Selasa, 19 Januari 2016

Perang Melawan Trafficking

PERANG MELAWAN TRAFFICKING
Oleh. Paul SinlaEloE




Perdagangan orang
adalah bentuk modern dari perbudakan manusia dan merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia (Penjelasan Umum UU No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang). Fenomena ini oleh banyak pihak dianggap lebih banyak terjadi di luar negeri, padahal banyak juga terjadi di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Di NTT, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) begitu subur dan menjamur. Media massa lokal setiap harinya selalu menyuguhkan berbagai kasus (dugaan) TPPO yang terjadi hampir di semua wilayah Kab/Kota di NTT. Keseluruhan kasus TPPO yang dipublikasi ini, menggambarkan betapa gampangnya anak NTT yang miskin, tidak bisa baca tulis, diperdagangkan di depan mata dari mereka yang oleh konstitusi diberi tanggungjawab untuk mensejahterakan rakyat. Bahkan, TPPO di NTT sering terjadi di pelupuk mata dari para petinggi agama yang selalu berpikir tentang surga, padahal belum tentu mereka lolos dari ujian duniawi.

Data pendampingan/advokasi yang dilakukan oleh Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR NTT) dalam 3 tahun terakhir menunjukan bahwa pada tahun 2013, PIAR NTT beserta jaringannya melakukan advokasi terhadap 4 kasus TPPO dengan jumlah korban sebanyak 278 orang dengan perincian 62 laki-laki dan 216 perempuan. Dari 278 korban TPPO ini, 73 orang diantaranya berusia anak dan berjenis kelamin perempuan.

Di tahun 2014, PIAR NTT melakukan advokasi 6 kasus TPPO dengan korban laki-laki sebanyak 27 orang dan perempuan yang menjadi korban berjumlah 96 orang. Dari 123 korban TPPO yang didampingi oleh PIAR NTT pada tahun 2014 ini, terdapat 36 orang korban yang berusia anak dengan perincian korban laki-laki berusia anak sebanyak 6 orang dan korban perempuan yang berusia anak berjumlah 30 orang. Pada tahun 2015 ada 3 kasus TPPO yang diadvokasi oleh PIAR NTT dengan jumlah korbansebanyak 21 orang dan kesemuanya adalah perempuan dan 5 orang dintaranya berusia anak.

Merajalelanya kasus TPPO di NTT, dipertegas dengan data Polda NTT yang mana di tahun 2015, telah menangani 27 kasus trafficking, dengan jumlah tersangka 31 orang dan jumlah korban 238 orang. Dari total 27 kasus TPPO yang ditangani Polda NTT, 9 kasus diantanya telah lengkap penyidikannya (P-21), sedangkan 4 kasus lainnya masih dilengkapi petunjuk jaksa (P-19), 11 kasus dalam tahap penyidikan, dan 3 kasus dalam penyelidikan.

Menurut Sarah Lery Mboeik (2012), maraknya kasus TPPO di NTT di sebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya: Pembangunan yang memiskinkan, hak rakyat atas pekerjaan yang terabaikan, politik gender yang timpang, rakyat pekerja yang tidak berdaulat atas pangan, masyarakat sipil yang belum fokus pada rakyat pekerja, lemahnya proses penegakan hukum, pelayanan publik yang korup dan sistem ketenagakerjaan yang korup.

Bertolak dari realita TPPO di NTT yang demikian, maka tidaklah mengherankan apabila dalam kunjungan kerjanya ke NTT pada Desember 2015, Presiden Jokowi memberikan pesan khusus kepada Kapolda NTT, Brigjen Pol. Endang Sunjaya untuk memberantas kasus TPPO di NTT. Pesan khusus itu disampaikan langsung Presiden kepada Kapolda NTT di Bandara El Tari Kupang, pada Senin 28 Desember 2015.

Secara substansi, pesan dari Presiden Jokowi pada intinya mengajak seluruh komponen serta instansi terkait maupun rakyat NTT untuk melakukan perang terhadap trafficking dan Kapolda NTT diharapkan untuk menjadi panglimanya. Karenanya, Kapolda NTT, Brigjen Pol. Drs. Eustachius Widyo Sunaryo yang pada tanggal 11 Januari 2016 telah dilantik untuk menggantikan Brigjen Pol. Endang Sunjaya, harus menindaklanjuti pesan dari Presiden Jokowi tersebut.

Dalam melakukan perang terhadap TPPO, pembenahan internal (manajamen, SDM dan pendekatan dalam penanganan kasus) pada institusi Kepolisian di NTT, merupakan sesuatu yang tidak boleh diabaikan. Hal ini menjadi penting karena belajar dari pengalaman, pihak Polda NTT dalam DIPAnya Ditreskrimum Polda NTT tahun anggaran 2015, hanya menargetkan penanganan 2 kasus TPPO. Padahal, faktanya jumlah kasus TPPO yang ditangani oleh Pihak Polda NTT dalam setahun lebih dari 20an kasus.

Selain pembenahan internal untuk penegakan hukum kasus TPPO, Kapolda NTT juga diharapkan bisa menjadi panglima dalam perang terhadap TPPO dengan melakukan gerakan pencegahan. Gerakan pencegahan ini tidak dapat terlepas dari kebijakan penanggulangan pidana, yang secara keseluruhan merupakan bagian dari penegakan hukum (law enforcement) dan sekaligus memberikan perlindungan pada masyarakat (social defence).

Membahas konsep pencegahan TPPO, harus difokuskan pada upaya pencegahannya dan tidak boleh terjebak pada aspek penjahat dan atau kejahatannya. Konsep pencegahan TPPO yang di desain, tidak dapat terlepas dari kebijakan kriminal (criminal policy), yakni kebijakan pencegahan dan penanggulangan kejahatan yang pada implementasinya menggunakan sarana hukum pidana.

Menurut Barda Nawawi (2010:77-79), konsep pencegahan dan penanggulangan TPPO yang dirancang dan ditetapkan, harus dilaksanakan secara sistematis dan integral dengan mengutamakan keseimbangan antara upaya perlindungan masyarakat (social defence) serta upaya kesejahteraan masyarakat (social welfare).

Pendekatan integral untuk pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan mekanisme penal dan nonpenal, dapat dilakukan secara fungsional dan operasionalisasinya melalui beberapa tahap: Pertama, tahap formulasi (kebijakan legislatif); Kedua, tahap aplikasi (yudikatif/yudisial); Ketiga, tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administrasi).

Dengan pendekatan integral, upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas aparat penegak hukum, tetapi juga merupakan tugas dari pihak eksekutif dan para pembuat hukum (legislatif). Dalam pendekatan integral, kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari penal policy. Karena, kesalahan/kelemahan dalam kebijakan legislatif, dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.

Akhirnya, apabila hukum pidana hendak digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan pada umumnya dan khususnya TPPO, maka penggunanya tidak terlepas dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau "planning for social defence". Social defence planning ini pun harus merupakan bagian yang integral dari rencana pembangunan nasional/daerah. LAWAN MAFIA PERDAGANGAN ORANG...!!! (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum Victory News, tanggal 19 Januari 2016).

-------------------------------
Penulis: Aktivis PIAR NTT
TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...