Selasa, 03 Desember 2013

Pelayanan Pendidikan Berbasis Hak

PELAYANAN PENDIDIKAN BERBASIS HAK
Oleh. Paul SinlaEloE

Salah satu cita-cita dan kewajiban negara yang secara tegas diakui dalam konstitusi Indonesia (tiga tahun sebelum Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dikumandangkan) adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan menjadi hak bagi warga negara, dan negara cq pemerintah wajib mengusahakan serta menyelenggarakannya. Dalam perkembangannya, konstitusi juga mengakui bahwa hak atas pendidikan adalah hak asasi manusia (Pasal 28C Ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen) dan dalam memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) (Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 Hasil Amandemen). Hak setiap warga Negara atas pendidikan, juga ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

Dengan menitik beratkan pada hak anak, penegasakan tentang ha katas pendidikan juga diatur dalam Pasal 60 UU No. 39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, yang pada initinya menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan sesuai minat, bakat dan tingkat kecerdasan. Penegasan serupa juga tertuang dalam Pasal  53 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, terdapat penegasan bahwa Negara/pemerintah memiliki tanggung jawab memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.

Di Indonesia, walaupun hak atas pendidikan secara yuridis sudah diatur sejak awal kemerdekanaan, namun wacana Pendidikan Berbasis Hak menjadi trend di Indonesia sejak 2002 lalu, ketika Katarina Tomasevski mengangkat hal ini dalam makalahnya yang bertajuk Universalizing the Right to Education of Good Quality: A Rights-based Approach to Achieving Education for All dalam Workshop Regional UNESCO di Manila, Filipina. Dalam makalah ini Katarina Tomasevski mengartikan Pendidikan Berbasis Hak sebagai satu dasar pelaksanaan pendidikan yang berasaskan hak-hak asasi manusia untuk mendapatkan pendidikan.

Dalam pengantarnya, Tomasevski menyatakan bahwa pemenuhan hak atas pendidikan merupakan proses yang sedang berjalan, demikian juga dengan upaya penyatuan berbagai komitmen global untuk mencapai pendidikan untuk semua. Oleh karena itu, pelaksanaan Pendidikan Berbasis Hak merupakan langkah untuk mewujudkan pendidikan yang adil, kesamarataan pelayanan berdasarkan kebutuhan setiap peserta didik.

Untuk lebih mengukuhkan pelaksanaan Pendidikan Berbasis Hak, Tomasevski mengaitkan pemikiran ini dengan bidang hukum, yang mana setiap negara, termasuk Indonesia, menjadikan pendidikan sebagai hak setiap warga negaranya. Dalam hal ini, terdapat skema A4 sebagai acuan terwujudnya Pendidikan Berbasis Hak. Skema tersebut adalah: Pertama, Availability (ketersediaan). Kedua, Accessibility (keterjangkauan). Ketiga, Acceptability (keberterimaan). Keempat, Adaptability (kebersesuaian).

Berdasarkan teks asli makalah yang disusun oleh Tomasevski, pelaksanaan Pendidikan Berbasis Hak dengan Skema A4 diuraikan sebagai berikut: Pertama, Availability (Ketersediaan). Hak Ketersediaan lebih menekankan pada adanya sarana dan fasilitas sekolah bagi berbagai macam murid. mulai dari kondisi murid yang berketerbatasan secara finansial, fisik, hingga kelompok minoritas dalam masyarakat. Untuk murid disabilitas, bangunan sekolah yang disediakan hendaknya mampu menyediakan fasilitas yang memudahkan gerak para murid disabilitas tubuh, membantu penunjangan informasi disabilitas pengelihatan dengan fasilitas informasi suara dan braile, serta mempermudah penerimaan informasi disabilitas pendengaran menggunakan tulisan.

Kedua, Accessibility (Keterjangkauan). Untuk hak keterjangkauan ini pemerintah harus menghapuskan praktik-praktik diskriminasi jender dan rasial dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia secara merata, dan pemerintah tidak sekadar puas dengan hanya pelarangan diskriminasi secara formal. Hak Keterjangkauan yang digagaskan Tomasevsky lebih menekankan pada keterjangkauan pendidikan oleh semua masyarakat guna mencapai wajib belajar dua belas tahun. Keterjangkauan ini mengarah pada aspek finansial, dimana setiap warga negara memiliki hak memperoleh pendidikan sekalipun berketerbatasan finansial. Demikian pula untuk murid-murid disabilitas, jika hak ini terlaksana tidak ada lagi alasan adanya seorang disabilitas yang tidak mengecap pendidikan karena ketidakmampuan untuk membiayai sekolah. Selaian aspek finansial, aspek jarak dalam keterjangkauan TIDak boleh menjadi hambatan untuk bersekolah. Artinya, aspek jarak tidak boleh menjadi alasan untuk mereka yang berusia sekolah (baik itu yang berkebutuhan khusus maupun yang tidak berkebutuhan khusus) tidak bersekolah karena jarak sekolah jauh.

Ketiga, Acceptability (Keberterimaan), mempersyaratkan penjaminan minimal mengenai mutu pendidikan, misalnya persyaratan kesehatan dan keselamatan atau profesionalisme bagi guru, tetapi cakupan yang sesungguhnya jauh lebih luas dari yang dicontohkan tersebut seperti penduduk asli dan mintoritas berhak memprioritaskan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Hak Keberterimaan ini bisa terleksana jika dua hak pertama, Hak Ketersediaan dan Hak Keterjangkauan terpenuhi.  Keberterimaan murid disabilitas bisa diwujudkan melalui program inklusi di seluruh jenjang pendidikan dan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, perbedaan-perbedaan yang ada di antara murid bukanlah sebuah penghalang terlaksananya pendidikan.  Justru, perbedaan antar murid dapat menjadi keberagaman dan mempererat persaudaraan antar murid.

Keempat, Adaptability (Kebersesuaian), mempersyaratkan sekolah untuk tanggap terhadap kebutuhan setiap anak, agar tetap sesuai dengan Konvensi tentang Hak-hak Anak. Hal ini mengubah pendekatan tradisional, yakni sekolah yang mengharapkan bahwa anak-anaklah yang harus dapat menyesuaikan terhadap berbagai bentuk pendidikan yang diberikan kepada mereka. Hak Kebersesuaian merupakan hak lanjutan dari tiga hak pertama dalam Pendidikan Berbasis Hak. Hak ini menuntut adanya penyesuaian dari setiap lembaga pendidikan dengan standar-standar kualitas yang telah ditetapkan untuk kebutuhan murid-muridnya. Dalam penerapannya, Hak Kebersesuaian menciptakan tradisi dimana bukan murid yang harus menyesuaikan diri dengan sekolah, melainkan sekolahlah yang harus menyesuaikan dirinya dengan keadaan murid-muridnya. Dengan demikian, melalui pendidikan Hak berkesesuaian para murid yang tadinya bukan seorang disabilitas dan karena satu hal menjadi disabilitas, misalnya karena kecelakaan harus menggunakan kursi roda selama hidupnya, tidak harus pindah sekolah untuk menyesuaikan kebutuhannya yang baru, sekolahlah yang harus menyesuaikan sarana dan fasilitasnya untuk memenuhi kebutuhan ruang gerak yang lebih terjangkau untuk murid berkursi roda ini.

Bertolak dari pemaparan konsep pendidikan berbasis hak yang diwacanakan oleh Katarina Tomasevski, maka dalam menjalankan kewajiban untuk memenuhi hak atas pendidikan bagi warganya, sudah seharusnya negara perlu berpegang pada prinsip hak asasi manusia. Artinya, negara tidak boleh melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam konteks penyelenggaraan pendidikan, baik yang berupa acts of commission maupun acts of omission. (Tulisan ini pernah di publikasikan dalam Newsletter UDIK, Edisi I, Tahun 1, Oktober 2013).

------------------------------------------------------------
Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT
TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...