GEREJA DAN PEMBERANTASAN KORUPSI1)
Oleh. Paul SinlaEloE2)
CATATAN PENGANTAR
Korupsi
merupakan fenomena klasik yang telah lama ada dan oleh kebanyakan pakar
diyakini usianya setua dengan peradaban masyarakat.3)
Pada Konteks Nusa Tenggara Timur
(NTT) yang masih merupakan bagian Integral dari Negara Indonesia, praktik
korupsi begitu subur dan menjamur.4) Media massa lokal setiap harinya
selalu menyuguhkan kasus (dugaan) korupsi yang terjadi hampir semua tingkat
birokrasi pemerintahan, mulai dari desa hingga provinsi. Bahkan, korupsi sudah
menggerogoti lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif, sehingga muncul kesan
bahwa praktik itu telah menjadi ”gaya hidup” baru kalangan pejabat atau
birokrat.
Tindak korupsi telah menjadi warna sumbang
sekaligus memberi pilar ”hitam” yang tegas dalam cakrawala pembangunan di NTT.5) Oleh karenanya tidaklah mengherankan apabila
NTT sering diplesetkan dengan istilah NUSA TETAP TERMISKIN dan atau NUSA TETAP
TERKORUP. Maraknya tindak korupsi di NTT ini tidak terlepas dari lemahnya
peranan gereja dalam pemberantasan korupsi. Kelemahan ini baik secara sadar
maupun tidak sadar, sering menjadi celah bagi para koruptor untuk lepas bahkan
bebas dari jeratan hukum.
Bertolak dari argumen yang demikian, maka mendiskusikan
tentang Peranan Gereja dan Pemberantasan Korupsi merupakan sesuatu yang sangat
urgen dan cukup relevan. Agar diskusi ini lebih terfokus pada judul, maka
Pointers ini akan dijabarkan dengan sistematika sebagai berikut: Pertama, Catatan Pengantar. Kedua, Korupsi: Sebab dan Akibat. Ketiga, Gereja VS Korupsi. Keempat, Catatan Penutup.
KORUPSI: SEBAB & AKIBAT
Apa Arti Korupsi ?
Dalam
pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2002, tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun
1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi, istilah korupsi6) diartikan sebagai perbuatan setiap orang
baik pejabat pemerintah7) maupun swasta yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi8) yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.9)
Apa Arti Kolusi ?
Kolusi
adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar penyelenggra
negara10) atau antara penyelenggara negara dan pihak
lain yang merugikan orang lain, masyarakat atau negara.11)
Apa Arti Nepotisme ?
Nepotisme
ialah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan
kepentingan keluarganya dan atau kroninya (Teman
dekat yang bisa bekerjasama saling menguntungkan) diatas kepentingan
masyarakat Bangsa dan Negara.12)
Mengapa Korupsi Dapat
Terjadi ?
1. Ditinjau dari aspek kriminologi, maka ada dua hal yang
menyebabkan terjadinya korupsi, yakni: Pertama,
adanya niat (Intention).
Intention/Niat ini dapat dihubungkan dengan faktor moral, budaya, individu,
keinginan, dsb. Kedua, adanya
kesempatan (Moment).
Moment/Kesempatan ini dapat dihubungkan dengan faktor sistem, struktur sosial,
politik dan ekonomi, struktur pengawasan, hukum, permasalahan kelembagaan, dll.13) Dengan pemahaman seperti ini, maka dari
aspek kriminologi, terjadinya korupsi bias dipahami dengan rumus sebagai
berikut: C=I+M (Ket:
C=Corruption/Korupsi, I=Intention/Niat, M=Moment/Kesempatan). Rumus ini
pada dasarnya menunjukan bahwa apabila ada niat untuk melakukan korupsi tetapi
tidak ada kesempatan, maka perbuatan korupsi tersebut tidak akan terjadi.
Sebaliknya, jika kesempatan untuk melakukan korupsi itu ada/terbuka lebar
tetapi niat untuk melakukannya sama sekali tidak ada, maka tindak korupsi juga
tak akan terjadi.
2. Ditinjau dari prespektif
ilmu pemerintahan, maka
terjadinya korupsi diseba bkan karena
adanya kekuasaan monopoli atas barang dan jasa dipegang oleh seseorang dan
orang tersebut memiliki kemerdekaan bertindak atau wewenang untuk memutuskan
siapa yang berhak mendapat barang dan jasa tersebut (termasuk juga di dalamnya berapa banyak jumlahnya), tanpa ada
pertanggungjawaban yang jelas.14) Secara
sederhana logika pikir ini dapat dijelaskan dengan rumus berikut ini: C=M+D-A (Ket: C=Corruption/Korupsi.
M=Monopoly/Monopoli Kekuasaan. D=Discreation/Kewenangan. A=Accountability/Pertanggungjawaban).
Berdasarkan rumusan ini, maka semakin besar kekuasaan serta kewenangan
pengelolaan aset dan semakin rendah kewajiban pertanggungjawaban dari suatu
institusi/person, otomatis potensi korupsi yang dimiliki akan semakin tinggi.
Bagaimana Cara Koruptor Bekerja ?
Cara kerja koruptor dapat
dikelompokkan menjadi dua bentuk, yakni:
1.
Korupsi eksternal. Korupsi eksternal adalah
korupsi yang dilakukan oleh pihak yang berada dalam suata lembaga dengan
dibantu oleh pihak yang berada luar lembaganya. Contohnya adalah: Pertama, Pembayaran untuk jasa-jasa
wajib, yaitu uang pelicin atau tamb ahan
uang untuk melancarkan jasa yang seharusnya dilakukan tanpa biaya atau dengan
biaya resmi yang kecil. Kedua, Pembayaran
bagi jasa-jasa yang tidak halal. Jenis ini adalah uang yang dibayarkan untu
dilakukannya suatu pekerjaan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi pembayar. Ketiga, Pungutan uang untuk menjamin
agar seseorang tidak dirugikan. Model ini memanfaatkan ketidaktahuan orang
mengenai sesuatu, sehingga orang yang mempunyai informasi tersebut dapat
meminta uang atas jasa yang dilakukan dengan informasi tersebut. Keempat, dan lain-lain.
2. Korupsi internal. Korupsi internal ialah
korupsi yang dilakukan oleh pihak yang berada pada lingkup lembaganya sendiri,
tanpa bantuan pihak yang berada di luar lembaganya. Contohnya adalah Pertama, Penggelapan melalui pemalsuan
catatan. Tindakan yang dilakukan adalah membuat catatan palsu sehingga dapat
memberinya keuntungan atas catatan tersebut. Kedua, Mencetak label dan materai secara berlebihan. Korupsi jenis
ini dilakukan dengan mencetak suatu dokumen atau leges palsu yang dapat dijual
atau mendatangkan uang. Ketiga, Jual-beli
jabatan. Jenis ini dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan untuk menentukan
jabatan seseorang. Jenis ini dapat dilakukan melalui mekanisme sogokan,
nepotisme dan pengaruh untuk mendapatkan suatu jabatan. Keempat, Menunda setoran, yaitu memperlambat masa penyetoran dan
dimanfaatkan untuk "diputar" terlebih dahulu. Kelima, Korupsi terhadap sistem pengawasan internal. Jenis ini
bahkan mengakali suatu sitsem pengawasan yang ditujukan untuk mencegah korupsi,
yaitu dengan menyuap aparat pengawasan untuk tidak melaporkan apa yang mereka
temukan. Keenam, dan sebaginya.
Apa Dampak Korupsi Terhadap
Masyarakat ?
1. Dampak Ekonomi. Pertama, Pendanaan
untuk petani, usaha kecil maupun koperasi tidak sampai ke tangan masyarakat.
Kondisi seperti ini dapat menghambat pembangunan ekonomi rakyat. Kedua, Harga barang menjadi lebih
mahal. Hal ini disebabkan karena perusahaaan harus membayar “UPETI” atau “BIAYA SILUMAN“ sejak masa perijinan
sampai produksi. Khusus untuk biaya siluman, biasanya dapat mencapai 20%-30% dari total biaya
operasional perusahaan. Tingginya biaya siluman ini otomatis akan menurunkan
tingkat keuntungan usaha dari para pemilik modal/pengusaha. Agar para pemilik
modal/pengusaha tetap memperoleh banyak keuntungan dalam usahanya, biasanya
mereka menekan upah buruh. Ketiga, Sebagian
besar uang hanya berputar pada segelintir elite ekonomi dan elite politik.
Realitas seperti ini menyebabkan sektor usaha yang berkembang hanya di sektor
elite, sementara sektor ekonomi rakyat menjadi tidak berkembang. Keempat, Produk petani tidak mampu
bersaing. Tingginya biaya siluman juga mengakibatkan harga-harga faktor
produksi pertanian (Pupuk, Pestisida,
Alat Mekanik, Dll.) sangat mahal. Akibatnya harga-harga produk petani juga
meningkat, sehingga tidak mampu meraih keuntungan karena kalah bersaing dengan
produk impor. Kelima, dan
sebagainya.
2. Dampak Politik. Pertama, Rusaknya tatanan demokrasi dalam kehidupan
bernegara. Karena prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tidak akan
terjadi sebab kekuasaan dan hasil-hasil pembangunan lebih banyak dinikmati oleh
para koruptor. Kedua, Posisi pejabat
dalam struktur pemerintahan diduduki oleh orang-orang yang tidak jujur, tidak
potensial dan tidak bertanggungjawab. Hal ini disebabkan karena proses
penyeleksian pejabat tidak melalui mekanisme yang benar, yakni uji kelayakan (Fit and Propper Test), tetapi lebih
dipengaruhi oleh politik uang (Money
Politic) dan kedekatan hubugan (Patront
Client). Ketiga, Proyek
pembangunan dan fasilitas umum bermutu
rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga proses
pembangunan berkelanjutan terhambat. Keempat,
dan sebaginya.
3. Dampak Sosial-Budaya. Pertama, Pada tingkat yang sudah sangat sistematis,
sebagian besar masyarakat tidak lagi menghiraukan aspek profesionalisme dan
kejujuran (Fairness). Semua persoalan
bisa diselesaikan dengan uang sogokan. Kedua,
Korupsi mendidik masyarakat untuk menggunakan cara-cara tidak bermoral dan
melawan hukum untuk mencapai segala keinginannya. Keempat, dan lain-lain.
GEREJA vs KORUPSI
Apakah Korupsi Dapat
diberantas ?
Bisa.
Asalkan gereja mau terlibat dan atau dilibatkan (berperan aktif) bersama seluruh komponen bangsa dalam pemberantasan
korupsi.15)
Mengapa Gereja Harus
Terlibat dalam Pemberantasan korupsi ?
Memberantas korupsi seharusnya menjadi tugas
setiap orang percaya, yakni sebagai terang dunia di tengah gelapnya belantara
korupsi. Dalam perspektif Kristen,
perbuatan korupsi adalah penyangkalan
terhadap hakekat manusia sebagai gambar Allah.16) Alkitab juga mengajarkan untuk mengecam segala usaha yang mencari keuntungan bagi diri sendiri dan atau kelompok,
melalui penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan.17)
Apakah Gereja Sudah Bisa
Menjadi Teladan Dalam Pemberantasan Korupsi?
Seharusnya
Bisa. Untuk menjadi teladan dalam pemberantasan korupsi, Gereja dituntut untuk mampu menempatkan diri sebagai
partner kritis pemerintah yang saling memberdayakan. Artinya, Gereja harus
berani menyatakan penolakan terhadap berbagai jenis sumbangan dan atau bantuan yang
terindikasi korupsi agar terhindar dari berbagai
praktek korupsi yang berkedok bantuan sosial.18) Selain itu, gereja juga diharuskan untuk tidak melakukan korupsi,
tidak menyuruh melakukan Korupsi, tidak turut serta dalam melakukan korupsi dan
tidak membantu melakukan korupsi.19)
Bagaimana Caranya Gereja Terlibat
Dalam Pemberantasan Korupsi ?
Secara
umum Gereja dapat menentukan pola keterlibatannya secara bebas, tapi secara
prinsip, terdapat 3 (tiga) strategi20) yang bisa dipergunakan secara dinamis dan komplementer oleh
Gereja untuk memerangi korupsi, yakni:
1. Strategi Preventif
(Pencegahan). Sifatnya
adalah untuk mencegah, dan dapat dilakukan dengan: Pertama, Pastikan bahwa gereja dan atau warga gereja bukan pelaku
korupsi. Ini dapat dilakukan dengan menolak segala pungutan yang tidak resmi. (Jangan sekali-kali memberi suap contohnya
uang rokok, uang sirih pinang dan jangan lakukan transaksi keuangan dengan
tidak menggunakan bukti keuangan atau Kwitansi). Kedua, Lakukan kegiatan kampanye untuk mengajak masyarakat luas untuk
melawan korupsi.
2. Strategi Detektif (Deteksi
dan Identifikasi). Sifatnya
adalah untuk menyelidiki atau mencari tahu apabila terdapat indikasi korupsi, dilakukan
dengan: Pertama, Ajak masyarakat/jemaat
membangun komunitas kecil di masyarakat/jemaat dan buatlah diskusi rutin
tentang pembangunan desa terutama pengawasan terhadap Praktek korupsi. Kedua, Bangunlah jaringan kerja yang
kuat dalam upaya pengawasan korupsi dengan lembaga-lembaga atau orang-orang
yang mempunyai kesamaan tujuan dalam pemberantasan korupsi. Ketiga, Lakukan pengumpulan data
apabila terdapat indikasi adanya perbuatan korupsi.
3. Strategi Advokasi. Strategi ini dimaksudkan
untuk membangun sistem yang kuat untuk menyelesaikan kasus korupsi secara
hukum, dapat dilakukan dengan: Pertama,
Laporkan setiap Indikasi korupsi kepada Polisi dan Kejaksaan (Tugas Polisi dan Jaksa adalah untuk
menyelidiki). Kedua, Gereja berhak
untuk mencari tahu segala bentuk pengelolaan keuangan untuk kepentingan publik,
baik itu asalnya, kegunaannya, dan untuk apa. Ketiga, Publikasikan di mediamasa (Mediamasa cetak maupun elektronik) setiap Indikasi korupsi.
CATATAN PENUTUP
Demikianlah
sumbangan pemikiran saya, mengenai Peranan
Gereja dan Pemberantasan Korupsi. Kiranya
pokok-pokok pikiran yang ada dalam pointers ini dapat bermanfaat dan mampu
mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas.
Kupang, 4 Desember 2012
LAWAN KEKUATAN POLITIK
KORUPTIF
Janganlah kamu menjadi hamba uang dan
cukupkanlah dirimu
dengan apa yang ada padamu … (Ibrani, 13:5)
CATATAN KAKI:
1) Pointers ini dipresentasikan dalam Seminar:
“Gereja dan Korupsi”, yang dilaksanakan oleh Fakultas Theologi UKAW-Program
Pascasarjana/Program Studi Kepemimpinan Kristen, di Aula UKAW, Kota Kupang, tanggal
5 Desember 2012.
2) Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT.
3) Secara lebih konkrit Eep Saefulloh Fatah
menegaskan bahwa di masa Raja Hammurabi dari Babilonia naik tahta pada tahun
1200 SM, telah ditemukan adanya tindakan-tindakan korupsi. Lihat, Eep Saefulloh
Fatah, Catatan Atas Gagalnya Politik
Orde Baru, Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, Hal.207.
4) Marak
dan suburnnya praktek korupsi di NTT bisa dibuktikan dengan mencermati secara
cerdas berbagai dokumen kasus korupsi yang diadvokasi oleh PIAR NTT dan
jaringannya. Catatan akhir tahun PIAR NTT dalam 4 (empat) tahun terakhir
menunjukan bahwa: Pada tahun 2008, hasil pantaun PIAR NTT menunjukan bahwa di
NTT terdapat 108 kasus korupsi dengan indikasi kerugian negara sebesar
Rp.217.070.432.044,00 (Dua Ratus Tujuh
Belas Milyar Tujuh Puluh Juta Empat Ratus Tiga Puluh Dua Ribu Empat Puluh Empat
Rupiah) dengan Pelaku bermasalah sebanyak 352 (Tiga Ratus Lima Puluh
Dua) dengan pelaku bermasalah sebanyak
352 orang dan 68 orang diantaranya melakuakan pengulangan tindak korupsi. Tahun
2009, terdapat 125 kasus korupsi dengan indikasi kerugian
negara sebesar Rp.256.337.335.434,00 (Dua
Ratus Lima Puluh Enam Milyar Tiga Ratus Tiga Puluh Tujuh Juta Tiga Ratus Tiga
Puluh Lima Ribu Empat Ratus Tiga Puluh
Empat Rupiah) dengan pelaku bermasalah sebanyak 514 dan 76 orang yang
melakuakan pengulangan tindak korupsi.Di tahun 2010, terdapat 131 kasus korupsi
dengan indikasi kerugian negara sebesar Rp.297.570.261.546,00
(Dua Ratus Sembilan Puluh Tujuh Milyar Lima Ratus Tujuh Puluh Juta
Dua Ratus Enam Puluh Satu Ribu Lima Ratus Empat Puluh Enam Ribu Rupiah)
dengan pelaku bermasalah sebanyak 530 orang dan 76 orang yang melakuakan
pengulangan tindak korupsi. Di Tahun 2011, terdapat 151 kasus Korupsi dengan
indikasi kerugian daerah sebesar Rp.263.422.745.582,00 (Dua Ratus Enam Puluh Tiga Milyar Empat Ratus Dua Puluh Dua Juta Tujuh
Ratus Empat Puluh Lima Ribu Lima Ratus Delapan Puluh Dua Rupiah) dengan
pelaku bermasalah sebanyak 545 orang dan 76 orang yang melakuakan pengulangan
tindak korupsi.
5) Implementasi pembangunan untuk mensejahterakan warga di Indonesia pada
umumnya dan khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT), belum berjalan maksimal.
Buktinya, secara statistik jumlah orang miskin di NTT semakin parah dari tahun
ketahun. Data kehidupan bernegara di NTT versi Badan Pusat Statistik (BPS),
menunjukan bahwa Nusa Tenggara Timur masuk kategori termiskin keempat di
Indonesia setelah Papua, Papua Barat dan Maluku. Persentase kemiskinan di NTT
mencapai 20,21% per September 2012. Dengan jumlah persentasi kemiskinan yang
demikian, maka secara absolut (NB: Secara
absolut oleh BPS dipahami sebagai kedalaman dan keparahan) angka kemiskinan
di NTT naik dari 986.500 jiwa pada September 2011 menjadi 1.029.000 jiwa per
september 2012. Tetapi jika dilihat secara persentase angkanya menurun karena
per September 2011 terdapat 21,48%.
6) Secara etimologi, perkataan korupsi
berasal dari kata “Corruptio/Corruptus” yang dalam bahasa Latin berarti
kerusakan atau kebobrokan. Dalam perkembangannya, berpendapat bahwa istilah
korupsi ini pada abad pertengahan diadopsi kedalam bahasa Inggris, yakni
“Corruption” dan bahasa Belanda, yaitu “Corruptie” untuk menjelaskan atau
menunjuk kepada suatu perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang
disangkutpautkan dengan keuangan. Pada konteks Indonesia sesuai dengan kamus
besar bahasa Indonesia istilah korupsi diartikan sebagi suatu penyelewengan
atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau
orang lain. Lihat Paul
SinlaEloE, Korupsi Sebab dan Akibat,
artikel yang dipublikasikan dalam http://www.sumbawaNews.com, pada
tanggal 26 November 2007.
7) Dalam hal korupsi yang dilakukan oleh
pejabat pemerintah, biasanya terdapat unsur menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya.
8) Korporasi adalah kumpulan orang dan
atau kekayaan yang terorganisasi secara baik, Korporasi ini dapat berupa badan
hukum maupun bukan badan hukum.
9) Unsur-unsur yang terkandung dalam
definisi KORUPSI menurut pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2002, Tentang Revisi
Atas UU No. 31 Tahun 1999,Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah: Pertama, PELAKU (Setiap Orang=Individu
dan atau Korporasi). Kedua,
PERBUATAN (melawan hukum=Formisl dan atau Materil). Ketiga, TUJUAN PERBUATAN (Memperkaya Diri Sendiri, Orang Lain atau
Korporasi). Keempat, AKIBAT
PERBUATAN (Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara). Lihat, Paul SinlaEloE, Catatan Hukum terhadap Pasal 2 ayat (1)
UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Artikel yang di publikasikan dalam
Harian Pagi, TIMOR EKSPRESS, pada tanggal 17 Maret 2006.
10) Yang dimaksud dengan penyelenggara
negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislative
atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan Negara. Bandingkan dengan penjelasan pasal 1 Angka 4 UU No. 28
Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
11) Lihat pasal 1 Angka 4 UU No. 28 Tahun
1999, tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
12) Lihat pasal 1 Angka 5 UU No. 28 Tahun
1999, tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Bandingkan juga dengan Gatot
Sulistoni, Ervyn Kaffah & Syahrul, MENCABUT
AKAR KORUPSI: Panduan Singkat, Penerbit SOMASI-NTB, The Asia Foundation
& USAID, Mataram, 2001, Hal.2.
13) Paul SinlaEloE, Menggagas Peran Serta Rakyat Dalam Memberantas Korupsi,
makalah yang dipresentasikan dalam kegiatan Pendidikan Anti Korupsi bagi
Masyarakat Adat di tingkat basis yang dilaksanakan oleh PIAR NTT, di Kabupaten
Kupang (Desa Nunsaen, Kecamatan Fatuleu), pada tanggal 17 Agustus 2007.
14) Robert Klitgaard, Ronald Maclean-Abroa
& H. Lindsey Parris, Penuntun
Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah, (Peng. Teten Masduki), Penerbit Yayasan Obor Indonesia &
Partnership For Governance Reform in Indonesia, Jakarta, 2002, Hal.29.
15) Dasar hukum dari keikutsertaan Gereja
dalam memberantas korupsi adalah Pertama,
UUD 1945, Pasal 28, Pasal 28C (1), Pasal 28C (2), Pasal 28D (1), Pasal 28D (3),
Pasal 28E (2), Pasal 28E (3), Pasal 28F, Pasal 28H (2), Pasal 28I (1), Pasal
28I (5). Kedua, TAP MPR No.XI Tahun
1998, Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari KKN. Ketiga, Pasal 9 UU No. 28 Tahun 1999,
Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih, Berwibawa dan Bebas dari KKN.
Keempat, Pasal 41 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun
1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kelima, PP No. 68 Tahun 1999, Tentang Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara. Keenam,
PP No. 71 Tahun 1999, Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan
Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
16) Lihat Kitab Kejadian, 1:27.
17) Lihat Kitab Matius, 23:25.
18) Dalam kasus dugaan korupsi dana BANSOS
Prov. NTT TA.2010, ada 3 (tiga) permasaalahan utama dalam pengelolaan dana
BANSOS Prov. NTT TA.2010 sebagimana yang tertera dalam LHP BPK Nomor:
30/S/XIX.KUP/01/2011, tertanggal 31 Januari 2011, yakni: Pertama, Mekanisme pencairan dana realisasi biaya penunjang
kegiatan pemerintahan dan kemasyarakatan tidak didukung dokumen memadai. Kedua, Realisasi belanja bantuan sosial tidak sesuai peruntukan. Ketiga, Realisasi belanja bantuan
sosial belum dilengkapi dengan pertanggungjawaban. Untuk poin ke tiga
ini, yakni Realisasi belanja bantuan sosial belum dilengkapi dengan
pertanggungjawaban, pihak gereja juga diduga bisa masuk dalam kategori turut
melakukan karena: (1). REALISASI BELANJA
BANTUAN KEPADA LEMBAGA/ORGANISASI SOSIAL KEMASYARAKATAN YANG BELUM
DIPERTANGGUNGJAWABKAN PENERIMA BANTUAN BIRO KEUANGAN SEKRETARIAT DAERAH
PROVINSI NTT T.A. 2010, Yakni: Pertama,
Kode Rekening 5.1.5.01.01(4), tertanggal 27/4/2010, Bantuan social diperuntukan
untuk pembangunan gedung Gereja Jemaat
Sesawi Oepura, Sebesar Rp.25,000,000.00. Kedua,
Kode Rekening 5.1.5.01.01(4), tertanggal 7/6/2010, Bantuan Biaya Penunjang Kegiatan
Pemerintahan Untuk Sidang Sinode
se-Sumba, sebesar Rp.25,000,000.00. (2).
REALISASI BELANJA BANTUAN SOSIAL KEPADA LEMBAGA/ORGANISASI SOSIAL
KEMASYARAKATAN BIRO KESEJAHTERAAN RAKYAT SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI NTT T.A.
2010 YANG BELUM DI DUKUNG BUKTI PERTANGGUNGJAWABAN PENERIMA BANTUAN, yakni: Pertama, Kode rekening 5.1.5.01.01.B1,
No.BKU 183, tertanggal 3/4/2010, Bantuan Sosial Gubernur NTT kepada lembaga
kursus musik gereja Haleluya Naikoten I Kupang dalam rangka kegiatan Festival
Sasando Piala Presiden RI TA 2010, sar sebRp.1,500,000.00. Kedua, Kode Rekening
5.1.5.01.02.B1, NO.BKU 348, Tertanggal 4/10/2010 Bantuan Gubernur NTT kepada Panitia
Pembangunan GMIT Jemaat Wilayah Oe Uki Klasis Amanatun Selatan dalam rangka
pembangunan rumah ibadah TA 2010, sebesar Rp.2,500,000.00. Ketiga,
Kode Rekening 5.1.5.01.02.B1, NO.BKU
860, tertanggal 7/6/2010, Bantuan
Gubernur NTT kepada Panitia GMIT Kalvari Fatu Alimat Kec. Amabi dalam rangka
pembangunan rumah ibadah TA 2010, sebesar Rp.2,500,000.00. Keempat, Kode Rekening
5.1.5.01.02.B1, NO.BKU 994, tertanggal 8/5/2010, Bantuan sosial Gubernur NTT kepada Panitia
Pembangunan GMIT Jemaat Siloam Oelalali Takari, dalam rangka pembangunan rumah
ibadah TA 2010, sebesar Rp.2,500,000.00. Kelima,
Kode Rekening 5.1.5.01.02.B1, NO.BKU
854, tertanggal 7/6/2010, Bantuan sosial
Gubernur NTT kepada Panitia Pembangunan GSJA Lemba Pujian Desa Bijaepunu TTS
dalam rangka pembangunan rumah ibadah TA 2010, sebesar Rp.2,500,000.00. Keenam, Kode Rekening 5.1.5.01.02.B1, NO.BKU 855, tertanggal
7/6/2010, Bantuan sosial Gubernur NTT
kepada Panitia Pembangunan GBI Kapernaun Kaiupido Alor Timur Laut dalam rangka
pembangunan rumah ibadah TA 2010, sebesar Rp.2,500,000.00. Ketujuh, Kode Rekening
5.1.5.01.02.B1, NO.BKU 856, tertanggal 7/6/2010, Bantuan sosial Gubernur NTT kepada Paduan
Suara Angelorum Pemuda GNIT Ora et Labora RSS Oesapa dalam rangka kegiatan di
Jemaat Betesda Sidoarjo TA 2010, sebesar Rp.2,500,000.00. Kedelapan, Kode Rekening 5.1.5.01.02.B1,
NO.BKU 857, tertanggal 7/6/2010, Bantuan
Gubernur NTT kepada Panitia Pembangunan GGSJA Jemaat Sion Desa Tobu dalam
rangka pembangunan rumah ibadah TA 2010, sebesar Rp.2,500,000.00. Kesembilan, Kode Rekening 5.1.5.01.02.B1, NO.BKU 858, tertanggal
7/6/2010, Bantuan Gubernur NTT kepada
Panitia Gereja Paroki St.Fransiskus dan St. Klara Aimere Kab. Ngada TA 2010,
sebesar Rp.5,000,000.00. Kesepuluh, Kode
Rekening 5.1.5.01.02.B1, NO.BKU 861,
tertanggal 7/6/2010, Bantuan Gubernur
NTT kepada St. Gregorius Oelata dalam rangka peresmian gereja TA 2010, sebesar
Rp.5,000,000.00. Kesebelas, Kode
Rekening 5.1.5.01.02.B1, NO.BKU 862,
tertanggal 7/6/2010 Bantuan Gubernur NTT
kepada GBI Victory Abadi Namosain Kupang dalam rangka pembangunan rumah ibadah
TA 2010, sebesar Rp.2,500,000.00. Keduabelas,
Kode Rekening 5.1.5.01.02.B1, NO.BKU
864, tertanggal 7/6/2010, Bantuan Sosial
Gubernur NTT kepada Gereja Jemaat Imanuel Maubele Wilayah Malla Desa Leon Meni
dalam rangka pembangunan rumah ibadah TA 2010, sebesar Rp.2,500,000.00. Ketigabelas, Kode Rekening 5.1.5.01.02.B1, NO.BKU 865, tertanggal
7/6/2010, Bantuan Sosial Gubernur NTT
kepada St Gabriel Masu Kedhi Bajawa dalam rangka pembangunan rumah ibadah TA
2010, sebesar Rp.2,500,000.00.
19) Dalam konteks hukum pidana uraian
terperinci mengenai pengkategorian ini bisa dilihat dalam Pasal 55, Pasal 56
dan Pasal 57 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
20) Paul SinlaEloE, Advokasi Anggaran: Alternatif Dalam Meminimalisir Terjadinya Korupsi,
Artikel yang di publikasikan dalam Harian Kota, KURSOR, pada tanggal 3 Desember
2004.