Jumat, 01 Juli 2016

Korporasi dan Tindak Pidana Perdagangan Orang

KORPORASI DAN TPPO
Oleh. Paul SinlaEloE


Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. TPPO dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, karena TPPO sangat merendahkan martabat kemanusiaan dan sudah sangat meluas serta bersifat sistemik. Selain itu, TPPO juga telah membahayakan tatanan kehidupan dan mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara (Bandingkan dengan Pasal 9 DUHAM dan substansi Pasal 7 Statuta Roma).

Sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, sudah seharusnya penegakan hukum terhadap kejahatan TPPO, difokuskan untuk mewujudkan keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum. Ironinya, di Indonesia dan khusunya di Nusa Tenggara Timur, belum satupun korporasi yang dituntut oleh aparat penegak hukum dan diberi sanksi berdasarkan putusan pengadilan, sebagai wujud pertanggungjawaban pidana atas kejahatan TPPO yang dilakukannya. Padahal UU No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang/UUPTPPO, telah disahkan pada tanggal Tanggal 19 April 2007 dan diundangkan dalam LN RI Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan LN RI Nomor 4720.

Bertolak dari kerangka berpikir yang demikian, maka dalam tulisan ini akan dibahas tentang pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku TPPO. Hal ini menjadi penting karena kejahatan TPPO yang dilakukan oleh korporasi adalah bukan hal yang langka, namun sangat jarang suatu korporasi dimintai pertanggungjawaban pidana.

Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana
Secara etimologis, korporasi atau corporatie (Belanda), corporation (Inggris), merupakan kata benda yang bermetamorfosa dari kata kerja dalam bahasa Latin, yakni: “corporare” yang dalam bahasa Indonesia dipahami sebagai badan (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2012:23). Dengan demikian, Dwidja Priyatno (2014:13) menyimpulkan bahwa korporasi atau corporatie (Belanda) atau corporation (Inggris) dapat dimaknai sebagai hasil dari pekerjaan membadankan atau dengan lain perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.

Berdasarkan uraian diatas, Satjipto Rahardjo (2000:69) menyimpulkan dan berpendapat bahwa korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya, kematiannyapun juga ditentukan oleh hukum.

Kesimpulan dan pendapat dari Satjipto Rahardjo terkait korporasi merupakan terminilogi hukum perdata karena memaknai korporasi hanya sebagai suatu badan hukum. Pada konteks hukum pidana Indonesia, korporasi dipahami tidak saja sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi dan berbadan hukum, tetapi dipahami juga sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi dan bukan badan hukum.

Dalam UUPTPPO, korporasi didefinisikan sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 6 UUPTPPO). Korporasi dalam Pasal 1 angka 4 UUPTPPO, dikategorikan sebagai pelaku dari suatu TPPO, selain orang perseorangan yang dapat dimaknai sebagai setiap individu/perorangan yang secara bersama-sama dan atau sendiri-sendiri yang secara langsung maupun tidak langsung bertindak melakukan TPPO.

Dengan pengklasteran yang demikian, maka pelaku (subjek hukum) dalam konteks TPPO mengalami perluasan makna, jika dibandingkan dengan pemaknaan pelaku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana). Karena dalam KUHPidana, pelaku sebagai suatu subjek hukum dibagi dalam 2 (dua) kategori, yakni Orang Perseorangan (natuurlijkepersoon) dan Badan Hukum (rechtpersoon). Sedangkan dalam UUPTPPO, korporasi (badan hukum maupun bukan badan hukum) juga dikategorikan sebagai subjek hukum.

Subjek hukum lainnya yang dikategorikan sebagai pelaku TPPO dalam UUPTPPO adalah: Pertama, Kelompok Terorganisasi, yaitu kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih TPPO dengan tujuan memperoleh keuntungan materiil atau finansial baik langsung maupun tidak langsung (Penjelasan Pasal 16 UUPTPPO).

Kedua, Penyelenggara Negara yang dalam UUPTPPO dipahami sebagai pejabat pemerintah, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat keamanan, penegak hukum atau pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaannya (menjalankan kekuasaan yang ada padanya secara tidak sesuai tujuan pemberian kekuasaan tersebut atau menjalankannya secara tidak sesuai ketentuan peraturan) untuk melakukan atau mempermudah TPPO (Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO).

Tanggung Jawab Pidana Korporasi
Walaupun dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, termasuk UUPTPPO, korporasi sudah diakui sebagai subjek hukum, namun ada banyak pakar hukum dan praktisi hukum yang belum dapat menerima, jika suatu korporasi dianggap melakukan tindak pidana (termasuk TPPO) dan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang telah dilakukannya.

Mereka berargumen bahwa: Pertama, dalam adagium universitas delinguere non potest diajarkan bahwa badan hukum/perkumpulan tidak dapat melakukan tindak pidana karenanya tidak dapat dipidana dengan alasan: (1). Badan hukum tidak mempunyai mens rea (keinginan untuk berbuat jahat) sebagaimana orang pribadi. (2). Badan hukum bukan orang pribadi, meskipun badan hukum dapat melakukan berbagai perbuatan hukum yang biasa dilakukan orang pribadi. (3). Badan hukum tidak memiliki kesadaran dan tidak punya badan yang aktual.

Kedua, dalam doktrin ultra vires (pelampauan kewenangan/outside of the power), yang muncul pada tahun 1875, diajarkan bahwa jika ada kejahatan yang dilakukan oleh direksi suatu badan hukum, hal tersebut sudah pasti merupakan perbuatan di luar anggaran dasar dari badan hukum yang bersangkutan, sehingga yang bertanggung jawab adalah direksinya secara pribadi, tetapi bukan badan hukum yang harus bertanggung jawab.

Keseluruhan argumen bahwa badan hukum dan/atau korporasi tidak dapat dipidana ini, merupakan “warisan” pemikiran Eropa Kontinental pada akhir tahun 1700an. Hal ini dapat dimaklumi karena KUHPidana Indonesia adalah warisan dari pemerintahan kolonial Belanda yang menganut sistem Eropa Kontinental (civil law). Negara-negara Eropa Kontinental agak tertinggal dalam hal mengatur korporasi sebagai subjek hukum pidana, jika dibandingkan dengan negara-negara common law, seperti Inggris, Amerika Serikat dan Canada.

Perkembangan pertanggungjawaban pidana korporasi sudah dimulai sejak revolusi industri, dimana pengadilan di Inggris mengawalinya pada tahun 1842 menjatuhi pidana denda kepada korporasi karena kegagalannya untuk memenuhi suatu kewajiban hukum.

Di negeri Belanda, ketika KUHPidana dirumuskan pada tahun 1886, para penyusunnya sangat berpegang teguh pada adigium universitas delinquere non potest. Hal ini merupakan reaksi terhadap praktek-praktek kekuasaan yang absolut sebelum Revolusi Perancis 1789, yang memungkinkan terjadinya collective responsibility terhadap kesalahan seseorang (Jan Remmelink, 2003:97).

Adagium universitas delinguere non potest dan doktrin ultra vires, sebenarnya sudah mulai ditinggalkan seiring dengan munculnya sejumlah teori yang dipergunakan sebagai dasar yang patut, agar korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, diantaranya teori pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (liability based on fault).

Teori pertanggungjawaban atas dasar kesalahan pada intinya menjelaskan bahwa setiap subjek hukum dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, bila terlebih dahulu dapat dibuktikan adanya suatu kesalahan (schuld) dalam hal ini adalah mens rea dan bukan hanya dipenuhinya seluruh unsur dari suatu tindak pidana (Chairul Huda, 2006:5). Dengan demikian, kesalahan atau schuld ditempatkan sebagai faktor penentu apakah subjek hukum dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana atas suatu perbuatan pidana.

Menurut Peter Gillies dalam Rufinus H. Hutauruk (2013:48-49), Kesalahan yang dilakukan oleh korporasi, dapat diidentifikasi melalui cara mengaitkan mens rea para individu yang mewakili korporasi selaku directing mind atau alter ego. Itu berarti, apabila individu diberi wewenang untuk bertindak atas nama korporasi dan selama menjalankan usaha korporasi, maka unsur mens rea yang ada dalam individu/pengurus dianggap merupakan mens rea dari korporasi, dan karenanya korporasi harus bertanggung jawab atas perbuatan dari individu/pengurus dimaksud. Pada konteks yang demikian, maka perbuatan pidana yang dilakukan oleh directing mind adalah bukan ultra vires melainkan perbuatan intra vires.

Teori pertanggungjawaban atas dasar kesalahan ini diperkuat oleh: Pertama, doktrin vicarious liability yang pada intinya mengajarkan bahwa bila seorang agen atau pekerja korporasi bertindak dalam lingkup pekerjaannya dengan maksud untuk menguntungkan korporasi dan terbukti dalam melakukan suatu kejahatan, maka tanggungjawab pidananya dapat dibebankan kepada korporasi (Abdul H. Semendawai, 2006:12). Dalam ilmu hukum pidana, doktrin vicarious liability sering diartikan sebagai “pertanggungjawaban pengganti.” Doktrin vicarious liability ini tidak mempersoalkan apakah korporasi secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak dan aktivitas tersebut dilarang oleh korporasi atau tidak.

Kedua, adigium res ispa loquitur. Dalam pemberlakuan teori pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, asas geen straf zonder schuld, yaitu tiada pidana tanpa kesalahan, tidak mutlak berlaku. Itu berarti, korporasi tidak selalu harus diminta pertanggungjawabannya dengan terlebih dahulu melihat adanya kesalahan (schuld), tetapi cukup mendasarkan pada adigium res ispa loquitur (fakta sudah bicara sendiri). Adigium res ispa loquitur ini sesuai dengan realita dalam masyarakat bahwa kerugian dan bahaya yang disebabkan oleh kejahatan korporasi, sangat besar baik kerugian yang bersifat fisik, ekonomi, maupun biaya sosial. Selain itu, yang menjadi korban bukan hanya orang perorangan, melainkan juga masyarakat dan negara.

Ketiga, doktrin corporate mens rea yang berpandangan bahwa mens rea dari suatu korporasi dapat ditemukan dalam politik perusahaan praktek dan kebijakan korporasi (Abdul H. Semendawai, 2006:15). Doktrin ini pada dasarnya melengkapi doktrin lainnya yang mengabaikan realitas tentang kompleksnya korporasi dan dinamika proses secara organisasioanal, struktur, tujuan, dan budaya korporasi yang dapat bersenyawa dan berkontribusi untuk suatu etos yang mengijinkan atau bahkan mendorong terjadinya suatu kejahatan. Poin penting dari dokrin ini adalah bukan pada individu dalam suatu korporasi, tetapi apakah korporasi dimaksud sudah memiliki sistem manajemen (struktur dan kebijakan/aturan) yang operasional dan mampu mengontrol setiap individu dalam korporasi sehingga tindak kejahatan tidak terjadi.

Teori, doktrin dan adigium diatas pada intinya menjelaskan bahwa korporasi adalah subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan (baik berupa kesengajaan maupun kelalaian) yang dilakukannya. Artinya, korporasi sebagai subjek hukum dapat diminta pertanggungjawaban pidana, jika melakukan TPPO. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 13 ayat (1) UUPTPPO bahwa TPPO dianggap dilakukan oleh korporasi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

Pada Pasal 13 ayat (2) UUPTPPO, ditegaskan juga bahwa dalam hal TPPO dilakukan oleh suatu korporasi, maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. Untuk proses penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan TPPO, maka panggilan terhadap korporasi untuk memberikan keterangan mutlak diperlukan. Karenanya, Pasal 14 UUPTPPO mengamanatkan bahwa pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus.

Untuk membuktikan apakah korporasi merupakan pelaku TPPO, maka terdapat sejumlah kriteria yang dapat dipergunakan dan telah diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-028/A/JA/10/2014, Tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi. Kriteria-kriteria tersbut adalah segala bentuk perbuatan atau tindakan yang didasarkan pada: Pertama, putusan pengurus korporasi; Kedua, untuk kepentingan korporasi; Ketiga, menggunakan sumber daya manusia, dana atau segala bentuk dukungan atau fasilitas dari korporasi;

Keempat, dilakukan oleh pihak ketiga atas permintaan/perintah korporasi dan/atau pengurusnya; Kelima, dalam rangka melaksanakan kegiatan usaha sehari-hari korporasi; Keenam, menguntungkan korporasi; Ketujuh, segala bentuk tindakan yang diterima/biasanya diterima oleh korporasi; Kedelapan, secara nyata menampung hasil tindak pidana; dan Kesembilan, perbuatan lain yang dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi menurut undang-undang.

Jika korporasi terbukti melakukan salah satu saja kriteria dari keseluruhan kriteria diatas, maka Pasal 15 ayat (1) UUTPPO mengharuskan pengurusnya dikenakan pidana penjara minumum 3 (tiga) tahun dan maksimum 15 (lima belas) tahun. Sedangkan pidana denda bagi pengurus minimum Rp.120.000.000,00 dan maksimum Rp.600.000.000,00. Pasal 15 ayat (1) UUPTPPO, juga menghukum korporasi dengan pidana denda minumum Rp.360.000.000,00 dan maksimum Rp.1.800.000.000,00.

Sanksi berupa pidana tambahan dapat juga diberikan pada korporasi maupun pengurusnya. Pasal 15 ayat (2) UUPTPPO mengamanatkan bahwa Pidana tambahan bagi korporasi berupa pencabutan izin usaha; perampasan kekayaan hasil tindak pidana dan pencabutan status badan hukum. Sedangkan untuk pengurus dapat dikenakan pidana tambahan berupa pemecatan; dan/atau pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama.

Mengacu pada Pasal 15 UUPTPPO, maka model pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kapasitas sebagai pelaku TPPO, adalah Pertama, jika pelakunya adalah pengurus korporasi, maka pengurus korporasi dan korporasi yang bertanggung jawab. Kedua, jika pelakunya adalah korporasi, maka pengurus korporasi dan korporasi yang bertanggung jawab. Ketiga, Khusus untuk korporasi yang bukan berbadan hukum, jika pelakunya adalah pengurus korporasi dan/atau korporasi, maka pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada pengurus korporasi dan korporasi dapat dikenakan pidana tambahan dan/atau tindakan tata tertib.

------------------------------------------------
KETERANGAN:
1.    Penulis adalah Aktivis PIAR NTT.
2.    Tulisan ini merupakan hasil editing (Pengoreksian dan Penyempurnaan) dari artikel berjudul: “Korporasi dan TPPO”, yang pernah dipublikasikan secara berseri dalam Harian Umum Victory News, pada tanggal 29 dan 30 Juni 2016.



TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...