Kamis, 28 Oktober 2010

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Daerah

LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI & KORBAN 
DI DAERAH: Perlukah…???(1)  
Oleh. Paul SinlaEloE(2)


 

CATATAN PENGANTAR
Sesuai dengan Term of Reference (TOR) yang diberikan oleh penyelenggara kegiatan, maka pada kesempatan ini saya diminta untuk menyampaiakan pemikiran mengenai: “Urgensi Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi & Korban Daerah dalam Prespektif Masyarakat”. Namun tanpa seijin penyelenggara, saya merubah judulnya menjadi seperti apa yang tertera dalam makalah ini.

Agar diskusi ini lebih terfokus, maka dalam makalah ini akan di uraikan dengan sistematika sebagai berikut:
Pertama, Catatan Pengantar. Kedua, Catatan Kritis Terhadap UU No. 13 Tahun 2006. Ketiga, Memahami Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Keempat, Urgensi Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Daerah. Kelima, Catatan Penutup. 

CATATAN KRITIS TERHADAP UU No. 13 TAHUN 2006
Masyarakat pendamba keadilan pada tanggal 11 Agustus 2006 menyambut gembira di undangkannya UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban
(3). Walaupun demikian patut diingat bahwa UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban dinilai belum maksimal dalam mengatur perlindungan terhadap Saksi dan Korban karena masih banyak bolong disana sini.

Catatan PIAR NTT
(4) menunjukan bahwa: Pertama, Tujuan dari UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hanya sebatas melindungi saksi dengan memberikan rasa aman saat saksi dan korban memberikan keterangan di peradilan pidana. Pada hal, masalah yang dihadapi adalah efektivitas dalam penegakan hukum, terutama dalam hal penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan penyelesaian kasus korupsi. Hambatan utama dalam penyelesaian kasus-kasus tersebut adalah minimnya partisipasi masyarakat untuk berperan sebagai pelapor dan saksi. Karena itu, seharusnya tujuan keberadaan UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bukan sebatas untuk melindungi saksi, melainkan lebih untuk meningkatkan efektivitas dalam penegakan hukum, terutama penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan kasus korupsi. 

Kedua, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak berperspektif pemberantasan korupsi. Melihat modus korupsi yang tersistematis dengan baik, disertai adanya keterlibatan para pejabat negara ataupun orang-orang yang cukup berpengaruh, ketakutan para saksi atau pelapor adanya indikasi korupsi perlu dihilangkan dengan kepastian hukum dan pemenuhan akan rasa keadilan yang hendak dicapainya. Dalam hal ini, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, jelas diperlukan untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi para saksi yang memiliki keberanian untuk mengungkapkan kasus korupsi. Konsekwensinya, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diharapkan mampu memotivasi orang yang mengetahui terjadinya tindak pidana korupsi untuk berani menguak kebenaran yang selama ini sengaja ditutupi oleh konspirasi dari para koruptor. Namun, dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, perspektif tersebut tidak ditemukan. Hal itu dapat terlihat dengan tidak dimasukkannya UU Antikorupsi dalam pertimbangannya, padahal saksi kasus korupsi termasuk yang harus dilindungi. Selain itu, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, ini belum memasukkan unsur pelapor dalam kasus korupsi. Pelapor didefinisikan seperti yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, padahal pelapor kasus korupsi belum tentu akan menjadi saksi. Pelapor kasus korupsi perlu diakomodir di dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, mengingat posisi pentingnya dalam mengungkap kasus korupsi yang tidak terungkap di permukaan dan minimnya alat bukti yang ditemukan(5).
 
Ketiga, Dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, terdapat kerancuan dalam menempatkan hak-hak saksi dan perlakuan terhadap saksi. Seharusnya hak-hak saksi dan perlindungan saksi dipisahkan demi kepastian hukumnya. Konsekuensi dari kerancuan tersebut, hak-hak saksi menjadi sangat umum dan tidak mempertimbangkan cakupan saksi yang harus mendapatkan perlindungan atau perlakuan khusus. Banyaknya jenis saksi seharusnya menuntut pemisahan hak-hak dan perlakuannya. Sedangkan menyangkut perlindungan saksi, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak dapat secara terperinci mendefinisikan jenis dan bentuk perlindungan, walaupun tata cara perlindungan sudah sedikit banyak disinggung. Di sisi lain, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, cenderung menyamakan hak-hak dan perlakuan saksi dan korban. Dalam kasus pelanggaran HAM, hal itu dimungkinkan mengingat posisi saksi yang hampir pasti sebagai korban. Tapi, dalam kasus korupsi, hampir bisa dipastikan tidak ada korban, atau korbannya adalah negara. Selain itu, perlakuan terhadap korban pascaputusan pengadilan, terutama korban pelanggaran HAM berat, belum diperhatikan.
 
Keempat, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, belum mengatur tentang peran serta masyarakat dan penghargaan terhadap orang yang memberikan kesaksian atau melaporkan tindak pidana. Untuk mengungkap kasus tindak pidana, terutama pelanggaran HAM dan korupsi, peran serta masyarakat sangat menentukan. Beberapa kasus pelanggaran HAM dapat terungkap karena adanya kesaksian dari korban, tapi masih lebih banyak yang tidak terungkap karena korban tidak mau bersaksi mengingat besarnya risiko yang harus dihadapi. Sedangkan dalam kasus korupsi, peran whistleblower sangat menentukan. Mengingat besarnya risiko yang harus dihadapi oleh masyarakat dalam berperan melaporkan atau menjadi saksi tindak pidana, sudah sewajarnya apabila mereka diberi penghargaan sesuai dengan perannya. Selain itu, memasukkan unsur penghargaan bagi peran serta masyarakat penting dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melaporkan tindak pidana.
 
MEMAHAMI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI & KORBAN
Dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang diundangkan pada tanggal 11 Agustus 2006 dalam LN-RI Tahun 2006 Nomor 64, tambahan LN-RI Nomor 4653, disebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang
(6).

Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK memiliki tugas dan kewenangan
(7) sebagai berikut: Pertama, Menerima permohonan Saksi dan/atau Korban untuk perlindungan. (Pasal 29). Kedua, Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau Korban. (Pasal 29). Ketiga, Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/atau Korban. (Pasal 1). Keempat, Mengehentikan program perlindungan Saksi dan/atau Korban. (Pasal 32). Kelima, Mengajukan ke Pengadilan (NB: Berdasarkan Keinginan Korban) berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat; dan hak atas restitusi atau ganti rugi yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. (Pasal 7). Keenam, Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang mewakili korban untuk bantuan (Pasal 33 dan Pasal 34). Ketujuh, Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan di berikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban. (Pasal 34). Kedelapan, Bekerjasama dengan instansi terkait yang berwenang dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan. (Pasal 36).

UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya pasal 13 ayat (1) juga mengamantkan bahwa LPSK dalam menjalankan tugas dan kewenangannya bertanggung jawab kepada presiden(8). Disamping itu, LPSK juga wajib memberikan laporan kepada DPR-RI(9).
 
URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA
PERLINDUNGAN SAKSI & KORBAN DI DAERAH

Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan di tingkat pengadilan, terutama yang berkenaan dengan saksi. Tidak sedikit kasus yang kandas di tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi
(10).

Bertolak dari realita yang demikian, maka terlepas dari tidak sempurnanya UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun
KEHADIRAN LPSK DI DAERAH SANGAT DIBUTUHKAN. Walaupun UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memprioritaskan kedudukan LPSK ini berada di ibukota Negara Republik Indonesia(11), namun disamping berkedudukan di ibukota Negara, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, juga memberi keleluasan bagi LPSK untuk membentuk perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan dari LPSK(12).

Pilihan UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, untuk memberikan akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan di daerah adalah pilihan yang tepat karena secara geografis wilayah Republik Indonesia yang akses informasi dan komunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar ibukota Negara dengan wilayah lainnya. Apalagi, kasus-kasus intimidasi terhadap saksi maupun korban yang terjadi selama ini justru paling banyak terjadi diluar wilayah Ibukota Negara Republik Indonesia
(13).

Perwakilan LPSK di daerah ini bisa ditafsirkan secara luas, yakni bisa berada di tingkat region tertentu (NB: Terdiri dari beberapa provinsi) ataupun di tiap Provinsi. Bahkan bisa juga didirikan di level Kabupaten. Atau dalam kondisi khusus (Penting dan Mendesak) LPSK bisa didirikan di wilayah terpilih. Disamping itu Perwakilan LPSK di daerah juga bisa didirikan secara permanen atau secara ad hoc, sangat tergantung dari dari situasi yang mendukungnya.

Satu hal yang tidak boleh diabaikan atau dilupakan adalah kebutuhan untuk mendirikan perwakilan LPSK di daerah, juga akan memberikan implikasi atas sumberdaya yang besar pula dari segi pembiayaan maupun penyiapan infrastruktur dan sumberdaya manusia. Hal ini menjadi penting karena jangan sampai pendirian perwakilan LPSK di daerah yang sangat dubutuhkan oleh masyarakat pendamba keadilan ini, justru akan menjadi sesuatu yang kontra produktif, jika ketiga aspek ini tidak dikaji dengan benar.
 
CATATAN PENUTUP
Demikianlah sumbangan pemikiran saya mengenai urgen tidaknya keberadaan lembaga perlindungan saksi dan korban di daerah, Kiranya bermanfaat dan ini dapat mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas.


----------------
CATATAN KAKI:

  1. Makalah ini dipresentasikan dalam Sosialisasi dan Diskusi Publik: “URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI & KORBAN DI DAERAH”, yang dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi & Korban bekerjasama dengan POLDA NTT, di Hotel Kristal, Kota Kupang, pada tanggal 22 Oktober 2010.
  2. Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT.
  3. Mungkin tidak semua masyarakat, tapi itulah paling tidak yang dirasakan oleh Koalisi Perlindungan saksi yang terdiri dari 38 Organisasi Masyarakat Sipil termasuk didalamnya PIAR NTT. Karena Undang-Undang ini dalam pembahasannya sempat mandeg di DPR-RI sekitar 5 (lima) tahun.
  4. Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR), adalah organisasi non pemerintah yang bersifat independent dan non profit di NTT yang pendiriannya telah dilegalformalkan dengan Akte Notaris Nomor 71 pada tanggal 15 November 2002, dan terdaftar pada Pengadilan Negeri Kupang, dengan nomor 1/AN/PIAR/Lgs/2002/PN.KPG, pada tanggal, 23 November 2002. PIAR NTT dalam kerja-kerjanya konsern pada isue Hak Asasi Manusia, Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi.
  5. Perlindungan bagi pelapor kasus korupsi harus diakomodir dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Jika tidak, maka akan banyak kasus korupsi yang tidak akan terungkap. Pada konteks NTT terdapat sejumlah pelapor kasus dugaan korupsi yang dijadikan tersangka oleh aparat penegak hukum padahal laporan kasus dugaan korupsi yang dilaporkannya belum diproses. Para pelapor kasus dugaan korupsi tersebut diantaranya: Sarah Lerry Mboeik (Direktur PIAR - NTT), Rm. Franz Amanue, pr (Keuskupan Larantuka), Pius Hamid (Direktur SANKARI - NTT) dan Mateus Hamsi (Ketua DPRD Manggarai Barat).
  6. Lihat Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
  7. Para perumus UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak menjabarkan Tugas dan Kewenangan dari LPSK dalam suatu bagian atau bab tersendiri melainkan menyebarkan di seluruh UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
  8. Implikasi dari pasal 13 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, adalah presiden sebagai pejabat Negara tertinggi yang bertanggungjawab atas kerja-kerja LPSK dan oleh karena itu pula maka Presiden harus memfasilitasi lembaga ini sesuai dengan mandat dan tugasnya. Artinya, lembaga ini jangan sampai “dikucilkan” dan tak terdukung oleh Presiden. Lihat, Supryadi Widodo Edyyono, Lembaga Perlindungan Saksi di Indonesia, Penerbit Indonesia Corruption Watch (ICW), Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 2007, Hal.6.
  9. Lihat pasal 13 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
  10. Pada Konteks NTT, Catatan akhir tahun 2009 yang dikeluarkan oleh PIAR NTT berkaitan dengan persoalan korupsi di NTT menunjukan bahwa Dari 125 (Seratus Duapuluh Lima) kasus korupsi yang dipantau oleh PIAR NTT, terdapat indikasi kerugian negara sebesar Rp. 256.337.335.434,00 (Dua Ratus Lima Puluh EnamMilyar Tiga Ratus Tiga Puluh Tujuh Juta Tiga Ratus Tiga Puluh Lima Ribu Empat Ratus TigaPuluh Empat Rupiah). Pelaku bermasalah dari ke-125 (Seratus Duapuluh Lima) kasus korupsi yang terjadi di NTT ini sebanyak 514 (Lima Ratus Lima empat belas) orang. Dari 514 (Lima Ratus Lima empat belas) Pelaku bermasala/aktor ini terdapat 76 (Tujuh Puluh Enam) orang yang melakuakan pengulangan tindak korupsi. Jika dilahat dari usia kasus, kasus korupsi di NTT yang dipantau oleh PIAR NTT dapat dipilah menjadi 2 (Dua) kategori, yakni: Kasus Lama dan Kasus Baru. Kasus Lama adalah Kasus korupsi usaianya lebih dari 3 (Tiga) tahun atau kasus yang terjadi dari tahun 2000 S/D 2006). Sedangkan Kasus Baru ialah Kasus korupsi usaianya kurang dari 3 (Tiga) tahun atau kasus korupsi yang terjadi pada tahun 2007 dan 2009. Dengan pengkategorian seperti ini, maka terdapat 97 (77,6%) kasus yang merupakan Kasus Lama dan Kasus Baru sebanyak 28 (22,4%) kasus. Salah satu alasan utama berlarut-larutnya penanganan kasus korupsi ini adalah tidak adanya saksi yang mau bersaksi. Catatan akhir tahun 2009 PIAR NTT berkaitan dengan persoalan HAM juga tidak jauh berbeda dengan persoalan korupsi. Pada tahun 2009 terdapat 31 kasus perkosaan yang tidak tertangani secara maksimal oleh PIAR NTT karena ketiadaan saksi.
  11. Lihat Pasal 11 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Menurut Supryadi Widodo Edyyono, Lembaga Perlindungan Saksi di Indonesia, Penerbit Indonesia Corruption Watch (ICW), Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 2007, Hal.6. Hal ini merupakan kebiasaan yang dapat dimaklumi karena LPSK merupakan sebuah lembaga Negara.
  12. Lihat Pasal 11 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
  13. Supriyadi Widodo, dkk, Sanksi dalam Ancaman: dokumentasi Kasus, Penerbit ELSAM, Jakarta, 2004.

Politik Hukum Pemberantasan Korupsi

POLITIK HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI
Oleh. Paul SinlaEloE


Dalam berbagai literatur ilmu sosial, pembangunan atau yang disebut dengan istilah apapun, semestinya diarahkan pada penciptaan kesejahteraan warganya. Itu berarti, tujuan utama pembangunan adalah kesejahteraan manusia (Human Welfare). Pada konteks Indonesia, UUD 1945-pun mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan langkah-langkah dalam upaya perlindungan terhadap segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang masih merupakan bagian integral dari Indonesia, pembangunan yang mensejahterakan warga bukanlah sesuatu yang mudah dicapai. Ada banayak kendala yang dihadapi para pengambil kebijakan (Decision Makers) untuk melakukan pembangunan yang mensejahterakan warga. Salah satu diantaranya persoalan korupsi. Di NTT, praktik korupsi begitu subur dan menjamur. Media massa lokal setiap harinya selalu menyuguhkan kasus (dugaan) korupsi yang terjadi hampir semua tingkat birokrasi pemerintahan, mulai dari desa hingga provinsi. Bahkan, korupsi sudah menggerogoti lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif, sehingga muncul kesan, praktik itu telah menjadi ”gaya hidup” baru kalangan pejabat atau birokrat.

Catatan akhir tahun 2009 yang dikeluarkan oleh PIAR NTT menunjukan bahwa Dari 125 (Seratus Duapuluh Lima) kasus korupsi yang dipantau oleh PIAR NTT, terdapat indikasi kerugian negara sebesar Rp.256.337.335.434,00 (Dua Ratus Lima Puluh Enam Milyar Tiga Ratus Tiga Puluh Tujuh Juta Tiga Ratus Tiga Puluh Lima Ribu Empat Ratus Tiga Puluh Empat Rupiah). Pelaku bermasalah dari ke-125 (Seratus Duapuluh Lima) kasus korupsi yang terjadi di NTT ini sebanyak 514 (Lima Ratus Lima empat belas) orang. Dari 514 (Lima Ratus Lima empat belas) Pelaku bermasala/aktor ini terdapat 76 (Tujuh Puluh Enam) orang yang melakuakan pengulangan tindak korupsi.

Modus operandi yang dipergunakan oleh para pelaku bermasalah dalam tindak korupsi berdasarkan hasil pantauan PIAR NTT, dapat diperincikan sebagai berikut: Pertama, Mark Up 30 (24%) Kasus. Kedua, Manipulasi 27 (21,6%) Kasus. Ketiga, Penggelapan 25 (20%). Kasus Keempat, Penyelewengan Anggaran 17 (13,6%) Kasus. Kelima, Memperkaya Diri Sendiri/Orang Lain 13 (10,4%) Kasus. Keenam, Pengerjaan Proyek Tidak Sesuai Bestek 10 (8%) Kasus. Ketujuh, Mark Down 3 (2,4%) Kasus. Korupsi di NTT Juga terbanyak terjadi di sektor Pengadaan barang dan Jasa dengan jumlah sebanyak 58 (46,4%) kasus. Selanjutnya, sektor APBD 43 (34,4%) kasus, Sektor Dana Bantuan 20 (16%) kasus, Sektor Perbankan 2 (1,6%) kasus, sektor PEMILU/PILKADA 2 (1,6%) kasus.

Hasil pantauan PIAR NTT menemukan bahwa Korupsi di NTT paling banyak ditemui pada bidang Pemerintahan yakni 55 (44%) kasus, Pengembangan Kecamatan 14 (11,2%) kasus, Air Bersih 7 (5,6%) kasus, kehutanan dan perkebunan 7 (5,6%) kasus, Perikanan dan Kelautan 6 (4,8%) kasus, Perhubungan dan Transportasi 5 (4%) kasus, Perumahan dan Pertanahan 3 (2,4%) kasus, Energi dan Listrik 2 (1,6%) kasus, Perbankan 2 (1,6%) kasus, Kesehatan 2 (1,6%) kasus, PEMILU/PILKADA 2 (1,6%) kasus, BUMN 1 (0,8%) kasus, Komunikasi dan Informasi 1 (0,8%) kasus, Lain-lain 2 (1,6%) kasus.

Maraknya kasus korupsi di NTT ini sangat berkorelasi positif dengan persoalan kemiskinan. Buktinya, Data kehidupan bernegara di NTT sebagaimana yang dipublis BPS, menunjukan bahwa penduduk miskin provinsi NTT pada Maret 2010 mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan Maret 2009. Pada tahun 2009 penduduk miskin di NTT sebanyak 1.013.200 orang (23,31%) sedangkan pada tahun 2010 penduduk miskin di NTT sebanyak 1.014.100 orang (23,03%). Posisi NTT juga termasuk 10 besar Provinsi miskin di Indonesia dengan peringkatkat: Pertama, Provinsi Papua 36,80%. Kedua, Papua Barat 34,88%. Ketiga, Maluku 27,74. Keempat, Sulawesi Barat 23,19%. Kelima, Gorontalo 23,10%. Keenam, NTT 23,03%. Ketujuh, NTB 21,55%. Kedelapan, Aceh 20,98%. Kesembilan, Lampung 18,94%. Kesepuluh, Bengkulu 18,30%.

Angka statistik juga menunjukan Jumlah Angkatan kerja NTT pada Februari 2010 mencapai 2,39 juta orang,atau bertambah 44,9 ribu orang jika dibandingkan angkatan kerja Februari 2009 sebesar 2,34 juta orang. Secara nasional angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2010 mencapai 115,9 juta orang, bertambah 2,2 juta orang dibanding angkatan kerja Februari 2009 sebesar 113,7 juta orang. Penduduk yang bekerja di Nusa Tenggara Timur pada Februari 2010 mencapai 2,30 juta orang, bertambah 26,7 ribu orang dibanding dengan keadaan pada Februari 2009 sebesar 2,28 juta orang. Secara nasional, penduduk yang bekerja di Indonesia pada Februari 2010 mencapai 107,4 juta orang, bertambah hampir 3 juta orang dibanding dengan Februari 2009 sebesar 104,5 juta orang.

Untuk Pengangguran Terbuka (TPT) NTT pada Februari 2010 mencapai 3,49 persen, atau naik 0,71 poin dari Februari 2009 sebesar 2,78 persen. Secara nasional TPT Indonesia pada Februari 2010 mencapai 7,41 persen, turun 0,73 poin dibanding keadaan Februari 2009 sebesar 8,14 persen. Data BPS juga menunjukan bahwa Tingkat pendidikan tenaga kerja NTT juga sangat rendah yaitu lebih dari 70% berpendidikan SD kebawah, bahkan sebanyak 7,7% tenaga kerja NTT tidak pernah bersekolah. Dari sisi status pekerjaan, sebanyak 34% tenaga kerja NTT masuk kategori Pekerja tidak dibayar.

Dari aspek kesehatan, data UNICEF tahun 2009 menunjukan bahwa Di NTT lebih buruk lagi. Kesehatan masyarakat NTT paling jeblok. Untuk angka kematian ibu (AKI), NTT masih di atas rata-rata nasional. AKI NTT tercatat 554 per 100.000 kelahiran. Rata-rata nasional, 307 per 100.000 kelahiran. Angka Kematian Bayi (AKB) NTT juga terbilang tinggi, 62 per 1.000 kelahiran. Artinya sebanyak 62 bayi meninggal dari setiap 1.000 kelahiran hidup. Dua angka indikator kesehatan ini terbilang tinggi. Hampir semua kabupaten di NTT ikut menyumbang membengkaknya AKI dan AKB.

Sejalan dari realitas korupsi dan kemiskinan diatas, maka secara logika yang logis akan timbul pertanyaan: Apakah korupsi sebagai penyebab ataukah merupakan akibat dari kemiskinan...??? Dalam melihat korupsi dan kemiskinan di NTT sebagai suatu hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari prespektif teoritis, memang tidaklah gampang karena akan timbul perdebatan yang hasilnya dapat diprediksi yakni “Akbar Tanjung” (Baca: Akan Berakhir Tanpa Ujung). Apalagi sudah menjadi rahasia umum bahwa hasil dari suatu perdebatan sangat tergantung dari latar belakang dan kepentingan dari pihak yang mengeluarkan argumen sehingga akan mengaburkan kondisi riil yang terjadi di NTT.

Pengalaman PIAR NTT dalam melakukan advokasi kasus korupsi dan persoalan kemiskinan menunjukan bahwa kemiskinan merupakan akibat dari korupsi. Buktinya, kasus-kasus korupsi disektor kesehatan seperti kasus SARKES yang terindikasi merugikan keuangan negara sebesar Rp. 3,38 Milyar (NB: Kasus ini Belum Dituntaskan), padahal kondisi kesehatan masyarakat NTT sangat memprihatinkan. Bukti lainnya adalah banyak kasus korupsi di sektor pendidikan pada hal pendidikan di NTT begitu terpuruk di level nasional.

Bertolak dari keyakinan penuh bahwa Korupsi merupakan salah satu penyebab utama kemiskinan di NTT, maka sudah seharusnya “Para Petinggi” di NTT dan segenap jajarannya, harus lebih serius dalam memberantas korupsi. Keberhasilan pemberantasan korupsi sangat ditentukan oleh ada tidaknya dukungan politik hukum dari “penguasa” di NTT. Dukungan politik hukum ini dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk kebijakan, yang kesemua itu bermuara pada ruang, keadaan, dan situasi yang mendukung program pemberantasan korupsi untuk bekerja lebih efektif. Disisi lain adanya dukungan politik hukum “penguasa” di NTT dapat juga mendorong partisipasi masyarakat untuk bersama-sama memberantas kourpsi. Pemberantasan korupsi di NTT juga, harus dilaksanakan lintas sektoral.

Dengan paradigma seperti ini, maka seharusnya dalam konsep pembangunan NTT tahun 2011 yang berthemakan: “Peningkatan kesejahteraan dan penguatan kapasitas perekonomian masyarakat melalui pembangunan berbasis desa dan kelurahan”, program pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas urama. Pemberantasan korupsi juga harus menjadi mainstreaming dalam penyusunan Kebijakan Umum APBD Prov. NTT Tahun Anggaran 2011 & Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) APBD Prov. NTT Tahun Anggaran 2011.

Ironisnya, dalam Kebijakan Umum APBD Prov. NTT Tahun Anggaran 2011 & Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) APBD Prov. NTT Tahun Anggaran 2011 dengan proyeksi pendapatan sebesar Rp. 1.063.441.769.000,- (NB: dalam proyeksi ini pos lain-lain pendapatan yang sah diasumsikan nol/tidak ada), hanya terdapat 1 (satu) issue yang berkaiatan dengan pemberantasan korupsi yakni: Meningkatkan penegakan supremasi hukum dalam rangka menjelmakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN serta mewujudkan masyarakat yang adil dan sadar hukum. Program utamanya adalah Program Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan; Program Penerapan Kepemerintahan Yang Baik; Program Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah. Dengan program utama seperti ini, maka aktivitas seperti yang sudah sering dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya diprediksi akan berulang kembali. Untuk itu, pertanyaannya adalah sudahkah para “petinggi” di NTT serius untuk memberantas korupsi…??? ONLY HEAVEN KNOWS…!!! (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Pagi TIMOR EXPRESS, tanggal 6 Oktober 2010).


-------------------
Penulis: Staf Divisi Anti Korupsi PIAR NTT
TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...