Rabu, 10 Juni 2009

Kinerja PT. PLN Cabang Kupang Buruk..??

KINERJA PT. PLN CABANG KUPANG BURUK..??  
Oleh. Paul SinlaEloE



Pemadaman listrik bergilir oleh PT. PLN Cabang Kupang (PT. PLN), yang diduga dilakukan sepihak (NB: disebut sepihak karena tidak pernah meminta persetujuan konsumen), telah meresahkan mayoritas warga. Aktivitas pebisnis merugi karena unit usaha mereka yang menggunakan aliran listrik PLN diputus. Kenyaman masyarakat terganggu, dan kerusakan barang elektronik milik pelanggan listrik tidak terelakkan. Ini sebuah kerugian imaterial yang tidak ternilai harganya.

Celakanya, pemadaman mendadak memicu terjadinya korsleting listrik yang menyebabkan kebakaran rumah penduduk dan toko. Selain itu, pemakaian lilin sebagai ganti penerangan di rumah tangga, juga menimbulkan kebakaran. Dampak ikutan lainnya yakni maraknya pencurian dan merosotnya angka kelulusan siswa di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang.

Para petinggi di PLN kerap berdalih bahwa setiap pemadaman selalu diawali pemberitahuan. Sebaliknya, di lapangan, fakta berbicara lain- bagaimana mungkin informasi mengenai pemadaman didengar lewat media elektronik oleh para konsumen sedangkan listrik di rumah mereka padam atau sebaliknya ketika pemberitahuan pemadaman ini akan dipublikasi oleh media elektronik terjadi pemadaman di studio. Apalagi sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak semua konsumen punya uang untuk mengakses lewat media cetak-sehingga pelanggan sudah siap mengamankan peralatan elektroniknya masing-masing.

Roll News edisi 19 Mei 2009 menulis bahwa padamnya listrik di Kota Kupang dan sekitarnya pada 18 Mei 2009 karena panel-6 mesin pembangkit PLTD Kuanino kemasukan tikus. Bahkan, media massa pernah merilis pernyataan General Manajer PT PLN Wilayah NTT, Janu Warsono yang menyebutkan, jaringan listrik di dalam kota pernah dihantam kelelawar yang berterbangan pada malam hari. Akibatnya listrik ke rumah tangga terputus. Alasan ini agak mengejutkan, tetapi tidak mengherankan, sebab inilah gambaran kualitas dari General Manajer PT PLN Wilayah NTT.

Beban penggunaan listrik yang begitu tinggi., sehingga aliran yang ada tidak cukup mengimbangi daya yang dibutuhkan masyarakat adalah argumen lain dari pihak PT. PLN berkaitan dengan pemadaman listrik yang diduga dilakukan secara sepihak oleh PT. PLN, ketika berdialog dengan Wakil Gubernur NTT Esthon Foenay pada Kamis (14/05/09) dan senin 1 Juni 2009 pada saat rapat gabungan komisi DPRD NTT. Dalam pertemuan ini, pihak PT PLN menyatakan bahwa realitas ini disebabkan karena sejak 2 tahun terakhir ini mesin yang dimiliki oleh PT. PLN hanya sekitar 13 unit dengan daya sebesar 12 Mw padahal kebutuhan daya listrik masyarakat/pelanggan mencapai 27 Mw. Dengan demikian masih terjadi devisit listrik sebesar 15MW. Solusi yang ditawarkan oleh pihak PT. PLN adalah masyarakat dihimbau untuk melakukan pemadaman 2 bola lampu pada saat beban puncak. Pertanyaannya adalah bagaimana bisa masyarakat memadamkan 2 bola lampu, sedangkan listriknya lagi padam...??

Argumen ini sebenarnya dapat diterima oleh akal sehat, tetapi belum tentu muncul dari akal yang sehat karena apa betul dan masuk akal jika hal-hal sepele seperti tikus, kelelawar dipublikasikan luas di media menjadi penyebab kerusakan mesin pembangkit dan hal lainnya..?? Apalagi sudah menjadi rahasia umum di NTT bahwa pemasangan baru untuk pelanggan listrik baru (seperti di Ruko dan kantor Pemerintah) terus berlangsung sedangkan pihak PT. PLN selalu ”merengek-rengek” menyampaikan ke publik ada defisit listrik.

Dari sisi anggaran, perlu diketahui bahwa PT. PLN tidak kekurangan dana karena pada bulan September 2008 Pihak PLN Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) menginvestasi dana Rp1 triliun untuk pengembangan listrik. Lucunya sampai saat ini di NTT rakyatnya masih ”hidup dalam kegelapan”. Dari fakta yang seperti ini, maka dapat ditarik suatu titik simpul bahwa pihak PT. PLN diduga telah melakukan pembohongan tidak saja terhadap publik tapi juga terhadap anggota DPRD NTT dan Wakil Gubernur NTT.

Bertolak dari realitas kehidupan bernegara yang seperti ini, maka banyak perlawanan rakyat yang dilakukan terhadap kebijakan yang tidak bijak dari pihak PT PLN. Diantaranya dari Solidaritas Masyarakat Sipil Peduli Listrik Negara (SOMASI PLN) yang terdiri dari 31 organ gerakan, yakni: BP Pemuda GMIT Sinode, GMKI Kupang, GMNI Kupang, PMKRI Kupang, HMI Cabang Kupang, PIAR NTT, PIKUL, Rumah Perempuan, PMPB, Yayasan Cemara, CIS Timor, BEM UNIKA, BLM UNDANA, BEM STIM Kupang, BEM FAPET UNDANA, BEM FKIP PGRI, BLM FKIP UNDANA, We Can region NTT, KoAR, Bengkel APPeK, FKPGK NTT, FORMASI NTT, FSFM TTS, GMA TTS, JAGAT Timor & Rote, JARPUK Kota Kupang, Forum Akademia NTT, Forum Karya AMPERA, IKMABAN TTS, IMATTU, Pusat Studi perubahan Sosial dan politik Lokal UNDANA.

Gerakan dari SOMASI PLN ini berhasil memaksa berhasil memaksa pihak PT. PLN untuk melakukan solusi jangka pendek, yakni menyewa 5 mesin pembangkit listrik untuk mengatasi sebagian dari defisit listrik yang terjadi. Namun, SOMASI PLN menyadari bahwa ini belum menjawab akar masalah ketenagalistrikan di NTT maupun di Kota Kupang dan sekitranya. Masyarakat Kota Kupang dan NTT umumnya, masih mendambakan PLN menjadi perusahan Negara yang Efisien, Produktif, Transparan dan Sehat.

Akar utama dari persoalan ketenagalistrikan di Kota Kupang dan sekitarnya yang masih/sementara diperjuangkan oleh SOMASI PLN untuk diperbaiki oleh kompenen terkait dalam pengelolaan ketangalistrikan adalah Pertama, rendahnya kinerja dan profesionalisme dari pihak PT. PLN kinerjanya tidak sesuai dengan standar Mutu Pelayanan yang diatur dalam KEP. DIRJEN LPE NO.114-12/39/600.2/2002 tentang Indikator Mutu Pelayanan Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Umum. Kedua, buruknya manajemen PT. PLN dalam pengelolaan ketenagalistrikan di Kota Kupang dan sekitarnya karena hanya untuk peremajaan mesin/pembangkit dan keamanan jaringan listrik kurang direncanakan dengan matang. Ketiga, indikasi korupsi berkaitan dengan pengelolaan ketenagalistrikan di kota Kupang dan sekitarnya. Dugaan korupsi dalam Pengadaan Material Persiapan MFO-nisasi Mesin MAK 8M 453 AK SN: 26841 s/d 26844 PLTD Tenau PT. PLN Cabang Kupang Tahun 2007 adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri.

Pada akhirnya, bertolak dari realita bahwa kinerja dari PT. PLN yang tidak bisa dikatakan bagus ini, maka sudah saatnya PEMDA dan DPRD turun tangan dan memasukan urusan energi sebagai bagian dalam perencanaan pembangunan daerah untuk mewujudkan kedaulatan rakyat atas energi. Dengan kata lain PEMDA dan DPRD harus segera mendesain Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Pagi TIMOR EXPRESS, tanggal 10 Juni 2009).

------------------------
Penulis: Sekretaris Bidang Informasi & Jaringan BPP. GMIT Periode 2008-2012, juga Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT dan Koordinator Watch Terminal Regio NTT-NTB

Pelaksanaan SI-MPR Tahun 2001


PELAKSANAAN SI-MPR TAHUN 2001: Kegagalan MPR
Dalam Melaksanakan Kedaulatan Rakyat...!!! 
Oleh. Paul SinlaEloE 


Reformasi belum selesai. Itulah argumen yang paling tepat untuk menggambarkan realita politik yang terjadi di Indonesia pada saat ini. Sebab walaupun Soeharto yang merupakan sang konseptor proses pembodohan terhadap rakyat telah dilengserkan ± 3 tahun yang lalu, namun proses pembodohan tersebut masih saja terus dilakukan secara sistematis hingga kini, oleh orang bodoh (Baca: Anggota MPR/DPR yang Pro Status Quo). Pengadilan politis yang dilakukan oleh MPR terhadap Presiden KH. Abdurrahman Wahid adalah buktinya.

Pengadilan politis ini berawal dari tekad Presiden Gus Dur untuk memberantas KKN, menegakkan supremasi hukum dan mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Upaya ini telah mengusik ketentraman diri dari para perampok Negara yang bersembunyi didalam lembaga MPR/DPR.

Sebagai wujud dari keterusikan tersebut, DPR secara membabi buta berusaha menurunkan Presiden Gus Dur dari kursi kepresidenan dengan cara mewacanakan issue keterlibatan Presiden dalam skandal uang zakat pemberian Sultan Brunei sebesar US $ 200 juta dan dana Yanatera Bulog sejumlah Rp.35 Miliar.

Tidak harmonisnya hubungan diantara para penyelenggara negara ini, makin diperparah lagi oleh DPR dengan dikeluarkannya Memorandum I pada tanggal 1 Februari 2001. Walaupun Presiden Abdurrahman Wahid sudah menjawab memorandum tersebut pada tanggal 28 Maret 2001, namun pihak DPR pada tanggal 30 April 2001, tetap mengeluarkan Memorandum II, yang mana isinya secara tegas mengatakan bahwa apabila Presiden tidak menyelesaikan persoalan tersebut diatas dalam batas waktu yang telah ditentukan, maka akan digiring ke SI-MPR, guna mempertanggungjawabkan segala pelanggaran yang dituduhkan.

Rujukan yang dipakai oleh DPR untuk mengeluarkan Memorandum II ini adalah Pasal 7 TAP MPR Nomor III/MPR/1978, tentang Kedudukan Dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, yang berbunyi bahwa: Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat yang seluruh anggotanya adalah Anggota Majelis berkewajiban senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dalam Rangka Pelaksanaan Haluan Negara. Kedua, Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menganggap Presiden sungguh melanggar Haluan Negara, maka Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden. Ketiga, Apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum Dewan Perwakilan Rakyat tersebut pada ayat (2) pasal ini, maka Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan memorandum yang kedua. Ketiga, Apabila dalam waktu satu bulan memorandum yang kedua tersebut pada ayat (3) pasal ini, tidak diindahkan oleh Presiden, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta Majelis mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.

Ironisnya, walaupun Jaksa Agung lewat SP3-nya, sudah menyatakan bahwa Presidan Gus Dur tidak terlibat (tidak bersalah) dalam kasus Bruneigate dan Buloggate ini, namun pelaksanaan SI-MPR Tahun 2001 tetap diwujudkan dengan agenda yang menyimpang bahkan tidak ada hubungannya dengan Memorandum yang dikeluarkan oleh DPR, yakni: menggugat statement-statement Presiden Gus Dur yang oleh parlemen dianggap “cenderung proaktif” sehingga dapat mengancam disintegrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Secara Konstitusional, ada 2 (dua) alasan mengapa MPR tidak dapat digunakan oleh DPR untuk menjatuhkan Presiden, yakni: Pertama, UUD 1945 tidak menganut sistem parlementer. Kedua, Parlemen dijalankan oleh DPR, bukannya dijalankan oleh MPR.

Didalam UUD 1945, wewenang MPR diatur dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 3, Pasal 6 dan Pasal 37, atas dua kategori yaitu: Pertama, Dalam fungsi perundangan High Law (Constitution), yang meliputi Pasal 1 ayat (2), sebagian Pasal 3, Pasal 6 dan Pasal 37. Kedua, Dalam fungsi pemerintahan, yang meliputi sebagian Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (2).

Fungsi pemerintahan MPR sesuai dengan UUD 1945 adalah memulai pemerintahan yakni memilih Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) dan berdasarkan Pasal 3, yakni menetapkan GBHN. Diluar kedua pasal ini, MPR tidak berkompeten untuk mengurusi jalannya pemerintahan. Artinya, sekali Presiden terpilih, MPR tidak dapat mengintervensinya, karena akan terjadinya proses sirkuler atau berlakunya Konstitusi secara paralel, tidak dapat dihindarkan.

Menurut B. Setiabudi (2001), apabila Konstitusi berlaku secara sirkuler, maka nantinya hukum akan bersifat kesepakatan kondisional (Tacit Concent). Sebab, kepastian hukum akan menjadi tidak otomatis dan setiap kali memerlukan jaminan para pihak untuk menyepakatinya. Akibatnya, kontribusi hukum terhadap pemerintahan yang rasional menjadi kabur.

Kerangka pikir diatas menunjukkan bahwa dengan suksesnya pelaksanaan SI-MPR Tahun 2001 yang inkonstitusional dan ekstra konstitusional ini, maka sebenarnya MPR tidak mempunyai Political Will untuk menyukseskan agenda reformasi yang dicita-citakan oleh rakyat. Konsekuensinya, proses reformasi masih berputar-putar pada titik yang sama, padahal seharusnya reformasi sudah dapat berjalan secara linear. Dengan demikian dapat ditarik suatu titik simpul bahwa MPR tidak menjalankan kedaulatan rakyat dan telah melakukan proses pembodohan terhadap rakyat.


Walaupun demikian, dengan keyakinan penuh bahwa tidak semua rakyat Indonesia dapat dibodohi sepanjang masa dan di semua tempat, maka diakhir tulisan ini saya menyarankan kepada seluruh komponen bangsa terutama para aktivis pro demokrasi dan mahasiswa yang merupakan kaum reformis sejati, untuk segera menyatukan konsep dalam membangun gerakan reformasi tahap ke-2, agar kita tidak disebut sebagai anak manis yang bodoh oleh “orang bodoh”.


------------------------
Penulis: Mahasiswa FH-UKAW.
Ket: Tulisan ini merupakan materi pengantar diskusi yang berthema, “SI-MPR TAHUN 2001 DAN ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA”, yang dilaksanakan oleh SEMA FKIP-UKAW, di Sekretariat SEMA FKIP-UKAW, pada tanggal 27 Juli 2001.




Pencaplokan Tanah Adat


PENCAPLOKAN TANAH ADAT
Oleh: Paul SinlaEloE - Staf Divisi Advokasi PIAR NTT

Makalah ini disampaikan dalam diskusi gerilya yang berthema, “Masyarakat Adat dan Hak Atas Tanah”, yang dilaksanakan oleh PIAR NTT, di Kabupaten Kupang 
(Diskusi dengan Masyarakat Adat di Desa Fatumonas Kecamatan Amfoang Selatan), 
pada tanggal 14 November 2004 s/d 16 November 2004



Prolog
Tanah adat adalah istilah yang disematkan pada lahan yang dimilliki secara kolektif oleh sebuah etnis atau suku. Tanah ini berasal dari generasi leluhur dan diwariskan terus menerus ke generasi penerusnya, sejak sebelum Indonesia merdeka.

Bagi Masyarakat Hukum Adat, tanah merupakan aset yang sangat berharga. Tidak hanya sebagai tempat untuk menjalani rutinitas kehidupan sehari-hari, tanah juga menjadi simbol dan prestise yang menunjukkan eksistensi suatu suku.

Masyarakat Hukum Adat memiliki tata guna lahan dengan kearifannya. Dalam pengelolaan tanah adatnya, Masyarakat Hukum Adat sering meminjamkan tanah adatnya kepada pihak luar yang membutuhkan, tetapi selamanya tidak boleh dijualnya. Masyarakat Hukum Adat hanya akan mengkuasakan tanah adatnya kepada pihak luar dalam kapasitas sebagai hak pakai dan buakn sebagai hak milik.

Tanah adat selalu dicaplok oleh penyelenggara negara yang berkolaborasi dengan pengusaha, untuk alasan pengadaan tanah demi berjalannya proyek-proyek pembangunan. Argumen yang sering dipergunakan oleh penyelenggara negara dalam urusan pencaplokan adalah karena tanah milik masarakat adat secara peraturan perundangan berada di bawah kekuasaan negara, sehingga tanah dimaksud adalah tanah negara.

Cara Penguasa Mencaplok Tanah Adat
Pencaplokan tanah milik Masyarakat Hukum Adat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penggusuran dengan menggunakan kekerasan, penaklukan dan manipulasi ideologi dengan cara-cara yang melanggar Hak Asai Manusia. Seluruh tindak tanduk penguasa untuk menaklukan Masyarakat Hukum Adat yang mempertahankan tanah adatnya, selalu dikalim sebagai bahagian dari upaya untuk menegakan stabilitas nasional agar proses pembangunan berlangsung terus.

Upaya Masyarakat Hukum Adat untuk mempertahankan hak-haknya akan diklaim oleh penuasa sebagai upaya-upaya melawan hukum, menghambat pembangunan dan dijadikan pembenaran oleh negara dan aparatnya untuk mengkriminlisasi Masyarakat Hukum Adat. Agar tidak mudah diperdaya, berikut ini akan dipaparkan beberapa cara yang lasim digunakan pemerintah dan/atau pengusaha untuk mencaplok tanah Masyarakat Hukum Adat, yakni: Pertama, Membuat kecelakaan masal seperti kebakaran, yang kemudian wilayah tersebut tidak diizinkan lagi untuk dibangun oleh penghuni lama;

Kedua, Mengembangkan calo-calo tanah yang beroperasi dari rumah ke rumah, untuk menyebarkan issue bahwa tanah adat yang dimilikinya adalah bermasalah dari segi peraturan perundang-undangan. Tujuan aktivitas ini adalah mendapatkan harga tanah yang rendah/murah; Ketiga, Alasan register tanah, pemancangan palang, pematokan tanah, pranata tanah, penggusuran daerah/wilayah yang ternyata akan dijadikan area proyek tertentu;

Keempat, Melakukan intimidasi, teror dan kekerasan seperti dengan menjadikan lokasi/tanah, daerah yang dibebaskan sebagai areal latihan perang-perangan bagi militer, atau melakukan tindakan kekerasan penangkapan dan memenjarakan tokoh-tokoh Masyarakat Hukum Adat yang paling keras mempertahankan hak-hak mereka atas tanahnya; Kelima, Melakukan delegitimasi (tidak mengakui) penguasaan/hak milik atas tanah dengan dalil warga Masyarakat Hukum Adat tidak memiliki bukti formal seperti setifikat; Keenam, Memanipulasi tanda tangan persetujuan masayarakat adat untuk pelepasan hak atas tanah;

Ketujuh, Melancarkan tuduhan sebagai pembangkang, pengacau atau anti pembangunan kepada Masyarakat Hukum Adat yang kritis memperjuangkan hak-haknya (hak atas tanah). Kedelapan, Manipulasi makna pengorbanan. Selalu dikatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat yang bersedia melepasakan haknya adalah sebagai contoh, dan bahkan di daulat sebagai “tokoh pembangunan”,dan memunculkan slogan-slogan bahwa “tidak ada kemakmuran tanpa pengorbanan dari rakyat/masayarakat adat”.

Kesembilan, Melabelkan Masyarakat Hukum Adat yang kritis dengan stigma/cap sosial dan politik (seperti pemberian kode eks tapol atau PKI) dan ‘mematikan’ hak-hak dari Masyarakat Hukum Adat yang berusaha mempertahankan tanahnya yang diambil untuk kepentingan proyek; Kesepuluh, Pendekatan dengan mengembangkan pola transmigrasi massal kepada untuk Masyarakat Hukum Adat yang tanahnya akan digunakan sebagai areal proyek-proyek raksasa; Kesebelas, Mencatat, mengidentifikasi dan mendatakan tentang tanah adat yang dianggap oleh pemerintah dan/atau pengusaha adalah bermasalah lalau menetapkan ganti rugi tanah secara sepihak;

Langkah Menghadapi Penguasa dan Pengusaha
Dalam Urusan Pencaplokan Tanah Adat
Indonesia adalah Negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945). Secara hukum hak Masyarakat Hukum Adat atas tanah diakui keberadaannya dan dilegitimasi dalam dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan dijabarkan dalam sejumlah produk hukum diantaranya UU No. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria/UUPA. Hak Masyarakat Hukum Adat atas tanah merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu Masyarakat Hukum Adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.

Dalam UUPA, Pengakuan akan hak Masyarakat Hukum Adat atas tanah, disertai dengan 2 (dua) syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Berdasarkan Pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”. Dengan demikian, tanah adat tidak dapat dialihkan menjadi tanah hak milik, apabila tanah adat dimaksud menurut kenyataan masih ada, misalnya dibuktikan dengan adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau kepala adat bersangkutan. Sebaliknya, tanah adat dapat dialihkan menjadi tanah hak milik, apabila tanah adat tersebut menurut kenyataannya tidak ada atau statusnya sudah berubah menjadi “bekas tanah adat”.

Mengingat bahwa kenyataannya tanah adat masih ada dan dapat dibuktikan keberadaannya, maka berikut ini adalah langkah-langkah untuk menghadapi pemerintah yang berusaha mencaplok/meyerobot tanah milik Masyarakat Hukum Adat: Pertama, Jika ada orang yang datang melakukan survey di lokasi tanah milik Masyarakat Hukum Adat, maka Masyarakat Hukum Adat berhak bertanya apa maksud dan tujuan dilakukn survey; Kedua, Saat memperoleh jawaban dari pelaku survey, maka sebaiknya informasi yang diterima harus dicatat baik-baik untuk dijadikan dokumentasi;

Ketiga, Apabila setelah survey dan dilanjutkan dengan pengukuran, maka Masyarakat Hukum Adat perlu mempertanyakn apa maksud dan tujuan pengukuran. Bila jawaban tentang maksud dan tujuan pengukurn tidak jelas, maka sebaiknya pengukuran itu harus di hentikan sampai memperoleh keterangan yang jelas dari pemerintah dan/atau pengusaha tentang tujuan pengukuran; Keempat, Bila pemerintah dan/atau pengusaha melakukn pendekatan dengan Masyarakat Hukum Adat, maka sebaiknya jangan diputuskan oleh satu orang saja, tetapi harus mengumpulkan semua orang yang memiliki hak atas tanah dimaksud, untuk bermusyawarah;

Kelima, Apabila dalam pendekatan dengan Masyarakat Hukum Adat, pemerintah atau pengusaha melakukan tekanan dan pemaksaan kehendak serta menggunakn istilah tanah negara, maka Masyarakat Hukum Adat harus memertanyakan kepada mereka bahwa bukankah Masyarakat Hukum Adat adalah bagian dari warga negara yang mendiami wilayahnya sebelum Indonesia merdeka; Keenam, Dalam musyawarah adat menyangkut tanah, maka Masyarakat Hukum Adat perlu mempertimbangkan nilai sosio religius, ekonomis dan dampak politik yang akan terjadi di kemudian hari atas tanah milik suku; Ketujuh, Masyarakat Hukum Adat harus mencatat selurh penyelewengan yang dibuat oleh aparat pemerintah dan pengusaha secara berurutan. Kalau dapat, saksi yang terlibat di dalamnya disebutkan pula;

Kedelapan, Jika Masyarakat Hukum Adat ditekan karena mempertahankan haknya atas tanah, maka Masyarakat Hukum Adat harus bermusyawarah untuk menentukan sikap dengan cara damai, misalnya membuat surat penolakan atau datang ke pihak legislatif untuk mengadukan perilaku dan sikap aparat pemerintah dan/atau pengusaha. Kesembilan, Pada saat itu juga, Masyarakat Hukum Adat harus segera mendatangi instansi-instansi terkait untuk menyampaikan keberatan atas kegiatan pengukuran dalam kawasan tanah Masyarakat Hukum Adat; Kesepuluh, Ketika membuat surat penolakan atau pengaduan yang disampaiakan pada pihak legislatif, sebaiknya Masyarakat Hukum Adat mengemukakan hal-hal yang berkaitan dengan sejarah kepemilikan lahan, fungsi lahan/lokasi menurut masyarkat, upaya-upaya intimidasi, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia;

Kesebelas, Bila Masyarakat Hukum Adat kurang memahami persoalan hukum positif (negara), maka Masyarakat Hukum Adat dapat meminta bantuan kepada lembaga konsultasi hukum atau kepada Organisasi Non Pemerintah yang bergerak di bidang hukum; Keduabelas, Apabila ada gejala yang meresahkan dalam pengukuran tanah milik Masyarakat Hukum Adat, maka Masyarakat Hukum Adat harus segera meminta orang-orang yang melakukan pengukuran untuk menghentikn kegiatanya;

Ketigabelas, Bila ada negosiasi antara Masyarakat Hukum Adat dengan pemerintah dan/atau pengusaha, maka hasil kesepakatan harus di buat tertulis. Dalam kesepakatan itu, harus ditentukan luas dan batas wilayah yang disepakati. Jika pemerintah dan/atau pengusaha melanggar kesepakatan dan penyerobotan lahan yang tidak disepakati antara Masyarakat Hukum Adat dengan pemerintah dan/atau pengusaha, maka harus dijelaskan memang bahwa kesepakatan itu harus batal demi hukum; dan Keempatbelas, Jika pemerintah dan/atau pengusaha memaksakan diri untuk tetap melakukan kegiatan serta menambah luas lokasi diluar kesepakatn masyarakt adat, maka Masyarakat Hukum Adat harus bersatu untuk melawannya. Jika Masyarakat Hukum Adat bersatu, maka pemerintah dan/atau pengusaha akan kesulitan, bahkan tidak akan berhasil dalam mewujudkan kehendaknya

Epilog
Diakhir materi ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal yang harus dingat oleh kita bersama dalam mempertahankan hak kita atas tanah, yakni: Pertama, Masyarakat Hukum Adat yang tanah adatnya dicaplok, warus membentuk wadah/organisasi untuk berjuang mempertahankan hak-haknya; Kedua, Melakukan diskusi yang kontinyu untuk membahas masalah yang dihadapi. Ketiga, Layangkan surat pengaduan/protes kepada instansi-instansi terkait tentang masalah yang dialmi secara jelas. Lebih tepat lagi, jika di buat kronologis kejadian dengan menjelaskan pelaku, korban, tanggal/waktu kejadian, lokasi masalah dan bentuk masalah yang dihadapi;

Keempat, Publikasikan setiap peristiwa terkait pencaplokan tanah adat di media massa; Kelima, Mendatngi kantor legislatif untuk mendialogkan masalah yang dihadapi; Keenam, Unjuk rasa/demonstrasi sebagai bentuk protes dan penolakan; dan Ketujuh, Meminta dampingan Lembaga Batuan Hukum (LBH), Lembaga Advokasi, atau Organisasi Non Pemerintah yang peduli terhadap masalah sosial rakyat termasuk hak-hak Masyarakat Hukum Adat atas tanah.

Pada akhirnya, poin penting yang tidak boleh diabaikan dalam advokasi untuk melawan pencaplokan tanah adat adalah keempat belas langkah yang telah dijabarkan di atas, hanyalah berupa pedoman dan bukan merupakan jalan satu-satunya dalam memperjuangkan hak-hak yang dimiliki oleh Masyarakat Hukum Adat, sebab Masyarakat Hukum Adat memiliki cara tersendiri untuk mempertahankan hak miliknya.

Pembebasan Tanah

PEMBEBASAN TANAH
(Suatu Tinjauan Terhadap Definisi Kepentingan Umum)
Oleh. Paul SinlaEloE


Begitu banyak pertanyaan yang akan muncul apabila tanah dijadikan topik utama dalam pembicaraan. Salah satu pertanyaan mendasar yang sudah lazim sehubungan dengan tanah adalah: Mengapa UU No. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang bertujuan untuk membela kepentingan dan kedaulatan rakyat demi mensejahteraan rakyat sudah genap 40 tahun diberlakukan, tetapi rakyat tidak semakin sejahtera, melainkan dalam satu dekade terakhir ini semakin banyak reaksi dan konflik yang timbul sehubungan dengan sumber daya agraria yang paling pokok yaitu tanah…? Tulisan ini akan mencoba memberikan salah satu jawaban dari begitu banyak jawaban yang mungkin ada, berkaitan dengan pertanyaan tersebut.


Pentingnya tanah telah mendapat perhatian dari para Founding Fathers And Also Some Mother bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan dengan dicantumkannya Pasal 33 ayat (3) dari UUD 1945 dengan rumusan sebagai berikut: “Tanah atau bumi, air dan ruang angkasa dikuasai oleh negera dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Sayangnya, didalam praktek penekanan lebih diberikan pada konsepsi mengenai penguasaan negara dan tak jarang ungkapan demi kemakmuran rakyat hanya dijadikan sebagai argumen pembenaran atas penguasaan tersebut (Dr. Tom Therik, 1998).

Dalam hal pembebasan tanah untuk proyek-proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, selalu dan selalu menjadi kasus pelik walaupun telah diatur didalam PERMENDAGRI No. 15 Tahun 1975. Sebab masing-masing pasal pada aturan ini, saling kontradiksi. Disatu sisi menekankan musyawarah mufakat, disisi yang lain membolehkan adanya indikasi pemaksaan.

Sebenarnya ada aturan yang lebih baik dari PERMENDAGRI tersebut, yakni KEPPRES No. 55 Tahun 1993 yang lebih mengutamakan musyawarah mufakat. Dalam KEPPRES No. 55 Tahun 1993, secara tegas diatur bahwa, seandainya musyawarah mufakat itu gagal dalam artian bahwa rakyat tidak ingin menyerahkan tanahnya, maka sipembebas tanah bisa meneruskan upaya ini melalui Presiden. Tetapi didalam pelaksanaannya pemerintah senantiasa tidak menghiraukan aturan ini. Malahan, pemerintah terkesan sengaja tidak melaksanakan KEPPRES No. 55 Tahun 1993, karena rakyat atau para pemilik tanah pada umumnya, masih banyak yang tidak sepenuhnya mengerti peraturan hukum. Apalagi meraka jarang dilibatkan sejak awal oleh panitia pembebasan tanah. Sehingga, kalaupun mereka menerima ganti rugi yang nilainya ditetapkan oleh pemerintah, itu bukan berarti dilandasi atas dasar kesukarelaan melainkan lantaran tidak paham dan/atau takut.

Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1960, telah mengamantkan bahwa, untuk Kepentingan Umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, maka hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberikan ganti rugi yang layak sesuai dengan cara yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961, Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Bergerak Yang Ada diatasnya.

Bertalian dengan Kepentingan Umum, Dr. Muchsan (1997) berpendapat bahwa, “definisi Kepentingan Umum tidak boleh abstrak“. Kalau dicermati secara jujur seluruh peraturan perundangan yang berhubungan dengan tanah, maka akan didapati kalimat sakti dari pemerintah untuk mendapatkan tanah rakyat, yaitu: “demi Kepentingan Umum untuk bangsa dan negara“. Tetapi tidak ada definisinya. Ketidakjelasan ini menyebabkan kepastian hukum di Indonesia dalam permasalahan tanah menjadi sumir dan belum bahkan tidak akan pernah terwujud. Bukti nyatanya dapat dilihat pada kasus Celah Timor yang meliputi kasus tanah Kuanheum dan kasus pembebasan tanah Bolok, serta berbagai kasus pembebasan tanah diseluruh Indonesia. Dari kesemuanya itu dalih pemerintah tetap sama yaitu demi Kepentingan Umum.

Di negara yang demokrasi hukumnya sudah lebih baik seperti Belanda, telah diatur secara tegas dalam Onteigenings Wet yang mendefinisikan Kepentingan Umum menjadi 27 jenis yang diantaranya untuk irigasi, makam dan jalan raya. Di Belanda, kalau ada rakyat yang tergusur mereka berhak bertanya untuk apa tanah yang dibebaskan tersebut. Kalau tidak termasuk didalam ke-27 jenis tadi, maka mereka dibolehkan untuk menolak keinginan dari pada decision maker tersebut. Apabila terjadi sengketa, pemerintah atau rakyat bisa maju ke pengadilan. Pengadilan dengan demikian menjadi pihak ke-3. Ini sangat berbeda dengan di Indonesia, karena selain menjadi panitia pembebas pemerintah juga menjadi panitia (wasit). Sehingga kalau panitia dan wasit berada disatu pihak, maka sudah bisa dipastikan hasil yang akan dicapai tersebut.


Belajar dari berbagai sengketa pertanahan di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa sangat diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi pada pemerataan penguasaan tanah dan pengakuan terhadap hak-hak tanah masyarakat, termasuk juga hak masyarakat adat atas tanah (Noer Fauzi, 1998). Suatu hal yang juga sangat urgen dan cukup relevan adalah dipikirkan untuk diundangkannya suatu undang-undang yang mengatur perbuatan pemerintah dalam proses pembebasan tanah, yang didalamnya juga harus mengatur tentang definisi Kepentingan Umum. (Tulisan ini pernah dipublkikasikan dalam Harian Umum Sasando Pos, 19 Juni 2000).



-------------------------------

Penulis: Mahasiswa FH Univ. Kristen Aartha Wacana
TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...