BANTUAN
HUKUM
Oleh: Paul SinlaEloE - Aktivis PIAR NTT
Meskipun Bantuan Hukum
tidak secara tegas dinyatakan sebagai tanggung jawab Negara, namun harus
diingat bahwa salah satu tujuan bernegara yang merupakan "kontrak politik" antara
rakyat dengan negara yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah “Melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Poin penting dari
tujuan bernegara ini adalah seluruh komponen masyarakat di Indonesia harus dilindungi,
termasuk didalamnya dilindungi dari aspek hukum.
Perlindungan hukum bagi seluruh
komponen masyarakat di Indonesia ini dipertegas dengan amant Pasal
1 ayat (3) UUD 1945, bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum". Dalam konteks negara hukum, pengakuan, penghormatan
dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia bagi setiap individu termasuk hak
atas Bantuan Hukum, wajib dilakukan oleh negara. Penyelenggaraan pemberian
Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus
sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin
hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (Access to
Justice) dan kesamaan di hadapan hukum (Equality Before The Law).
Di Indonesia pelaksanaan bantuan hukum publik Pro
Bono (Cuma-Cuma) belum berjalan secara maksimal. Hal ini ditandai oleh
adanya disparitas kedudukan antara advokat dan lembaga-lembaga bantuan hukum
perguruan tinggi maupun lembaga swadaya masyarakat yang menjadikan proses bantuan hukum
terhenti secara administratif.
Dengan hadirnya UU No. 16 Tahun 2011, tentang Bantuan
Hukum (UU BANKUM), yang diundangkan pada 2 November 2011 dalam LN-RI Tahun 2011
Nomor 104, Tambahan LN-RI Nomor 5246, beragam harapan mulai muncul demi
terbangunnya sebuah sistem bantuan hukum yang dapat diakses oleh semua kelompok
masyarakat baik itu perempuan, anak maupun laki-laki, terutama mereka yang termarginalkan
serta dari kalangan tidak mampu (Miskin).
Bantuan hukum dalam UU BANKUM dimaknai sebagai jasa
hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada
penerima bantuan hukum. Bantuan hukum diberikan oleh lembaga bantuan hukum
atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum, yang
meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum dari penerima bantuan hukum. Dalam
pelaksanaannya, pemberi bantuan hukum diberikan hak melakukan rekrutmen
terhadap Advokat, Paralegal, Dosen, dan Mahasiswa Fakultas Hukum.
Pada sisi yang lain, hadirnya UU BANKUM ini masih
menyimpan sejumlah cacat bawaan yang dapat menghambat proses implementasinya.
Secara kontekstual celah kelemahan yang nampak, antara lain: Pertama, problematika
ruang lingkup bantuan hukum meliputi: Kasus Perdata, Pidana, dan Tata Usaha
Negara, baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi. Bantuan hukum hanya
diberikan kepada klien dengan latar belakang miskin (aspek ekonomi). Seharusnya
kasus di Mahkamah Konstitusi juga masuk dalam ruang lingkup bantuan hukum.
Kriteria penerima bantuan hukum sangat sempit dan hanya dilihat dari aspek
ekonomi. Padahal bantuan hukum seharunya juga dapat diberikan kepada kelompok
rentan seperti anak, perempuan, penyandang disabilitas, kelompok marginal dan masyarakat
adat.
Bantuan hukum juga tidak mengcover kasus-kasus yang
berdimensi struktural, kecuali kasus struktural tersebut dialami oleh
masyarakat miskin. Padahal kasus struktural tidak selalu dialami oleh
masyarakat miskin. Dalam penanganan kasus, apakah lembaga bantuan hukum dapat
dieksepsi jika menangani kasus yang bukan “orang miskin”?
Kedua, Kewenangan Menteri
Hukum dan HAM di dalam penyelenggaraan bantuan hukum sangat besar yang meliputi
menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan bantuan hukum, menyusun dan
menetapkan standar Bantuan Hukum, menyusun dan mengelola anggaran, melaporkan
penyelenggaraan bantuan hukum kepada DPR serta melakukan verifikasi dan
akreditasi. Kewenangan tersebut akan melahirkan Abuse Of Power karena
antara pengambil kebijakan, pelaksanaan dan pemberian anggaran berada di satu
tangan.
Kewenangan menyusun dan menetapkan kebijakan
penyelenggaraan bantuan hukum beserta anggarannya dapat menyebabkan intervensi
dan ketidakindependensian dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum. Selain
itu, terdapat peluang terjadinya Conflict Of Interest apabila
perkara-perkara yang ditangani oleh lembaga bantuan hukum berhadapan secara
langsung dengan pemerintah yang memiliki kewenangan akreditasi/verifikasi dan
memberikan dana kepada lembaga tersebut. Lembaga yang mengkritisi kebijakan
Pemerintah dapat dipersulit untuk mendapatkan akreditasi/verifikasi dan akses
dana bantuan hukum. Mengingat uang yang dikelola dari APBN/APBD dalam pemberian
bantuan hukum cukup besar akan membuka peluang lahan korupsi baru apabila
pengawasan publik tidak berjalan.
Persoalan lain terkait dengan implementasi UU BANKUM
adalah apakah advokat yang berada pada 300-an lebih Organisasi
Bantuan Hukum (OBH) yang telah diakreditasi dan diverifikasi sebelumnya oleh
Kementerian Hukum dan HAM cq BPHN boleh mendapatkan imbalan dari Negara terkait
dengan layanan bantuan hukum yang di berikan? Pengaturan tentang
persoalan inipun masih terdapat kerancuan dan belum ada kepastian hukumnya.
Kerancuan dan persoalan ini berawal dari keterbatasan pemahaman para pembuat UU
BANKUM terkait konsep Pro Bono Publico dan Legal Aid.
Secara sederhana legal
aid (Bantuan Hukum) dan Pro Bono Publico (Bantuan Hukum Cuma-Cuma) merupakan dua hal yang berbeda.
Bantuan Hukum (legal aid) merupakan
kebijakan pemerintah untuk memberikan bantuan hukum kepada warga negaranya yang
tidak mampu melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan
yang memberi layanan bantuan hukum.
Konsep Legal Aid merujuk pada pengertian
“State Subsidized”, yakni pelayanan hukum yang dibiayai atau disubsidi
oleh negara. Ide bantuan hukum yang dibiayai negara (Publicly Funded Legal
Aid) pertama kali diimplementasikan di Inggris dan Amerika Serikat. Konsep
ini lahir sebagai sebuah konsekuensi dari perkembangan konsep negara
kesejahteraan (Welfare State) dimana pemerintah mempunyai kewajiban
untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Pada sisi yang lain, konsep Pro Bono Publico mengakar
kepada nilai luhur pribadi advokat yang peduli dan ingin membantu proses hukum
mereka yang membutuhkan. Pro Bono merupakan kewajiban yang melekat pada setiap
individu advokat berkaitan dengan kekhasan profesinya yang disebut sebagai
profesi terhormat (officium nobile). Kata
“officium nobile” mengandung arti yang serupa dengan ungkapan “noblesse
oblige”, yaitu kewajiban perilaku yang terhormat (honorable), murah-hati (generous),
dan bertanggung jawab (responsible).
Dalam dunia hukum, Pro Bono Publico menjadi
salah satu strategi untuk membela kepentingan umum, selain Legal
Aid. Bantuan hukum dalam konsep Pro Bono Publico meliputi 4
(empat) elemen, yaitu: 1). Meliputi seluruh kerja-kerja di
wilayah hukum; 2). Sukarela; 3). Cuma-Cuma;
dan 4). Untuk Masyarakat yang kurang terwakili dan rentan.
Keempat unsur ini merupakan sebuah Konsekuensi
Ethic dari profesi advokat sebagai profesi terhormat/mulia (Officium
Nobile). Kewajiban etik dari mereka yang berprofesi mulia ini diatur
melalui UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dan teknisnya dijabarkan dalam PP No. 83 Tahun 2008, tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Untuk implementasi, organisasi advokat idealnya harus membuat peraturan organisasi tentang petunjuk pelaksanaan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma, serta harus membentuk unit kerja dari organisasi advokat yang akan meaksanakannya. hal ini akan menjadi sistem pemberian bantuan hukum
yang dibangun oleh organisasi advokat sebagai bagian dari gerakan Pro Bbono
Publico.
Pada akhirnya, terlepas dari segala kekurangan dari UU
BANKUM, inilah produk hukum yang di miliki dan harus dilaksanakan oleh
Indonesia dalam rangka memenuhi, melindungi serta menjamin hak asasi warga
negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (Access to Justice) dan
kesamaan di hadapan hukum (Equality Before The Law).
Kupang, 29 Juli 2015
Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam, http://www.zonalinenews.com/2015/08/bantuan-hukum/, pada tanggal 24 Agustus 2015