Rabu, 10 Februari 2010

Pelanggaran HAM di NTT Tahun 2009

Catatan Jaringan HAM PIAR NTT
Monitoring Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM
di Nusa Tenggara Timur Tahun 2009
(11,49% dilakukan Aparat kepolisian-Pelanggar HAM terbesar)





Catatan Pembuka 
PIAR NTT sebagai Organisasi Non Pemerintah yang konsern dengan isu penegakan HAM dan demokratisasi setiap tahunnya berupaya melakukan monitoring/pemantauan terhadap Kasus-kasus Pelanggaran HAM dan Tindakan Kekerasan di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Pemantauan yang dilakukan oleh PIAR NTT ini berbasiskan pada kasus pelanggaran HAM yang diadvokasi oleh PIAR NTT dan Media Massa (NB: Media Cetak, Media Elektronik dan Media On-Line). Pemantauan ini dilakukan guna mendeteksi perkembangan serta profil pelanggaran HAM dan kekerasan di NTT. 

Sudah sangat banyak instrumen hukum baik nasional maupun internasional yang mengatur tentang perlindungan dan penegakkan HAM seperti UU 39 tahun 1999 tentang HAM, UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU 11 dan 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak SIPOL dan EKOSOB, UU Nomor 7 Tahun 1984 yang meratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Keputusan Presiden No. 36/1990 tentang rafikasi Konvensi Hak Anak pada tanggal 25 Agustus 1990, UU 23 tahun 2000 tentang Perlindungan Anak, UU 23 tahun 2004 tentang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 

Namun kasus Tindakan Kekerasan dan kasus pelanggaran HAM masih saja menjadi persoalan serius bagi bangsa Indonesia. Itu pertanda bahwa pemahaman masyarakat dan pengambil kebijakan tentang perlindungan HAM masih menjadi masalah bersama. Dalam konteks yang demikian maka PIAR NTT sebagai lembaga yang konseren dengan isu penegakan HAM dan demokratisasi berupaya melakukan pemantauan guna mendeteksi perkembangan serta profil pelanggaran HAM dan kekerasan di NTT. Untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan pelanggaran HAM dan kekerasan maka selama periode Januari - Desember 2009 PIAR NTT melakukan investigasi lapangan, pemantauan melalui media massa dan mengupdate laporan atau pengaduan masyarakat. 

Dari pantauan PIAR NTT selama ini ditemukan bahwa masalah pelanggaran HAM dan tindak kekerasan masih tumbuh subur dan merajalela pada level dan dimensi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Hampir pada semua level dan tataran masyarakat masih ditemukan adanya pelanggaran HAM dan kekerasan, tidak terkecuali misalnya dalam dunia pendidikan dimana banyaknya peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan tenaga pendidik terhadap anak didiknya sekian banyak kasus percabulan, penganiayaan, serta banyaknya kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh aparat kepolisian di wilayah Nusa Tenggara Timur. 

Deskripsi Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM di NTT 
Dalam pemantauan, PIAR NTT berusaha untuk mengamati dan mendeteksi tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh State Actor (Aparat Negara) seperti yang dilakukan oleh Aparat Polri, TNI, PNS, Guru, Dosen, Aparat kelurahan/desa) dan non state actor yang meliputi masyarakat umum dan sektor swasta lainnya. 

Dari pantauan tersebut, PIAR memperoleh deskripsi pelanggaran HAM yang menyebutkan bahwa selama bulan Januari 2009 – Desember 2009, telah terjadi 385 peristiwa/kasus tindak kekerasan dan Pelanggaran HAM yang memakan korban sebanyak 3.677 orang. 

Peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM selama periode tersebut meliputi tindakan percabulan, pemerkosaan, penganiayaan dan penyiksaan, pembunuhan/penembakan, pembunuhan dengan latar belakang pemerkosaan, intimidasi, pengrusakan, perampasan, pencurian, pungutan liar, penipuan, Penangkapan sewenang-wenang, trafiking, perjudian, KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, kekerasan dalam pacaran, penelantaran, Aborsi, penghamilan dan lari dari tanggungjawab, perselingkuhan, perzinahan, kekerasan oleh majikan, hak ekonomi social budaya masyarakat, serta khusus disoroti tentang kekerasan aparat negara (militer, Polri, PNS, guru, Dosen, aparat Desa/Kel, dan DPRD) yang juga mencakup jenis-jenis kekerasan yang disebutkan sebelumnya. Berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM tersebut tersebar pada hampir semua wilayah provinsi NTT seperti Kota Kupang, Kab. Kupang, TTS, TTU, Belu, Flores Timur, Sikka, Rote Ndao, Manggarai, Manggarai Timur, Manggarai Barat, Alor, Sumba Barat Daya, Sumba Timur, Ngada, Sabu, Lembata, Ende, dan Nagekeo. 

Dari hasil monitoring Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM didapatkan data yang menyebutkan 129 kasus atau 33,51% dengan korban sebanyak 3.352 orang dilakukan oleh Aparat Negara/state actor (Polisi, TNI, Aparat Desa, Dosen, Guru, Anggota DPRD, dll) sedangkan 225 kasus lainnya atau 58,44% dilakukan oleh masyarakat/non state actor seperti pengojek, pemulung, pedagang,petani, ayah kandung/tiri, suami, istri, pacar, ayah, ibu, anak, kerabat dekat, siswa, mahasiswa, dukun beranak dalam kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak serta penganiayaan. Pelaku yang tidak diketahui sejumlah 31 kasus atau 8,05 %. 

Hasil analisis PIAR NTT, juga memukan bahwa pelaku tindak kekerasan dan pelanggar HAM terbesar adalah aparat kepolisian karena dari 129 kasus yang dilakukan aparat negara 40 kasusnya atau 31,00% dilakukan oleh aparat kepolisian. Data juga menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan terbanyak adalah kasus penganiayaan sebanyak 95 kasus atau 24,67 %, Kekerasan Dalam Rumah Tangga 57 kasus atau 14,80%, Pemerkosaan 44 kasus atau 11,42%, Percabulan 43 kasus atau 11,16%, dan Perampasan serta pencurian 21 kasus atau 5,45%. Dilihat dari jumlah korban, kasus dengan korban terbanyak yakni pelanggaran Hak Ekonomi Sosial Budaya dengan korban sebanyak 3073 orang atau 83,57%, diikuti Trafiking 193 orang atau 5,24%, Penganiayaan 125 orang atau 3,39%, KDRT 59 orang atau 1,60% dan Percabulan 53 orang atau 1,44%. 

Tahapan proses hukum yang dilakukan terhadap kasus yang terjadi menunjukkan data sebagai berikut, sebanyak 92 kasus atau 23,89% sampai pada tahap pelaporan polisi, tahap Penyelidikan sebanyak 80 kasus atau 20,77%, tahap penyidikan sebanyak 103 kasus atau 26,75%, tahap proses pengadilan sebanyak 34 kasus atau 8,83%, tahap putusan pengadilan sebanyak 37 kasus atau 9,61% dan kasus yang tidak jelas proses hukumnya sebanyak 39 kasus atau 10,12%. 

Selain tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang bersifat sipil politik, ada juga pelanggaran HAM dari sisi hak ekonomi sosial dan budaya di mana negara tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dampaknya masyarakat masih tetap berkutat dengan masalah kemiskinan, ancaman kekeringan, rawan pangan, gizi buruk, angka kematian ibu yang tinggi, anak-anak yang terancam putus sekolah karena ketiadaan dana, korupsi yang merajalela, juga masih adanya konflik sumber daya seperti perampasan tanah adat milik masyarakat dll. 

Dari hasil monitoring PIAR NTT, selama Januari – Desember 2009 telah terjadi 4 kasus atau 1,03% pelanggaran hak ekonomi sosial dan budaya dengan korban terbanyak yakni sebanyak 3.073 orang. 

Diskriminasi, Impunitas dan Stagnan Proses Hukum 
Ironisnya, proses hukum yang adil dan berpihak kepada hak-hak korban jarang sekali dijumpai dalam penanganan kasus-kasus di tingkat aparatur hukum. Sanksi hukum sepertinya hanya berlaku untuk masyarakat lemah dan tidak berdaya sedangkan para pelaku yang tergolong aparat negara dan pejabat yang berduit sangat sulit untuk dikenakan sanksi hukum. Misalnya para penegak hukum yang ketahuan melakukan pelanggaran seperti kasus tewasnya tahanan di Polsek Nunpene yang melibatkan Ketua DPRD TTU dan anggota polisi, hingga saat ini belum jelas bahkan rancu karena beberapa saksi anggota polisi yang saat itu bertugas belum diambil keterangan namun masyarakat yang hanya melakukan kasus-kasus kecil dapat dikenakan sanksi hukum yang berat. 

Hal lain yang melibatkan penegak hukum yang dapat dicermati dari fakta kecelakaan karena tendangan seorang anggota polisi terhadap 2 (dua) siswa SMA yang sementara berboncengan sepeda motor di depan Rumah Sakit Umum Kupang dan mengakibatkan meninggalnya dua siswa tersebut namun prosesnya memakan waktu yang cukup lama baru kemudian ditetapkan tersangkanya.

Publik Nusa Tenggara Timur mencium adanya perlakuan istimewa yang diterima mereka. Alasan pembenaranpun diungkapkan untuk menutupi akan kepincangan penegakan hukum. Fakta ini tentu bertolak belakang dengan kasus yang melibatkan masyarakat kecil yang dicurigai langsung ditahan serta tanpa tedeng aling-aling mengalami proses hukum dan dikenakan sanksi bahkan ada juga kasus salah tangkap yang terjadi atas seorang karyawan Toko Piala Jaya yang dicurigai menggelapkan uang bosnya sebanyak Rp. 300 juta yang saat itu langsung ditangkap dan diselidiki oleh polisi. Ia mengalami penyiksaan yakni lehernya ditikam dengan bambu oleh anggota polisi dan kuku kaki dari ibu jari kaki kirinya dicabut oleh seorang anggota buser. 

Di mata publik ini merupakan penegakan hukum yang pincang karena berlaku bagi kaum yang tidak berjabat dan tidak beruang sedang para penguasa, pejabat dan kaum berduit tidak tersentuh oleh proses hukum dan target penegakan hukum tersebut. 

Berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, terutama kasus KDRT dan kekerasan terhadap perempuan berupa penghamilan dan Lari dari Tanggung Jawab yang sangat tren di NTT, Ingkar Janji Nikah, Penganiayaan, Penelantaran, Percobaan Pembunuhan terhadap kandungan yang tidak disetujui sangat dominan dalam potret kekerasan dan pelanggaran HAM di NTT.

Tercatat oleh PIAR NTT setiap bulan 2-3 korban kekerasan yang datang mengadu dan minta pendampingan. Ironisnya, tidak ada tindakan hukum yang tegas oleh atasan para pelaku, kalaupun ada itupun tidak seimbang dengan perbuatan pelaku dan hukuman yang diberikan pun tidak pro dengan penderitaan yang dialami perempuan. Hal ini mendapat protes dari korban maupun keluarga korban. Mungkinkah ini menunjukan bahwa produk hukum yang berlaku di kepolisian belum memenuhi hak korban dan pro dengan kepentingan perempuan? 

Masih juga ditemukan banyak kendala dalam upaya yang ditempuh oleh PIAR NTT (bersama dengan elemen masyarakat sipil), korban kekerasan dan keluarganya dalam penegakkan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban-korban kekerasan, selain itu masih adanya praktek-praktek impunitas hukum terhadap pelaku kekerasan. Walaupun ada intervensi dan tindakan hukum yang diberikan oleh aparat berwenang tapi masih tidak sebanding dengan akibat sosial, mental, psikis dan fisik yang diderita oleh korban.

Seharusnya para Kepolisian di NTT dapat mencontohi tindakan yang pernah diambil oleh MABES POLRI terhadap Mantan Kapolda Sulawesi Tenggara dengan menNonJobkan beliau karena terbukti melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap sejumlah bawahannya. Realitas ini membuktikan perlakuan hukum di NTT tidak adil dan masih memilah-milah, padahal semua orang tanpa terkecuali mempunyai hak yang sama dimata hukum. 

Catatan Penutup 
Pengusutan, penanggulangan serta upaya-upaya menekan tindakan kekerasan dan kasus Pelanggaran HAM di NTT tidak ada kemajuan yang signifikan. Masih banyak pelaku, terutama yang punya kuasa, jabatan dan senjata masih berkeliaran walaupun atas ulah mereka banyak orang dirugikan, kehilangan haknya bahkan sampai yang kehilangan nyawa. Pemahaman dan penerapan nilai-nilai HAM dalam praktek bernegara dan bermasyarakat haruslah menjadi perhatian dan komitmen bersama, baik sebagai state actor maupun sebagai non state actor. Hal tersebut harus juga disertai dengan komitmen kuat aparat hukum dalam menegakkan Hukum dan HAM, para pelaku pelanggaran HAM dan kekerasan harus dihukum sesuai aturan dan perbuatannya. Jangan ada diskriminasi. PIAR NTT mengharapkan tahun-tahun ke depan wajah buram kemajuan penegakkan HAM di NTT dapat ditekan atau bahkan dihilangkan.
Kupang, 4 Januari 2010

( Ir. Sarah Lery Mboeik )
Direktur PIAR NTT







TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...