Selasa, 25 Februari 2014

Perdagangan Orang & Memblenya Kepolisian


PERDAGANGAN ORANG & MEMBLENYA KEPOLISIAN 
Oleh, Dominggus Elcid Li dan Paul SinlaEloE


Kematian Marni Baun (22 tahun) pada tanggal 21 Februari 2014, di Medan, Sumatera Utara, seharusnya bisa dihindari, jika pihak Kepolisian sejak awal berkeinginan mendengar dan menindaklanjuti ‘jeritan’ dari korban sebelumnya, Eri Ndun, ketika ia dipulangkan dalam keadaan sakit pada Bulan Januari 2013 dari tempat kerjanya di Medan, Sumatera Utara.

Sayangnya, upaya untuk membuka jaringan mafia perdagangan orang ini tidak dilakukan oleh pihak Kepolisian. Padahal laporan ke pihak Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dilakukan oleh PIAR NTT dan Rumah Perempuan dengan Nomor Laporan: STPL/32/II/2013/SPKT, tertanggal 5 Februari 2013, cukup jelas bahwa Eri Ndun adalah bukan korban tunggal dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang karena ia direkrut, dipekerjakan tanpa mendapatkan upah, disiksa dan disekap bersama 25 (duapuluh lima) temannya yang kebanyakan berasal dari Timor Barat, dan sebagian kecil berasal dari Rote Pantai Baru. Mereka semuanya perempuan dan berasal dari kampung-kampung di pedalaman NTT seperti Malaka, Nakmofa, Kapan, Takari, SoE dan Amanatun.

Selain memberi laporan tertulis, Eri Ndun juga difasilitasi oleh PIAR NTT dan Rumah Perempuan untuk bertemu langsung dengan Kapolda NTT, Brigjen Pol. Ricky Sitohang, Kombes Pol. Samuel Kawengian (Dirkrimum Polda NTT) dan para petinggi di Polda NTT lainnya. Pada pertemuan tanggal 7 Februari 2013 yang berlangsung di ruang rapat Kapolda NTT ini, Eri Ndun meminta 3 (tiga) hal pada pihak Polda NTT, yakni: (1). Memperjuangkan upahnya yang belum pernah diperoleh selama bekerja. (2). Menuntut kepastian hukum atas kasus kekerasan yang menimpa dirinya, dan (3). Meminta pihak Kepolisian memulangkan kawan-kawannya dari Medan.

Poin permintaan ketiga ini, merupakan pesan kawan-kawannya yang dikurung dan dipekerjakan di rumah sarang burung walet. Namun laporan ini hanya tinggal laporan, hingga pihak Kepolisian NTT menerima peti jenazah Marni Baun pada tanggal 22 Februarai 2014 di bandara El Tarai Kupang, atau lebih dari satu tahun setelah Eri Ndun melapor.

Orang NTT Harganya Murah
Perdagangan orang oleh Amnesty International disebut sebagai bentuk modern dari perbudakan. Fenomena ini dianggap lebih banyak terjadi di luar negeri, padahal perdagangan orang atau perbudakan modern juga terjadi di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di Republik Indonesia, orang NTT telah diposisikan sebagai ‘orang yang harganya murah’, di belahan pulau lainnya.

Eufemisme terasa sekali dalam penyebutan kasus perdagangan orang, dengan menyebut ‘tenaga kerja ilegal’. Padahal jelas hal yang diperdagangkan bukan lagi ‘tenaga kerja’, tetapi ‘orangnya’. Perbedaannya, jika hanya menjual ‘tenaga kerjanya’, maka itu bisa disebut sebagai tenaga kerja, tetapi ketika sang subyek tidak lagi memiliki otoritas atas dirinya, maka ia sebagai manusia telah dijual. Ia telah dieksploitasi, dan manusia telah menjadi komoditas. Inilah yang disebut perdagangan orang.

Kondisi pengabaian atas martabat manusia yang sedang terjadi di NTT ini, mundur lebih dari 150 tahun silam, ketika bangsa-bangsa kolonial Eropa menghentikan praktek perbudakan yang sangat merendahkan harkat dan martabat manusia. Sebab, terasa aneh sekali ketika kita merasa hidup di alam merdeka, padahal saudara-saudari sendiri dijual, disiksa, dan dibiarkan mati. Aneh sekali pihak Kepolisian yang isinya anak-anak pertiwi, malah tak bergerak melihat penindasan ini.

Pihak Kepolisian di NTT pada tahun 2014, masih menempatkan persoalan perdagabgan orang dalam skala prioritas yang ada di bawah perkara penanganan permainan ketangkasan, maupun perkara tilang pengemudi yang tak memiliki SIM/STNK. Pertanyaannya adalah mengapa pihak Kepolisian lebih serius menangkap para pemain judi ketangkasan, dari pada memburu kaki tangan dan pelaku perdagangan orang?

Di tingkat regulasi, upaya menghentikan perdagangan orang telah diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang sudah disahkan pada tanggal 19 April 2007 dan diundangkan dalam LN-RI Tahun 2007 No. 58, Tambahan LN-RI No. 4720.

Dalam produk hukum ini, secara tegas diakui bahwa:setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang-undang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Karenanya, “perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, sehingga harus diberantas”.

Di level antar negara, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengakui pengesahan protokol untuk mencegah, menindak, dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak. Protokol ini melengkapi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menentang tindak pidana transnasional dan terorganisir, sebagaimana yang tertera dalam UU No. 14 Tahun 2009.

Tetapi aturan tetap tinggal aturan. Apa gunanya aparat Kepolisian jika tidak mampu menyelesaikan persoalan perdagangan orang? Dalam banyak kasus, pihak Kepolisian di NTT hanya menahan para tenaga kerja asal NTT di pintu keluar (pelabuhan dan bandar udara), sedangkan kaki tangan maupun para pimpinan Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang adalah aktor perdagangan orang dibebaskan begitu saja.

Bias pihak Kepolisian kembali terjadi di sini. Biasanya pimpinan dari PPTKIS dengan gampang mengelak bahwa PPTKIS mereka telah terdaftar secara resmi, dan pihak Kepolisian pun cuci tangan dengan melepaskan direktur maupun PPTKIS yang dipimpinnya tersebut. Padahal soal ‘legal’ atau ‘tidak legal/illegal’ bukan hanya soal persoalan administratif saja, tetapi juga terkait dengan ‘aksi/tindakan’ yang dilakukan.

Jika persoalan legalitas hanya sampai di tingkat administratif, bisa dibilang pihak Kepolisian menutup mata terhadap aksi-aksi illegal yang dilakukan oleh PPTKIS dan kaki tangannya, seperti memalsuan dokumen dan memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain terkait identitas. Misalnya Almarhum Marni Baun sendiri berasal dari daerah Kapan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, sebelum diberangkatkan, tinggal sementara di Kelurahan Lasiana, Kota Kupang, dan kemudian berangkat dengan Kartu Tanda Penduduk dari Desa Oebelo, Kabupaten Kupang.

Gentingnya penanganan persoalan perdagangan orang, terasa tidak menyentuh para petinggi Kepolisian, tokoh pemerintahan maupun para tokoh agama di NTT. Di kampung-kampung di pedalaman Timor Barat, para perempuan muda direkrut di sekolah-sekolah dan dibawa kabur ataupun diculik. Mereka disediakan identitas palsu untuk dikirim ke kota-kota besar di Indonesia mupun diberngkatkan ke luar negeri sebagai pembantu, buruh pabrik, buruh perkebunan, pelayan di tempat hiburan malam, bahkan ada juga yang dijadikan sebagai pekerja seks.

Saat ini, para perempuan yang dijual ke kota-kota besar maupun mancanegara direkrut dengan cara yang amat tidak berperikemanusiaan. Tak jarang kaki tangan dari PPTKIS yang merekrut para perempuan adalah para pedagang sapi, yang mencari sapi dari kampung ke kampung. Praktek pembiaran semacam ini sudah seharusnya dihentikan.

Apa yang bisa dilakukan Kapolda NTT?
Setidaknya ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Kapolda NTT terkait persoalan ini. Pertama, Kapolda NTT membuat ‘Operasi untuk mengungkap jaringan Perdagangan orang di NTT’. Meskipun NTT merupakan salah satu kantong TKI/TKW bermasalah, namun hingga kini tidak ada operasi semacam ini. Sebaliknya operasi seremonial semacam, operasi lilin untuk Natal, operasi ketupat untuk Idul Fitri yang lebih dominan, dan operasi memburu SIM/STNK, sangat gencar dilakukan.

Kedua, Kapolda NTT segera berkoordinasi dengan Kapolda Sumatera Utara untuk segera membebaskan sekitar 23 orang warga NTT yang masih disekap di sana, sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap laporan (secara tertulis maupun lisan) yang telah diberikan oleh Eri Ndun, kepada Kapolda NTT. Kerjasama pengawasan perdagangan orang lintas Provinsi, harus segera dikerjakan mengingat jaringan kriminal di Kepulauan Indonesia hanya mungkin dibuka, jika pihak Kepolisian secara institusional melakukan kerjasama terpadu di berbagai Provinsi, khususnya dengan Provinsi-Provinsi yang menjadi simpul perdagangan orang seperti di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, dan Batam.

Ketiga, pihak Kepolisian NTT harus membersihkan oknum-oknum Kepolisian yang terlibat dalam mafia perdagangan orang. Para oknum Polisi yang mendiamkan laporan para korban, khususnya laporan Eri Ndun sudah seharusnya diproses dan diberi hukuman internal. Keempat, para pelaku perdagangan orang segera diproses secara hukum seadil-adilnya. Dalam kasus Eri Ndun dan Almarhum Marni Baun, penyalurnya diduga adalah Rabeka Ledoh, telah menjadi tersangka dan tahanan pihak Kepolisian NTT, sedangkan Mohar sang pemilik pabrik Sarang Burung Wallet di Medan, dibiarkan bebas berkeliaran. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Victory News, tanggal 25 Februari 2014).


--------------------------------------------------------
Penulis, Pengamat Kinerja Polisi

TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...