PELAKU PEMBANTU DALAM
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Oleh. Paul SinlaEloE
Pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dalam banyak literatur dan dokumen
penelitian, selalu diuraikan keterlibatannya berdasarkan status, kedudukan atau jabatan. Padahal secara yuridis, keterlibatan pelaku
dalam suatu TPPO bukan ditentukan oleh status, kedudukan atau jabatan,
melainkan perannya dalam
suatu peristiwa pidana (Paul SinlaEloE, 2017:39).
Berkaitan dengan peran dari pelaku
TPPO, ada 2 (dua) alasan mengapa
pembahasan terkait orang yang membantu melakukan TPPO adalah penting dalam
rangka pemberantasan TPPO. Pertama, agar Penegak Hukum dapat menuntut
pertanggungjawaban atau menghukum pelaku TPPO, berdasarkan peran dari
keterlibatannya. Kedua, banyak dari mereka yang menjadi pelaku, mungkin saja
tidak menyadari bahwa tindakan yang dilakukannya merupakan kejahatan TPPO.
Dalam UU No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (UUPTPPO), pengaturan tentang orang yang
membantu melakukan TPPO terdapat dalam Pasal 10 dan Pasal 23. Namun, pada poin
penjelasan dari kedua pasal ini, tidak dijelaskan mengenai apa yang dimaksud
dengan membantu melakukan, siapa yang dimaksud dengan orang yang melakukan
pembantuan (pelaku pembantu/medeplichtige) dalam TPPO dan bagaimana pelaku
pembantu (medeplichtige) melakukan pembantuannya dalam kasus
TPPO.
Siapa Itu Pelaku Pembantu?
Pelaku pembantu (medeplichtige) dalam konteks TPPO, dapat dipahami sebagai orang yang memberikan dukungan/bantuan atas terlaksananya
TPPO. Dalam doktrin hukum pidana, orang yang disebut sebagai pelaku
pembantu (medeplichtige) harus memenuhi 2 (dua) syarat yang bersifat kumulatif. Syarat yang
pertama mengenai perbuatannya atau sifat perbuatannya (syarat objektif)
dan syarat yang kedua terkait sifat batin (syarat subjektif) dari
pembantuan (Adami Chazawi, 2005:371-372).
Dari
sudut objektif bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pembantu (medeplichtige), sifat dari perannya maupun
andilnya adalah hanya sebatas mempermudah atau memperlancar terjadinya kejahatan saja. Dengan demikian, maka perbuatan atau tindakan yang menentukan terlaksananya
kejahatan secara
sempurna adalah
terdapat pada
perbuatan atau
tindakan yang
dilakukan sendiri oleh pelaku pelaksana/pelaku
materil (pleger) atau orang yang dibantu oleh pelaku pembantu (medeplichtige).
Sedangkan dari sudut subjektif, sikap
batin atau kesengajaan pelaku pembantu (medeplichtige) hanya untuk menolong atau membantu saja, demi kepentingan pelaku pelaksana/pelaku materil (pleger) dapat menyelesaikan kejahatan yang
dituju. Artinya, ada perbedaan sikap batin yang jelas antara pelaku pembantu (medeplichtige) dengan sikap batin dari pleger
atau pelaku materil/pelaku pelaksana. Kesengajaan pelaku
pembantu (medeplichtige) hanya ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan kejahatan, sedangkan
kesengajaan dari pelaku pelaksana/pelaku
materil (pleger) ditujukan pada penyelesaiaan pelaksana
kejahatan. Kepentingan pelaku pembantu (medeplichtige) hanya terbatas pada kepentingan menolong pelaku pelaksana/pelaku
materil (pleger) dan kepentingan pelaku pelaksana/pelaku materil (pleger) sepenuhnya untuk kepentingan dirinya
dalam menyelesaikan kejahatan.
Pembantuan Versi Pasal 10 UUPTPPO
Secara konseptual,
ajaran tentang pembantuan (medeplichtigeheid) dalam ilmu hukum pidana, dipandang sebagai dasar/alasan perluasan pertanggungjawaban
pidana (strafausdehnungsgrund). Jadi sifat pembantuan adalah untuk
memperluas dapat dipidananya pelaku,
bukan memperluas rumusan-rumusan delik.
Konsep ini, dianut juga oleh Pasal 10 UUPTPPO dan Pasal 23 UUPTPPO.
Materi dari Pasal 10 UUPTPPO, pada dasarnya tidak menyamakan antara:
Pertama, pelaku yang melakukan tindakan yang memenuhi unsur TPPO dengan pelaku
yang berkategori membantu melakukan TPPO; Kedua, pelaku yang berkategori
membantu melakukan TPPO dengan peluku yang melakukan percobaan untuk melakukan
TPPO; Ketiga, peluku yang melakukan percobaan untuk melakukan TPPO dengan pelaku
yang melakukan tindakan yang memenuhi unsur TPPO.
Selain itu, perlu dipahami juga bahwa pembantuan/medeplichtigheid dalam
ketentuan Pasal 10 UUTPPO ini tidak hanya berlaku untuk Pasal 2, Pasal 3, Pasal
4, Pasal 5, dan Pasal 6 dari UUPTPPO saja, tetapi berlaku juga terhadap seluruh
pasal terkait dengan TPPO yang terdapat dalam Bab II dan Bab III UUPTPPO,
kecuali terhadap Pasal 23 UUPTPPO dan pasal-pasal yang tidak merumuskan tindak
pidana secara konkrit.
Secara substansi, Pasal 10 UUPTPPO hanya menyamakan beban
pertanggungjawaban pidana antara: Pertama, setiap orang yang berkualitas
sebagai pihak yang membantu melakukan TPPO dengan setiap orang yang melakukan
percobaan TPPO; Kedua, setiap orang yang berkualitas sebagai pihak yang
membantu melakukan TPPO dengan setiap orang yang melakukan tindakan yang memenuhi
unsur TPPO; Ketiga, setiap orang
yang melakukan tindakan yang memenuhi unsur TPPO dengan setiap orang yang melakukan
percobaan TPPO.
Jika merujuk pada ilmu hukum pidana, maka konsep pembantuan/medeplichtigheid
yang terdapat dalam Pasal 10 UUPTPPO bisa dimaknai berdasarkan waktu
pelaksanaan pembantuan dan perbuatan dari orang yang membantu melakukan kejahatan. Dari aspek waktu, pembantuan atau medeplichtigheid
bisa terjadi ketika sebelum pelaksanaan
kejahatan dan pada saat pelaksanaan kejahatan. Wujud perbuatan pada pembantuan
sebelum pelaksanaan kejahatan, maupun pada saat pelaksanaan kejahatan dapat
dilakukan dengan berbagai cara atau segala upaya, termasuk memberikan
kesempatan (glegenheid), memberikan sarana (middelen), memberikan
keterangan (inlichtingen) dan pembantuan pasif (passieve medeplichtigheid).
Ajaran tentang pembantuan pada saat kejahatan terjadi, mirip dengan peran
pelaku yang berkategori sebagi orang yang turut
serta (medepleger) melakukan
kejahatan. Menurut E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi (2012:377-378),
perbedaannya terletak pada: Pertama, sifat perbuatan yang merupakan obyek
tindak pidana. Teori obyektif (de obyectieve deelnenings theorie)
menjelaskan bahwa apabila seseorang melakukan perbuatan yang menurut sifatnya
adalah merupakan perbuatan yang dilarang undang-undang, maka orang tersebut
melakukan kejahatan dalam bentuk ‘turut serta’ atau ‘medeplegen’.
Sedangkan apabila orang tersebut perbuatannya tidak bersifat tindak pidana,
maka dianggap melakukan ‘pembantuan’ atau ‘medeplichtigheid’.
Kedua, aspek niat/kehendak, tujuan maupun kepentingan. Teori Subyektif (de
subyectieve deelnemings theorie) menguraikan bahwa perbedaan mendasar dari
‘turut serta’ melakukan tindak pidana dengan ‘membantu’ melakukan tindak
pidana, dapat dilihat dari niat/kehendak, tujuan maupun kepentingan. Dalam
‘turut serta’ atau ‘medeplegen’, pelaku (medepleger) memang
mempunyai kehendak atau niat terhadap terjadinya tindak pidana. Sedangkan dalam
‘pembantuan’, kehendak/niat dari pelaku pembantu (medeplichtige) hanya
ditujukan ke arah ‘memberi bantuan’ kepada orang yang melakukan tindak pidana (pleger).
Dari aspek tujuan, pelaku (medepleger) yang melakukan kejahatan
mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Berbeda dengan ‘turut serta’ atau ‘medeplegen’,
pelaku pembantu (medeplichtige) dalam ‘pembantuan’ tidak mempunyai tujuan
yang berdiri sendiri. Terkait dengan kepentingan, pelaku (medepleger)
yang melakukan kejahatan dalam ‘turut serta/medeplegen’’, mempunyai
kepentingan yang sama dalam tindak pidana. Sedangkan pada ‘pembantuan’ atau ‘medeplichtigheid’,
pelaku pembantu (medeplichtige) memiliki kepentingan yang tidak langsung
terhadap terjadinya suatu tindak pidana, tetapi hanya terbatas atas bantuan
yang diberikan.
Ketiga, kesadaran dalam bekerjasama. Berdasarkan Teori Gabungan (verenigings
theorie), perbedaan antara turut serta’ atau ‘medeplegen’ dengan
‘pembantuan’ atau ‘medeplichtigheid’, bisa diketahui dari aspek
kesadaran dalam bekerjasama. Di dalam praktek, sering dilihat apakah seseorang
memenuhi syarat dari bentuk ‘turut serta/medeplegen’’, yakni terdapat
kesadaran kerja sama dan kerja sama itu secara fisik. Apabila memang memenuhi
syarat tersebut, maka keterlibatan seseorang dalam suatu perbuatan pidana
diklasifikasikan sebagai pelaku yang turut serta (medepleger’) melakukan
tindak pidana. Sebaliknya, apabila tidak memenuhi syarat dimaksud, maka orang
yang terlibat dalam tindak pidana dimaksud diklasifikasikan pelaku pembantu (medeplichtige) sebagaimana ajaran tentang ‘pembantuan’.
Ajaran tentang pembantuan dalam konteks sebelum suatu kejahatan dilakukan,
juga memiliki rumusan yang hampir sama dengan penganjuran/penggerakkan (uitlokking).
Perbedaannya pada niat atau kehendak dari pelaku. Paul SinlaEloE (2017:47-50),
menjelaskan bahwa pada pembantuan, kehendak jahat pelaku materil/pelaku pelaksana (pleger) sudah ada
sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pelaku pembantu (medeplichtige).
Sedangkan dalam penganjuran/penggerakkan, kehendak melakukan kejahatan pada pelaku materil/pelaku pelaksana (pleger)
ditimbulkan oleh penganjur atau orang yang menganjurkan/menggerakan (uitlokker).
Pembantuan versi Pasal 23 UUPTPPO
Dalam UUPTPPO,
Pasal 23 dikelompokan dalam tindak pidana lain yang berkaitan dengan TPPO. Pasal 23 UUPTPPO pada initinya
mengamanatkan bahwa setiap orang akan dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp.40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), jika membantu
pelarian pelaku TPPO dari proses peradilan pidana dengan: a. Memberikan atau
meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku; b.
Menyediakan tempat tinggal bagi pelaku; c. Menyembunyikan pelaku; atau d.
Menyembunyikan informasi keberadaan pelaku.
Materi muatan dari Pasal 23 UUPTPPO,
pada intinya hanya difokuskan untuk menjerat pelaku pembantu (medeplichtige) yang membantu pelarian pelaku TPPO dari proses
peradilan pidana. Secara substansi, Pasal 23 UUPTPPO mengatur
pembatasan-pembatasan mengenai
perbuatan atau cara yang dipergunakan oleh pelaku pembantu (medeplichtige) dalam membantu pelarian pelaku TPPO dari
proses peradilan pidana. Cara-cara dimaksud adalah: Pertama, memberikan atau
meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku; Kedua,
menyediakan tempat tinggal bagi pelaku; Ketiga, menyembunyikan pelaku; atau
Keempat, menyembunyikan informasi keberadaan pelaku.
Salah satu poin penting dari Pasal 23
UUPTPPO adalah pengaturannya tentang waktu pelaksanaan pembantuan. Dalam Pasal
23 UUPTPPO, bantuan yang diberikan oleh pelaku pembantu (medeplichtige) bisa terjadi ketika sebelum
pelaksanaan kejahatan dan pada saat pelaksanaan kejahatan dengan cara memberikan
atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku. Selain itu, bantuan yang
diberikan oleh pelaku pembantu (medeplichtige) bisa juga terjadi ketika sesudah/setelah pelaksanaan kejahatan melalui
cara menyediakan
tempat tinggal bagi pelaku, menyembunyikan pelaku atau menyembunyikan informasi
keberadaan pelaku (Pasal 23 UUPTPPO).
Waktu pelaksanaan pembantuan yang
diatur dalam Pasal 23 UUPTPPO ini, berbeda dengan ajaran pembantuan yang dianut
oleh Indonesia, khususnya yang terdapat dalam Pasal 10 UUPTPPO maupun Pasal 56 KUHPidana. Perbedaannya adalah pada Pasal 10 UUPTPPO dan Pasal 56 KUHPidana, dirancang untuk menghukum
pelaku pembantu (medeplichtige) yang terlibat ketika ‘sebelum dilakukan’ tindak pidana serta mempidanakan
pelaku yang melakukan pembantuan (medeplichtigeheid) pada ‘saat dilakukan’ tindak pidana dan tidak
mengenal pembantuan ‘setelah’ tindak pidana terjadi.
Kalau diteliti dengan cerdas dan
cermat, sebenarnya Indonesia juga mengenal dan mengatur bentuk pembantuan
‘setelah dilakukan’ tindak pidana, sama seperti Inggris dan Negara lainnya.
Hanya saja dalam KUHPidana maupun produk hukum terkait pidana lainnya, pengaturan bentuk pembantuan
setelah dilakukannya tindak pidana merupakan bentuk tindak pidana tersendiri yang tanpa harus dikaitkan
dengan pasal pembantuan/penyertaan.
Poin penting lainnya yang terdapat
dalam Pasal 23 UUPTPPO adalah pengaturan terkait dengan sanksi. Sebagai delik berdiri sendiri (zelfstandig
delict), Pasal 23 UUPTPPO mengancam pidana pelaku pembantu (medeplichtige) yang membantu pelarian pelaku TPPO dari
proses peradilan pidana, tanpa
mengaitkannya dengan TPPO yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini berbeda dengan Pasal 10 UUPTPPO yang menyamakan sanksi
antara setiap orang yang
berkualitas sebagai pihak yang membantu melakukan TPPO dengan setiap orang
yang melakukan tindakan yang memenuhi rumusan unsur delik TPPO.
Pengaturan sanksi terkait pertanggungjawaban pidana dari
pelaku pembantu (medeplichtige) yang terdapat dalam Pasal
10 UUPTPPO dan Pasal 23 UUPTPPO, juga berbeda dengan yang diatur KUHPidana. Penerapan
sanksi dalam pertanggungjawaban
pidana bagi pelaku pembantu (medeplichtige) menurut Pasal 56 KUHPidana, sebagai berikut: Pertama, maksimum
pidana bagi pelaku pembantu (medeplichtige) adalah maksimum
pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi 1/3 (sepertiga); Kedua, jika kejahatan diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pelaku pembantu (medeplichtige) dijatuhkan pidana penjara paling
lama 15 (limabelas) tahun; dan Ketiga, pidana tambahan bagi pembantuan
sama dengan kejahatannya sendiri.
DAFTAR BACAAN
- Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Alumni, Bandung, 2005.
- E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi. Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit Storia Grafika, Jakarta, 2012.
- Paul SinlaEloE, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Penerbit Setara Press, Malang, 2017.
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/Wetboek van Strafrecht.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
------------------------------------------------------
KETERANGAN:
- Penulis adalah Aktivis PIAR NTT
- Tulisan ini merupakan hasil editing (Pengoreksian dan Penyempurnaan) dari makalah berjudul: Pembantuan Dalam Konteks Tindak Pidana Dalam Konteks Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang dipresentasikan dalam diskusi terbatas “Membedah Peran Pelaku Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang”, yang dilaksanakan oleh Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR-NTT), di Hotel Olive, Kota Kupang, pada tanggal 29 Mei 2017.