MENGGUGAT
PROFESIONALISME JAKSA
Oleh.
Paul SinlaEloE
Premanisme dan tidak profesional.
Itulah argumen yang paling pantas disampaiakan oleh siapa saja yang memahami
dengan cerdas kinerja dari oknum jaksa berada di lingkup Kejaksaan Tinggi
(Kejati) NTT. Argumen ini dapat dibuktikan dengan mencermati indikasi pemerasan
uang sejumlah Rp.400.000.000,00 (Empat Ratus Juta Rupiah) yang diduga dilakukan
oleh jaksa Rudi Bangun, SH terhadap Haji Andi Samsualim (pedagang pakaian bekas/rombengan)
pada Juni 2006, serta indikasi pemerasan uang sejumlah Rp.10.000.000,00
(Sepuluh Juta Rupiah) yang diduga dilakukan oleh jaksa T. S. Hasibuan, SH
terhadap Adrianus Djemadur (pekerja serabutan) pada September 2006.
Perilaku premanisme ini tidak saja dalam bentuk pemerasan, tapi juga dalam bentuk perbuatan tidak menyenangkan yang diduga dilakukan secara berencana. Tindakan yang sangat "menggemparkan" warga Kota Kupang ini terjadi pada Selasa, 12 February 2008 sekitar pukul 15.00 Wita, dimana Yopy Lati seorang Wartawan kritis dari Harian Pagi TIMOR EXPRESS, ditelepon oleh bagian Humas Kejati NTT, Muib, SH yang meminta agar Yoppy menghubungi wartawan lain untuk datang ke kantor Kejati NTT karena ada yang mau disampaikan. Namun ketika bertemu dengan Hady Purwoto yang adalah Aspidum Kejati NTT, langsung memegang dan mengangkat dagu Yopi Lati sambil marah-marah.
Berbagai kejadian ini menunjukan bahwa keprofesionalisme dari para jaksa di lingkup Kejati NTT patut di-"gugat". Sebab jakasa adalah pelayan yang diupah dari pajak, retribusi dan hutang Luar negeri, tega melakukan tindakan tidak terpuji terhadap rakyat yang senantiasa mengeluarkan keringat dan air mata darah untuk menanggung pajak, retribusi dan hutang Luar negeri.
Tidak profesionalnya para jaksa dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya ini seharusnya mendapat perhatian serius dari berbagai pihak karena dalam UU No. 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia, sebetulnya telah tersirat dengan tegas dan jelas bahwa seorang jaksa seharusnya merupakan seorang yang profesional. Karena profesionalisme jaksa inilah, maka Jaksa diberi kualifikasi jabatan fungsional. Apabila seorang Jaksa ternyata tidak dapat menunjukkan profesionalismenya, maka Jaksa tersebut akan berhadapan dengan sanksi yang cukup berat, yaitu diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan tidak dengan hormat oleh Jaksa agung dari jabatan Jaksa (statusnya sebagai pengawai negeri tetap). Sanksi ini sebenarnya merupakan garda (penjaga) bagi profesionalisme Jaksa.
Profesionalisme menurut Stan Ross (dalam Ethics in Law) sering diberi pemahaman dan dikaitkan dengan tiga hal, yaitu: Expertise, Status dan, Power. Dalam hubungannya dengan keprofesionalisme jaksa, saya menambahkan dengan satu hal lagi, yaitu: Privilege (right granted as an advantage or favor). Jaksa dengan keahliannya dalam bidang hukum, dengan statusnya mewakili kekuasaan negara sebagai penuntut umum yang dilengkapi dengan kekuasaan atau wewenangnya secara legal dapat melanggar hak asasi manusia (menangkap, menahan, menyita dan sebagainya), kemudian menyatakan dirinya sebagai kelompok profesionalisme. Hal ini kemudian menimbulkan suatu privilege bagi Jaksa, misalnya: Usia pensiun dari seorang Jaksa tidak sama dengan usia pensiun dari Pegawai Negeri lainnya serta mendapat tunjangan jabatan fungsional dan sebagainya.
Sosiolog G. Millerson (dalam “The Qualifying Association”) setelah mempelajari pendapat 21 ahli, menyimpulkan adanya 23 elemen dalam pengertian profesional antara lain: “Skill based on theoretical knowledge, The provision of training and education, Testing the competence of members, Organization, An ethical code of conduct, Altruistic service”. Kalau kita sandingkan elemen profesionalisme dari G. Millerson dengan Jaksa sebagai kelompok profesional, nampak bahwa elemen-elemen tersebut juga dipunyai kelompok profesional Jaksa, yaitu antara lain: Pertama, Untuk menjadi Jaksa harus punya keahlian dalam ilmu hukum (punya ijasah sarjana hukum), Kedua, Calon Jaksa harus lulus testing diikuti dengan pendidikan khusus, demikian pula setelah menjadi Jaksa (Kejaksaan mempunyai lembaga PUSDIKLAT), Ketiga, Adanya organisasi PERSAJA lengkap dengan Anggaran Rumah Tangga serta Kode Etik TATA KRAMA DHYAKSA yang pertama kali ditetapkan pada 15 Juni 1993. TATA KRAMA ADHYAKSA yang dibentuk oleh Persatuan Jaksa Republik Indonesia (Persaja) berisi 15 norma etik yang pada intinya juga terkandung nilai-nilai pengabdian kepada negara, kepada masyarakat maupun kepada hukum.
Di dalam praktek kita mengenal apa yang disebut dengan "implicit syllogism" dimana setiap akademisi adalah profesional. Ada gejala pemahaman ini bisa diterima oleh banyak kalangan karena interest tertentu, khususnya interest untuk memperoleh status sosial dan untuk meningkatkan perolehan materi dan sebagainya. Khususnya di Indonesia, banyak diperjual belikan gelar-gelar akademik dari S-1 sampai dengan S-2 dan cukup ramai pasarannya, karena gelar akademik itu dapat digunakan untuk berbagai maksud. Saya yakin Kejaksaan juga terkena imbas pemahaman ini dan semua yang berpredikat Jaksa merasa dirinya professional secara otomatis.
Profesionalisme juga bisa menimbulkan Excess sebagaimana di gambarkan oleh J. Illich (dalam ”Toll For Conviviality”) dengan istilah yang sangat bombastis yaitu "imperialism of the Profession". Profesionalisme yang mengandung unsur Expertise status dan power sebagaimana digambarkan oleh Stan Ross tersebut pada suatu ketika dapat melahirkan "Extraordinary Power" dan "monopolization of expertise". Gejala "Imperialism of the Profession" perlu diwaspadai agar tidak melanda di tubuh Kejaksaan di mana kekuasaan dan keahlian yang dimiliki oleh Jaksa digunakan untuk kepentingan lain kecuali untuk kepentingan pengabdian (Altruistic Service) kepada hukum, negara dan masyarakat.
Jaksa yang hanya mengandalkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang yang sungguh luar biasa besarnya, tanpa diimbangi dengan memelihara dan meningkatkan terus menerus expertisnya, akan menimbulkan "deprofessionalisation". Inilah sebetulnya proses yang sedang terjadi di tubuh Kejaksaan yang mana tercemin dari merosotnya kinerja Jaksa. Deprofessionalisation ini perlu diatasi dengan "reprofessionalisation" dengan upaya yang berkelanjutan dan bertingkat-tingkat, secara sistematis dan terencana sebagai mana misalnya program yang dianut oleh American BAR Association yang dilengkapi dengan ABA's Commission on Profesionalism. Mengacu dengan program ini, rasanya perlu juga Kejaksaan memikirkan untuk mempunyai Standard profesi Jaksa dengan Komisi Profesi Jaksa yang membina profesionalisme Jaksa untuk memenuhi pesan-pesan yang terkandung di dalam UU No. 16 Tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan pembinaan profesionalisme Jaksa dan sanksi terhadap Jaksa yang tidak profesional.
Sehubungan dengan terjadinya ekses terhadap profesionalisme Jaksa sebagaimana yang digambarkan oleh J. Illich tersebut, maka Jaksa harus kembali kepada etika Jaksa seperti yang tercantum dalam TATA KRAMA ADHYAKSA bahwa sebenarnya Jaksa itu adalah abdi hukum atau a man of law sekaligus abdi negara dan abdi masyarakat. Ide ini juga pernah dikemukan oleh N. Moore (dalam “Professionalism Reconsidered”) sebagai berikut: "… by pass the idea of professional and appeal directly to a spirit of public service among a group of citizens who happen to have special knowledge and skill in relation to the law and are thus in position to make unique contribution to the community in which they live".
Pasal 8 ayat (4) UU No. 16 Tahun 2004, sebenarnya harus menjadi fondasi bagi setiap Jaksa dalam melaksanakan fungsinya dan profesinya. Ayat tersebut mengatakan bahwa Jaksa dalam melakukan tugas wewenangnya harus berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan dan wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Apa yang dikandungkan oleh pasal 8 ayat (4) UU No. 16 Tahun 2004 itu, di dalam litterateur ilmu hukum dikenal dengan istilah "Ethics In Law" sebagai mana dikemukakan oleh Stan Ross (dalam “Ethics in Law”) di mana ethics in law ini merupakan "lawyer's responsibility and accountability".
Masalah ethics in law dibeberapa universitas di manca negara sudah menjadi compulsory courses, bahkan di Australia sudah terbentuk National Institute For Law, Ethics and Public Affairs yang maksud/tujuan utamanya research tentang legal ethics. Memenuhi perintah UU No. 16 Tahun 2004 tersebut di atas, rasanya perlu dipertimbangkan legal ethics menjadi mata kuliah di pusdiklat Jaksa, sebab di dalam hukum yang ditegakkan itu, otomatis tekandung etika hukum yang juga harus ditegakkan. Jadi, diakhir tulisan ini saya ingin mengingatkan kepada setiap jaksa bahwa: “MENEGAKKAN HUKUM SEBENARNYA BERARTI PULA PENEGAKKAN ETIKA HUKUM (Enforcement Of Ethics Law)”. (Tulisan ini Pernah dipublikasikan dalam www.kabarntt.blogspot.com tanggal 29 Februari 2008).
Perilaku premanisme ini tidak saja dalam bentuk pemerasan, tapi juga dalam bentuk perbuatan tidak menyenangkan yang diduga dilakukan secara berencana. Tindakan yang sangat "menggemparkan" warga Kota Kupang ini terjadi pada Selasa, 12 February 2008 sekitar pukul 15.00 Wita, dimana Yopy Lati seorang Wartawan kritis dari Harian Pagi TIMOR EXPRESS, ditelepon oleh bagian Humas Kejati NTT, Muib, SH yang meminta agar Yoppy menghubungi wartawan lain untuk datang ke kantor Kejati NTT karena ada yang mau disampaikan. Namun ketika bertemu dengan Hady Purwoto yang adalah Aspidum Kejati NTT, langsung memegang dan mengangkat dagu Yopi Lati sambil marah-marah.
Berbagai kejadian ini menunjukan bahwa keprofesionalisme dari para jaksa di lingkup Kejati NTT patut di-"gugat". Sebab jakasa adalah pelayan yang diupah dari pajak, retribusi dan hutang Luar negeri, tega melakukan tindakan tidak terpuji terhadap rakyat yang senantiasa mengeluarkan keringat dan air mata darah untuk menanggung pajak, retribusi dan hutang Luar negeri.
Tidak profesionalnya para jaksa dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya ini seharusnya mendapat perhatian serius dari berbagai pihak karena dalam UU No. 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia, sebetulnya telah tersirat dengan tegas dan jelas bahwa seorang jaksa seharusnya merupakan seorang yang profesional. Karena profesionalisme jaksa inilah, maka Jaksa diberi kualifikasi jabatan fungsional. Apabila seorang Jaksa ternyata tidak dapat menunjukkan profesionalismenya, maka Jaksa tersebut akan berhadapan dengan sanksi yang cukup berat, yaitu diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan tidak dengan hormat oleh Jaksa agung dari jabatan Jaksa (statusnya sebagai pengawai negeri tetap). Sanksi ini sebenarnya merupakan garda (penjaga) bagi profesionalisme Jaksa.
Profesionalisme menurut Stan Ross (dalam Ethics in Law) sering diberi pemahaman dan dikaitkan dengan tiga hal, yaitu: Expertise, Status dan, Power. Dalam hubungannya dengan keprofesionalisme jaksa, saya menambahkan dengan satu hal lagi, yaitu: Privilege (right granted as an advantage or favor). Jaksa dengan keahliannya dalam bidang hukum, dengan statusnya mewakili kekuasaan negara sebagai penuntut umum yang dilengkapi dengan kekuasaan atau wewenangnya secara legal dapat melanggar hak asasi manusia (menangkap, menahan, menyita dan sebagainya), kemudian menyatakan dirinya sebagai kelompok profesionalisme. Hal ini kemudian menimbulkan suatu privilege bagi Jaksa, misalnya: Usia pensiun dari seorang Jaksa tidak sama dengan usia pensiun dari Pegawai Negeri lainnya serta mendapat tunjangan jabatan fungsional dan sebagainya.
Sosiolog G. Millerson (dalam “The Qualifying Association”) setelah mempelajari pendapat 21 ahli, menyimpulkan adanya 23 elemen dalam pengertian profesional antara lain: “Skill based on theoretical knowledge, The provision of training and education, Testing the competence of members, Organization, An ethical code of conduct, Altruistic service”. Kalau kita sandingkan elemen profesionalisme dari G. Millerson dengan Jaksa sebagai kelompok profesional, nampak bahwa elemen-elemen tersebut juga dipunyai kelompok profesional Jaksa, yaitu antara lain: Pertama, Untuk menjadi Jaksa harus punya keahlian dalam ilmu hukum (punya ijasah sarjana hukum), Kedua, Calon Jaksa harus lulus testing diikuti dengan pendidikan khusus, demikian pula setelah menjadi Jaksa (Kejaksaan mempunyai lembaga PUSDIKLAT), Ketiga, Adanya organisasi PERSAJA lengkap dengan Anggaran Rumah Tangga serta Kode Etik TATA KRAMA DHYAKSA yang pertama kali ditetapkan pada 15 Juni 1993. TATA KRAMA ADHYAKSA yang dibentuk oleh Persatuan Jaksa Republik Indonesia (Persaja) berisi 15 norma etik yang pada intinya juga terkandung nilai-nilai pengabdian kepada negara, kepada masyarakat maupun kepada hukum.
Di dalam praktek kita mengenal apa yang disebut dengan "implicit syllogism" dimana setiap akademisi adalah profesional. Ada gejala pemahaman ini bisa diterima oleh banyak kalangan karena interest tertentu, khususnya interest untuk memperoleh status sosial dan untuk meningkatkan perolehan materi dan sebagainya. Khususnya di Indonesia, banyak diperjual belikan gelar-gelar akademik dari S-1 sampai dengan S-2 dan cukup ramai pasarannya, karena gelar akademik itu dapat digunakan untuk berbagai maksud. Saya yakin Kejaksaan juga terkena imbas pemahaman ini dan semua yang berpredikat Jaksa merasa dirinya professional secara otomatis.
Profesionalisme juga bisa menimbulkan Excess sebagaimana di gambarkan oleh J. Illich (dalam ”Toll For Conviviality”) dengan istilah yang sangat bombastis yaitu "imperialism of the Profession". Profesionalisme yang mengandung unsur Expertise status dan power sebagaimana digambarkan oleh Stan Ross tersebut pada suatu ketika dapat melahirkan "Extraordinary Power" dan "monopolization of expertise". Gejala "Imperialism of the Profession" perlu diwaspadai agar tidak melanda di tubuh Kejaksaan di mana kekuasaan dan keahlian yang dimiliki oleh Jaksa digunakan untuk kepentingan lain kecuali untuk kepentingan pengabdian (Altruistic Service) kepada hukum, negara dan masyarakat.
Jaksa yang hanya mengandalkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang yang sungguh luar biasa besarnya, tanpa diimbangi dengan memelihara dan meningkatkan terus menerus expertisnya, akan menimbulkan "deprofessionalisation". Inilah sebetulnya proses yang sedang terjadi di tubuh Kejaksaan yang mana tercemin dari merosotnya kinerja Jaksa. Deprofessionalisation ini perlu diatasi dengan "reprofessionalisation" dengan upaya yang berkelanjutan dan bertingkat-tingkat, secara sistematis dan terencana sebagai mana misalnya program yang dianut oleh American BAR Association yang dilengkapi dengan ABA's Commission on Profesionalism. Mengacu dengan program ini, rasanya perlu juga Kejaksaan memikirkan untuk mempunyai Standard profesi Jaksa dengan Komisi Profesi Jaksa yang membina profesionalisme Jaksa untuk memenuhi pesan-pesan yang terkandung di dalam UU No. 16 Tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan pembinaan profesionalisme Jaksa dan sanksi terhadap Jaksa yang tidak profesional.
Sehubungan dengan terjadinya ekses terhadap profesionalisme Jaksa sebagaimana yang digambarkan oleh J. Illich tersebut, maka Jaksa harus kembali kepada etika Jaksa seperti yang tercantum dalam TATA KRAMA ADHYAKSA bahwa sebenarnya Jaksa itu adalah abdi hukum atau a man of law sekaligus abdi negara dan abdi masyarakat. Ide ini juga pernah dikemukan oleh N. Moore (dalam “Professionalism Reconsidered”) sebagai berikut: "… by pass the idea of professional and appeal directly to a spirit of public service among a group of citizens who happen to have special knowledge and skill in relation to the law and are thus in position to make unique contribution to the community in which they live".
Pasal 8 ayat (4) UU No. 16 Tahun 2004, sebenarnya harus menjadi fondasi bagi setiap Jaksa dalam melaksanakan fungsinya dan profesinya. Ayat tersebut mengatakan bahwa Jaksa dalam melakukan tugas wewenangnya harus berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan dan kesusilaan dan wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Apa yang dikandungkan oleh pasal 8 ayat (4) UU No. 16 Tahun 2004 itu, di dalam litterateur ilmu hukum dikenal dengan istilah "Ethics In Law" sebagai mana dikemukakan oleh Stan Ross (dalam “Ethics in Law”) di mana ethics in law ini merupakan "lawyer's responsibility and accountability".
Masalah ethics in law dibeberapa universitas di manca negara sudah menjadi compulsory courses, bahkan di Australia sudah terbentuk National Institute For Law, Ethics and Public Affairs yang maksud/tujuan utamanya research tentang legal ethics. Memenuhi perintah UU No. 16 Tahun 2004 tersebut di atas, rasanya perlu dipertimbangkan legal ethics menjadi mata kuliah di pusdiklat Jaksa, sebab di dalam hukum yang ditegakkan itu, otomatis tekandung etika hukum yang juga harus ditegakkan. Jadi, diakhir tulisan ini saya ingin mengingatkan kepada setiap jaksa bahwa: “MENEGAKKAN HUKUM SEBENARNYA BERARTI PULA PENEGAKKAN ETIKA HUKUM (Enforcement Of Ethics Law)”. (Tulisan ini Pernah dipublikasikan dalam www.kabarntt.blogspot.com tanggal 29 Februari 2008).
-----------------------------------
Penulis: Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT