ADA MOTIF PADA 340?
Oleh. Paul SinlaEloE
Tulisan ini pernah di publikasikan dalam Harian Pagi, Timor
Express, tanggal 19 Januari 2022
Kesimpulan atas motif terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka RB terhadap AM ini masih bisa diperdebatkan. Merujuk pada Berita Acara Pemeriksaan tersangka RB, tertanggal 2 Desember 2021, khususnya pada jawaban atas pertanyaan nomor 11, 12 dan 13, maka dapat disimpulkan bahwa motif dari tersangka dalam menghabisi korban diduga adalah perebutan anak. Motif lainnya adalah bisa juga karena pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces). Bahkan, kemungkinan ada motif yang lain lagi karena tahap penyidikan masih belum selesai.
Terlepas dari tepat atau tidaknya kesimpulan atas motif terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka RB terhadap AM, faktanya RB telah ditetapkan menjadi tersangka karena melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP dan dalam perkembangannya penyidikan Pasal 338 KUHP ini telah diganti dengan Pasal 340 KUHP.
Tulisan ini akan menguraikan secara yuridis tentang apakah dalam penegakan hukum atas kasus kejahatan terhadap nyawa sebagamana yang dimaksud dalam Pasal 340 KUHP, dibutuhkan pembuktian motifnya, sehingga pihak Kepolisian Daerah NTT sangat serius dalam mengungkap motif dibalik tindak pidana yang dilakukan oleh RB terhadap AM?
Pendapat Pakar Pidana
Pasal 340 KUHP pada intinya mengamanatkan bahwa “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lama dua puluh tahun”.
Mengacu pada sejarah pembentukan Pasal 340 KUHP, guru besar hukum pidana dari Univ. Gajah Mada, Prof. Eddy O.S Hiariej (2016) berargumen bahwa Pasal 340 KUHP tidak mengisyaratkan adanya motif. Apalagi pada saat pembahasan rancangan Pasal 340 KUHP Belanda terjadi kesepakatan diantara para perumus bahwa KUHP Belanda tidak mengikuti KUHP Jerman yang memasukan motif dalam rumusan delik. Hal ini sejalan dengan penjelasan dari guru besar dan mantan Jaksa Agung Belanda, Jan Remmelink (1995) bahwa para perumus Pasal 340 KUHP Belanda ‘menempatkan motif pelaku sejauh mungkin di luar perumusan delik’.
Dengan demikian, Prof. Eddy O.S Hiariej (2016) menyimpulkan bahwa berdasarkan penafsiran historis, Pasal 340 KUHP tidak mengisyaratkan adanya motif dan karenanya motif tidak perlu ada dalam pembuktian. Dijelaskan juga oleh Prof. Eddy O.S Hiariej (2016), bahwa adanya frasa “dengan direncanakan terlebih dahulu” dalam rumusan Pasal 340 KUHP, bukan berarti harus ada motif, sehingga harus dibuktikan. Hadirnya frasa “dengan direncanakan terlebih dahulu” dalam rumusan Pasal 340 KUHP hanya untuk memberikan batas dengan Pasal 338 KUHP yang mengatur tentang pembunuhan biasa (doodslag).
Menurut Prof. Eddy O.S Hiariej (2016), frasa “dengan direncanakan terlebih dahulu”, yang terdapat pada rumusan Pasal 340 KUHP hanya menjelaskan bahwa Pasal 340 KUHP adalah dolus premeditatus (kesengajaan yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu). Karenanya terdapat 3 (tiga) syarat penting yang harus dibuktikan terkait dengan Pasal 340 KUHP. Pertama, pelaku ketika memutuskan kehendak untuk melakukan dalam keadaan tenang. Kedua, ada tenggang waktu yang cukup antara memutuskan kehendak dan melaksanakan perbuatan. Ketiga, adalah pelaksanaan perbuatan dilakukan dalam keadaan tenang.
Berbeda dengan Prof. Eddy O.S Hiariej, ahli hukum pidana dari Univ. Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Mudzakir (2016), berpendapat bahwa suatu tindak pidana dengan unsur kesengajaan, pasti ada motif dan niat. Hadirnya unsur ”dengan direncanakan terlebih dahulu” dalam Pasal 340 KUHP mengandung pemahaman bahwa motif mutlak dibuktikan. Dengan demikian, setiap pembunuhan berencana sebagimana maksud dari Pasal 340 KUHP, pasti ada motif dan setiap motif harus dibuktikan. Jika tidak membuktikan motif, maka unsur itu akan kehilangan makna.
Prof. Mudzakir (2016), menjelaskan bahwa motif timbul dalam rentang waktu rencana kejahatan dan pelaksanaan niat jahatnya. Niat jahat pelaku itu berangkat dari motif. Adanya niat pelaku untuk berbuat jahat, merupakan bagian tindakan dalam motif dan merupakan totalitas sikap batin untuk berbuat.
Dijelaskan juga oleh Prof. Mudzakir (2016), bahwa untuk menemukan dan membuktikan motif dalam penegakan hukum Pasal 340 KUHP, bisa dilakukan oleh penegak hukum dengan melihat dan menganalisis keterkaitan antara perbuatan jahat (actus reus) dan niat jahat (mens rea). Maksudnya, ketika melakukan penegakan hukum Pasal 340 KUHP, penegak hukum harus menarik pembuktian lebih ke belakang dengan mencari suatu keadaan/kondisi yang kemudian melahirkan niat. Keadaan atau kondisi itulah yang dimaksudkan sebagai “motif”.
Motif dalam Black’s Law yang ditulis oleh Bryan A. Garner (1891-1991) dimaknai sebagai: “Cause or reason that moves the will and introduces action. An idea, belief or emotion that impels or incites one to act in accordance with his states of mind or emotion”. (Terjemahan bebas: Penyebab atau alasan yang menggerakkan dan melakukan tindakan. Sebuah ide, kepercayaan atau emosi yang mendorong atau menghasut pikiran seseorang untuk bertindak sesuai dengan keadaan atau emosi).
Merujuk pada Black’s Law Dictionary, maka motif dapat dimaknai sebagai istilah yang dipergunakan untuk menjelaskan mengapa (alasan) seseorang melakukan tindak pidana. Artinya, motif merupakan alasan orang melakukan suatu perbuatan pidana, sehingga motif dapat dikaitkan dengan niat seseorang melakukan suatu perbuatan pidana. Pemahaman akan motif beginilah yang secara gramatikal dan sosiologis berkorelasi dengan argumen dari Prof. Mudzakir.
Dalam perspektif hukum, tidaklah elok apabila perdebatan tentang motif itu dilakukan oleh para pakar pidana, apalagi demi pembuktian di persidangan. Perdebatan tentang motif itu pantasnya dilakukan oleh para kriminolog. Harus dingat bahwa motif itu adalah diksi dalam bidang ilmu kriminologi (ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan dalam arti seluas-luasnya). Itu berarti, definisi dan pencarian motif dari suatu tindak pidana sangat tepat jika dilakukan oleh para kriminolog. Ahli hukum pidana idealnya hanya menjelaskan tentang makna dibalik rumusan delik, beserta unur-unsur yang terkandung didalamnya dan pembuktiannya.
Rumusan Delik yang Menghendaki Motif
Motif haruslah dibedakan dari kesengajaan, meskipun tidak dapat dipisahkan. Dalam Hukum Pidana, kesengajaan adalah bentuk kesalahan yakni hubungan antara sikap batin pelaku dengan perbuatan yang dilakukan. Syarat kesengajaan adalah mengetahui dan mengkehendaki. Dapat diartikan bahwa kesengajaan adalah suatu kondisi seseorang untuk melakukan kejahatan. Sedangkan motif adalah dorongan melakukan hal tersebut.
Dari sudut pandang kriminologi pelaku kejahatan dalam melakukan perbuatan jahatnya, selalu disertai dengan motif. Selalu ada alasan mengapa pelaku melakukan kejahatan. Namun, jika berbicara tentang rumusan pasal KUHP atau unsur delik, (dari sudut pandang Hukum Pidana), maka tidak semua rumusan pasal dalam KUHP itu memiliki motif sebagai unsur delik. Malahan, hanya beberapa pasal dalam KUHP saja yang mengadung unsur motif.
Secara historis dan gramatikal, rumusan pasal pada KUHP yang mengandung unsur motif adalah rumusan pasal yang mengandung unsur kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk). Pada konteks ini, Prof. Mr. D. Simons (1937), menjelaskan bahwa opzet (kesengajaan) itu merupakan suatu tahap terakhir dari pertumbuhan kehendak (oogmerk) manusia hingga menjadi tindakan yang nyata. Tindakan manusia yang kita lihat sehari-hari itu bersumber pada suatu motief yang kemudian berkembang menjadi suatu oogmerk dan pada akhirnya telah mendorong manusia untuk mempunyai suatu opzet.
Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk). pada dasarnya merupakan perbuatan dari pelaku dengan tujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang (E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi, 2012). Dengan kata lain, pelaku benar-benar menghendaki terwujudnya akibat yang menjadi tujuan atau pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana.
Bentuk kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk). ini, pada intinya memiliki arti yang sama dengan teori kehendak (wilstheorie) dimana pelaku menghendaki untuk mewujudkan suatu perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan kewajiban hukum (tindak pidana pasif) dan mengetahui serta menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu.
Doktrin hukum pidana mengajarkan bahwa unsur kesengajaan sebagai maksud ini, dalam rumusan pasal di KUHP termanifestasikan dengan istilah ‘dengan maksud’ atau 'dengan tujuan'. Artinya, jika dalam suatu rumusan pasal terdapat frase “dengan maksud” atau 'dengan tujuan', maka rumusan pasal tersebut mengandung atau menghendaki adanya motif atau alasan yang terdapat dalam sikap batin pelaku untuk melakukan kejahatan adalah unsur delik yang wajib dibuktikan terkait penegakan hukum. Sedangkan, jika dalam suatu rumusan delik terdapat frase 'dengan sengaja', maka motif atau alasan yang terdapat dalam sikap batin pelaku untuk melakukan kejahatan adalah bukan unsur delik yang wajib dibuktikan terkait penegakan hukum.
Manfaat Pengungkapan Motif
Sekalipun motif bukan merupakan
unsur delik dan tidak harus dibuktikan dalam penegakan hukum kasus terkait
Pasal 340 KUHP, namun penting dan perlu juga digali oleh para kriminolog dalam tahap penyidikan
maupun pada tahap persidangan untuk mengetahui apakah ada atau tidak faktor
penyebab terjadinya suatu tindak pidana.
Dalam praktik hukum, motif selalu menjadi bagian dari proses penggalian untuk mengetahui ada atau tidaknya perbuatan pidana. Motif dalam tindak pidana adalah hal yang akan meringankan atau memberatkan pelaku. Motif yang tidak terungkap dalam persidangan akan menguntungkan Penasihat Hukum, karena dapat menjadikannya sebagai dalil untuk membebaskan kliennya. Bagi Penuntut Umum, motif yang tidak dapat dibuktikan bisa dikesampingkan dan selanjutnya fokus pada perbuatan pidana yang dilakukan beserta unsur-unsurnya.
Penuntut Umum dan Penasihat Hukum akan berbeda sikap dalam Ketika motif terungkap. Bagi Penasihat Hukum, motif yang telah mengemuka akan digunakan untuk meringankan perbuatan pidana yang dilakukan kliennya. Sebaliknya, Penuntut Umum akan menganggap motif seringkali menjadi faktor yang tidak lebih penting ketimbang membuktikan sikap batin dan kesempurnaan perbuatan.
--------------------------------------------
Penulis: Aktivis PIAR NTT