LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI & KORBAN
DI DAERAH: Perlukah…???(1)
Oleh. Paul SinlaEloE(2)
DI DAERAH: Perlukah…???(1)
Oleh. Paul SinlaEloE(2)
CATATAN PENGANTAR
Sesuai dengan Term of Reference (TOR) yang diberikan oleh penyelenggara kegiatan, maka pada kesempatan ini saya diminta untuk menyampaiakan pemikiran mengenai: “Urgensi Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi & Korban Daerah dalam Prespektif Masyarakat”. Namun tanpa seijin penyelenggara, saya merubah judulnya menjadi seperti apa yang tertera dalam makalah ini.
Agar diskusi ini lebih terfokus, maka dalam makalah ini akan di uraikan dengan sistematika sebagai berikut: Pertama, Catatan Pengantar. Kedua, Catatan Kritis Terhadap UU No. 13 Tahun 2006. Ketiga, Memahami Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Keempat, Urgensi Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Daerah. Kelima, Catatan Penutup.
CATATAN KRITIS TERHADAP UU No. 13 TAHUN 2006
Masyarakat pendamba keadilan pada tanggal 11 Agustus 2006 menyambut gembira di undangkannya UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban(3). Walaupun demikian patut diingat bahwa UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban dinilai belum maksimal dalam mengatur perlindungan terhadap Saksi dan Korban karena masih banyak bolong disana sini.
Catatan PIAR NTT(4) menunjukan bahwa: Pertama, Tujuan dari UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hanya sebatas melindungi saksi dengan memberikan rasa aman saat saksi dan korban memberikan keterangan di peradilan pidana. Pada hal, masalah yang dihadapi adalah efektivitas dalam penegakan hukum, terutama dalam hal penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan penyelesaian kasus korupsi. Hambatan utama dalam penyelesaian kasus-kasus tersebut adalah minimnya partisipasi masyarakat untuk berperan sebagai pelapor dan saksi. Karena itu, seharusnya tujuan keberadaan UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bukan sebatas untuk melindungi saksi, melainkan lebih untuk meningkatkan efektivitas dalam penegakan hukum, terutama penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan kasus korupsi.
Kedua, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak berperspektif pemberantasan korupsi. Melihat modus korupsi yang tersistematis dengan baik, disertai adanya keterlibatan para pejabat negara ataupun orang-orang yang cukup berpengaruh, ketakutan para saksi atau pelapor adanya indikasi korupsi perlu dihilangkan dengan kepastian hukum dan pemenuhan akan rasa keadilan yang hendak dicapainya. Dalam hal ini, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, jelas diperlukan untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi para saksi yang memiliki keberanian untuk mengungkapkan kasus korupsi. Konsekwensinya, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diharapkan mampu memotivasi orang yang mengetahui terjadinya tindak pidana korupsi untuk berani menguak kebenaran yang selama ini sengaja ditutupi oleh konspirasi dari para koruptor. Namun, dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, perspektif tersebut tidak ditemukan. Hal itu dapat terlihat dengan tidak dimasukkannya UU Antikorupsi dalam pertimbangannya, padahal saksi kasus korupsi termasuk yang harus dilindungi. Selain itu, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, ini belum memasukkan unsur pelapor dalam kasus korupsi. Pelapor didefinisikan seperti yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, padahal pelapor kasus korupsi belum tentu akan menjadi saksi. Pelapor kasus korupsi perlu diakomodir di dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, mengingat posisi pentingnya dalam mengungkap kasus korupsi yang tidak terungkap di permukaan dan minimnya alat bukti yang ditemukan(5).
Ketiga, Dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, terdapat kerancuan dalam menempatkan hak-hak saksi dan perlakuan terhadap saksi. Seharusnya hak-hak saksi dan perlindungan saksi dipisahkan demi kepastian hukumnya. Konsekuensi dari kerancuan tersebut, hak-hak saksi menjadi sangat umum dan tidak mempertimbangkan cakupan saksi yang harus mendapatkan perlindungan atau perlakuan khusus. Banyaknya jenis saksi seharusnya menuntut pemisahan hak-hak dan perlakuannya. Sedangkan menyangkut perlindungan saksi, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak dapat secara terperinci mendefinisikan jenis dan bentuk perlindungan, walaupun tata cara perlindungan sudah sedikit banyak disinggung. Di sisi lain, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, cenderung menyamakan hak-hak dan perlakuan saksi dan korban. Dalam kasus pelanggaran HAM, hal itu dimungkinkan mengingat posisi saksi yang hampir pasti sebagai korban. Tapi, dalam kasus korupsi, hampir bisa dipastikan tidak ada korban, atau korbannya adalah negara. Selain itu, perlakuan terhadap korban pascaputusan pengadilan, terutama korban pelanggaran HAM berat, belum diperhatikan.
Keempat, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, belum mengatur tentang peran serta masyarakat dan penghargaan terhadap orang yang memberikan kesaksian atau melaporkan tindak pidana. Untuk mengungkap kasus tindak pidana, terutama pelanggaran HAM dan korupsi, peran serta masyarakat sangat menentukan. Beberapa kasus pelanggaran HAM dapat terungkap karena adanya kesaksian dari korban, tapi masih lebih banyak yang tidak terungkap karena korban tidak mau bersaksi mengingat besarnya risiko yang harus dihadapi. Sedangkan dalam kasus korupsi, peran whistleblower sangat menentukan. Mengingat besarnya risiko yang harus dihadapi oleh masyarakat dalam berperan melaporkan atau menjadi saksi tindak pidana, sudah sewajarnya apabila mereka diberi penghargaan sesuai dengan perannya. Selain itu, memasukkan unsur penghargaan bagi peran serta masyarakat penting dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melaporkan tindak pidana.
MEMAHAMI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI & KORBAN
Dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang diundangkan pada tanggal 11 Agustus 2006 dalam LN-RI Tahun 2006 Nomor 64, tambahan LN-RI Nomor 4653, disebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang(6).
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK memiliki tugas dan kewenangan(7) sebagai berikut: Pertama, Menerima permohonan Saksi dan/atau Korban untuk perlindungan. (Pasal 29). Kedua, Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau Korban. (Pasal 29). Ketiga, Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/atau Korban. (Pasal 1). Keempat, Mengehentikan program perlindungan Saksi dan/atau Korban. (Pasal 32). Kelima, Mengajukan ke Pengadilan (NB: Berdasarkan Keinginan Korban) berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat; dan hak atas restitusi atau ganti rugi yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. (Pasal 7). Keenam, Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang mewakili korban untuk bantuan (Pasal 33 dan Pasal 34). Ketujuh, Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan di berikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban. (Pasal 34). Kedelapan, Bekerjasama dengan instansi terkait yang berwenang dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan. (Pasal 36).
UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya pasal 13 ayat (1) juga mengamantkan bahwa LPSK dalam menjalankan tugas dan kewenangannya bertanggung jawab kepada presiden(8). Disamping itu, LPSK juga wajib memberikan laporan kepada DPR-RI(9).
URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA
PERLINDUNGAN SAKSI & KORBAN DI DAERAH
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan di tingkat pengadilan, terutama yang berkenaan dengan saksi. Tidak sedikit kasus yang kandas di tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi(10).
Bertolak dari realita yang demikian, maka terlepas dari tidak sempurnanya UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun KEHADIRAN LPSK DI DAERAH SANGAT DIBUTUHKAN. Walaupun UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memprioritaskan kedudukan LPSK ini berada di ibukota Negara Republik Indonesia(11), namun disamping berkedudukan di ibukota Negara, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, juga memberi keleluasan bagi LPSK untuk membentuk perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan dari LPSK(12).
Pilihan UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, untuk memberikan akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan di daerah adalah pilihan yang tepat karena secara geografis wilayah Republik Indonesia yang akses informasi dan komunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar ibukota Negara dengan wilayah lainnya. Apalagi, kasus-kasus intimidasi terhadap saksi maupun korban yang terjadi selama ini justru paling banyak terjadi diluar wilayah Ibukota Negara Republik Indonesia(13).
Perwakilan LPSK di daerah ini bisa ditafsirkan secara luas, yakni bisa berada di tingkat region tertentu (NB: Terdiri dari beberapa provinsi) ataupun di tiap Provinsi. Bahkan bisa juga didirikan di level Kabupaten. Atau dalam kondisi khusus (Penting dan Mendesak) LPSK bisa didirikan di wilayah terpilih. Disamping itu Perwakilan LPSK di daerah juga bisa didirikan secara permanen atau secara ad hoc, sangat tergantung dari dari situasi yang mendukungnya.
Satu hal yang tidak boleh diabaikan atau dilupakan adalah kebutuhan untuk mendirikan perwakilan LPSK di daerah, juga akan memberikan implikasi atas sumberdaya yang besar pula dari segi pembiayaan maupun penyiapan infrastruktur dan sumberdaya manusia. Hal ini menjadi penting karena jangan sampai pendirian perwakilan LPSK di daerah yang sangat dubutuhkan oleh masyarakat pendamba keadilan ini, justru akan menjadi sesuatu yang kontra produktif, jika ketiga aspek ini tidak dikaji dengan benar.
CATATAN PENUTUP
Demikianlah sumbangan pemikiran saya mengenai urgen tidaknya keberadaan lembaga perlindungan saksi dan korban di daerah, Kiranya bermanfaat dan ini dapat mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas.
Agar diskusi ini lebih terfokus, maka dalam makalah ini akan di uraikan dengan sistematika sebagai berikut: Pertama, Catatan Pengantar. Kedua, Catatan Kritis Terhadap UU No. 13 Tahun 2006. Ketiga, Memahami Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Keempat, Urgensi Keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Daerah. Kelima, Catatan Penutup.
CATATAN KRITIS TERHADAP UU No. 13 TAHUN 2006
Masyarakat pendamba keadilan pada tanggal 11 Agustus 2006 menyambut gembira di undangkannya UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban(3). Walaupun demikian patut diingat bahwa UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban dinilai belum maksimal dalam mengatur perlindungan terhadap Saksi dan Korban karena masih banyak bolong disana sini.
Catatan PIAR NTT(4) menunjukan bahwa: Pertama, Tujuan dari UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, hanya sebatas melindungi saksi dengan memberikan rasa aman saat saksi dan korban memberikan keterangan di peradilan pidana. Pada hal, masalah yang dihadapi adalah efektivitas dalam penegakan hukum, terutama dalam hal penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan penyelesaian kasus korupsi. Hambatan utama dalam penyelesaian kasus-kasus tersebut adalah minimnya partisipasi masyarakat untuk berperan sebagai pelapor dan saksi. Karena itu, seharusnya tujuan keberadaan UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bukan sebatas untuk melindungi saksi, melainkan lebih untuk meningkatkan efektivitas dalam penegakan hukum, terutama penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan kasus korupsi.
Kedua, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak berperspektif pemberantasan korupsi. Melihat modus korupsi yang tersistematis dengan baik, disertai adanya keterlibatan para pejabat negara ataupun orang-orang yang cukup berpengaruh, ketakutan para saksi atau pelapor adanya indikasi korupsi perlu dihilangkan dengan kepastian hukum dan pemenuhan akan rasa keadilan yang hendak dicapainya. Dalam hal ini, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, jelas diperlukan untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi para saksi yang memiliki keberanian untuk mengungkapkan kasus korupsi. Konsekwensinya, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, diharapkan mampu memotivasi orang yang mengetahui terjadinya tindak pidana korupsi untuk berani menguak kebenaran yang selama ini sengaja ditutupi oleh konspirasi dari para koruptor. Namun, dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, perspektif tersebut tidak ditemukan. Hal itu dapat terlihat dengan tidak dimasukkannya UU Antikorupsi dalam pertimbangannya, padahal saksi kasus korupsi termasuk yang harus dilindungi. Selain itu, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, ini belum memasukkan unsur pelapor dalam kasus korupsi. Pelapor didefinisikan seperti yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, padahal pelapor kasus korupsi belum tentu akan menjadi saksi. Pelapor kasus korupsi perlu diakomodir di dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, mengingat posisi pentingnya dalam mengungkap kasus korupsi yang tidak terungkap di permukaan dan minimnya alat bukti yang ditemukan(5).
Ketiga, Dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, terdapat kerancuan dalam menempatkan hak-hak saksi dan perlakuan terhadap saksi. Seharusnya hak-hak saksi dan perlindungan saksi dipisahkan demi kepastian hukumnya. Konsekuensi dari kerancuan tersebut, hak-hak saksi menjadi sangat umum dan tidak mempertimbangkan cakupan saksi yang harus mendapatkan perlindungan atau perlakuan khusus. Banyaknya jenis saksi seharusnya menuntut pemisahan hak-hak dan perlakuannya. Sedangkan menyangkut perlindungan saksi, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak dapat secara terperinci mendefinisikan jenis dan bentuk perlindungan, walaupun tata cara perlindungan sudah sedikit banyak disinggung. Di sisi lain, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, cenderung menyamakan hak-hak dan perlakuan saksi dan korban. Dalam kasus pelanggaran HAM, hal itu dimungkinkan mengingat posisi saksi yang hampir pasti sebagai korban. Tapi, dalam kasus korupsi, hampir bisa dipastikan tidak ada korban, atau korbannya adalah negara. Selain itu, perlakuan terhadap korban pascaputusan pengadilan, terutama korban pelanggaran HAM berat, belum diperhatikan.
Keempat, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, belum mengatur tentang peran serta masyarakat dan penghargaan terhadap orang yang memberikan kesaksian atau melaporkan tindak pidana. Untuk mengungkap kasus tindak pidana, terutama pelanggaran HAM dan korupsi, peran serta masyarakat sangat menentukan. Beberapa kasus pelanggaran HAM dapat terungkap karena adanya kesaksian dari korban, tapi masih lebih banyak yang tidak terungkap karena korban tidak mau bersaksi mengingat besarnya risiko yang harus dihadapi. Sedangkan dalam kasus korupsi, peran whistleblower sangat menentukan. Mengingat besarnya risiko yang harus dihadapi oleh masyarakat dalam berperan melaporkan atau menjadi saksi tindak pidana, sudah sewajarnya apabila mereka diberi penghargaan sesuai dengan perannya. Selain itu, memasukkan unsur penghargaan bagi peran serta masyarakat penting dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melaporkan tindak pidana.
MEMAHAMI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI & KORBAN
Dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang diundangkan pada tanggal 11 Agustus 2006 dalam LN-RI Tahun 2006 Nomor 64, tambahan LN-RI Nomor 4653, disebutkan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi dan/atau sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang(6).
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK memiliki tugas dan kewenangan(7) sebagai berikut: Pertama, Menerima permohonan Saksi dan/atau Korban untuk perlindungan. (Pasal 29). Kedua, Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau Korban. (Pasal 29). Ketiga, Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/atau Korban. (Pasal 1). Keempat, Mengehentikan program perlindungan Saksi dan/atau Korban. (Pasal 32). Kelima, Mengajukan ke Pengadilan (NB: Berdasarkan Keinginan Korban) berupa hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat; dan hak atas restitusi atau ganti rugi yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. (Pasal 7). Keenam, Menerima permintaan tertulis dari korban ataupun orang yang mewakili korban untuk bantuan (Pasal 33 dan Pasal 34). Ketujuh, Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan di berikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban. (Pasal 34). Kedelapan, Bekerjasama dengan instansi terkait yang berwenang dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan. (Pasal 36).
UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, khususnya pasal 13 ayat (1) juga mengamantkan bahwa LPSK dalam menjalankan tugas dan kewenangannya bertanggung jawab kepada presiden(8). Disamping itu, LPSK juga wajib memberikan laporan kepada DPR-RI(9).
URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA
PERLINDUNGAN SAKSI & KORBAN DI DAERAH
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan di tingkat pengadilan, terutama yang berkenaan dengan saksi. Tidak sedikit kasus yang kandas di tengah jalan oleh karena ketiadaan saksi(10).
Bertolak dari realita yang demikian, maka terlepas dari tidak sempurnanya UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun KEHADIRAN LPSK DI DAERAH SANGAT DIBUTUHKAN. Walaupun UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memprioritaskan kedudukan LPSK ini berada di ibukota Negara Republik Indonesia(11), namun disamping berkedudukan di ibukota Negara, UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, juga memberi keleluasan bagi LPSK untuk membentuk perwakilannya di daerah lainnya jika hal tersebut sesuai dengan kebutuhan dari LPSK(12).
Pilihan UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, untuk memberikan akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan di daerah adalah pilihan yang tepat karena secara geografis wilayah Republik Indonesia yang akses informasi dan komunikasi yang terbatas baik antar wilayah maupun antar ibukota Negara dengan wilayah lainnya. Apalagi, kasus-kasus intimidasi terhadap saksi maupun korban yang terjadi selama ini justru paling banyak terjadi diluar wilayah Ibukota Negara Republik Indonesia(13).
Perwakilan LPSK di daerah ini bisa ditafsirkan secara luas, yakni bisa berada di tingkat region tertentu (NB: Terdiri dari beberapa provinsi) ataupun di tiap Provinsi. Bahkan bisa juga didirikan di level Kabupaten. Atau dalam kondisi khusus (Penting dan Mendesak) LPSK bisa didirikan di wilayah terpilih. Disamping itu Perwakilan LPSK di daerah juga bisa didirikan secara permanen atau secara ad hoc, sangat tergantung dari dari situasi yang mendukungnya.
Satu hal yang tidak boleh diabaikan atau dilupakan adalah kebutuhan untuk mendirikan perwakilan LPSK di daerah, juga akan memberikan implikasi atas sumberdaya yang besar pula dari segi pembiayaan maupun penyiapan infrastruktur dan sumberdaya manusia. Hal ini menjadi penting karena jangan sampai pendirian perwakilan LPSK di daerah yang sangat dubutuhkan oleh masyarakat pendamba keadilan ini, justru akan menjadi sesuatu yang kontra produktif, jika ketiga aspek ini tidak dikaji dengan benar.
CATATAN PENUTUP
Demikianlah sumbangan pemikiran saya mengenai urgen tidaknya keberadaan lembaga perlindungan saksi dan korban di daerah, Kiranya bermanfaat dan ini dapat mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas.
----------------
CATATAN KAKI:
- Makalah ini dipresentasikan dalam Sosialisasi dan Diskusi Publik: “URGENSI KEBERADAAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI & KORBAN DI DAERAH”, yang dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi & Korban bekerjasama dengan POLDA NTT, di Hotel Kristal, Kota Kupang, pada tanggal 22 Oktober 2010.
- Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT.
- Mungkin tidak semua masyarakat, tapi itulah paling tidak yang dirasakan oleh Koalisi Perlindungan saksi yang terdiri dari 38 Organisasi Masyarakat Sipil termasuk didalamnya PIAR NTT. Karena Undang-Undang ini dalam pembahasannya sempat mandeg di DPR-RI sekitar 5 (lima) tahun.
- Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR), adalah organisasi non pemerintah yang bersifat independent dan non profit di NTT yang pendiriannya telah dilegalformalkan dengan Akte Notaris Nomor 71 pada tanggal 15 November 2002, dan terdaftar pada Pengadilan Negeri Kupang, dengan nomor 1/AN/PIAR/Lgs/2002/PN.KPG, pada tanggal, 23 November 2002. PIAR NTT dalam kerja-kerjanya konsern pada isue Hak Asasi Manusia, Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi.
- Perlindungan bagi pelapor kasus korupsi harus diakomodir dalam UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Jika tidak, maka akan banyak kasus korupsi yang tidak akan terungkap. Pada konteks NTT terdapat sejumlah pelapor kasus dugaan korupsi yang dijadikan tersangka oleh aparat penegak hukum padahal laporan kasus dugaan korupsi yang dilaporkannya belum diproses. Para pelapor kasus dugaan korupsi tersebut diantaranya: Sarah Lerry Mboeik (Direktur PIAR - NTT), Rm. Franz Amanue, pr (Keuskupan Larantuka), Pius Hamid (Direktur SANKARI - NTT) dan Mateus Hamsi (Ketua DPRD Manggarai Barat).
- Lihat Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 angka 3 UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
- Para perumus UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak menjabarkan Tugas dan Kewenangan dari LPSK dalam suatu bagian atau bab tersendiri melainkan menyebarkan di seluruh UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
- Implikasi dari pasal 13 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban, adalah presiden sebagai pejabat Negara tertinggi yang bertanggungjawab atas kerja-kerja LPSK dan oleh karena itu pula maka Presiden harus memfasilitasi lembaga ini sesuai dengan mandat dan tugasnya. Artinya, lembaga ini jangan sampai “dikucilkan” dan tak terdukung oleh Presiden. Lihat, Supryadi Widodo Edyyono, Lembaga Perlindungan Saksi di Indonesia, Penerbit Indonesia Corruption Watch (ICW), Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 2007, Hal.6.
- Lihat pasal 13 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
- Pada Konteks NTT, Catatan akhir tahun 2009 yang dikeluarkan oleh PIAR NTT berkaitan dengan persoalan korupsi di NTT menunjukan bahwa Dari 125 (Seratus Duapuluh Lima) kasus korupsi yang dipantau oleh PIAR NTT, terdapat indikasi kerugian negara sebesar Rp. 256.337.335.434,00 (Dua Ratus Lima Puluh EnamMilyar Tiga Ratus Tiga Puluh Tujuh Juta Tiga Ratus Tiga Puluh Lima Ribu Empat Ratus TigaPuluh Empat Rupiah). Pelaku bermasalah dari ke-125 (Seratus Duapuluh Lima) kasus korupsi yang terjadi di NTT ini sebanyak 514 (Lima Ratus Lima empat belas) orang. Dari 514 (Lima Ratus Lima empat belas) Pelaku bermasala/aktor ini terdapat 76 (Tujuh Puluh Enam) orang yang melakuakan pengulangan tindak korupsi. Jika dilahat dari usia kasus, kasus korupsi di NTT yang dipantau oleh PIAR NTT dapat dipilah menjadi 2 (Dua) kategori, yakni: Kasus Lama dan Kasus Baru. Kasus Lama adalah Kasus korupsi usaianya lebih dari 3 (Tiga) tahun atau kasus yang terjadi dari tahun 2000 S/D 2006). Sedangkan Kasus Baru ialah Kasus korupsi usaianya kurang dari 3 (Tiga) tahun atau kasus korupsi yang terjadi pada tahun 2007 dan 2009. Dengan pengkategorian seperti ini, maka terdapat 97 (77,6%) kasus yang merupakan Kasus Lama dan Kasus Baru sebanyak 28 (22,4%) kasus. Salah satu alasan utama berlarut-larutnya penanganan kasus korupsi ini adalah tidak adanya saksi yang mau bersaksi. Catatan akhir tahun 2009 PIAR NTT berkaitan dengan persoalan HAM juga tidak jauh berbeda dengan persoalan korupsi. Pada tahun 2009 terdapat 31 kasus perkosaan yang tidak tertangani secara maksimal oleh PIAR NTT karena ketiadaan saksi.
- Lihat Pasal 11 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Menurut Supryadi Widodo Edyyono, Lembaga Perlindungan Saksi di Indonesia, Penerbit Indonesia Corruption Watch (ICW), Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta, 2007, Hal.6. Hal ini merupakan kebiasaan yang dapat dimaklumi karena LPSK merupakan sebuah lembaga Negara.
- Lihat Pasal 11 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
- Supriyadi Widodo, dkk, Sanksi dalam Ancaman: dokumentasi Kasus, Penerbit ELSAM, Jakarta, 2004.