Selasa, 22 Maret 2011

Rakyat Disiksa di Tanah Merdeka


RAKYAT DISIKSA DI TANAH MERDEKA
Oleh. Paul SinlaEloE



Kekerasan demi kekerasan terus bergulir di negeri, yang katanya, sudah merdeka ini. Ironis memang…!!! Negara yang seharusnya memberikan ketenangan dan kedamaian bagi rakyatnya, justru melakukan penyiksaan terhadap rakyatnya sampai menemui ajal. Inilah tindakan kejam dan tidak manusiawi yang diduga dipraktekkan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) Batalyon Infantri (Yonif) 744/Satya Yudha Bhakti (SYB) di Tobir, Kec. Tasifeto Timur, Kab. Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).


Tragisnya, peristiwa ini terjadi tepat sebulan setelah Presiden RI, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang juga mantan DANYON 744/SYB tahun 1986-1988, berkunjung ke NTT dan bernostalgia ke Markas TNI Yonif 744/SYB. Dalam kunjungan nostalgia yang dilakukan melalui perjalanan darat Kupang-Atambua, Presiden SBY rela mengantar sendiri sumbangan dari rakyat kepada para prajurit TNI Yonif 744/SYB berupa ambulans, mini bus, seperangkat peralatan band, peralatan bengkel, genset dan dua ratus dus minyak goreng. Presiden SBY juga membantu pembangunan gedung serba guna seluas 750 meter persegi. Keseluruhan bantuan yang diserahkan oleh Presiden SBY ini, merupakan hasil jerih payah dan tetesan keringat darah dari rakyat. Oleh karena itu, diakhir kunjungan nostalgianya Presiden SBY menitipkan dua pesan sekaligus kepada para prajurit TNI Yonif 744/SYB, yakni prajurit harus terus dekat dengan rakyat dan prajurit juga harus menghormati hukum dan etika.


Kejadian yang memilukan sekaligus memalukan ini, bermula ketika pada tanggal 5 Maret 2011, ada enam orang pemuda yang diduga dalam keadaan mabuk meminta uang dan mengancam seseorang yang diduga merupakan anggota TNI dari Yonif 744/SYB yang bermarkas di Tobir. Sore harinya beberapa orang yang diduga merupakan anggota TNI Yonif 744/SYB mencari para pemuda tersebut, tetapi tidak menemukannya.


Pada 8 Maret 2011, dua orang yang diduga merupakan anggota TNI Yonif 744/SYB mendatangi orang tua dari Charles Mali dan Heri Mali, yakni Raimundus Mali dan Modesta Dau. Kemudian kedua orang tua ini dibawa ke pos TNI Yonif 744/SYB, di Tobir. Selanjutnya, keduanya diharuskan melakukan wajib lapor ke pos TNI Yonif 744/SYB di Tobir sampai kedua anaknya ditemukan. Pada malam hari 12 Maret 2011, Delvin Mali (kakak dari Charles Mali dan Heri Mali) berhasil menemukan kedua adiknya ini.


Keesokan harinya, Delvin Mali bersama Modesta Dau, menyerahkan kedua anggota keluarga mereka ke Yonif 744/SYB di Tobir dan mendapat jaminan bahwa Charles Mali dan Heri Mali tidak akan disiksa. Ternyata keduanya disiksa bergiliran oleh sejumlah orang yang diduga merupakan anggota TNI Yonif 744. Selain itu, kedua kakak beradik ini diharuskan berkelahi satu sama lain. Akibatnya, kedua kakak beradik itu pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Namun dalam perjalanan ke rumah sakit, Charles Mali menghembuskan nafas terakhirnya sedangkan Heri Mali muntah-muntah dan kencing darah.


Pada hari Selasa tanggal 15 Maret 2011, Modesta Dau yang adalah ibu dari Charles Mali dan Heri Mali, meninggal dunia setelah beberapa kali berusaha melakukan bunuh diri, karena tekanan bathin dan merasa bersalah turut menyebabkan kematian anaknya dengan menyerahkan mereka pada Yonif 744/SYB.


Peristiwa ini menunjukan bahwa para anggota TNI Yonif 744/SYB yang diduga melakukan penyiksaan terhadap warga sipil hingga meninggal ini, tidak menghiraukan amanat dari Presiden SBY yang juga adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sekaligus telah mengangkangi tugas dan fungsi anggota TNI sebagaimana amanat UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang dalam pembukaanya menyebutkan bahwa keberadaan anggota TNI adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.


Istilah penyiksaan dalam khasanah bahasa di Indonesia, seringkali dipahami secara rancu oleh berbagai pihak terutama dalam menjelaskan pengertian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang bernama Torture. Dalam berbagai diskursus, torture ini secara definitive-kualitatif di artikan dengan pengertian antara siksa (penyiksaan) dan aniaya (penganiyaan).


Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia (Cornel University, 1975), kata torture, diartikan dengan siksaan, penyiksaan, penderitaan. Pada kamus yang sama, kata siksa diartikan dengan torture; menyiksa/menyiksai diartikan dengan torture; tersiksa diartikan dengan tortured, mistreatment; dan penyiksaan diartikan dengan torturing, mistreating. Sedangkan kata aniaya diartikan sebagai ill treatment, tyranny, opperassion, injustice; menganiaya diartikan dengan maltreat, torture, tyrannize, persecute; teraniaya diartikan dengan molested, mistreated; dan penganiayaan diartikan dengan mistreatment, cruel treatment, opperassion, tyrannical treatment.


Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), kata aniaya diartikan sebagai perbuatan bengis seperti penyiksaan, penindasan; penganiayaan diartikan dengan perlakuan yang seweng-wenang; menganiaya diartikan dengan memperlakukan dengan sewenang-wenang; dan teraniaya diartikan dengan tersiksa atau tertindas. Sedangkan kata siksa diartikan sebagai penderitaan (kesengsaraan, dsb) sebagai hukuman, hukuman dengan cara disengsarakan (disakiti); menyiksa adalah menghukum dengan menyengsarakan (menyakiti, menganiaya, dsb), berbuat dengan menyengsarakan, berbuat bengis kepada yang lain dengan menyakiti, dan penyiksaan adalah proses, cara, perbuatan menyiksa, penganiyaan.


Sejalan dengan pemahaman kebahasaan, maka dapat ditarik suatu titik simpul bahwa pengertian kata siksa dan aniaya tidak jauh berbeda dan terkesan hanya saling menggantikan penyebutannya saja yang intinya adalah sebuah tindakan yang tidak diharapkan oleh korban karena menyebabkan penderitaan fisik dan mental. Perbedaannya adalah penyiksaan lebih menyentuh dimensi penghukuman atau bagian (konsekwensi) dari hukuman dimana penyiksaan menjadi metode pelaksanaan hukuman. Sedangkan, aniaya didefinisikan sebagai sebuah tindakan kejam semata-mata dan tidak terikat dengan konteks penghukuman.


Dalam diskursus HAM, Haris Azar (2002) berpendapat bahwa pendefinisian torture tidak boleh semata-mata hanya melihat pada fakta peristiwa, tetapi juga harus melihat unsur-unsur yang terlibat dalam tindakan tersebut, seperti: tindakan, pelaku, korban, konteks (Ruang dan Waktu), dimana penyiksaan sebagai sebuah tindakan tidak manusiawi terjadi dalam kurun waktu yang lama, terjadi pada landscape yang luas serta mendapat justifikasi “hukum” atau alasan-alasan “Pembenaran yang Rasional”.


Menurut Hariz Azhar (2002), faktor dominasi dan kekuasaan yang ada dan melekat dalam relasi antara pelaku dan korban, seperti hubungan antara Negara (polisi/Tentara) yang mempunyai hak-hak eksekutif dengan warganya, antara tawanan dengan pihak pemenang perang/konflik, antara suami (kepala rumah tangga) dengan orang dalam lingkup rumah tangga, telah menyebabkan adanya kesadaran untuk menggunakan dan atau melakukan penyiksaan sebagai upaya penundukan dan meraih ketaatan.


Berpijak pada argumen diatas, maka tindakan penyiksaan yang diduga dilakukan oleh anggota TNI Yonif 744/SYB terhadap rakyatnya sampai menemui ajal, merupakan sebuah wujud tindakan hewani karena menyampingkan harkat kemanusiaan. Penyiksaan juga merupakan kejahatan yang terkualifikasi dalam Azas Non Derogable Rights, yaitu sebuah kejahatan yang seharusnya tidak dilakukan kepada siapapun, oleh siapapun, dalam keadaan apapun, pada zaman apapun (meskipun konflik/peperangan). Hal ini secara normative dijamin dalam UUD 1945, Konvensi Anti Penyiksaan 1984, maupun dalam Hukum Humaniter (Konvensi Genewa 1949).


Pada akhirnya, pertanyaan pernyataan untuk menggugat sekaligus menggugah semangat kerakyatan adalah apakah Presiden SBY yang juga adalah panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia berani menindak para prajurit TNI Yonif 744/SYB yang diduga melakukan penyiksaan terhadap rakyat di tanah airnya yang merdeka…???


-----------------------------------------------
Keterangan:
  1. Penulis adalah Aktifis PIAR NTT, juga Anggota Badan Pengurus KontraS Nusa Tenggara Periode 2010-2013.
  2. Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Pagi TIMOR EXPRESS, tanggal 22 Maret 2011.
TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...