Selasa, 28 Juli 2020

Memaknai Kelompok Yang Terorganisasi dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang

MEMAKNAI KELOMPOK YANG TERORGANISASI DALAM TPPO

Oleh: Paul SinlaEloE – Aktivis PIAR NTT

Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam HU. Victory News, Selasa, 28 Juli 2020

 


Dalam hukum pidana, kelompok yang terorganisasi merupakan subjek hukum yang berkategori baru. Produk peraturan perundang-undangan terkait hukum pidana, pada umumnya hanya menggolongkan subjek hukum pidana menjadi 2 (dua), yakni orang perseorangan dan korporasi.


Salah satu produk peraturan perundang-undangan yang menjadikan kelompok yang terorganisasi sebagai subjek hukum pidana adalah UU No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang/UUPTPPO. Dimasukannya kelompok yang terorganisasi sebagai subjek hukum pidana dalam UUPTPPO, karena saat ini Tindak Pidana Perdagangan Orang/TPPO telah meluas dan pelakunya bukan saja orang perseorangan dan korporasi, tetapi juga dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Bahkan, jaringan pelaku TPPO telah memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar Wilayah dalam Negeri, tetapi juga antar Negara.


Dengan realita yang seperti ini, tidaklah mengherankan apabila Pasal 16 UUPTPPO mengamanatkan bahwa: “Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga)”.


Dalam UUPTPPO, kelompok yang terorganisasi diartikan sebagai kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan tujuan memperoleh keuntungan materiil atau finansial baik langsung maupun tidak langsung (Penjelasan Pasal 16 UUPTPPO).



Pengertian kelompok yang terorganisasi sebagaimana yang terdapat pada penjelasan Pasal 16 UUPTPPO, pada dasarnya memiliki kemiripan dengan istlah “korporasi” yang dalam Pasal 1 Angka 6 UUPTPPO, diartikan sebagai “kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Walaupun demikian, eksistensi keberadaan dari kelompok yang terorganisasi dan korporasi adalah berbeda. Kelompok yang terorganisasi dibentuk dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam UUPTPPO. Sedangkan, korporasi tidak dibentuk untuk tujuan melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam UUPTPPO, namun dalam aktivitasnya, “bisa saja” korporasi melakukan tindak pidana yang diatur dalam UUPTPPO.


Merujuk pada bagian penjelasan dari Pasal 16 UUPTPPO, maka ciri dari kelompok yang terorganisasi yang menjadi pelaku TPPO, dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, tujuan dari kelompok. kelompok yang teorganisir ini pada dasarnya terbentuk dan bertindak untuk tujuan bersama, yakni memperoleh keuntungan dalam bentuk materiil/benda atau bentuk finansial/uang, dengan cara melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam UUPTPPO;


Kedua, keanggotaan kelompok. Kelompok dimaksud harus terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih dan mereka secara sadar menggabungkan diri dan menjadi bagian dari kelompok yang terorganisr tersebut; Ketiga, Kelima, sifat kelompok. Keberadaan dari kelompok yang terorganisasi ini, harus untuk waktu tertentu dalam artian bahwa sejak semula pembentukannya, dimaksudkan hanya untuk sementara waktu atau bersifat ad hoc dan bersifat tidak permanen;


Keempat, bentuk kelompok. Kelompok dimaksud adalah kelompok terstruktur dan merupakan kelompok yang tidak terbentuk secara acak, namun bukan berarti juga kelompok tersebut harus dibentuk secara teratur untuk melakukan tindak pidana. Namun yang pasti, kelompok ini dibentuk secara sengaja. Kelompok terstruktur dalam konteks kelompok terorganisasi, tidak wajib ada pemimpin tunggal dan pemimpinnya bersifat kolektif kolegial dan lebih bersifat kolektif kolegial. Pemaknaan akan kelompok terstruktur yang seperti ini dimaksudkan untuk mengeluarkan kelompok yang memang terbentuk secara acak, tetapi juga sengaja dibuat cukup luas untuk mencakupi hampir semua jenis kelompok yang lain;


Kelima, manajemen kelompok. Walaupun kelompok dimaksud adalah terstruktur, namun dalam kerja-kerja untuk mewujudkan tujuan bersamanya tidaklah “kaku” sehingga bisa menyesuaikan dengan tantangan yang dihadapi. Kelompok yang terorganisasi yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih ini, selalu melakukan kesepakatan secara sadar mulai dari perencanaan, pengambilan keputusan, hingga pelaksanaan peran masing-masing yang disepakati bersama, sehingga menjadi kehendak bersama dalam bertindak mewujudkan tujuan bersama. Maksudnya, substansi dari manajemen kelompok terorganisasi adalah adanya kesepakanan dan adanya pembagian peran. Konsekuensinya, peran dari anggotanya dan keberlanjutan keanggotaannya maupun pengembangan strukturnya tidak ditetapkan secara formal.


Poin penting dari rumusan delik yang terdapat dalam Pasal 16 UUPTPPO adalah  sanksi yang akan diterapkan bagi setiap pelaku TPPO dalam kelompok yang terorganisasi tersebut adalah sama dengan sanksi yang terdapat dalam Pasal 2 UUPTPPO ditambah 1/3 (sepertiga), yaitu: dipidana penjara minimal 4 (empat) tahun dan maksimal 20 (dua puluh) tahun dan pidana  denda minimal Rp.160.000.000,00 seratus enam puluh juta rupiah  dan maksimal Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).


Rumusan sanksi yang terdapat dalam Pasal 16 UUPTPPO, pada dasarnya menjelaskan bahwa bahwa rumusan delik dari Pasal 16 UUPTPPO tidak membedakan peran dan kualitas dari masing-masing pelaku TPPO yang terdapat dalam suatu kelompok yang terorganisasi. Artinya, Pasal 16 UUPTPPO tidak menganut ajaran hukum pidana tentang penyertaan (deelneming). Itu berarti, dalam penegakan hukum kasus TPPO terkait dengan Pasal 16 UUPTPPO, keseluruhan dari masing-masing pelaku TPPO yang terdapat dalam suatu kelompok yang terorganisasi, harus dimaknai sama dengan pengertian dader (pelaku tunggal).


Dengan demikian, dalam proses penegakan hukum terkait Pasal 16 UUPTPPO, masing-masing dari 3 (tiga) orang atau lebih yang terdapat dalam suatu kelompok yang terorganisasi, tidak boleh yang satu dianggap sebagai pelaku utama/pelaku materil (pleger) dari suatu tindak pidana/TPPO dan yang lainnya adalah sebagai pelaku yang merencanakan (mastermind) melakukan tindak pidana/TPPO atau yang lainnya sebagai pelaku yang turut serta (medepleger) melakukan tindak pidana/TPPO.


Pasal 16 UUPTPPO juga tidak menghendaki untuk dalam penegakan hukum bagi masing-masing dari 3 (tiga) orang atau lebih yang terdapat dalam suatu kelompok yang terorganisasi, ada yang dianggap sebagai pelaku yang merencanakan (mastermind) melakukan tindak pidana/TPPO atau yang satu dianggap sebagai pelaku utama/pelaku materil (pleger) dan lainnya dikategorikan sebagai pelaku yang membantu (medeplichtige) melakukan suatu tindak pidana/TPPO. Bahkan, masing-masing dari 3 (tiga) orang atau lebih yang terdapat dalam suatu kelompok yang terorganisasi, tidak dapat dipahami sebagai pelaku yang turut serta (medepleger) melakukan tindak pidana/TPPO atau masing-masing dari 3 (tiga) orang atau lebih yang terdapat dalam suatu kelompok yang terorganisasi tidak boleh dimaknai sebagai pelaku dengan peran sebagai pembantu (medeplichtige) dalam suatu tindak pidana/TPPO.


Terkait dengan proses penegakan hukum bagi suatu kelompok yang terorganisasi, Pasal 17 UUPTPPO mengamanatkan untuk dikenakan pemberatan pidana, jika TPPO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UUPTPPO, dilakukan terhadap anak. Sesuai amanat Pasal 17 UUPTPPO, pemberatan pidananya adalah tambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UUPTPPO. Masing-masing dari 3 (tiga) orang atau lebih yang terdapat dalam suatu kelompok yang terorganisasi, juga akan  dikenakan sanksi sebagaimana amanat dari Pasal 50 Ayat (4) UUPTPPO, yakni pidana kurungan sebagai pengganti, jika tidak mampu membayar restitusi.


Pada akhirnya, pemaknaan akan kelompok yang terorganisir yang demikian, diharapkan dapat membuat Pasal 16 UUPTPPO menjadi memadai dan operasional untuk diimplementasikan. Hal ini adalah penting karena sejak disahkan dan diundangkannya UUPTPPO dalam LN RI Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan LN RI Nomor 4720, pada tanggal 19 April 2007, Pasal 16 UUPTPPO ini tidak pernah dipergunakan oleh penegak hukum untuk menjerat pelaku TPPO.


Selasa, 21 Juli 2020

Pertanggungjawaban Pidana Orang Perseorangan dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ORANG PERSEORANGAN DALAM TPPO

Oleh: Paul SinlaEloE – Aktivis PIAR NTT


Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam http://www.nttonlinenow.com/new-2016/2020/07/20/pertanggungjawaban-pidana-orang-perseorangan-dalam-tppo/, pada Senin, 20 Juli 2020

 

 

Orang perseorangan merupakan istilah hukum dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang/UUPTPPO yang dipergunakan oleh pengambil kebijakan untuk mengklaster salah satu kategori subjek hukum atau pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang/TPPO (Pasal 1 Angka 4 UUPTPPO). Akan tetapi, dalam UUPTPPO tidak dijelaskan apa atau siapa yang dimaksud dengan orang perseorangan.

 

Secara sederhana, istilah “orang perseorangan” dalam UUPTPPO, bisa diketahui maknanya dari kata “orang” yang berarti “manusia” dan kata “perseorangan” yang merupakan kata benda untuk menjelaskan perihal orang secara pribadi. Dengan demikian, istilah “orang perseorangan” dapat dimaknai sebagai subjek hukum secara kodrati atau secara alami dalam hal ini adalah manusia atau natuurlijke persoon. Itu berarti, dalam konteks UUPTPPO istilah “orang perseorangan” memiliki arti yang sama dengan istilah “barang siapa/hij diedalam KUHPidana.

 

Merujuk pada alur pikir diatas, maka sebagai subyek hukum yang melakukan TPPO, istilah “orang perseorangan” dapat didefinisikan sebagai setiap individu/perorangan yang secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama melakukan semua unsur-unsur delik terkait TPPO sebagaimana unsur-unsur tersebut dirumuskan di dalam UUPTPPO. Dengan definisi yang seperti ini, maka sebenarnya Penyelenggara Negara yang melakukan TPPO adalah merupakan bagian dari pelaku TPPO yang berkategori orang perseorangan. Perbedaannya hanya terletak pada kualitas pelaku, dimana yang satunya merupakan Penyelenggara Negara dan satunya lagi adalah bukan Penyelenggra Negara.


Berpijak pada definisi tentang orang perseorangan, maka tidaklah mengherankan apabila Paul SinlaEloE (2017:38) berpendapat bahwa pelaku TPPO yang berkategori orang perseorangan bisa meliputi setiap individu, seperti: Aparat (Presiden, Anggota Legislatif, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Lurah, RW, RT, TNI, Polisi, Jaksa, Hakim, Bidan, dan lain-lain), tokoh masyarakat, mantan korban TPPO, para perantara pengerah tenaga kerja dan pengirim, perantara internasional, agen perjalanan, pejabat yang korupsi (pejabat yang terkait dengan pengiriman tenaga kerja). Bahkan, pelaku TPPO yang berkategori orang perseorangan ini bisa juga berusia anak maupun orang terdekat yang seharusnya melindungi, diantaranya adalah: orang tua, tetangga, pacar, teman, suami/istri, kakak/adik, saudara dan sanak kerabat.

 

Sebagai subjek hukum atau pelaku TPPO, maka orang perseorangan dapat dituntut dan diminta pertanggungjawaban pidananya, sebagai konsekuensi atas perbuatan yang telah dilakukannya. Dalam hukum pidana, pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility atau teorekenbaardheid) pada intinya merupakan suatu mekanisme yang menjurus pada pemidanaan pelaku tindak pidana untuk menentukan apakah seorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana (tersangka atau terdakwa) mampu bertanggung jawab atas tindakan pidana yang dilakukannya atau tidak.

 

Pelaku TPPO dengan kategori orang perseorangan dapat diminta pertanggungjawaban pidananya dan dituntut, apabila orang tersebut adalah orang yang mampu bertanggung jawab. E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi (2012:250) berpendapat bahwa kemampuan bertanggungjawab dari orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana, harus didasarkan pada keadaan dan kemampuan “jiwa” (geestelijke vermogens) dan bukan keadaan dan kemampuan “berfikir”. (verstanddelijke vermogens).

 

Menurut E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi (2012:249), yang dimaksud dengan keadaan jiwa dari seorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana yang mampu bertanggung jawab adalah berkaitan dengan keadaan sadarnya yang meliputi: Pertama, tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair); Kedua, tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile, dan sebagainya); dan Ketiga, tidak terganggu karena terejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe bewenging, melindur/slaapwandel, mengigau karena demam/koorts, ngidam dan lain sebagainya.

 

Terkait dengan kemampuan jiwa, E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi (2012:249) menjelaskan bahwa seorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana dan dianggap mampu bertanggung jawab, apabila: Pertama, dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya; Kedua, dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak; dan Ketiga, dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

 

Sanksi bagi pelaku TPPO yang berkategori orang perseorangan berdasarkan UUPTPPO adalah dipidana dengan pidana penjara minimal-maksimal dan denda minimal-maksimal sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, pasal 5, Pasal 6, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 UUPTPPO, serta akan  dikenakan sanksi sebagaimana amanat dari Pasal 50 ayat (4) UUPTPPO, yakni pidana kurungan sebagai pengganti, jika tidak mampu membayar restitusi.

 

Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) UUPTPPO, pelaku TPPO yang berkategori orang perseorangan, akan diperberat pidananya jika melakukan TPPO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 UUPTPPO, mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya. Pemberatan pidananya berupa tambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 UUPTPPO.

 

Jika TPPO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6, mengakibatkan matinya korban, maka berdasarkan Pasal 7 Ayat (2) UUPTPPO, pelaku TPPO yang berkategori orang perseorangan akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

 

Pemberatan pidana juga akan dikenakan bagi pelaku TPPO yang berkategori orang perseorangan, jika TPPO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UUPTPPO, dilakukan terhadap anak (Pasal 17 UUPTPPO). Apabila TPPO yang dilakukan oleh pelaku TPPO yang berkategori orang perseorangan telah memenuhi rumusan delik dari Pasal 17 UUPTPPO, maka sesuai amanat Pasal 17 UUPTPPO, pemberatan pidananya adalah tambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UUPTPPO.

 

Keseluruhan sanksi terhadap pelaku TPPO yang berkategori orang perseorangan ini pada dasarnya sejalan dengan tujuan pokok dari pemidanaan atau penerapan sanksi pidana yang diutarakan oleh Koeswadji (1995:12), yaitu: Pertama, untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de maatschappelijke orde); Kedua, untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad onstane maatschappelijke nadeel); Ketiga, untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader); Keempat, untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger); dan Kelima adalah untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).

 

Pada akhirnya, jika sanksi terhadap pelaku TPPO yang berkategori orang perseorangan dapat diimplementasikan dengan benar dan bijak, maka TPPO yang dilakukan oleh orang perseorangan dan telah menjadi ancaman terhadap Masyarakat, Bangsa, dan Negara, serta merupakan ancaman terhadap norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, dapat “diberantas”.

 

 

Daftar Bacaan

1.    E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi. Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit Storia Grafika, Jakarta, 2012.

2.   Koeswadji,  Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Penerbit Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1995.

3.   Paul SinlaEloE, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Penerbit Setara Press, Malang, 2017.

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...