PELAKSANAAN SI-MPR TAHUN
2001: Kegagalan
MPR
Dalam Melaksanakan Kedaulatan Rakyat...!!!
Oleh. Paul SinlaEloE Dalam Melaksanakan Kedaulatan Rakyat...!!!
Reformasi
belum selesai. Itulah argumen yang paling tepat untuk menggambarkan realita
politik yang terjadi di Indonesia pada saat ini. Sebab walaupun Soeharto yang
merupakan sang konseptor proses pembodohan terhadap rakyat telah dilengserkan ±
3 tahun yang lalu, namun proses pembodohan tersebut masih saja terus dilakukan
secara sistematis hingga kini, oleh orang bodoh (Baca: Anggota MPR/DPR yang
Pro Status Quo). Pengadilan politis yang dilakukan oleh MPR terhadap
Presiden KH. Abdurrahman Wahid adalah buktinya.
Pengadilan
politis ini berawal dari tekad Presiden Gus Dur untuk memberantas KKN,
menegakkan supremasi hukum dan mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Upaya ini
telah mengusik ketentraman diri dari para perampok Negara yang bersembunyi
didalam lembaga MPR/DPR.
Sebagai
wujud dari keterusikan tersebut, DPR secara membabi buta berusaha menurunkan
Presiden Gus Dur dari kursi kepresidenan dengan cara mewacanakan issue
keterlibatan Presiden dalam skandal uang zakat pemberian Sultan Brunei sebesar US $
200 juta dan dana Yanatera Bulog sejumlah Rp.35 Miliar.
Tidak
harmonisnya hubungan diantara para penyelenggara negara ini, makin diperparah
lagi oleh DPR dengan dikeluarkannya Memorandum I pada tanggal 1 Februari 2001.
Walaupun Presiden Abdurrahman Wahid sudah menjawab memorandum tersebut pada
tanggal 28 Maret 2001, namun pihak DPR pada tanggal 30 April 2001, tetap
mengeluarkan Memorandum II, yang mana isinya secara tegas mengatakan bahwa
apabila Presiden tidak menyelesaikan persoalan tersebut diatas dalam batas waktu
yang telah ditentukan, maka akan digiring ke SI-MPR, guna
mempertanggungjawabkan segala pelanggaran yang dituduhkan.
Rujukan
yang dipakai oleh DPR untuk mengeluarkan Memorandum II ini adalah Pasal 7 TAP
MPR Nomor III/MPR/1978, tentang Kedudukan Dan Hubungan Tata Kerja Lembaga
Tertinggi Negara Dengan Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, yang berbunyi
bahwa: Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat yang seluruh anggotanya adalah
Anggota Majelis berkewajiban senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dalam
Rangka Pelaksanaan Haluan Negara. Kedua, Apabila Dewan Perwakilan Rakyat
menganggap Presiden sungguh melanggar Haluan Negara, maka Dewan Perwakilan
Rakyat menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden. Ketiga, Apabila
dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum Dewan Perwakilan
Rakyat tersebut pada ayat (2) pasal ini, maka Dewan Perwakilan Rakyat
menyampaikan memorandum yang kedua. Ketiga, Apabila dalam waktu satu bulan
memorandum yang kedua tersebut pada ayat (3) pasal ini, tidak diindahkan oleh
Presiden, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta Majelis mengadakan Sidang
Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.
Ironisnya, walaupun Jaksa Agung lewat SP3-nya, sudah menyatakan bahwa Presidan Gus Dur tidak terlibat (tidak bersalah) dalam kasus Bruneigate dan Buloggate ini, namun pelaksanaan SI-MPR Tahun 2001 tetap diwujudkan dengan agenda yang menyimpang bahkan tidak ada hubungannya dengan Memorandum yang dikeluarkan oleh DPR, yakni: menggugat statement-statement Presiden Gus Dur yang oleh parlemen dianggap “cenderung proaktif” sehingga dapat mengancam disintegrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara Konstitusional, ada 2 (dua) alasan mengapa MPR tidak dapat digunakan oleh DPR untuk menjatuhkan Presiden, yakni: Pertama, UUD 1945 tidak menganut sistem parlementer. Kedua, Parlemen dijalankan oleh DPR, bukannya dijalankan oleh MPR.
Didalam UUD 1945, wewenang MPR diatur dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 3, Pasal 6 dan Pasal 37, atas dua kategori yaitu: Pertama, Dalam fungsi perundangan High Law (Constitution), yang meliputi Pasal 1 ayat (2), sebagian Pasal 3, Pasal 6 dan Pasal 37. Kedua, Dalam fungsi pemerintahan, yang meliputi sebagian Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (2).
Fungsi pemerintahan MPR sesuai dengan UUD 1945 adalah memulai pemerintahan yakni memilih Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) dan berdasarkan Pasal 3, yakni menetapkan GBHN. Diluar kedua pasal ini, MPR tidak berkompeten untuk mengurusi jalannya pemerintahan. Artinya, sekali Presiden terpilih, MPR tidak dapat mengintervensinya, karena akan terjadinya proses sirkuler atau berlakunya Konstitusi secara paralel, tidak dapat dihindarkan.
Menurut B. Setiabudi (2001), apabila Konstitusi berlaku secara sirkuler, maka nantinya hukum akan bersifat kesepakatan kondisional (Tacit Concent). Sebab, kepastian hukum akan menjadi tidak otomatis dan setiap kali memerlukan jaminan para pihak untuk menyepakatinya. Akibatnya, kontribusi hukum terhadap pemerintahan yang rasional menjadi kabur.
Kerangka pikir diatas menunjukkan bahwa dengan suksesnya pelaksanaan SI-MPR Tahun 2001 yang inkonstitusional dan ekstra konstitusional ini, maka sebenarnya MPR tidak mempunyai Political Will untuk menyukseskan agenda reformasi yang dicita-citakan oleh rakyat. Konsekuensinya, proses reformasi masih berputar-putar pada titik yang sama, padahal seharusnya reformasi sudah dapat berjalan secara linear. Dengan demikian dapat ditarik suatu titik simpul bahwa MPR tidak menjalankan kedaulatan rakyat dan telah melakukan proses pembodohan terhadap rakyat.
Walaupun demikian, dengan keyakinan penuh bahwa tidak semua rakyat Indonesia dapat dibodohi sepanjang masa dan di semua tempat, maka diakhir tulisan ini saya menyarankan kepada seluruh komponen bangsa terutama para aktivis pro demokrasi dan mahasiswa yang merupakan kaum reformis sejati, untuk segera menyatukan konsep dalam membangun gerakan reformasi tahap ke-2, agar kita tidak disebut sebagai anak manis yang bodoh oleh “orang bodoh”.
Penulis: Mahasiswa FH-UKAW.
Ket: Tulisan ini merupakan materi pengantar diskusi yang berthema, “SI-MPR TAHUN 2001 DAN ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA”, yang dilaksanakan oleh SEMA FKIP-UKAW, di Sekretariat SEMA FKIP-UKAW, pada tanggal 27 Juli 2001.