Sabtu, 20 Februari 2010

Dugaan Korupsi Dana Bantuan Operasional TA.2003-2004

Kasus Posisi
DUGAAN KORUPSI DANA BANTUAN OPERASIONAL
PEMKOT KUPANGTAHUN ANGGARAN 2003-2004


CATATAN PENGANTAR :
Cleptokrasi (Pemerintahan yang dipimpin oleh para pencuri). Itulah argumen yang paling tepat dilontarkan oleh setiap orang yang dengan serius mencermati maraknya korupsi APBD di lingkup Kota Kupang. Salah satu dari sekian banyak kasus dugaan korupsi APBD di lingkup Pemkot Kupang yang sangat menarik perhatian warga di Nusa Tenggara Timur adalah kasus Dugaan korupsi dana bantuan operasional di Kota Kupang.

Kasus Dugaan korupsi dana bantuan operasional di Kota Kupang ini muncul setelah terbongkarnya dugaan korupsi dana kontijensi. Warga Kota Kupang seolah mendapat energi baru untuk membeberkan berbagai dugaan korupsi yang terjadi di Kota Kupang. Laporan dan pengaduan tentang telah terjadinya suatu tindak pidana korupsi terus disampaikan kepada PIAR-NTT. Sejumlah warga secara tertulis menyampaikan laporan bahwa uang sebesar Rp.3.000.000.000, (tiga milyar rupiah) diduga telah dibagi-bagi oleh Pemerintah Kota Kupang kepada 30 Anggota DPRD Kota Kupang pada APBD Tahun Anggaran (TA) 2003 dan TA 2004. Masing-masing anggota DPRD mendapat jatah Rp. 100 juta. Modus operandinya adalah membagi-bagi dana tersebut dan menyebutnya sebagai dana bantuan operasional Dewan TA 2003-2004. Dana itu disisipkan pada pos bantuan dana operasinal dari pos Setda-Bagian Umum.


GAMBARAN KASUS :
1. Pada Maret 2003 dan April 2004, tiap-tiap anggota DPRD Kota Kupang menerima bantuan operasional yang dibungkus di APBD Kota Kupang TA 2003 dan 2004 di mana masing-masing anggota DPRD Kota menerima Rp.100.000.000,- sehingga jumlah dana seluruhnya Rp.3.000.000.000. (Tiga milyar rupiah). Dana ini dibayarkan dalam 2 tahap yaitu TA 2003 sebesar Rp.1.500.000.000,- di mana tiap-tiap anggota DPRD Kota mendapat Rp.50.000.000,- dan TA 2004 sebesar Rp. 1.500.000.000,-(satu milyar lima ratus juta rupiah) di mana tiap-tiap anggota DPRD juga menerima Rp 50.000.000.-(lima puluh juta rupiah).

2. Dana tesebut disembunyikan dalam mata anggaran 01 Administrasi Pemerintahan Umum, 03, Unit Kerja Sekretariat daerah, dari BELANJA BAGI HASIL DAN BANTUAN KEUANGAN PADA KELOMPOK BELANJA BANTUAN KEUANGAN KEPADA ORGANISASI PROFESI kode rekening : 2.01.03.4.6.16.3 (bantuan operasional dengan jumlah anggaran Rp.2.256.000.000,- untuk anggaran 2003 dan jumlah yang sama untuk anggaran TA 2004 yaitu Rp.2.256.000.000,- Total dana untuk 2 TA (2003-2004) adalah Rp.4.512.000.000 (empat milyar lima ratus dua belas juta rupiah).(lihat lampiran foto copy APBD dan penjabarannya TA 2003 dan APBD dan Penjabarannya TA 2004.

3. Kode rekening tersebut menurut BPK wilayah IV Denpasar adalah kode ciptaan sendiri yang tidak sesuai dengan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tentang pedoman Penyusunan Anggaran Daerah. BPK IV Wilayah Denpasar memberi catatan sbb: Hasil pemeriksaan APBD, Perubahan dan Rancangan perhitungan APBD kota Kupang TA 2003 ditemukan adanya unit kerja yang menganggarkan dan merealisasikan Biaya Operasional (2.1.04.1) di mana biaya tersebut penganggarannya dilakukan dengan menciptakan mata anggaran baru yaitu sebagai obyek belanja sendiri pada jenis belanja pegawai. (Hasil audit BPK IV wilayah Denpasar TA 2003 terlampir)

4. Anggota DPRD Kota Kupang dalam APBD dan Penjabarannya TA 2003 dalam kode anggaran 2.01.01.1.01.13.2 telah disediakan anggaran untuk operasional pimpinan dan anggota DPRD sebesar Rp.150.000.000. Dan untuk TA 2004 dalam kode anggaran 2.01.01.1.1.01.12.2 disediakan anggaran untuk operasional pimpinan dan anggota DPRD Kota Kupang sebesar Rp.350.000.000. Sehingga secara keseluruhan, anggaran operasional yang resmi dianggarkan DPRD adalah Rp.500.000.000.

5. Kwitansi dengan No. BKU : 342, No. rekening :4.6.16.3 tertanggal 2-04-2004, tertulis sudah terima dari : Kepala Bagian Umum dan Perlengkapan Setda Kupang, Banyaknya uang : Rp.50.000.000,- untuk pembayaran bantuan Operasional DPRD Kota-Kupang 2004, tanpa ada penjelasan. Terkesan seperti kwitansi panjar dan diduga hanya untuk kepentingan urusan privat bukan publik, terlihat dari tanggal pemberian, di mana 2 (dua) bulan setelah penyerahan dana itu, Pemilu berlangsung dan berakhirnya masa jabatan para anggota DPRD.

 PROSES PENEGAKAN HUKUM :
1. Kasus Dugaan korupsi dana bantuan operasional Tahun Anggaran 2003-2004 di lingkup Pemkot Kupang dengan indikasi kerugian negara sebesar Rp. 4.521.000.000,00 (Empat Milyar Lima Ratus Dua Puluh Satu Juta Rupiah) ini ditangani oleh pihak Polresta Kupang sesuai dengan “mandat” dari warga Kota Kupang yang tertuang dalam Laporan Polisi No.Pol: LP/99/XII/2003/Resta Kupang, tanggal 20 Desember 2003.

2. Dalam penangan kasus dugaan korupsi yang hampir melibtkan seluruh pejabat petinggi di lingkup Pemkot Kupang ini, pihak Polresta Kupang telah memeriksa 36 orang saksi yang keseluruhannya berasal dari pihak eksekutif sebanyak 7 orang sedangkan yang berasal dari pihak legislatif sejumlah 29 orang. Kasus yang ditangni oleh pihak Polresta Kupang selama ± 1½ tahun ini akhirnya menetapkan 33 orang tersangka yakni: MAGDALENA HERMANUS (Bendahara Umum Pemkot Kupang),YEFTA BENGU (Kabag Umum Pemkot Kupang), BELINA ULY (Mantan Kabag Keuangan Pemkot Kupang/sekarang Ass. II Kota Kupang), YONAS SALEAN (Sekda Kota Kupang) & 29 Anggota DPRD Kota Kupang Periode 1999-2004. 33 orang yang dijadikan tersangka dalam Kasus Dugaan korupsi dana bantuan operasional Tahun Anggaran 2003-2004 di lingkup Pemkot Kupang ini ditetapkan setelah dilakukan gelar perkara pada pertengahan tahun 2005. Gelar perkara ini dilakukan oleh pihak Polresta Kupang setelah didesak oleh warga Kota Kupang yang terdiri dari berbagai elemen.

3. Berkas dari para tersangka sudah di limpahkan ke pihak kejaksaan namun dengan berbagai alasan, maka pihak kejaksaan mengembalikan berkas acara pemeriksaan dari para tersangka (berkas bolak-balik sejak pertengahan 2005 hingga sekarang). Dalam pelimpahan perkara ini berkas YONAS SALEAN (Sekda Kota Kupang) di split tersendiri, sedangkan berkas dari MAGDALENA HERMANUS (Bendahara Umum Pemkot Kupang),YEFTA BENGU (Kabag Umum Pemkot Kupang), BELINA ULY (Mantan Kabag Keuangan Pemkot Kupang/sekarang Ass. II Kota Kupang) disatukan. (Dalam Perlimpahan berkas perkara ini pihak kepolisian tidak melampirkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyedikan atau SPDP).

4. Penyidikan Kasus Dugaan korupsi dana bantuan operasional Tahun Anggaran 2003-2004 di lingkup Pemkot Kupang ini secara resmi baru dimulai sejak dikeluarkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyedikan No. Pol. : SPDP/51/I/2005/Reskrim, tertanggal 20 Januari 2005 dan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyedikan No. Pol. : SPDP/34/VII/2006/Dit Reskrim, tertanggal 10 Juli 2006. Keluarnya kedua SPPD ini merupakan hasli desakan dari warga Kota Kupang terhadap Pihak kepolisian.

5. Tim kuasa hukum Pemerintah Kota Kupang yang terdiri dari Duin Palungkin, SH, Alexander Frans, SH dan M. Ndaomanu, SH. Mhum, pada tanggal 23 Januari 2006 mengajukan SP-3 dengan inti alsan: Pertama, APBD sudah disahkan dengan adanya Peraturan Daerah (Perda). Ketiga, Perda tentang APBD juga sudah disetujui oleh Gubernur dan Mendagri sehingga sudah sah menurut UU No. 22 Tahun 2002, tentang Otonomi Daerah.

6. Pihak polda mengambil alih kasus ini karena pihak polresta kupang dinilai lambat dalam menuntaskan kasus ini. Dalam penanganannya pihak polda memulai pemeriksaan seluruh tersangka dari awal (Pihak Polda NTT mengabaikan hasil gelar perkara di tingkat polresta), sehingga kausus ini brlarut-larut. Pihak polda NTT juga sempat menaikan berkas ke tingkat kejaksaan namun karena pihak kepolisian memakai PP No 110/2000, maka pihak kejaksaan mengembalikan berkas perkara ini dan menyarankan agar Pihak polda mempergunakan PP No 105 Tahun 2005 berkaitan dengan upaya penegakan hukum Kasus Dugaan korupsi dana bantuan operasional Tahun Anggaran 2003-2004 di lingkup Pemkot Kupang.

7. Dalam perkembangan kasus ini, PIAR-NTT dan masyarakat Kota Kupang sempat memberikan kepada pihak penegak hukum Compact Disk berkaitan dengan Statement YONAS SALEAN (Sekda Kota Kupang) yang pada initinya menyatakan bahwa beliau telah memberikan uang sebesar Rp. 200Juta kepada Heniyana, SH (Kejari Kupang) dan Agus Nugroho (Mantan Kapolreta Kupang) sebesar Rp.300Juta.

8. Dalam penanganan kasus ini pihak penegak hukum belum melakukan tindakan hukum yang cukup berarti kepada SK. Lerik (Walikota Kupang), selain memohon ijin pemeriksaan kepada presiden dan melakukan pemeriksaan sebagai saksi. (Pemeriksaan walikota kupang ini dilakukan pada jam 10 malam di kantor Polda NTT dan terkesan sangat tertutup dan dirahasiakan).

9. Pada tanggal 30 Desember 2006, pihak Polda NTT mengeluarkan surat No. Pol.: B/868/XII/Dit Reskrim, dengan perihal pemberitahuan penghentian penyidikan An Tsk. YEFTA BENGU, S.Sos, CS dan surat No. Pol.: B/869/XII/Dit Reskrim, dengan perihal dengan perihal pemberitahuan penghentian penyidikan An Tsk. JONAS SALEAN, SH.MSi, yang pada intinya menyatakan bahwa terhitung sejak tanggal 29 Desember 2006, penyidikan tindak pidana tersebut dehentikan oleh karena tidak cukup bukti atau bukan merupakan tindak pidana atau demi hukum.
NB: Wakapolda NTT, Kombes Polisi Muharso dalam dialog interaktif yang dilakukan di studio TVRI NTT pada tanggal 28 Desember 2006, bahwa : “Penyidikan kasus-kasus korupsi APBD yang diduga dilakukan oleh Pejabat Pemda (pihak eksekutif) dan anggota DPRD Kab/Kota di NTT akan dihentikan penyidikannya melalui SP3. Akan diterbitkannya SP3 untuk kasus-kasus korupsi APBD yang diduga dilakukan oleh Pejabat Pemda (pihak eksekutif) dan anggota DPRD Kab/Kota di NTT ini dikarenakan PP No.110 Tahun 2000 yang menjadi acuan dalam penyidikan telah di Judicial Revieu”.

ANALISA PROSES PENEGAKAN HUKUM :
Lambatnya kinerja aparat penegak hukum dalam menuntaskan Kasus Dugaan korupsi dana bantuan operasional Tahun Anggaran 2003-2004 di lingkup Pemkot Kupang dengan indikasi kerugian negara sebesar Rp. 4.521.000.000,00 (Empat Milyar Lima Ratus Dua Puluh Satu Juta Rupiah), karena :
Kepolisian :
Ø Tidak ada kemauan baik dari pihak kepolisian dalam menuntaskan Kasus Dugaan Korupsi Dana Bantuan Operasional Tahun Anggaran 2003-2004, buktinya:
1. Peningkatan status dari penyelididikan ke tahap penyidikan tidak disertai dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyedikan atau SPDP). Padahal, ini merupakan PROTAP dari suatu proses peradilan dan sangat bertentanagn dengan amanat dari pasal 8 ayat (3) KUHAP.

2. Sebagai kamuflase dari pihak kepolisian untuk menuntaskan kasus ini, maka pihak POLDA NTT sudah mengambil alih kasus ini. Namun dalam kinerjanya, pihak POLDA NTT mengabaikan hasil gelar perkara yang sudah dilakukan oleh pihak POLRESTA KUPANG. Hal ini Pihak terbukti dengan pihak kejaksaan memeriksa ulang 36 orang saksi. Hal ini juga sangat bertentangan dengan prinsip dari proses peradilan yakni sederhana dan cepat.

3. Pada saat kasus ini masih ditangani oleh pihak POLRESTA Kupang, BAP sudah sempat dilimpahkan kekejaksaan dan dasar hukum perbuatan melawan hukum formil yang dipergunakan adalah KEPMEN No 29 Tahun 2002 tentang pedoman Penyusunan Anggaran, dan pasal 2 ayat (1) UU. No 20/2001, tentang tindak pidana korupsi. Padahal Pihak polda mengambil alih kasus ini karena pihak polresta kupang dinilai lambat dalam menuntaskan kasus ini. Dalam penanganannya pihak polda memulai pemeriksaan seluruh tersangka dari awal (Pihak Polda NTT mengabaikan hasil gelar perkara di tingkat polresta), sehingga kausus ini berlarut-larut. Pihak polda NTT juga sempat menaikan berkas ke tingkat kejaksaan namun dengan dasar penuntutan PP No 110/2000, tentang kedudukan keuangan DPRD, maka pihak kejaksaan mengembalikan berkas perkara ini karena PP No 110/2000 sudah dibatalkan oleh MA sebagaimana dalam keputusannya No. 04.G/HUM/2001, tertanggal 9-9-2001. Hal ini juga sesuai dengan Keputusan Jaksa agung yang melarang pihak kejaksaan untuk menangani kasus korupsi APBD dengan mempergunakan PP No 110/2000, tentang kedudukan keuangan DPRD. Tindakan dari POLDA NTT yang menaikan berkas ke tingkat kejaksaa dengan mempergunakan PP No 110/2000 sebagai dasar penuntutan, sangat bertentangan dengan pasal 1 ayat (2) KUHP yang pada intinya megharuskan agar tidak seorangpun dapat dituntut atau dihukum sepanjang tidak ada aturan yang mengatur.


Ø Ada mafia peradilan. Hal ini sesuai dengan Statement dari tersangka YONAS SALEAN (Sekda Kota Kupang) yang pada initinya menyatakan bahwa beliau telah memberikan uang sebesar Rp. 200Juta kepada Heniyana, SH (Kejari Kupang) dan Agus Nugroho (Mantan Kapolreta Kupang) sebesar Rp.300Juta sehingga kasus dugaan korupsi yang dihadipinya sangat sulit untuk dituntaskan. Jika statement dari Perbuatan dari tersangka YONAS SALEAN (Sekda Kota Kupang) adalah benar atau setidaknya mempunyai nilai kebenaran, maka pihak aparat penegak hukum sudah dapat memeriksa Yonas Salean dalam kasus penyuapan sebagaimana yang diatur dalam pasal-pasal tentang penyuapan yang terdapat dalam UU. No 20/2001, tentang tindak pidana korupsi. Dan jika tidak, maka Yonas Salean dapat dituntut melakukan pencemaran nama baik sebagaiman yang diatur dalam pasal 310 ayat (1) KUHP.

Ø Dengan diterbitkannya SP3 Kasus Dugaan korupsi dana bantuan operasional Tahun Anggaran 2003-2004 di lingkup Pemkot Kupang dengan indikasi kerugian negara sebesar Rp. 4.521.000.000,00 (Empat Milyar Lima Ratus Dua Puluh Satu Juta Rupiah) ini, menunjukan bahwa pihak kepolisian (POLDA NTT) tidak mampu untuk menuntaskan kasus korupsi. Bahkan patut diduga bahwa Pihak Polda NTT tidak ingin kasus ini di tuntaskan karena: kalau alasan dikeluarkannya SP3 adalah pihak Polda NTT tidak mempunyai cukup bukti, mengapa sudah ada tersangka sebanyak 34 orang..? seseorang akan ditetapkan sebagai tersangka apabila pihak Polda NTT telah memiliki 2 alat bukti yang sah. Sedangkan kalau alasannya adalah bukan perbuatan pidana, maka yang menjadi pertanyaannya adalah apakah penyalahgunaan wewenang yang menguntungkan pihak tertentu sehingga negara diduga dapat dirugikan sebesar Rp. 4.521.000.000,00 (Empat Milyar Lima Ratus Dua Puluh Satu Juta Rupiah) adalah bukan perbuatan pidana..? apalagi kalau alasannya adalah dikarenakan PP No.110 Tahun 2000 yang menjadi acuan dalam penyidikan telah di judicial revieu. Argumen seperti ini menunjukan bahwa pihak pihak Polda NTT belum memahami Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, secara baik dan benar. Karena dalam Perbuatan melawan hukum dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, harus dipahami secara formil maupun secara materil. Secara formil berati perbuatan yang disebut tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang melawan/bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, seperti UU No. 8 Tahun 1981, Tentang KUHP, UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 28 Tahun 1999, Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, PP No. 105 Tahun 2000, tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, PP No. 109 Tahun 2000, Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, PP No. 110 Tahun 2000, tentang kedudukan keuangan DPRD, dll. Sedangkan secara materil berarti perbuatan yang disebut tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang walaupun tidak bertentangan peraturan perundang-undangan yang berlaku namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat di pidana.

Kejaksaan :
Ø Tidak ada keseriusan dari pihak kejaksaan dalam menuntaskan Kasus Dugaan Korupsi Dana Bantuan Operasional Tahun Anggaran 2003-2004. Hal ini dapat dibuktikan dengan mencermati bolak balik (jaksa-polisi) Kasus Dugaan korupsi dana bantuan operasional Tahun Anggaran 2003-2004 di lingkup Pemkot Kupang dengan indikasi kerugian negara sebesar Rp. 4.521.000.000,00 (Empat Milyar Lima Ratus Dua Puluh Satu Juta Rupiah). Bolak-balik kasus ini sebagian besar disebabkan karena petunjuk dari jaksa untuk melengkapi berkas perkara dilakukan bertahap (setelah satu petunjuk dilengkapi oleh pihak kepolisian, pihak kejaksaan memberikan petunjuk yang baru lagi). Hal ini sangat bertentangan dengan maksud dari pasal 138 ayat (2) KUHAP.

CATATAN PENUTUP :
1. Dalam hal pembuktian suatu tindak pidana korupsi harus diingat bahwa Kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara“ yang terdapat dalam Pasal 2 (1) maupun Pasal 3 UU No. 21 Tahun 2001, tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, otomatis agar tindak pidana korupsi harus dipahami sebagai delik formil (Delict Met Formeele Omschrijiving/delik dengan perumusan formil), yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dibuktikan dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang sudah dirumuskan, bukan dengan timbulnya akibat. Itu berarti, untuk pembuktian tindak pidana korupsi hendaknya para aparat penegak hukum harus memfokuskan pada unsur perbuatan melawan hukum (Wederrechttelijkeheid) yang termasuk didalamnya adalah penyalahgunaan wewenang dan bukannya unsur kerugian negara.

2. Berdasarkan amanat Pasal 2 (1) dan Pasal 3 UU No. 21 Tahun 2001, tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa salah satu unsur yang harus dibuktikan berkaitan dengan suatu tindak pidana korupsi adalah “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, maka pasal 4 UU No. 21 Tahun 2001, tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang pada intinya menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana. Dengan demikian pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya salah satu alasan meringankan hukuman (Clementie) saja.

3. Dasar hukum yang harus di pakai (ingat Tempus Delicti) oleh para penegak hukum untuk menilai penyalahgunaan wewenang dalam kasus dugaan korupsi APBD (dugaan korupsi dana bantuan operasional untuk organisasi profesi) adalah : Pasal 78 dan pasal 18 UU No. 22 Tahun 2002, tentang Otonomi Daerah (sekarang UU No. 32 Tahun 2004), untuk mengukur penyalahgunaan wewenang dan ini harus dikaitkan dengan hakekat APBD khususnya asas spesialitas berdasarkan ketentuan pada saat itu adalah Indische Comptabiliteit Wet (ICW), Stbl.1925 No.448 - sekarang UU No. 17 Tahun 2003, Tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004, Tentang Perbendaharaan Negara. Artinya untuk mengukur penyalahgunaan wewenang hendaklah didasarkan pada fungsi APBD dan asas spesialitas dalam pengelolaan anggaran.




Kupang, 18 Januari 2007
Salam Anti Korupsi




( Paul SinlaEloE )
Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT



KASUS KORUPSI YANG DITANGANI OLEH POLDA NTT BESERTA JAJARANNYA

Rabu, 10 Februari 2010

Pelanggaran HAM di NTT Tahun 2009

Catatan Jaringan HAM PIAR NTT
Monitoring Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM
di Nusa Tenggara Timur Tahun 2009
(11,49% dilakukan Aparat kepolisian-Pelanggar HAM terbesar)





Catatan Pembuka 
PIAR NTT sebagai Organisasi Non Pemerintah yang konsern dengan isu penegakan HAM dan demokratisasi setiap tahunnya berupaya melakukan monitoring/pemantauan terhadap Kasus-kasus Pelanggaran HAM dan Tindakan Kekerasan di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Pemantauan yang dilakukan oleh PIAR NTT ini berbasiskan pada kasus pelanggaran HAM yang diadvokasi oleh PIAR NTT dan Media Massa (NB: Media Cetak, Media Elektronik dan Media On-Line). Pemantauan ini dilakukan guna mendeteksi perkembangan serta profil pelanggaran HAM dan kekerasan di NTT. 

Sudah sangat banyak instrumen hukum baik nasional maupun internasional yang mengatur tentang perlindungan dan penegakkan HAM seperti UU 39 tahun 1999 tentang HAM, UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU 11 dan 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak SIPOL dan EKOSOB, UU Nomor 7 Tahun 1984 yang meratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Keputusan Presiden No. 36/1990 tentang rafikasi Konvensi Hak Anak pada tanggal 25 Agustus 1990, UU 23 tahun 2000 tentang Perlindungan Anak, UU 23 tahun 2004 tentang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 

Namun kasus Tindakan Kekerasan dan kasus pelanggaran HAM masih saja menjadi persoalan serius bagi bangsa Indonesia. Itu pertanda bahwa pemahaman masyarakat dan pengambil kebijakan tentang perlindungan HAM masih menjadi masalah bersama. Dalam konteks yang demikian maka PIAR NTT sebagai lembaga yang konseren dengan isu penegakan HAM dan demokratisasi berupaya melakukan pemantauan guna mendeteksi perkembangan serta profil pelanggaran HAM dan kekerasan di NTT. Untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan pelanggaran HAM dan kekerasan maka selama periode Januari - Desember 2009 PIAR NTT melakukan investigasi lapangan, pemantauan melalui media massa dan mengupdate laporan atau pengaduan masyarakat. 

Dari pantauan PIAR NTT selama ini ditemukan bahwa masalah pelanggaran HAM dan tindak kekerasan masih tumbuh subur dan merajalela pada level dan dimensi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Hampir pada semua level dan tataran masyarakat masih ditemukan adanya pelanggaran HAM dan kekerasan, tidak terkecuali misalnya dalam dunia pendidikan dimana banyaknya peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan tenaga pendidik terhadap anak didiknya sekian banyak kasus percabulan, penganiayaan, serta banyaknya kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh aparat kepolisian di wilayah Nusa Tenggara Timur. 

Deskripsi Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM di NTT 
Dalam pemantauan, PIAR NTT berusaha untuk mengamati dan mendeteksi tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh State Actor (Aparat Negara) seperti yang dilakukan oleh Aparat Polri, TNI, PNS, Guru, Dosen, Aparat kelurahan/desa) dan non state actor yang meliputi masyarakat umum dan sektor swasta lainnya. 

Dari pantauan tersebut, PIAR memperoleh deskripsi pelanggaran HAM yang menyebutkan bahwa selama bulan Januari 2009 – Desember 2009, telah terjadi 385 peristiwa/kasus tindak kekerasan dan Pelanggaran HAM yang memakan korban sebanyak 3.677 orang. 

Peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM selama periode tersebut meliputi tindakan percabulan, pemerkosaan, penganiayaan dan penyiksaan, pembunuhan/penembakan, pembunuhan dengan latar belakang pemerkosaan, intimidasi, pengrusakan, perampasan, pencurian, pungutan liar, penipuan, Penangkapan sewenang-wenang, trafiking, perjudian, KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak, kekerasan dalam pacaran, penelantaran, Aborsi, penghamilan dan lari dari tanggungjawab, perselingkuhan, perzinahan, kekerasan oleh majikan, hak ekonomi social budaya masyarakat, serta khusus disoroti tentang kekerasan aparat negara (militer, Polri, PNS, guru, Dosen, aparat Desa/Kel, dan DPRD) yang juga mencakup jenis-jenis kekerasan yang disebutkan sebelumnya. Berbagai tindak kekerasan dan pelanggaran HAM tersebut tersebar pada hampir semua wilayah provinsi NTT seperti Kota Kupang, Kab. Kupang, TTS, TTU, Belu, Flores Timur, Sikka, Rote Ndao, Manggarai, Manggarai Timur, Manggarai Barat, Alor, Sumba Barat Daya, Sumba Timur, Ngada, Sabu, Lembata, Ende, dan Nagekeo. 

Dari hasil monitoring Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM didapatkan data yang menyebutkan 129 kasus atau 33,51% dengan korban sebanyak 3.352 orang dilakukan oleh Aparat Negara/state actor (Polisi, TNI, Aparat Desa, Dosen, Guru, Anggota DPRD, dll) sedangkan 225 kasus lainnya atau 58,44% dilakukan oleh masyarakat/non state actor seperti pengojek, pemulung, pedagang,petani, ayah kandung/tiri, suami, istri, pacar, ayah, ibu, anak, kerabat dekat, siswa, mahasiswa, dukun beranak dalam kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak serta penganiayaan. Pelaku yang tidak diketahui sejumlah 31 kasus atau 8,05 %. 

Hasil analisis PIAR NTT, juga memukan bahwa pelaku tindak kekerasan dan pelanggar HAM terbesar adalah aparat kepolisian karena dari 129 kasus yang dilakukan aparat negara 40 kasusnya atau 31,00% dilakukan oleh aparat kepolisian. Data juga menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan terbanyak adalah kasus penganiayaan sebanyak 95 kasus atau 24,67 %, Kekerasan Dalam Rumah Tangga 57 kasus atau 14,80%, Pemerkosaan 44 kasus atau 11,42%, Percabulan 43 kasus atau 11,16%, dan Perampasan serta pencurian 21 kasus atau 5,45%. Dilihat dari jumlah korban, kasus dengan korban terbanyak yakni pelanggaran Hak Ekonomi Sosial Budaya dengan korban sebanyak 3073 orang atau 83,57%, diikuti Trafiking 193 orang atau 5,24%, Penganiayaan 125 orang atau 3,39%, KDRT 59 orang atau 1,60% dan Percabulan 53 orang atau 1,44%. 

Tahapan proses hukum yang dilakukan terhadap kasus yang terjadi menunjukkan data sebagai berikut, sebanyak 92 kasus atau 23,89% sampai pada tahap pelaporan polisi, tahap Penyelidikan sebanyak 80 kasus atau 20,77%, tahap penyidikan sebanyak 103 kasus atau 26,75%, tahap proses pengadilan sebanyak 34 kasus atau 8,83%, tahap putusan pengadilan sebanyak 37 kasus atau 9,61% dan kasus yang tidak jelas proses hukumnya sebanyak 39 kasus atau 10,12%. 

Selain tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang bersifat sipil politik, ada juga pelanggaran HAM dari sisi hak ekonomi sosial dan budaya di mana negara tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dampaknya masyarakat masih tetap berkutat dengan masalah kemiskinan, ancaman kekeringan, rawan pangan, gizi buruk, angka kematian ibu yang tinggi, anak-anak yang terancam putus sekolah karena ketiadaan dana, korupsi yang merajalela, juga masih adanya konflik sumber daya seperti perampasan tanah adat milik masyarakat dll. 

Dari hasil monitoring PIAR NTT, selama Januari – Desember 2009 telah terjadi 4 kasus atau 1,03% pelanggaran hak ekonomi sosial dan budaya dengan korban terbanyak yakni sebanyak 3.073 orang. 

Diskriminasi, Impunitas dan Stagnan Proses Hukum 
Ironisnya, proses hukum yang adil dan berpihak kepada hak-hak korban jarang sekali dijumpai dalam penanganan kasus-kasus di tingkat aparatur hukum. Sanksi hukum sepertinya hanya berlaku untuk masyarakat lemah dan tidak berdaya sedangkan para pelaku yang tergolong aparat negara dan pejabat yang berduit sangat sulit untuk dikenakan sanksi hukum. Misalnya para penegak hukum yang ketahuan melakukan pelanggaran seperti kasus tewasnya tahanan di Polsek Nunpene yang melibatkan Ketua DPRD TTU dan anggota polisi, hingga saat ini belum jelas bahkan rancu karena beberapa saksi anggota polisi yang saat itu bertugas belum diambil keterangan namun masyarakat yang hanya melakukan kasus-kasus kecil dapat dikenakan sanksi hukum yang berat. 

Hal lain yang melibatkan penegak hukum yang dapat dicermati dari fakta kecelakaan karena tendangan seorang anggota polisi terhadap 2 (dua) siswa SMA yang sementara berboncengan sepeda motor di depan Rumah Sakit Umum Kupang dan mengakibatkan meninggalnya dua siswa tersebut namun prosesnya memakan waktu yang cukup lama baru kemudian ditetapkan tersangkanya.

Publik Nusa Tenggara Timur mencium adanya perlakuan istimewa yang diterima mereka. Alasan pembenaranpun diungkapkan untuk menutupi akan kepincangan penegakan hukum. Fakta ini tentu bertolak belakang dengan kasus yang melibatkan masyarakat kecil yang dicurigai langsung ditahan serta tanpa tedeng aling-aling mengalami proses hukum dan dikenakan sanksi bahkan ada juga kasus salah tangkap yang terjadi atas seorang karyawan Toko Piala Jaya yang dicurigai menggelapkan uang bosnya sebanyak Rp. 300 juta yang saat itu langsung ditangkap dan diselidiki oleh polisi. Ia mengalami penyiksaan yakni lehernya ditikam dengan bambu oleh anggota polisi dan kuku kaki dari ibu jari kaki kirinya dicabut oleh seorang anggota buser. 

Di mata publik ini merupakan penegakan hukum yang pincang karena berlaku bagi kaum yang tidak berjabat dan tidak beruang sedang para penguasa, pejabat dan kaum berduit tidak tersentuh oleh proses hukum dan target penegakan hukum tersebut. 

Berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, terutama kasus KDRT dan kekerasan terhadap perempuan berupa penghamilan dan Lari dari Tanggung Jawab yang sangat tren di NTT, Ingkar Janji Nikah, Penganiayaan, Penelantaran, Percobaan Pembunuhan terhadap kandungan yang tidak disetujui sangat dominan dalam potret kekerasan dan pelanggaran HAM di NTT.

Tercatat oleh PIAR NTT setiap bulan 2-3 korban kekerasan yang datang mengadu dan minta pendampingan. Ironisnya, tidak ada tindakan hukum yang tegas oleh atasan para pelaku, kalaupun ada itupun tidak seimbang dengan perbuatan pelaku dan hukuman yang diberikan pun tidak pro dengan penderitaan yang dialami perempuan. Hal ini mendapat protes dari korban maupun keluarga korban. Mungkinkah ini menunjukan bahwa produk hukum yang berlaku di kepolisian belum memenuhi hak korban dan pro dengan kepentingan perempuan? 

Masih juga ditemukan banyak kendala dalam upaya yang ditempuh oleh PIAR NTT (bersama dengan elemen masyarakat sipil), korban kekerasan dan keluarganya dalam penegakkan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban-korban kekerasan, selain itu masih adanya praktek-praktek impunitas hukum terhadap pelaku kekerasan. Walaupun ada intervensi dan tindakan hukum yang diberikan oleh aparat berwenang tapi masih tidak sebanding dengan akibat sosial, mental, psikis dan fisik yang diderita oleh korban.

Seharusnya para Kepolisian di NTT dapat mencontohi tindakan yang pernah diambil oleh MABES POLRI terhadap Mantan Kapolda Sulawesi Tenggara dengan menNonJobkan beliau karena terbukti melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap sejumlah bawahannya. Realitas ini membuktikan perlakuan hukum di NTT tidak adil dan masih memilah-milah, padahal semua orang tanpa terkecuali mempunyai hak yang sama dimata hukum. 

Catatan Penutup 
Pengusutan, penanggulangan serta upaya-upaya menekan tindakan kekerasan dan kasus Pelanggaran HAM di NTT tidak ada kemajuan yang signifikan. Masih banyak pelaku, terutama yang punya kuasa, jabatan dan senjata masih berkeliaran walaupun atas ulah mereka banyak orang dirugikan, kehilangan haknya bahkan sampai yang kehilangan nyawa. Pemahaman dan penerapan nilai-nilai HAM dalam praktek bernegara dan bermasyarakat haruslah menjadi perhatian dan komitmen bersama, baik sebagai state actor maupun sebagai non state actor. Hal tersebut harus juga disertai dengan komitmen kuat aparat hukum dalam menegakkan Hukum dan HAM, para pelaku pelanggaran HAM dan kekerasan harus dihukum sesuai aturan dan perbuatannya. Jangan ada diskriminasi. PIAR NTT mengharapkan tahun-tahun ke depan wajah buram kemajuan penegakkan HAM di NTT dapat ditekan atau bahkan dihilangkan.
Kupang, 4 Januari 2010

( Ir. Sarah Lery Mboeik )
Direktur PIAR NTT







TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...