Rabu, 22 November 2017

Permufakatan Jahat Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang

PERMUFAKATAN JAHAT MELAKUKAN TPPO
Oleh Paul SinlaEloE



Permufakatan jahat atau conspiracy (Inggris) atau samenspanning (Belanda), merupakan salah satu tindakan atau perbuatan yang oleh UU No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang/UUPTPPO, dikategorikan sebagai tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Dalam Pasal 11 UUPTPPO ditegaskan, bahwa: “Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6”.

Hadirnya pasal terkait dengan permufakatan jahat dalam UUPTPPO, merupakan perwujudan tekad dari pemgambil kebijakan untuk memberantas TPPO dengan cara mencegah sedini mungkin terjadinya TPPO (Bandingkan dengan Pasal 56 UUPTPPO). Sebagai usaha dini agar TPPO itu benar-benar tidak terjadi, maka ketentuan tentang permufakatan jahat dalam UUPTPPO harus dimaknai sebagai upaya represif dengan pendekatan preventif dalam pemberantasan TPPO.

Upaya represif dengan pendekatan preventif dalam pemberantasan TPPO adalah penting karena TPPO merupakan kejahatan yang serius dan telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antar negara maupun dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia (Penjelasan Umum UUPTPPO).

Pada sisi yang lain, maksud dan tekad dari pengambil kebijakan untuk menggunakan upaya represif dengan pendekatan preventif dalam pemberantasan TPPO, tidak didukung dengan kapasitas legal drafting (penyusunan produk hukum) yang memadai. Hal ini dapat dibuktikan dengan mencermati secara cerdas konstruksi hukum dari rumusan delik yang terdapat dalam Pasal 11 UUPTPPO.

Dilihat dari aspek teknis pembentukan peraturan perundang-undangan, Pasal 11 UUPTPPO adalah wujud dari bentuk kriminalisasi yang tidak sempurna (uncomplete criminalization). Alasannya, Pasal 11 UUPTPPO hanya memuat sanksi pidana yang dapat dijatuhkan (strafmaat dan strafsoort), itupun dengan merujuk pada sanksi pidana yang ada dalam rumusan tindak pidana dari Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6, tanpa memberikan rumusan unsur-unsur perbuatan yang dilarangnya (strafbaar).

Hasil kriminalisasi yang tidak sempurna (uncomplete criminalization), bisa juga dilihat dari aspek substansi Pasal 11 UUPTPPO yang hanya melarang dan mengancam dengan pidana bagi setiap orang (orang perseorangan atau korporasi) yang melakukan percobaan TPPO’ dan ‘permufakatan jahat TPPO’, tanpa menguraikan bagaimana cara melakukannya (strafmodus). Bahkan, tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai maknanya, tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan-perbuatan atau istilah-istilah tersebut. Seolah-olah unsur beserta makna dari perbuatan-perbuatan atau istilah-istilah tersebut telah jelas, tegas dan sempurna.

Konsekuensi dari rumusan norma permufakatan jahat dalam Pasal 11 UUPTPPO yang tidak jelas secara tertulis, tidak tegas batas-batasnya dan tidak jelas maksudnya, akan berdampak pada saat implementasi terutama dalam kerja-kerja penegakan hukum. Menurut Chairul Huda (2016), fakta yang demikian otomatis akan berakibat juga pada tidak terjaminnya kepastian hukum karena multi tafsir.

Mengingat bahwa norma permufakatan jahat yang terdapat dalam Pasal 11 UUPTPPO adalah norma yang samar (vaagennorm) pengertiannya, maka Pasal 88 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) dapat dijadikan rujukan dalam implementasi atau kerja-kerja penegakan hukum karena secara otentik telah merumuskan pengertian dari permufakatan jahat. Pembenaran lain terkait Pasal 88 KUHPidana dapat dijadikan rujukan untuk memaknai istilah ‘permufakatan jahat’ yang terdapat dalam Pasal 11 UUPTPPO adalah UUPTPPO merupakan kekhususan dari KUHPidana.

Pasal 88 KUHPidana pada intinya menguraikan bahwa suatu tindak pidana permufakatan jahat dikatakan ada, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan. Unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan permufakatan jahat pada Pasal 88 KUHPidana, yaitu: Unsur Pertama, adanya dua orang atau lebih (pelakunya). Unsur pelaku dalam permufakatan jahat merupakan suatu perkecualian dari dari sistem hukum pidana Indonesia, karena pelaku adalah dua orang atau lebih, bukan satu orang seperti yang terdapat dalam setiap rumusan tindak pidana pada KUHPidana maupun UUPTPPO.

Dalam disiplin ilmu hukum pidana, istilah dua orang atau lebih’ tidak lagi termasuk pengertian dader (pelaku) dalam rumusan tindak pidana, akan tetapi menjadi atau merupakan pengertian lain yang terdapat dalam ajaran penyertaan (deelneming) maupun konsep pembantuan (medeplichtigheid) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 55 KUHPidana, Pasal 56 KUHPidana, Pasal 10 UUPTPPO dan Pasal 23 UUPTPPO.

Menurut Adami Chazawi (2005:375), istilah ‘dua orang atau lebih’ yang dimaksud dalam unsur pertama dari kejahatan permufakatan jahat, harus dianggap sebagai pelaku (dader) dan bukannya yang satu dianggap sebagai pelaku pelaksana (pleger) dan satunya sebagai pelaku peserta (medepleger) atau yang satu dianggap sebagai pelaku pelaksana (pleger) dan lainnya dikategorikan sebagai pelaku pembantu (medeplichtige). Bahkan keduanya tidak dapat dipahami sebagai pelaku peserta (medepleger) atau keduanya dianggap sebagai pelaku pembantu (medeplichtige).

Unsur Kedua, adanya kesepakatan akan melakukan kejahatan. Kesepakatan dalam konteks permufakatan jahat pada dasarnya dapat dipahami sebagai persesuaian pernyataan kehendak baik tertulis maupun tidak tertulis, antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya yang mengadakan perjanjian untuk melakukan kejahatan.

Perjanjian untuk melakukan kejahatan di sini tidak dapat dipersamakan dengan arti perjanjian (overeenkomst) dalam konteks hukum perdata (H. A. K. Moch. Anwar, 1979:229). Sebab, salah satu unsur dari perjanjian sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgerlijk wetboek) adalah sebab (isi perjanjian) yang halal. Sedangkan dalam permufakatan jahat (samenspanning), persetujuan terhadap sesuatu yang diperjanjikan adalah sebab (isi perjanjian) yang tidak halal (ongeoorloofd) atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maupun bertolak belakang dengan kepentingan hukum.

Merujuk pada pengertian dan uraian unsur permufakatan jahat dari Pasal 88 KUHPidana, maka secara sederhana permufakatan jahat dapat dipahami sebagai kejahatan untuk melakukan suatu kejahatan, sebab tindak pidana yang disepakati untuk diwujudkan belum terwujud. Itu berarti, permufakatan jahat dianggap telah terjadi dengan sempurna setelah dua orang atau lebih mencapai suatu kesepakatan untuk melakukan TPPO yang telah diperjanjikan (overeengekomen).

Dengan demikian, meskipun TPPO yang disepakati untuk dilakukan tidak dilakukan atau belum diwujudkan, namun para pihak yang telah bersepakat untuk melakukan TPPO tersebut sudah dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya sebagai pelaku permufakatan jahat untuk melakukan TPPO. Inilah yang dimaksud dengan upaya represif dengan pendekatan preventif dalam pemberantasan TPPO.

Kesimpulan ini sejalan dengan teori geen straf zonder schuld atau (tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan) yang mengajarkan bahwa permufakatan jahat (termasuk permufakatan jahat dalam TPPO) dianggap sudah terjadi dan dapat dikenakan sanksi pidana, jika telah memenuhi 2 (dua) unsur, yaitu adanya unsur perbuatan jahat (actus reus) dan unsur niat jahat atau mens rea (Chairul Huda, 2006:19-23).

Chairul Huda (2016) berpendapat bahwa komponen kesalahan (mens rea) dari tindak pidana yang disebut permufakatan jahat, yakni: terdapat persesuaian kehendak, kesamaan niat atau meeting of minds diantara dua orang atau lebih, yang tertuju untuk melakukan suatu tindak pidana (termasuk TPPO) dan berdampak terhadap kepentingan hukum. Sedangkan komponen perbuatan (actus reus) dari permufakatan jahat adalah permufakatan jahat itu sendiri atau dengan kata lain actus reus-nya berupa adanya kesepakatan dua orang atau lebih untuk melakukan tindak pidana dalam hal ini adalah TPPO.

Dengan kerangka berpikir yang seperti ini, maka permufakatan jahat untuk melakukan TPPO harus dipandang sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dan bukannya tindak pidana yang tidak dapat berdiri sendiri. Namun harus diingat bahwa dalam hal penegakan hukum, kasus permufakatan jahat untuk melakukan TPPO akan terlihat seperti tindak pidana yang tidak dapat berdiri sendiri. Hal ini disebabkan karena dakwaan untuk kejahatan permufakatan jahat harus dikaitkan dengan pasal terkait TPPO lainnya yang ada dalam UUPTPPO, yang oleh dua orang atau lebih telah disepakati akan dilakukan.

-----------------------------------------------------------
KETERANGAN:
1.   Penulis adalah Aktivis PIAR NTT.
2. Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Victory News, dengan judul: “Permufakatan Jahat Dalam TPPO”, pada tanggal 22 November 2017.
TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...