Konsekuensinya, aspek klasifikasi dan stratifikasi jabatan dari setiap Penyelenggara Negara dalam ketentuan penjatuhan sanksi pidana bagi setiap Penyelenggara Negara yang menajdi pelaku TPPO dengan cara menyalahgunakan kekuasaannya, menjadi terabaikan dalam rumusan delik dari Pasal 8 UUPTPPO.

Dengan konstruksi hukum dari Pasal 8 UUPTPPO yang seperti ini, maka bisa saja setiap Penyelenggara Negara yang memiliki klasifikasi dan stratifikasi jabatan yang rendah, akan dijatuhi hukuman yang sama dengan setiap Penyelenggara Negara yang memiliki klasifikasi dan stratifikasi jabatan yang tinggi. Padahal, kekuasaan (kewenangan, tugas dan tanggungjawab) dari Penyelenggara Negara selalau dibedakan berdasarkan klasifikasi dan stratifikasi jabatan.

Pengaturan tentang penjatuhan sanksi pidana bagi Penyelenggara Negara sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 8 UUPTPPO, pada dasarnya dapat dimaklumi karena Indonesia menganut model penjatuhan sanksi pidana berdasarkan peran dari pelaku dan bukannya berdasarkan jabatan dari pelaku. Walaupun demikian, harus diingat bahwa penjatuhan pidana bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana (termasuk TPPO), tidak boleh mengabaikan aspek keadilan hukum yang merupakan poin terpenting dari penegakan hukum di Indonesia, selain aspek kemanfaatan hukum dan kepastian hukum.

Penegakan hukum terhadap Pasal 8 UUPTPPO, khususnya penjatuhan sanksi pidana bagi setiap Penyelenggara Negara yang menyalahgunakan kekuasaan sehingga TPPO terjadi, akan disebut telah memenuhi aspek keadilan hukum apabila penjatuhan sanksi pidana tersebut sudah dirasakan adil, baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat.

Dalam rangka mewujudkan aspek keadilan hukum, maka penjatuhan sanksi pidana harus didasarkan pada peran dari setiap Penyelenggara Negara yang melakukan TPPO, namun aspek klasifikasi dan stratifikasi jabatan dari setiap Penyelenggara Negara yang menjadi pelaku TPPO, tidak boleh diabaikan dalam implementasi Pasal 8 UUPTPPO.

Solusi untuk mengatasi cacat bawaan terkait penjatuhan sanksi pidana untuk Penyelenggara Negara yang melakukan TPPO, maka penyusunan pedoman pemidanaan (sentencing guidlines) yang dapat dijadikan rujukan dan pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana untuk setiap Penyelenggara Negara yang menyalahgunakan kekuasaannya, merupakan sesuatu yang bersifat segera.

Pedoman pemidanaan (sentencing guidlines) terkait penjatuhan sanksi pidana terhadap setiap Penyelenggara Negara yang menyalahgunakan kekuasaannya, harus diatur dalam undang-undang pidana tersendiri. Ruang lingkup dari pedoman pemidanaan (sentencing guidlines) ini, tidak saja mengatur tentang penjatuhan sanksi pidana bagi setiap Penyelenggara Negara yang menyalahgunakan kekuasaannya sehingga berakibat terwujudnya TPPO, melainkan diperuntukan secara seragam bagi seluruh penjatuhan sanksi pidana terhadap setiap Penyelenggara Negara yang menyalahgunakan kekuasaannya dalam semua jenis kategori tindak pidana.


------------------------------------------
KETERANGAN:
  1. Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam  http://www.zonalinenews.com/2018/04/penyelenggara-negara-dan-tindak-pidana-perdagangan-orang/, pada tanggal 16 April 2018.
  2. Penulis adalah Aktivis PIAR.


Jumat, 06 April 2018

Pelaku Pembantu dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang

PELAKU PEMBANTU DALAM
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Oleh. Paul SinlaEloE


Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam banyak literatur dan dokumen penelitian, selalu diuraikan keterlibatannya berdasarkan status, kedudukan atau jabatan. Padahal secara yuridis, keterlibatan pelaku dalam suatu TPPO bukan ditentukan oleh status, kedudukan atau jabatan, melainkan perannya dalam suatu peristiwa pidana (Paul SinlaEloE, 2017:39).

Berkaitan dengan peran dari pelaku TPPO, ada 2 (dua) alasan mengapa pembahasan terkait orang yang membantu melakukan TPPO adalah penting dalam rangka pemberantasan TPPO. Pertama, agar Penegak Hukum dapat menuntut pertanggungjawaban atau menghukum pelaku TPPO, berdasarkan peran dari keterlibatannya. Kedua, banyak dari mereka yang menjadi pelaku, mungkin saja tidak menyadari bahwa tindakan yang dilakukannya merupakan kejahatan TPPO.

Dalam UU No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO), pengaturan tentang orang yang membantu melakukan TPPO terdapat dalam Pasal 10 dan Pasal 23. Namun, pada poin penjelasan dari kedua pasal ini, tidak dijelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan membantu melakukan, siapa yang dimaksud dengan orang yang melakukan pembantuan (pelaku pembantu/medeplichtige) dalam TPPO dan bagaimana pelaku pembantu (medeplichtige) melakukan pembantuannya dalam kasus TPPO.

Siapa Itu Pelaku Pembantu?
Pelaku pembantu (medeplichtige) dalam konteks TPPO, dapat dipahami sebagai orang yang memberikan dukungan/bantuan atas terlaksananya TPPO. Dalam doktrin hukum pidana, orang yang disebut sebagai pelaku pembantu (medeplichtige) harus memenuhi 2 (dua) syarat yang bersifat kumulatif. Syarat yang pertama mengenai perbuatannya atau sifat perbuatannya (syarat objektif) dan syarat yang kedua terkait sifat batin (syarat subjektif) dari pembantuan (Adami Chazawi, 2005:371-372).

Dari sudut objektif bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pembantu (medeplichtige), sifat dari perannya maupun andilnya adalah hanya sebatas mempermudah atau memperlancar terjadinya kejahatan saja. Dengan demikian, maka perbuatan atau tindakan yang menentukan terlaksananya kejahatan secara sempurna adalah terdapat pada perbuatan atau tindakan yang dilakukan sendiri oleh pelaku pelaksana/pelaku materil (pleger) atau orang yang dibantu oleh pelaku pembantu (medeplichtige).

Sedangkan dari sudut subjektif, sikap batin atau kesengajaan pelaku pembantu (medeplichtige) hanya untuk menolong atau membantu saja, demi kepentingan pelaku pelaksana/pelaku materil (pleger) dapat menyelesaikan kejahatan yang dituju. Artinya, ada perbedaan sikap batin yang jelas antara pelaku pembantu (medeplichtige) dengan sikap batin dari pleger atau pelaku materil/pelaku pelaksana. Kesengajaan pelaku pembantu (medeplichtige) hanya ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan kejahatan, sedangkan kesengajaan dari pelaku pelaksana/pelaku materil (pleger) ditujukan pada penyelesaiaan pelaksana kejahatan. Kepentingan pelaku pembantu (medeplichtige) hanya terbatas pada kepentingan menolong pelaku pelaksana/pelaku materil (pleger) dan kepentingan pelaku pelaksana/pelaku materil (pleger) sepenuhnya untuk kepentingan dirinya dalam menyelesaikan kejahatan.

Pembantuan Versi Pasal 10 UUPTPPO
Secara konseptual, ajaran tentang pembantuan (medeplichtigeheid) dalam ilmu hukum pidana, dipandang sebagai dasar/alasan perluasan pertanggungjawaban pidana (strafausdehnungsgrund). Jadi sifat pembantuan adalah untuk memperluas dapat dipidananya pelaku, bukan memperluas rumusan-rumusan delik. Konsep ini, dianut juga oleh Pasal 10 UUPTPPO dan Pasal 23 UUPTPPO.

Materi dari Pasal 10 UUPTPPO, pada dasarnya tidak menyamakan antara: Pertama, pelaku yang melakukan tindakan yang memenuhi unsur TPPO dengan pelaku yang berkategori membantu melakukan TPPO; Kedua, pelaku yang berkategori membantu melakukan TPPO dengan peluku yang melakukan percobaan untuk melakukan TPPO; Ketiga, peluku yang melakukan percobaan untuk melakukan TPPO dengan pelaku yang melakukan tindakan yang memenuhi unsur TPPO.

Selain itu, perlu dipahami juga bahwa pembantuan/medeplichtigheid dalam ketentuan Pasal 10 UUTPPO ini tidak hanya berlaku untuk Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 dari UUPTPPO saja, tetapi berlaku juga terhadap seluruh pasal terkait dengan TPPO yang terdapat dalam Bab II dan Bab III UUPTPPO, kecuali terhadap Pasal 23 UUPTPPO dan pasal-pasal yang tidak merumuskan tindak pidana secara konkrit.

Secara substansi, Pasal 10 UUPTPPO hanya menyamakan beban pertanggungjawaban pidana antara: Pertama, setiap orang yang berkualitas sebagai pihak yang membantu melakukan TPPO dengan setiap orang yang melakukan percobaan TPPO; Kedua, setiap orang yang berkualitas sebagai pihak yang membantu melakukan TPPO dengan setiap orang yang melakukan tindakan yang memenuhi unsur TPPO; Ketiga, setiap orang yang melakukan tindakan yang memenuhi unsur TPPO dengan setiap orang yang melakukan percobaan TPPO.

Jika merujuk pada ilmu hukum pidana, maka konsep pembantuan/medeplichtigheid yang terdapat dalam Pasal 10 UUPTPPO bisa dimaknai berdasarkan waktu pelaksanaan pembantuan dan perbuatan dari orang yang membantu melakukan kejahatan. Dari aspek waktu, pembantuan atau medeplichtigheid bisa terjadi ketika sebelum pelaksanaan kejahatan dan pada saat pelaksanaan kejahatan. Wujud perbuatan pada pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan, maupun pada saat pelaksanaan kejahatan dapat dilakukan dengan berbagai cara atau segala upaya, termasuk memberikan kesempatan (glegenheid), memberikan sarana (middelen), memberikan keterangan (inlichtingen) dan pembantuan pasif (passieve medeplichtigheid).

Ajaran tentang pembantuan pada saat kejahatan terjadi, mirip dengan peran pelaku yang berkategori sebagi orang yang turut serta (medepleger) melakukan kejahatan. Menurut E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi (2012:377-378), perbedaannya terletak pada: Pertama, sifat perbuatan yang merupakan obyek tindak pidana. Teori obyektif (de obyectieve deelnenings theorie) menjelaskan bahwa apabila seseorang melakukan perbuatan yang menurut sifatnya adalah merupakan perbuatan yang dilarang undang-undang, maka orang tersebut melakukan kejahatan dalam bentuk ‘turut serta’ atau ‘medeplegen’. Sedangkan apabila orang tersebut perbuatannya tidak bersifat tindak pidana, maka dianggap melakukan ‘pembantuan’ atau ‘medeplichtigheid’.

Kedua, aspek niat/kehendak, tujuan maupun kepentingan. Teori Subyektif (de subyectieve deelnemings theorie) menguraikan bahwa perbedaan mendasar dari ‘turut serta’ melakukan tindak pidana dengan ‘membantu’ melakukan tindak pidana, dapat dilihat dari niat/kehendak, tujuan maupun kepentingan. Dalam ‘turut serta’ atau ‘medeplegen’, pelaku (medepleger) memang mempunyai kehendak atau niat terhadap terjadinya tindak pidana. Sedangkan dalam ‘pembantuan’, kehendak/niat dari pelaku pembantu (medeplichtige) hanya ditujukan ke arah ‘memberi bantuan’ kepada orang yang melakukan tindak pidana (pleger).

Dari aspek tujuan, pelaku (medepleger) yang melakukan kejahatan mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Berbeda dengan ‘turut serta’ atau ‘medeplegen’, pelaku pembantu (medeplichtige) dalam ‘pembantuan’ tidak mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Terkait dengan kepentingan, pelaku (medepleger) yang melakukan kejahatan dalam ‘turut serta/medeplegen’’, mempunyai kepentingan yang sama dalam tindak pidana. Sedangkan pada ‘pembantuan’ atau ‘medeplichtigheid’, pelaku pembantu (medeplichtige) memiliki kepentingan yang tidak langsung terhadap terjadinya suatu tindak pidana, tetapi hanya terbatas atas bantuan yang diberikan.

Ketiga, kesadaran dalam bekerjasama. Berdasarkan Teori Gabungan (verenigings theorie), perbedaan antara turut serta’ atau ‘medeplegen’ dengan ‘pembantuan’ atau ‘medeplichtigheid’, bisa diketahui dari aspek kesadaran dalam bekerjasama. Di dalam praktek, sering dilihat apakah seseorang memenuhi syarat dari bentuk ‘turut serta/medeplegen’’, yakni terdapat kesadaran kerja sama dan kerja sama itu secara fisik. Apabila memang memenuhi syarat tersebut, maka keterlibatan seseorang dalam suatu perbuatan pidana diklasifikasikan sebagai pelaku yang turut serta (medepleger’) melakukan tindak pidana. Sebaliknya, apabila tidak memenuhi syarat dimaksud, maka orang yang terlibat dalam tindak pidana dimaksud diklasifikasikan pelaku pembantu (medeplichtige) sebagaimana ajaran tentang ‘pembantuan’.

Ajaran tentang pembantuan dalam konteks sebelum suatu kejahatan dilakukan, juga memiliki rumusan yang hampir sama dengan penganjuran/penggerakkan (uitlokking). Perbedaannya pada niat atau kehendak dari pelaku. Paul SinlaEloE (2017:47-50), menjelaskan bahwa pada pembantuan, kehendak jahat pelaku materil/pelaku pelaksana (pleger) sudah ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pelaku pembantu (medeplichtige). Sedangkan dalam penganjuran/penggerakkan, kehendak melakukan kejahatan pada pelaku materil/pelaku pelaksana (pleger) ditimbulkan oleh penganjur atau orang yang menganjurkan/menggerakan (uitlokker).

Pembantuan versi Pasal 23 UUPTPPO
Dalam UUPTPPO, Pasal 23 dikelompokan dalam tindak pidana lain yang berkaitan dengan TPPO. Pasal 23 UUPTPPO pada initinya mengamanatkan bahwa setiap orang akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), jika membantu pelarian pelaku TPPO dari proses peradilan pidana dengan: a. Memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku; b. Menyediakan tempat tinggal bagi pelaku; c. Menyembunyikan pelaku; atau d. Menyembunyikan informasi keberadaan pelaku.

Materi muatan dari Pasal 23 UUPTPPO, pada intinya hanya difokuskan untuk menjerat pelaku pembantu (medeplichtige) yang membantu pelarian pelaku TPPO dari proses peradilan pidana. Secara substansi, Pasal 23 UUPTPPO mengatur pembatasan-pembatasan mengenai perbuatan atau cara yang dipergunakan oleh pelaku pembantu (medeplichtige) dalam membantu pelarian pelaku TPPO dari proses peradilan pidana. Cara-cara dimaksud adalah: Pertama, memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku; Kedua, menyediakan tempat tinggal bagi pelaku; Ketiga, menyembunyikan pelaku; atau Keempat, menyembunyikan informasi keberadaan pelaku.

Salah satu poin penting dari Pasal 23 UUPTPPO adalah pengaturannya tentang waktu pelaksanaan pembantuan. Dalam Pasal 23 UUPTPPO, bantuan yang diberikan oleh pelaku pembantu (medeplichtige) bisa terjadi ketika sebelum pelaksanaan kejahatan dan pada saat pelaksanaan kejahatan dengan cara memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku. Selain itu, bantuan yang diberikan oleh pelaku pembantu (medeplichtige) bisa juga terjadi ketika sesudah/setelah pelaksanaan kejahatan melalui cara menyediakan tempat tinggal bagi pelaku, menyembunyikan pelaku atau menyembunyikan informasi keberadaan pelaku (Pasal 23 UUPTPPO).

Waktu pelaksanaan pembantuan yang diatur dalam Pasal 23 UUPTPPO ini, berbeda dengan ajaran pembantuan yang dianut oleh Indonesia, khususnya yang terdapat dalam Pasal 10 UUPTPPO maupun Pasal 56 KUHPidana. Perbedaannya adalah pada Pasal 10 UUPTPPO dan Pasal 56 KUHPidana, dirancang untuk menghukum pelaku pembantu (medeplichtige) yang terlibat ketika ‘sebelum dilakukan’ tindak pidana serta mempidanakan pelaku yang melakukan pembantuan (medeplichtigeheid) pada ‘saat dilakukan’ tindak pidana dan tidak mengenal pembantuan ‘setelah’ tindak pidana terjadi.

Kalau diteliti dengan cerdas dan cermat, sebenarnya Indonesia juga mengenal dan mengatur bentuk pembantuan ‘setelah dilakukan’ tindak pidana, sama seperti Inggris dan Negara lainnya. Hanya saja dalam KUHPidana maupun produk hukum terkait pidana lainnya, pengaturan bentuk pembantuan setelah dilakukannya tindak pidana merupakan bentuk tindak pidana tersendiri yang tanpa harus dikaitkan dengan pasal pembantuan/penyertaan.

Poin penting lainnya yang terdapat dalam Pasal 23 UUPTPPO adalah pengaturan terkait dengan sanksi. Sebagai delik berdiri sendiri (zelfstandig delict), Pasal 23 UUPTPPO mengancam pidana pelaku pembantu (medeplichtige) yang membantu pelarian pelaku TPPO dari proses peradilan pidana, tanpa mengaitkannya dengan TPPO yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini berbeda dengan Pasal 10 UUPTPPO yang menyamakan sanksi antara setiap orang yang berkualitas sebagai pihak yang membantu melakukan TPPO dengan setiap orang yang melakukan tindakan yang memenuhi rumusan unsur delik TPPO.


Pengaturan sanksi terkait pertanggungjawaban pidana dari pelaku pembantu (medeplichtige) yang terdapat dalam Pasal 10 UUPTPPO dan Pasal 23 UUPTPPO, juga berbeda dengan yang diatur KUHPidana. Penerapan sanksi dalam pertanggungjawaban pidana bagi pelaku pembantu (medeplichtige) menurut Pasal 56 KUHPidana, sebagai berikut: Pertama, maksimum pidana bagi pelaku pembantu (medeplichtige) adalah maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi 1/3 (sepertiga); Kedua, jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pelaku pembantu (medeplichtige) dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 (limabelas) tahun; dan Ketiga, pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.


DAFTAR BACAAN

  1. Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Alumni, Bandung, 2005.
  2. E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi. Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit Storia Grafika, Jakarta, 2012.
  3. Paul SinlaEloE, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Penerbit Setara Press, Malang, 2017.
  4. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/Wetboek van Strafrecht.
  5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


  
------------------------------------------------------
KETERANGAN:
  1. Penulis adalah Aktivis PIAR NTT
  2. Tulisan ini merupakan hasil editing (Pengoreksian dan Penyempurnaan) dari makalah berjudul: Pembantuan Dalam Konteks Tindak Pidana Dalam Konteks Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang dipresentasikan dalam diskusi terbatas “Membedah Peran Pelaku Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang”, yang dilaksanakan oleh Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR-NTT), di Hotel Olive, Kota Kupang, pada tanggal 29 Mei 2017.

TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...