KORPORASI DAN TPPO
Oleh. Paul
SinlaEloE
Tindak Pidana Perdagangan
Orang (TPPO) merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. TPPO
dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, karena TPPO sangat merendahkan martabat kemanusiaan dan
sudah sangat meluas serta bersifat sistemik. Selain itu, TPPO juga telah
membahayakan tatanan kehidupan dan mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa
dan bernegara (Bandingkan dengan Pasal 9 DUHAM dan substansi Pasal 7 Statuta Roma).
Sebagai
kejahatan terhadap kemanusiaan, sudah seharusnya penegakan hukum terhadap
kejahatan TPPO, difokuskan untuk mewujudkan keadilan hukum, kemanfaatan hukum,
dan kepastian hukum. Ironinya, di
Indonesia dan khusunya di Nusa Tenggara Timur, belum satupun korporasi yang
dituntut oleh aparat penegak hukum dan diberi sanksi berdasarkan putusan
pengadilan, sebagai wujud pertanggungjawaban pidana atas kejahatan TPPO yang
dilakukannya. Padahal UU No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang/UUPTPPO, telah disahkan pada tanggal Tanggal 19 April 2007
dan diundangkan dalam LN RI Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan LN RI Nomor 4720.
Bertolak dari kerangka
berpikir yang demikian, maka dalam tulisan ini akan dibahas tentang
pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku TPPO. Hal ini menjadi
penting karena kejahatan TPPO yang dilakukan oleh korporasi adalah bukan hal
yang langka, namun sangat jarang suatu korporasi dimintai pertanggungjawaban pidana.
Korporasi
Sebagai Subyek
Hukum Pidana
Secara etimologis, korporasi atau corporatie (Belanda), corporation (Inggris),
merupakan kata benda yang bermetamorfosa dari kata kerja dalam bahasa Latin,
yakni: “corporare” yang dalam
bahasa Indonesia dipahami sebagai badan (Muladi dan Dwidja Priyatno,
2012:23). Dengan demikian,
Dwidja Priyatno (2014:13) menyimpulkan bahwa korporasi atau corporatie (Belanda) atau corporation (Inggris)
dapat dimaknai sebagai hasil dari pekerjaan membadankan atau dengan lain
perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan
manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.
Berdasarkan uraian diatas, Satjipto Rahardjo (2000:69) menyimpulkan
dan berpendapat bahwa korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan
yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan
kedalamnya hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu
mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum maka
kecuali penciptaannya, kematiannyapun juga ditentukan oleh hukum.
Kesimpulan dan pendapat dari Satjipto Rahardjo
terkait korporasi merupakan terminilogi hukum perdata karena memaknai korporasi
hanya sebagai suatu badan hukum. Pada konteks hukum pidana Indonesia, korporasi
dipahami tidak saja sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi dan berbadan hukum,
tetapi dipahami juga sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi dan bukan badan hukum.
Dalam UUPTPPO, korporasi
didefinisikan sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 angka 6
UUPTPPO). Korporasi dalam Pasal 1 angka
4 UUPTPPO, dikategorikan sebagai pelaku dari suatu TPPO, selain orang
perseorangan yang dapat dimaknai sebagai setiap
individu/perorangan yang secara bersama-sama dan atau sendiri-sendiri yang
secara langsung maupun tidak langsung bertindak melakukan TPPO.
Dengan pengklasteran yang
demikian, maka pelaku (subjek hukum)
dalam konteks TPPO mengalami perluasan makna, jika dibandingkan dengan pemaknaan
pelaku dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHPidana). Karena dalam KUHPidana, pelaku sebagai suatu subjek hukum dibagi
dalam 2 (dua) kategori, yakni Orang
Perseorangan (natuurlijkepersoon) dan Badan Hukum (rechtpersoon). Sedangkan
dalam UUPTPPO, korporasi (badan hukum maupun bukan badan hukum) juga dikategorikan sebagai
subjek hukum.
Subjek hukum lainnya yang dikategorikan
sebagai pelaku TPPO dalam UUPTPPO adalah: Pertama, Kelompok Terorganisasi, yaitu kelompok
terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga)
orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertindak dengan
tujuan melakukan satu atau lebih TPPO dengan tujuan memperoleh keuntungan
materiil atau finansial baik langsung maupun tidak langsung (Penjelasan Pasal
16 UUPTPPO).
Kedua,
Penyelenggara Negara yang dalam UUPTPPO dipahami sebagai pejabat pemerintah, anggota
Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
aparat keamanan, penegak hukum atau pejabat publik yang menyalahgunakan
kekuasaannya (menjalankan kekuasaan yang
ada padanya secara tidak sesuai tujuan pemberian kekuasaan tersebut atau
menjalankannya secara tidak sesuai ketentuan peraturan) untuk melakukan
atau mempermudah TPPO (Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO).
Tanggung
Jawab Pidana Korporasi
Walaupun dalam berbagai
peraturan perundang-undangan di Indonesia, termasuk UUPTPPO, korporasi sudah
diakui sebagai subjek hukum, namun ada banyak pakar hukum dan praktisi hukum
yang belum dapat menerima, jika suatu korporasi dianggap melakukan tindak pidana
(termasuk TPPO) dan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana
yang telah dilakukannya.
Mereka berargumen bahwa: Pertama, dalam adagium universitas
delinguere non potest diajarkan bahwa badan hukum/perkumpulan tidak dapat
melakukan tindak pidana karenanya tidak dapat dipidana dengan alasan: (1). Badan hukum tidak mempunyai mens
rea (keinginan untuk berbuat jahat) sebagaimana orang pribadi. (2). Badan hukum bukan orang pribadi,
meskipun badan hukum dapat melakukan berbagai perbuatan hukum yang biasa
dilakukan orang pribadi. (3). Badan
hukum tidak memiliki kesadaran dan tidak punya badan yang aktual.
Kedua, dalam doktrin ultra
vires (pelampauan
kewenangan/outside of the power),
yang muncul pada tahun 1875, diajarkan bahwa jika ada kejahatan yang dilakukan
oleh direksi suatu badan hukum, hal tersebut sudah pasti merupakan perbuatan di
luar anggaran dasar dari badan hukum yang bersangkutan, sehingga yang
bertanggung jawab adalah direksinya secara pribadi, tetapi bukan badan hukum
yang harus bertanggung jawab.
Keseluruhan argumen bahwa
badan hukum dan/atau korporasi tidak dapat dipidana ini, merupakan “warisan”
pemikiran Eropa Kontinental pada akhir tahun 1700an. Hal ini dapat dimaklumi
karena KUHPidana Indonesia adalah warisan dari pemerintahan kolonial Belanda
yang menganut sistem Eropa Kontinental (civil law). Negara-negara Eropa
Kontinental agak tertinggal dalam hal mengatur korporasi sebagai subjek hukum
pidana, jika dibandingkan dengan negara-negara common law, seperti
Inggris, Amerika Serikat dan Canada.
Perkembangan
pertanggungjawaban pidana korporasi sudah dimulai sejak revolusi industri,
dimana pengadilan di Inggris mengawalinya pada tahun 1842 menjatuhi pidana
denda kepada korporasi karena kegagalannya untuk memenuhi suatu kewajiban
hukum.
Di negeri Belanda, ketika
KUHPidana dirumuskan pada tahun 1886, para penyusunnya sangat berpegang teguh
pada adigium universitas delinquere non potest. Hal ini merupakan reaksi
terhadap praktek-praktek kekuasaan yang absolut sebelum Revolusi Perancis 1789,
yang memungkinkan terjadinya collective responsibility terhadap
kesalahan seseorang (Jan
Remmelink, 2003:97).
Adagium universitas
delinguere non potest dan doktrin
ultra vires, sebenarnya sudah
mulai ditinggalkan seiring dengan munculnya sejumlah teori yang dipergunakan
sebagai dasar yang patut, agar korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban
pidana, diantaranya teori pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (liability
based on fault).
Teori
pertanggungjawaban atas dasar kesalahan pada intinya menjelaskan bahwa setiap
subjek hukum dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, bila terlebih dahulu
dapat dibuktikan adanya suatu kesalahan (schuld) dalam hal ini adalah mens
rea dan bukan hanya dipenuhinya seluruh unsur dari suatu tindak pidana
(Chairul Huda, 2006:5). Dengan demikian, kesalahan atau schuld
ditempatkan sebagai faktor penentu apakah subjek hukum dapat dikenakan pertanggungjawaban
pidana atas suatu perbuatan pidana.
Menurut
Peter Gillies dalam Rufinus H. Hutauruk (2013:48-49), Kesalahan yang dilakukan
oleh korporasi, dapat diidentifikasi melalui cara mengaitkan mens rea
para individu yang mewakili korporasi selaku directing mind atau alter
ego. Itu berarti, apabila individu diberi wewenang untuk bertindak atas
nama korporasi dan selama menjalankan usaha korporasi, maka unsur mens rea
yang ada dalam individu/pengurus dianggap merupakan mens rea dari
korporasi, dan karenanya korporasi harus bertanggung jawab atas perbuatan dari
individu/pengurus dimaksud. Pada konteks yang demikian, maka perbuatan pidana
yang dilakukan oleh directing mind
adalah bukan ultra vires melainkan
perbuatan intra vires.
Teori
pertanggungjawaban atas dasar kesalahan ini diperkuat oleh: Pertama, doktrin vicarious liability yang
pada intinya mengajarkan bahwa bila seorang agen atau pekerja korporasi
bertindak dalam lingkup pekerjaannya dengan maksud untuk menguntungkan
korporasi dan terbukti dalam melakukan
suatu kejahatan, maka tanggungjawab pidananya dapat dibebankan kepada korporasi (Abdul H. Semendawai, 2006:12). Dalam ilmu hukum pidana, doktrin vicarious
liability sering diartikan sebagai “pertanggungjawaban
pengganti.” Doktrin vicarious
liability ini tidak mempersoalkan apakah korporasi secara nyata memperoleh
keuntungan atau tidak dan aktivitas tersebut dilarang oleh korporasi atau
tidak.
Kedua, adigium res ispa loquitur. Dalam pemberlakuan teori pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, asas geen
straf zonder schuld, yaitu tiada pidana tanpa kesalahan, tidak mutlak berlaku. Itu berarti, korporasi tidak selalu harus
diminta pertanggungjawabannya dengan terlebih dahulu melihat adanya
kesalahan (schuld), tetapi
cukup mendasarkan pada adigium res ispa loquitur (fakta sudah bicara
sendiri). Adigium res ispa loquitur ini sesuai dengan realita dalam
masyarakat bahwa kerugian dan bahaya yang disebabkan oleh kejahatan korporasi,
sangat besar baik kerugian yang bersifat fisik, ekonomi, maupun biaya sosial.
Selain itu, yang menjadi korban bukan hanya orang perorangan, melainkan juga
masyarakat dan negara.
Ketiga, doktrin corporate mens rea yang berpandangan bahwa mens rea
dari suatu korporasi dapat ditemukan dalam politik
perusahaan praktek dan kebijakan
korporasi (Abdul H. Semendawai, 2006:15). Doktrin ini pada
dasarnya melengkapi doktrin lainnya yang mengabaikan realitas tentang
kompleksnya korporasi dan dinamika proses secara organisasioanal, struktur,
tujuan, dan budaya korporasi yang dapat bersenyawa dan berkontribusi untuk
suatu etos yang mengijinkan atau bahkan mendorong terjadinya suatu kejahatan.
Poin penting dari dokrin ini adalah bukan pada individu dalam suatu korporasi,
tetapi apakah korporasi dimaksud sudah memiliki sistem manajemen (struktur dan
kebijakan/aturan) yang operasional dan mampu mengontrol setiap individu dalam
korporasi sehingga tindak kejahatan tidak terjadi.
Teori,
doktrin dan adigium diatas pada intinya menjelaskan bahwa korporasi adalah
subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan (baik berupa kesengajaan maupun kelalaian) yang dilakukannya. Artinya,
korporasi sebagai subjek hukum dapat diminta pertanggungjawaban pidana, jika
melakukan TPPO. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 13 ayat (1) UUPTPPO bahwa
TPPO dianggap dilakukan oleh korporasi, apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi
atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri
maupun bersama-sama.
Pada Pasal 13 ayat (2)
UUPTPPO, ditegaskan juga bahwa dalam hal TPPO dilakukan oleh suatu korporasi,
maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dikenakan terhadap korporasi
dan/atau pengurusnya. Untuk proses penegakan hukum terhadap korporasi yang
melakukan TPPO, maka panggilan terhadap korporasi untuk memberikan keterangan
mutlak diperlukan. Karenanya, Pasal 14 UUPTPPO mengamanatkan bahwa pemanggilan
untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di
tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat
tinggal pengurus.
Untuk membuktikan apakah
korporasi merupakan pelaku TPPO, maka terdapat sejumlah kriteria yang dapat
dipergunakan dan telah diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Republik
Indonesia Nomor: PER-028/A/JA/10/2014, Tentang Pedoman Penanganan Perkara
Pidana dengan Subjek Hukum Korporasi. Kriteria-kriteria tersbut adalah segala bentuk
perbuatan atau tindakan yang didasarkan pada: Pertama, putusan pengurus korporasi; Kedua, untuk kepentingan korporasi; Ketiga, menggunakan sumber daya manusia, dana atau segala bentuk
dukungan atau fasilitas dari korporasi;
Keempat, dilakukan oleh
pihak ketiga atas permintaan/perintah korporasi dan/atau pengurusnya; Kelima, dalam rangka melaksanakan
kegiatan usaha sehari-hari korporasi; Keenam,
menguntungkan korporasi; Ketujuh,
segala bentuk tindakan yang diterima/biasanya diterima oleh korporasi; Kedelapan, secara nyata menampung hasil
tindak pidana; dan Kesembilan,
perbuatan lain yang dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada korporasi
menurut undang-undang.
Jika korporasi terbukti
melakukan salah satu saja kriteria dari keseluruhan kriteria diatas, maka
Pasal 15 ayat (1) UUTPPO mengharuskan pengurusnya dikenakan pidana penjara
minumum 3 (tiga) tahun dan maksimum
15 (lima belas) tahun. Sedangkan
pidana denda bagi pengurus minimum Rp.120.000.000,00 dan maksimum
Rp.600.000.000,00. Pasal 15 ayat (1) UUPTPPO, juga menghukum korporasi dengan
pidana denda minumum Rp.360.000.000,00 dan maksimum Rp.1.800.000.000,00.
Sanksi berupa pidana
tambahan dapat juga diberikan pada korporasi maupun pengurusnya. Pasal 15 ayat
(2) UUPTPPO mengamanatkan bahwa Pidana tambahan bagi korporasi berupa
pencabutan izin usaha; perampasan kekayaan hasil tindak pidana dan pencabutan
status badan hukum. Sedangkan untuk pengurus dapat dikenakan pidana tambahan
berupa pemecatan; dan/atau pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan
korporasi dalam bidang usaha yang sama.
Mengacu pada
Pasal 15 UUPTPPO, maka model
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kapasitas sebagai pelaku TPPO, adalah
Pertama, jika pelakunya
adalah pengurus korporasi, maka pengurus korporasi dan korporasi yang
bertanggung jawab. Kedua, jika
pelakunya adalah korporasi, maka pengurus korporasi dan korporasi yang
bertanggung jawab. Ketiga,
Khusus untuk korporasi yang bukan berbadan hukum, jika pelakunya adalah
pengurus korporasi dan/atau korporasi, maka pertanggungjawaban
pidananya dibebankan kepada pengurus korporasi dan korporasi dapat dikenakan
pidana tambahan dan/atau tindakan tata tertib.
------------------------------------------------
KETERANGAN:
1.
Penulis
adalah Aktivis PIAR NTT.
2.
Tulisan ini merupakan hasil editing (Pengoreksian dan
Penyempurnaan) dari artikel berjudul: “Korporasi dan TPPO”, yang pernah dipublikasikan secara berseri dalam Harian Umum Victory News,
pada tanggal 29 dan 30 Juni 2016.