Minggu, 06 September 2015

Bantuan Hukum

BANTUAN HUKUM
Oleh: Paul SinlaEloE - Aktivis PIAR NTT



Meskipun Bantuan Hukum tidak secara tegas dinyatakan sebagai tanggung jawab Negara, namun harus diingat bahwa salah satu tujuan bernegara yang merupakan "kontrak politik" antara rakyat dengan negara yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Poin penting dari tujuan bernegara ini adalah seluruh komponen masyarakat di Indonesia harus dilindungi, termasuk didalamnya dilindungi dari aspek hukum.

Perlindungan hukum bagi seluruh komponen masyarakat di Indonesia ini dipertegas dengan amant Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum". Dalam konteks negara hukum, pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia bagi setiap individu termasuk hak atas Bantuan Hukum, wajib dilakukan oleh negara. Penyelenggaraan pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (Access to Justice) dan kesamaan di hadapan hukum (Equality Before The Law).

Di Indonesia pelaksanaan bantuan hukum publik Pro Bono (Cuma-Cuma) belum berjalan secara maksimal. Hal ini ditandai oleh adanya disparitas kedudukan antara advokat dan lembaga-lembaga bantuan hukum perguruan tinggi maupun lembaga swadaya masyarakat yang menjadikan proses bantuan hukum terhenti secara administratif.

Dengan hadirnya UU No. 16 Tahun 2011, tentang Bantuan Hukum (UU BANKUM), yang diundangkan pada 2 November 2011 dalam LN-RI Tahun 2011 Nomor 104, Tambahan LN-RI Nomor 5246, beragam harapan mulai muncul demi terbangunnya sebuah sistem bantuan hukum yang dapat diakses oleh semua kelompok masyarakat baik itu perempuan, anak maupun laki-laki, terutama mereka yang termarginalkan serta dari kalangan tidak mampu (Miskin).

Bantuan hukum dalam UU BANKUM dimaknai sebagai jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Bantuan hukum diberikan oleh lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum, yang meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum dari penerima bantuan hukum. Dalam pelaksanaannya, pemberi bantuan hukum diberikan hak melakukan rekrutmen terhadap Advokat, Paralegal, Dosen, dan Mahasiswa Fakultas Hukum.

Pada sisi yang lain, hadirnya UU BANKUM ini masih menyimpan sejumlah cacat bawaan yang dapat menghambat proses implementasinya. Secara kontekstual celah kelemahan yang nampak, antara lain: Pertama, problematika ruang lingkup bantuan hukum meliputi: Kasus Perdata, Pidana, dan Tata Usaha Negara, baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi. Bantuan hukum hanya diberikan kepada klien dengan latar belakang miskin (aspek ekonomi). Seharusnya kasus di Mahkamah Konstitusi juga masuk dalam ruang lingkup bantuan hukum. Kriteria penerima bantuan hukum sangat sempit dan hanya dilihat dari aspek ekonomi. Padahal bantuan hukum seharunya juga dapat diberikan kepada kelompok rentan seperti anak, perempuan, penyandang disabilitas, kelompok marginal dan masyarakat adat.

Bantuan hukum juga tidak mengcover kasus-kasus yang berdimensi struktural, kecuali kasus struktural tersebut dialami oleh masyarakat miskin. Padahal kasus struktural tidak selalu dialami oleh masyarakat miskin. Dalam penanganan kasus, apakah lembaga bantuan hukum dapat dieksepsi jika menangani kasus yang bukan “orang miskin”?

Kedua, Kewenangan Menteri Hukum dan HAM di dalam penyelenggaraan bantuan hukum sangat besar yang meliputi menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan bantuan hukum, menyusun dan menetapkan standar Bantuan Hukum, menyusun dan mengelola anggaran, melaporkan penyelenggaraan bantuan hukum kepada DPR serta melakukan verifikasi dan akreditasi. Kewenangan tersebut akan melahirkan Abuse Of Power karena antara pengambil kebijakan, pelaksanaan dan pemberian anggaran berada di satu tangan.

Kewenangan menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan bantuan hukum beserta anggarannya dapat menyebabkan intervensi dan ketidakindependensian dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum. Selain itu, terdapat peluang terjadinya Conflict Of Interest apabila perkara-perkara yang ditangani oleh lembaga bantuan hukum berhadapan secara langsung dengan pemerintah yang memiliki kewenangan akreditasi/verifikasi dan memberikan dana kepada lembaga tersebut. Lembaga yang mengkritisi kebijakan Pemerintah dapat dipersulit untuk mendapatkan akreditasi/verifikasi dan akses dana bantuan hukum. Mengingat uang yang dikelola dari APBN/APBD dalam pemberian bantuan hukum cukup besar akan membuka peluang lahan korupsi baru apabila pengawasan publik tidak berjalan.

Persoalan lain terkait dengan implementasi UU BANKUM adalah apakah advokat yang berada pada 300-an lebih Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang telah diakreditasi dan diverifikasi sebelumnya oleh Kementerian Hukum dan HAM cq BPHN boleh mendapatkan imbalan dari Negara terkait dengan layanan bantuan hukum yang di berikan? Pengaturan tentang persoalan inipun masih terdapat kerancuan dan belum ada kepastian hukumnya. Kerancuan dan persoalan ini berawal dari keterbatasan pemahaman para pembuat UU BANKUM terkait konsep Pro Bono Publico dan Legal Aid.

Secara sederhana legal aid (Bantuan Hukum) dan Pro Bono Publico (Bantuan Hukum Cuma-Cuma) merupakan dua hal yang berbeda. Bantuan Hukum (legal aid) merupakan kebijakan pemerintah untuk memberikan bantuan hukum kepada warga negaranya yang tidak mampu melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum.

Konsep Legal Aid merujuk pada pengertian “State Subsidized”, yakni pelayanan hukum yang dibiayai atau disubsidi oleh negara. Ide bantuan hukum yang dibiayai negara (Publicly Funded Legal Aid) pertama kali diimplementasikan di Inggris dan Amerika Serikat. Konsep ini lahir sebagai sebuah konsekuensi dari perkembangan konsep negara kesejahteraan (Welfare State) dimana pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.

Pada sisi yang lain, konsep Pro Bono Publico mengakar kepada nilai luhur pribadi advokat yang peduli dan ingin membantu proses hukum mereka yang membutuhkan. Pro Bono merupakan kewajiban yang melekat pada setiap individu advokat berkaitan dengan kekhasan profesinya yang disebut sebagai profesi terhormat (officium nobile). Kata “officium nobile” mengandung arti yang serupa dengan ungkapan “noblesse oblige”, yaitu kewajiban perilaku yang terhormat (honorable), murah-hati (generous), dan bertanggung jawab (responsible).

Dalam dunia hukum, Pro Bono Publico menjadi salah satu strategi untuk membela kepentingan umum, selain  Legal Aid. Bantuan hukum dalam konsep Pro Bono Publico meliputi 4 (empat) elemen, yaitu: 1). Meliputi seluruh kerja-kerja di wilayah hukum; 2). Sukarela; 3). Cuma-Cuma; dan 4). Untuk Masyarakat yang kurang terwakili dan rentan.

Keempat unsur ini merupakan sebuah Konsekuensi Ethic dari profesi advokat sebagai profesi terhormat/mulia (Officium Nobile). Kewajiban etik dari mereka yang berprofesi mulia ini diatur melalui UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dan teknisnya dijabarkan dalam PP No. 83 Tahun 2008, tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Untuk implementasi, organisasi advokat idealnya harus membuat peraturan organisasi tentang petunjuk pelaksanaan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma, serta harus membentuk unit kerja dari organisasi advokat yang akan meaksanakannya. hal ini akan menjadi sistem pemberian bantuan hukum yang dibangun oleh organisasi advokat sebagai bagian dari gerakan Pro Bbono Publico.

Pada akhirnya, terlepas dari segala kekurangan dari UU BANKUM, inilah produk hukum yang di miliki dan harus dilaksanakan oleh Indonesia dalam rangka memenuhi, melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (Access to Justice) dan kesamaan di hadapan hukum (Equality Before The Law).




Kupang, 29 Juli 2015
Tulisan ini pernah dipublikasikan  dalam, http://www.zonalinenews.com/2015/08/bantuan-hukum/, pada tanggal 24 Agustus 2015

TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...