PEMIMPIN
NTT YANG IDEAL: Negarawan
Atau Politisi?
Oleh. Paul SinlaEloE
Oleh. Paul SinlaEloE
Siapakah
yang paling tepat untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur NTT di era Neo
Liberalisme sekarang ini? Sejumlah nama telah disebut-sebut sebagai figur-figur
yang bakal meramaikan bursa kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur NTT periode
2003-2008.
Menurut
catatan HU. Radar Timor (Lih. HU. Radar Timor,
tanggal 4 Januari 2003), misalnya, menyebutkan bahwa untuk kandidat
Gubernur NTT kali ini adalah Piet A. Tallo, SH (Gubernur NTT sekarang), Drs.
Johannes Pake Pani (Wagub NTT sekarang), Ir. Umbu Mehang Kunda (Bupati Sumba
Timur), Brigjen Pol. Drs. Jacky Uli, Msc (Kapolda NTT), Drs. Gaspar Parang Ehok
(Kepala Dispenda NTT), Drs. Daniel Woda Palle (Ketua DPRD NTT), Drs. Frans Lebu
Raya (Wakil Ketua DPRD NTT) dan Yullius Bobo, SE. MM (Anggota DPR-RI).
Sedangkan
untuk bursa bakal calon Wakil Gubernur NTT antara lain: Drs. Simon Hayon (Ketua
FPDI DPRD NTT), Drs. Meskh Amalo (Mantan Asisten I Setda NTT), Drs. Gaspar
Parang Ehok (Kepala Dispenda NTT), Ir. Esthon Funay (Ketua Bapeda NTT), Drs. Piet Nuwa Wea (Asisten II Setda NTT), Drs. Frans Lebu Raya
(Wakil Ketua DPRD NTT) dan Pdt. Dr. Nico Wolly, MTh (Wakil Ketua DPRD NTT).
Daftar
nama-nama dari bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur NTT diatas, masih dapat
di perpanjang karena mayoritas Kelompok Studi Mahaiswa di kota Kupang, lebih
menjagokan figur-figur seperti: Prof. Dr. Mia Patty-Noach, MEd (Dosen FKIP
Undana), Yohanna Rumagit-Hermanus, SH (Dosen FH-UKAW), Ir. Sarah Lerry Mboeik
(Direktur PIAR-NTT), Dra. Sofia Malelak-De Haan (Wakil Direktur Yayasan Alfa
Omega-NTT), Ir. Joce Aduate-Mance, MS (Staf Pengajar SPP Lili) dan Dra. R. Heni
A. Nitbani-Markus (Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan setda NTT).
Deretan
nama-nama inipun masih mungkin untuk ditambah, sesuai dengan kehendak dari
kelompok-kelompok kepentingan yang ada di NTT maupun yang berada di luar NTT.
Namun pemimpin yang bagaimanakah sebenarnya yang dibutuhkan oleh warga NTT? Seorang Politisi ataukah
seorang Negarawan?
Berkaitan
dengan pertanyaan diatas, maka rangkaian tulisan ini akan menjawab pertanyaan
tersebut melalui pendekatan sumber daya Manusia berdasarkan konsep yang pernah
diwacanakan oleh Arvan Pradiansyah (1999). Untuk itu, perlu digaris bawahi
bahwa pengertian Negarawan dan Politisi yang dipakai dalam tulisan ini bukan
lah pengertian umum, yakni: Negarawan sebagai orang yang memimpin negara atau
orang yang menjadi pemimpin dalam suatu jajaran birokrasi pemerintahan, dan
Politisi sebagai profesi yang berkaitan dengan aktivitas politik. Negarawan dan
Politisi yang dimaksud disini lebih merupakan kata sifat (Adjective), bukannya kata benda (Noun). Singkatnya, Negarawan dan Politisi yang dimaksud disini
adalah sebuah kualitas perilaku politik.
Menurut
Arvan Pradiansyah (1999), kalau digambarkan secara Continuum, maka Negarawan ada disuatu kutub yang berlainan dengan
Politisi. Diantara kedua kutub tersebut terdapat bermacam-macam gradasi
perilaku politik. Penggunaan Continuum
ini bertujuan untuk menghindarkan kita dari kategorisasi yang “Hitam-Putih”.
Dalam konsep ini perilaku seseorang dipahami sebagai sesuatu yang dinamis. Jadi
bisa saja pada suatu saat perilaku tersebut bergerak menuju kutub Negarawan
atau sebliknya bergerak menuju kutub Politisi. Hal ini disebabkan karena kedua kutub
ini adalah suatu pilihan hidup, suatu paradigma berpikir, serta suatu Vision and values, yang mendasari sikap dan perilaku politik seseorang.
Dalam
kenyataannya, mungkin kita sulit menemukan seorang tokoh yang senantiasa berada
dalam suatu kutub. Kebanyakan justru berada diantaranya. Akan tetapi
kategorisasi seperti ini akan membantu kita untuk melihat kecenderungan
perilaku (Vision and values) dari
seorang pelaku politik.
VISI NEGARAWAN
DAN POLITISI
Dalam
berbagai literatur tentang sumber daya manusia, visi senantiasa ditempatkan
sebagai landasan perilaku seseorang. Arvan Pradiansyah (1999) berpendapat, Visi
merupakan pandangan yang jauh ke depan mengenai kondisi ideal yang akan dicapainya
di masa mendatang. Karenanya visi yang baik idealnya harus menjawab pertanyaan
“Where?“ dan diterjemahkan kedalam
dua bagian, yakni: Pertama, Apa yang
harus dicapai (What). Kedua, Bagaimana cara mencapainya (How).
How ini adalah
seperangkat nilai (Values) yang
diyakini dan menjadi dasar bagi seseorang dalam mengambil keputusan. Untuk
mengetahui Vision tersebut, dapat dilihat dalam perbandingan berikut ini:
- Visi tentang masa depan. Negarawan senantiasa memikirkan kepentingan jangkan panjang sementara Politisi cenderung memikirkan kepentingan jangka pendek. Bagi seorang Politisi yang terpenting adalah bagaimana suksesi kepemimpinan di NTT dimenangkan dan mendapatkan jabatan Gubernur/Wakil Gubernur NTT. Sehingga tidaklah mengherankan apabila Politisi akan menghalalkan segala cara untuk meraih segala keinginannya, yakni jabatan Gubernur/Wakil Gubernur NTT. Sedangkan seorang Negarawan selalu menjadikan suksesi sebagai suatu landasan serta mekanisme kehidupan bernegara dan berbangsa, sehingga suksesi oleh Negarawan selalu dijadikan sebagai arena pendidikan politik bangsa yang dilakukannya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dan keadilan. Dengan demikian bagi seorang Negarawan, yang terpenting adalah bagaimana suksesi tersebut dapat dilaksanakan dengan cara yang benar. Kalah dan menang hanyalah suatu konsekwensi dari suksesi.
- Visinya tentang massa-rakyat. Negarawan berpaham inklusivisme, yang melibatkan kepentingan seluruh massa-rakyat yang heterogen. Seorang Negarawan selalu berpikir dalam konsep win-win, yaitu bagaimana kebijakan yang diambilnya menguntungkan semua orang. Tanpa membedakan suku, agama, ras, golongngan maupun gender. Sedangkan yang berpaham eksklusivisme adalah seorang Politisi yang kebijakannya senantiasa cenderung tidak bijak karena hanya mementingkan kepentingan kelompoknya sendiri.
- Visinya tentang kekuasaan. Seorang Negarawan selalu memandang kekuasaan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Sementara bagi seorang Politisi kekuasaan adalah rahmat dan kekuatan yang harus dinikmati habis-habisan karena telah diperoleh dengan susah payah.
NILAI-NILAI
NEGARAWAN DAN POLITISI
Nilai-nilai
(Values) merupakan pedoman bagi
seseorang dalam upaya pencapaian tujuannya atau dalam hal ini visinya yang
telah ditetapkan secara jelas dan terukur (Tom Therik, 1998). Itu berarti yang
namanya Negarawan atau Politisi dapat
diketahui dan dibedakan berdasarkan values
dianutnya dalam mewujudkan visinya.
Seorang
Negarawan selalu menganut values sebagai berikut: Pertama, orientasinya pada kepentingan massa-rakyat. Konsepnya
adalah to serve not to be served.
Menjadi pemimpin sebenarnya adalah menjadi pelayan yang digaji oleh massa-rakyat,
karenanya seorang pemimimpin yang negarawan selalu melayani massa-rakyat.
Kedua, keberpihakan. Seorang Negarawan senantiasa berpihak kepada nilai-nilai,
bukan kepada individu atau golongan tertentu. Hal yang sebaliknya terdapat pada
seorang politisi. Nilai-nilai yang dianut oleh seorang politisi terangkum dalam
adigium: “The are no permanent friends,
nor permanent enemies. There is always a permanent interest“. Jadi dalam politik tidak ada
nilai persahabatan, yang ada hanya
vested interest. Oleh karena itu, keberpihakan seorang Politisi bukanlah
pada kebenaran, tetapi pada kekuasaan dan penguasa. Dengan demikian dapat
dimengerti mengapa setiap Politisi tidak berminat terhadap konsep pemberdayaan (Empowerment), bahkan berusaha melemahkan
siapa saja yang tidak sepemikiran dengan mereka.
Bertolak
dari perbandingan-perbandingan diatas, maka alangkah eloknya kalau
persoalan-persoalan politik dan pemerintahan yang menyangkut hajat hidup warga
NTT, ditangani oleh seorang Negarawan dan bukan Politisi. Untuk itu, seandainya
asumsi ini benar atau setidaknya mempunyai nilai kebenaran, maka saya
menyarankan kepada setiap warga NTT agar sebelum terlibat dengan
kelompok-kelompok kepentingan dalam mendukukung figur-figur tertentu untuk
menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur NTT periode mendatang, ada baiknya terlebih
dahulu kita melakukan studi perilaku dari figur-figur tersebut atau mencermati
dan menilai track record mereka
dengan cara menganalisa apa yang dikatakan (What
was said), dan apa yang dilakukan (What
was done).
Pada
akhirnya satu hal yang perlu diingat, sejarah Indonesia kontemporer telah berulang
kali mengajarkan kepada kita bahwa keberpihakan yang berlebihan dalam mendukung
figur tertentu dapat mengakibatkan terjadinya kultus individu. Ini amat
berbahaya..!! (Tulisan ini pernah
dipublikasikan dalam HU. Radar Timor, tanggal 22 Januari 2003).
---------------------------
Penulis:
Mahasiswa FH-UKAW.