Kamis, 03 November 2011

Korupsi Keuangan Daerah

KORUPSI DAN KEUANGAN DAERAH
Oleh. Paul SinlaEloE


Fakta menunjukan bahwa hampir tidak ada lagi kehidupan kita yang tidak tersentuh dengan kewajiban untuk membayar pajak dan retribusi yang merupakan sumber pendapatan utama dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Untuk itu, sudah seharusnya pengelolaan keuangan daerah senantiasa diarahkan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menopang kegiatan ekonomi masyarakat, serta meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan sebagaimana arah tujuan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah.

Keuangan daerah dalam berbagai literatur diartikan sebagai semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah dalam bentuk kerangka APBD. Oleh karena itu, pengertian keuangan daerah selalu melekat dengan pengertian APBD, yaitu suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan. Selain itu, APBD merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

Dalam hal pengelolaan keuangan daerah, sesuai arahan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 yang kemudian disempurnakan dengan Permendagri Nomor 59 Tahun 2007, Daerah dapat mengajukan perubahan APBD apabila terjadi hal-hal yang diluar daripada asumsi penyusunan APBD sehingga dipandang perlu melakukan perubahan anggaran. Dalam rangka perubahan anggaran maka harus didahului dengan pembahasan dan penetapan Nota Kesepakatan tentang Kebijakan Umum Anggaran (KUA) Perubahan dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) Perubahan antara Eksekutif dalam hal ini Pemerintah di Suatu daerah dan Legislatif/DPRD di daerah tersebut.

Pada konteks Nusa Tenggara Timur (NTT) Perubahan anggaran dilakukan sehubungan dengan terjadinya perubahan kebijakan anggaran yang mendasar yang mengakibatkan perubahan anggaran terutama tentang kebijakan SILPA. Perubahan juga dilaksanakan karena adanya kebijakan penganggaran program dan kegiatan yang mendesak akibat adanya kebijakan baru dan kebutuhan pembangunan, perubahan sasaran dan target pembangunan akibat adanya perubahan lingkungan strategis penyelarasan program dan kegiatan untruk mewujudkan sinergi pembangunan, integrasi program pusat dan daerah serta mencegah adanya duplikasi. (Lihat Dok. Rancangan Awal Kebijakan Umum Perubahan APBD NTT Tahun 2011).

Perhitungan SILPA TA 2010 yang semula diperkirakan oleh pengambil kebijakan di NTT adalah sebesar Rp. 167 Milyar lebih, rencananya akan digunakan untuk menutupi belanja dan pengeluaran pembiayaan. Namun berdasarkan hasil Perhitungan Laporan Realisasi Anggaran Tahun 2010, yang termuat dalam Ranperda Pertanggungjawaban APBD Tahun Anggaran 2010, diperoleh nilai SILPA yang lebih rendah dari yang diperkirakan dalam KUA 2011 sebesar Rp. 110 Milyar lebih. SILPA tersebut setelah dikurangi dengan membayar kewajiban DPAL Rp. 18 Milyard lebih dan Hutang Belanja Rp. 20 Milyard lebih maka diperoleh SILPA yang sesungguhnya sebesar Rp. 71,5 Milyard lebih. Sehingga diperoleh selisih kurang untuk membiayai pengeluaran daerah antara SILPA yang diperkirakan dengan SILPA realisasi sebesar Rp. 96 Milyar lebih. Dengan demikian rencana belanja pada perubahan APBD TA 2011 perlu dirasionalisasi. Selain itu untuk menutupi belanja pengeluaran daerah dapat dilakukan melalui perubahan kebijakan pendapatan daerah, kebijakan belanja daerah serta pembiayaan.

Khusus untuk pengelolaan pembiayaan daerah, pemerintah provinsi NTT mengalami sejumlah permasaalahan yang sangat berdampak pada membengkaknya Piutang dan mempengaruhi penerimaan pembiayaan APBD. Salah satunya adalah Pengelolaan Bantuan kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) berupa Dana Bergulir dari Pemerintah Provinsi NTT (Lihat LHP BPK RI Nomor: 175/S/XIX.KUP/12/2008, tanggal 19 Desember 2008).

Dalam LHP BPK RI Nomor: 175/S/XIX.KUP/12/2008, tertanggal 19 Desember 2008 disebutkan bahwa pada tahun 2004 Pemerintah Propinsi NTT memberikan bantuan berupa Dana Bergulir sebesar Rp. 350.000.000,00 kepada 200 orang TKI NTT masing-masing per orang sebesar Rp. 1.750.000,00 yang digunakan untuk pengurusan sebagian biaya penempatan TKI yang seluruhnya sebesar Rp. 2.500.000,00 per TKI pada tahun 2004. Pemberian bantuan dana bergulir tersebut tertuang dalam perjanjian antara Pemerintah Propinsi NTT dalam hal ini diwakili oleh Dinas Nakertrans Propinsi NTT dengan PT.Citra Bina Tenaga Mandiri selaku PPTKIS yang akan bertanggungjawab dalam memberangkatkan 200 TKI tersebut, dengan perjanjian Nomor: 577/595.PP.02/2004 dan Nomor: 33/CBTM/KPG/VII/2004 tanggal 12 Juli 2004 tentang Penyaluran Dana Bantuan Bergulir Penempatan Tenaga Kerja Indonesia asal Nusa Tengggara Timur ke Luar Negeri, khususnya ke Malaysia Timur.

Pada perjanjian tersebut, dikatakan bahwa PT. Citra BinaTenaga Mandiri berkewajiban menagih kembali secara berkala setiap bulannya dana penempatan bergulir tersebut dari TKI dan menyetor ke Kas Daerah sebesar Rp. 87.500,00 per orang selama 20 bulan sehingga diharapkan selesai dalam tahun 2006. Namun, Pemeriksaan yang dilakukan BPK RI terhadap Laporan Realisasi Pengembalian Dana Bergulir dari PT Citra Bina Tenaga Mandiri kepada Plt.Sekretaris Daerah Propinsi NTT dengan Nomor: 377/CBTM 2.2/KPG/VII/2007 tanggal 21 Juli 2007 perihal Laporan Realisasi Pengembalian Dana Bergulir, diketahui bahwa sampai dengan tanggal 23 Juli 2007 pengembalian dana bergulir sebesar Rp. 28.076.000,00 selama 6 tahap pengembalian, sehingga masih terdapat sisa dana bergulir yang belum bisa dikembalikan sebesar Rp. 321.924.000,00.

Menurut penjelasan PT.Citra Bina Tenaga Mandiri, hal ini terjadi karena adanya hambatan dalam proses penagihan yang berupa keterbatasan waktu untuk bertemu dengan para TKI yang bekerja pada 57 ladang yang tersebar di daerah Sabah Malaysia Timur, kebanyakan TKI penerima bantuan menunda pengembalian dana dengan berbagai alasan dan biaya dalam rangka penagihan yang dikeluarkan oleh PT.Citra Bina Tenaga Mandiri lebih besar dibandingkan dengan jumlah pengembalian dana yang diperoleh, sehingga perusahaan mengalami kerugian. (Lihat LHP BPK RI Nomor: 175/S/XIX.KUP/12/2008, tanggal 19 Desember 2008).

Keadaan tersebut menurut BPK RI tidak sesuai dengan Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Propinsi NTT dengan PT.Citra Bina Tenaga Mandiri dengan Nomor: 577/595.PP.02/2004 dan Nomor: 33/CBTM/KPG/VII/2004 tanggal 12 Juli 2004 tentang Penyaluran Dana Bantuan Bergulir Penempatan Tenaga Kerja Indonesia asal Nusa Tengggara Timur ke Luar Negeri, khususnya ke Malaysia Timur, Pasal 7 Kewajiban Para Pihak ayat (2) huruf c “Pihak Kedua berkewajiban menagih kembali secara berkala setiap bulannya dana penempatan bergulir tersebut dari TKI dan menyetor ke Kas Daerah sebesar Rp. 87.500,00 per orang selama 20 bulan”. Selain itu, BPK RI juga berpendapat bahwa karena kelalaian PT.Citra Bina Tenaga Mandiri dalam menyelesaikan kewajiban penagihan terhadap pengembalian dana bergulir, telah berakibat pada tidak diterimanya Penerimaan Pembiayaan atas Dana Bergulir sebesar Rp. 321.924.000,00. Untuk itu, BPK RI menyarankan Gubernur NTT agar segera Memerintahkan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi NTT untuk menagih kekurangan pengembalian dana bergulir sebesar Rp321.924.000,00 kepada PT. Citra Bina Tenaga Mandiri untuk selanjutnya disetor ke Kas Daerah. (Lihat LHP BPK RI Nomor: 175/S/XIX.KUP/12/2008, tanggal 19 Desember 2008).

Ironisnya, sampai dengan saat ini Pemprov NTT belum berhasil menagih kekurangan pengembalian dana bergulir sebesar Rp. 321.924.000,00 kepada PT. Citra Bina Tenaga Mandiri. Buktinya, pada laporan audit BPK RI Nomor: 1.a/LHP-LKPD/XIX.KUP/2011, tertanggal 16 Juni 2011, di sebutkan bahwa: Dana Bergulir TKI sebesar Rp.321.824.000,00 merupakan tagihan pengembalian pemberian bantuan bagi 200 orang tenaga kerja asal NTT yang dikelola oleh PT Citra Bina Tenaga Mandiri berdasarkan kerja sama antara Dinas Tenaga Kerja Provinsi NTT dengan PT Citra Bina Tenaga Mandiri masih belum tertagih. Bahkan dalam laporan audit BPK RI Nomor: 1.a/LHP-LKPD/XIX.KUP/2011, tertanggal 16 Juni 2011, juga dikatakan bahwa sesuai laporan terakhir PT Citra Bina Tenaga Mandiri kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja, yang ditembuskan kepada Gubernur NTT dan Ketua DPRD Provinsi NTT, perusahaan tersebut mengusulkan agar perjanjian kerja sama tersebut dapat ditinjau kembali, dan tagihan tersebut dapat diputihkan atau dihibahkan karena tidak dapat ditagih kepada para tenaga kerja penerima bantuan.

Realita ini sangat disayangkan karena masih banyak rakyat miskin yang sangat membutuhkan dana bergulir seperti ini. Selain itu, dengan realita pengelolaan keuanagan daerah yang seperti ini, maka tidaklah mengherankan jika praktik korupsi di NTT begitu subur dan menjamur. Data PIAR NTT yang menunjukan bahwa di NTT pada tahun 2010 terdapat 131 kasus korupsi yang tersebar secara merata di setiap wilayah pemerintahan dengan indikasi kerugian negra sebesar Rp. 297.570.261.546.

Bertolak dari pengelolaan keuangan daerah yang sangat membuka peluang terjadinya korupsi, maka kedepan Pemprov NTT sudah seharusnya mendesain dan memiliki Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi sebagaimana amanat INPRES No. 9 Tahun 2011, tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011. Dokumen Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi yang sampai saat ini belum dimiliki oleh Pemprov NTT ini, merupakan salah satu alat ukur untuk menilai keseriusan dari para pengambil kebijakan di NTT untuk mencegah terjadinya korupsi. LAWAN KEKUATAN POLITIK KORUPTIF…!!! (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Pagi TIMOR EXPRESS, tanggal 02 November 2011).


----------------------------------
Penulis: Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT

Senin, 30 Mei 2011

Kesehatan Ibu dan Anak


KESEHATAN IBU DAN ANAK DI KOTA KUPANG
Oleh. Paul SinlaEloE



Mewujudkan kesejahteraan rakyat merupakan tujuan pembangunan nasional yang hendak dicapai dan tercetus dari sebuah kesepakatan politik dari The Founding Fathers and Also Some Mothers ketika mendirikan negara Republik Indonesia. Istilah kesejahteraan menunjukkan suatu kondisi keseimbangan dan keharmonisan antara aspek lahiriah dan batiniah yang sehat sehingga terbangun kepribadian manusia Indonesia seutuhnya.

Dalam upaya menggapai tujuan mulia inilah, para pelaksana amanat rakyat/para pelayan rakyat saat ini telah menjabarkannya dalam berbagai bahasa program pembangunan nasional, khususnya pembangunan di bidang kesehatan dengan tujuan pembangunan pada bidang kesehatan, yakni meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setingi-tingginya.

Pada konteks Kota Kupang Periode 2007-2012, Kesehatan telah dijadikan salah satu prioritas pembangunan daerah dengan focus pada “Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan”. Program utamanya adalah penataan manajemen pelayanan kesehatan dan peningkatan sarana dan prasarana kesehatan serta peningkatan kapasitas pelayan kesehatan. Walaupun demikian, di Kota Kupang, masih terdapat berbagai persoalan di sektor kesehatan. salah satu tantangan pembangunan di bidang kesehatan saat ini adalah persoalan Kesehatan Ibu dan Anak yang memprihatinkan.

Data Dinkes Kota Kupang tahun 2007 menunjukan bahwa terdapat 94 bayi meninggal dan terbanyak bayi yang berusia 0-28 hari dengan jumlah 50 bayi atau 53,2%. Sedangkan jumlah ibu yang meninggal saat melahirkan sebanyak 5 orang dan 2 orang diantaranya meninggal karena perdarahan. Tahun 2008, terdapat 81 kasus kematian bayi dimana 11 kasus diantaranya adalah kematian balita. Jumlah ibu yang meninggal waktu melahirkan di Kota Kupang pada tahun 2008, sebanyak 15 orang dan perdarahan masih merupakan penyebab tertinggi dengan 5 kasus. Pada tahun 2009, di Kota Kupang terdapat 12.233 balita yang mana 9.614 balita diantaranya mengalami gizi baik, 2.432 gizi kurang dan 187 balita gizi buruk. Di tahun 2009, juga terdapat 13 orang ibu yang meninggal saat melahirkan dan 4 orang diantaranya meninggal karena infeksi.

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga masih terjadi di tahun 2010. Pada tahun 2010, di Kota Kupang terdapat 5 orang ibu meninggal (NB: 3 orang ibu diantaranya meninggal karena perdarahan) dan 4 diantaranya meninggal di RSUD WZ Johannes Kupang. Selain itu, terdapat juga 143 kematian bayi, dimana 107 orang meninggal di RSUD WZ Johannes Kupang, 1 orang bayi meninggal di Pustu Fatufeto dan 35 orang bayi meninggal di rumah. Di tahun 2010, di Kota Kupang juga terdapat 123 balita gizi buruk dan 5 orang diantaranya meninggal.

Realita Kesehatan Ibu dan Anak yang sangat menyedihkan ini, sejalan dengan kebijakan anggaran yang tidak berpihak pada Kesehatan Ibu dan Anak. Buktinya, Pada tahun 2009 Anggaran kesehatan yang dialokasikan dalam APBD Kota Kupang hanya sebesar Rp.44.293.810.390 atau 9,92% dari total APBD yang berjumlah Rp.466.562.705.233. sedangkan yang dialokasikan untuk kesehatan ibu dan anak hanya sebesar Rp.3.573.750.000 atau 8,07 % dari dana kesehatan atau 0,80% dari total APBD Kota Kupang.

Para pengambil kebijakan di Kota Kupang mengalokasikan anggaran dalam APBD TA. 2010 untuk mengatasi persoalan Kesehatan Ibu dan Anak sebesar Rp.323.326.320 atau 0,07% dari Total APBD yang berjumlah Rp.484.487.086.441. Anggaran untuk Kesehatan Ibu dan Anak ini, tidak sebanding jika dibandingkan dengan gaji dan tunjangan dari 30 orang anggota DPRD Kota Kupang yang dialokasikan sejumlah Rp.11.250.151.300/tahun atau 2,32% dari total APBD TA. 2010. Bahkan anggaran untuk mengatasi persoalan Kesehatan Ibu dan Anak lebih kecil dari anggaran gaji dan tunjangan satu orang anggota DPRD yang mencapai Rp.375.005.043,33/orang/tahun atau 0,08% dari total APBD.

Selain anggaran yang dialokasikan pada sektor kesehatan, anggaran yang mendukung peningkatan kapasitas pelayan kesehatan juga tidak sebanding dengan uang transport untuk “mama-mama” kader posyandu yang hanya diberi Rp.200.000/Tahun/Orang. Ironinya, anggaran Rp.200.000 ini bukan dialokasikan dari APBD Kota Kupang tetapi dari APBD Provinsi NTT.

Bertolak dari realita yang demikian, maka persoalan Kesehatan Ibu dan Anak di Kota Kupang harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk “para jagoan” yang akan bertarung untuk menjadi pemimpin Kota Kupang periode 2012-2017 dalam PEMILUKADA mendatang. Hal ini menjadi penting karena apagunanya program pembangunan yang muluk-muluk, sedangkan generasi penerus pembangunan sudah “rusak” sejak dari kandungan.

”Para jagoan” yang akan bertarung untuk menjadi pemimpin Kota Kupang periode 2012-2017 dalam PEMILUKADA mendatang yang saat ini tengah ”menjajakan diri” untuk mendapat simpati warga Kota Kupang, seharusnya sudah mampu menginisiasi konsep untuk mengatasi persoalan kesehatan Ibu dan Anak atau minimal sudah menjabarkan dan atau mengembangkan Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, yang sudah diataur dalam Permenkes RI No.741/Menkes/PER/VII/2008.

Merujuk pada Permenkes ini, maka yang perlu menjadi perhatian dari semua kita termasuk ”para jagoan” yang akan bertarung untuk menjadi pemimpin Kota Kupang periode 2012-2017 dalam PEMILUKADA mendatang adalah mewujudkan salah satu tujuan program Kesehatan Ibu dan Anak yakni meningkatkan kemandirian keluarga dalam memelihara Kesehatan Ibu dan Anak terhadap berbagai masalah kesehatan, seperti: kejadian kesakitan (morbiditas) dan gangguan gizi (malnutrisi), yang seringkali berakhir dengan kecacatan (disability) atau kematian (mortalitas). Setiap cakupan program tersebut merupakan rincian Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD), yang diharapkan bisa tercapai pada kurun waktu 2010-2015.

Pada akhirnya, yang tidak boleh dilupakan oleh ”para jagoan” yang akan bertarung untuk menjadi pemimpin Kota Kupang periode 2012-2017 dalam PEMILUKADA mendatang adalah pembangunan di Kota Kupang tidak mungkin terselenggara dengan baik tanpa tersedianya salah satu modal dasar, yaitu kesehatan warganya termasuk Kesehatan Ibu dan Anak. (Tulisan ini pernah di publikasikan dalam Harian Pagi, TIMOR EKSPRESS, tanggal 28 Mei 2011).


----------------------
Keterangan: Penulis adalah aktivis PIAR NTT dan Koordinator Daerah Kota Kupang, Untuk program Kemitraan Strategis Penanggulangan Kemiskinan/StrategiAlliance for Poverty Alleviation (Program SAPA).

Selasa, 22 Maret 2011

Rakyat Disiksa di Tanah Merdeka


RAKYAT DISIKSA DI TANAH MERDEKA
Oleh. Paul SinlaEloE



Kekerasan demi kekerasan terus bergulir di negeri, yang katanya, sudah merdeka ini. Ironis memang…!!! Negara yang seharusnya memberikan ketenangan dan kedamaian bagi rakyatnya, justru melakukan penyiksaan terhadap rakyatnya sampai menemui ajal. Inilah tindakan kejam dan tidak manusiawi yang diduga dipraktekkan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) Batalyon Infantri (Yonif) 744/Satya Yudha Bhakti (SYB) di Tobir, Kec. Tasifeto Timur, Kab. Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).


Tragisnya, peristiwa ini terjadi tepat sebulan setelah Presiden RI, Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang juga mantan DANYON 744/SYB tahun 1986-1988, berkunjung ke NTT dan bernostalgia ke Markas TNI Yonif 744/SYB. Dalam kunjungan nostalgia yang dilakukan melalui perjalanan darat Kupang-Atambua, Presiden SBY rela mengantar sendiri sumbangan dari rakyat kepada para prajurit TNI Yonif 744/SYB berupa ambulans, mini bus, seperangkat peralatan band, peralatan bengkel, genset dan dua ratus dus minyak goreng. Presiden SBY juga membantu pembangunan gedung serba guna seluas 750 meter persegi. Keseluruhan bantuan yang diserahkan oleh Presiden SBY ini, merupakan hasil jerih payah dan tetesan keringat darah dari rakyat. Oleh karena itu, diakhir kunjungan nostalgianya Presiden SBY menitipkan dua pesan sekaligus kepada para prajurit TNI Yonif 744/SYB, yakni prajurit harus terus dekat dengan rakyat dan prajurit juga harus menghormati hukum dan etika.


Kejadian yang memilukan sekaligus memalukan ini, bermula ketika pada tanggal 5 Maret 2011, ada enam orang pemuda yang diduga dalam keadaan mabuk meminta uang dan mengancam seseorang yang diduga merupakan anggota TNI dari Yonif 744/SYB yang bermarkas di Tobir. Sore harinya beberapa orang yang diduga merupakan anggota TNI Yonif 744/SYB mencari para pemuda tersebut, tetapi tidak menemukannya.


Pada 8 Maret 2011, dua orang yang diduga merupakan anggota TNI Yonif 744/SYB mendatangi orang tua dari Charles Mali dan Heri Mali, yakni Raimundus Mali dan Modesta Dau. Kemudian kedua orang tua ini dibawa ke pos TNI Yonif 744/SYB, di Tobir. Selanjutnya, keduanya diharuskan melakukan wajib lapor ke pos TNI Yonif 744/SYB di Tobir sampai kedua anaknya ditemukan. Pada malam hari 12 Maret 2011, Delvin Mali (kakak dari Charles Mali dan Heri Mali) berhasil menemukan kedua adiknya ini.


Keesokan harinya, Delvin Mali bersama Modesta Dau, menyerahkan kedua anggota keluarga mereka ke Yonif 744/SYB di Tobir dan mendapat jaminan bahwa Charles Mali dan Heri Mali tidak akan disiksa. Ternyata keduanya disiksa bergiliran oleh sejumlah orang yang diduga merupakan anggota TNI Yonif 744. Selain itu, kedua kakak beradik ini diharuskan berkelahi satu sama lain. Akibatnya, kedua kakak beradik itu pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Namun dalam perjalanan ke rumah sakit, Charles Mali menghembuskan nafas terakhirnya sedangkan Heri Mali muntah-muntah dan kencing darah.


Pada hari Selasa tanggal 15 Maret 2011, Modesta Dau yang adalah ibu dari Charles Mali dan Heri Mali, meninggal dunia setelah beberapa kali berusaha melakukan bunuh diri, karena tekanan bathin dan merasa bersalah turut menyebabkan kematian anaknya dengan menyerahkan mereka pada Yonif 744/SYB.


Peristiwa ini menunjukan bahwa para anggota TNI Yonif 744/SYB yang diduga melakukan penyiksaan terhadap warga sipil hingga meninggal ini, tidak menghiraukan amanat dari Presiden SBY yang juga adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sekaligus telah mengangkangi tugas dan fungsi anggota TNI sebagaimana amanat UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang dalam pembukaanya menyebutkan bahwa keberadaan anggota TNI adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.


Istilah penyiksaan dalam khasanah bahasa di Indonesia, seringkali dipahami secara rancu oleh berbagai pihak terutama dalam menjelaskan pengertian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang bernama Torture. Dalam berbagai diskursus, torture ini secara definitive-kualitatif di artikan dengan pengertian antara siksa (penyiksaan) dan aniaya (penganiyaan).


Dalam kamus bahasa Inggris-Indonesia (Cornel University, 1975), kata torture, diartikan dengan siksaan, penyiksaan, penderitaan. Pada kamus yang sama, kata siksa diartikan dengan torture; menyiksa/menyiksai diartikan dengan torture; tersiksa diartikan dengan tortured, mistreatment; dan penyiksaan diartikan dengan torturing, mistreating. Sedangkan kata aniaya diartikan sebagai ill treatment, tyranny, opperassion, injustice; menganiaya diartikan dengan maltreat, torture, tyrannize, persecute; teraniaya diartikan dengan molested, mistreated; dan penganiayaan diartikan dengan mistreatment, cruel treatment, opperassion, tyrannical treatment.


Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), kata aniaya diartikan sebagai perbuatan bengis seperti penyiksaan, penindasan; penganiayaan diartikan dengan perlakuan yang seweng-wenang; menganiaya diartikan dengan memperlakukan dengan sewenang-wenang; dan teraniaya diartikan dengan tersiksa atau tertindas. Sedangkan kata siksa diartikan sebagai penderitaan (kesengsaraan, dsb) sebagai hukuman, hukuman dengan cara disengsarakan (disakiti); menyiksa adalah menghukum dengan menyengsarakan (menyakiti, menganiaya, dsb), berbuat dengan menyengsarakan, berbuat bengis kepada yang lain dengan menyakiti, dan penyiksaan adalah proses, cara, perbuatan menyiksa, penganiyaan.


Sejalan dengan pemahaman kebahasaan, maka dapat ditarik suatu titik simpul bahwa pengertian kata siksa dan aniaya tidak jauh berbeda dan terkesan hanya saling menggantikan penyebutannya saja yang intinya adalah sebuah tindakan yang tidak diharapkan oleh korban karena menyebabkan penderitaan fisik dan mental. Perbedaannya adalah penyiksaan lebih menyentuh dimensi penghukuman atau bagian (konsekwensi) dari hukuman dimana penyiksaan menjadi metode pelaksanaan hukuman. Sedangkan, aniaya didefinisikan sebagai sebuah tindakan kejam semata-mata dan tidak terikat dengan konteks penghukuman.


Dalam diskursus HAM, Haris Azar (2002) berpendapat bahwa pendefinisian torture tidak boleh semata-mata hanya melihat pada fakta peristiwa, tetapi juga harus melihat unsur-unsur yang terlibat dalam tindakan tersebut, seperti: tindakan, pelaku, korban, konteks (Ruang dan Waktu), dimana penyiksaan sebagai sebuah tindakan tidak manusiawi terjadi dalam kurun waktu yang lama, terjadi pada landscape yang luas serta mendapat justifikasi “hukum” atau alasan-alasan “Pembenaran yang Rasional”.


Menurut Hariz Azhar (2002), faktor dominasi dan kekuasaan yang ada dan melekat dalam relasi antara pelaku dan korban, seperti hubungan antara Negara (polisi/Tentara) yang mempunyai hak-hak eksekutif dengan warganya, antara tawanan dengan pihak pemenang perang/konflik, antara suami (kepala rumah tangga) dengan orang dalam lingkup rumah tangga, telah menyebabkan adanya kesadaran untuk menggunakan dan atau melakukan penyiksaan sebagai upaya penundukan dan meraih ketaatan.


Berpijak pada argumen diatas, maka tindakan penyiksaan yang diduga dilakukan oleh anggota TNI Yonif 744/SYB terhadap rakyatnya sampai menemui ajal, merupakan sebuah wujud tindakan hewani karena menyampingkan harkat kemanusiaan. Penyiksaan juga merupakan kejahatan yang terkualifikasi dalam Azas Non Derogable Rights, yaitu sebuah kejahatan yang seharusnya tidak dilakukan kepada siapapun, oleh siapapun, dalam keadaan apapun, pada zaman apapun (meskipun konflik/peperangan). Hal ini secara normative dijamin dalam UUD 1945, Konvensi Anti Penyiksaan 1984, maupun dalam Hukum Humaniter (Konvensi Genewa 1949).


Pada akhirnya, pertanyaan pernyataan untuk menggugat sekaligus menggugah semangat kerakyatan adalah apakah Presiden SBY yang juga adalah panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia berani menindak para prajurit TNI Yonif 744/SYB yang diduga melakukan penyiksaan terhadap rakyat di tanah airnya yang merdeka…???


-----------------------------------------------
Keterangan:
  1. Penulis adalah Aktifis PIAR NTT, juga Anggota Badan Pengurus KontraS Nusa Tenggara Periode 2010-2013.
  2. Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Pagi TIMOR EXPRESS, tanggal 22 Maret 2011.

Rabu, 09 Februari 2011

Anggaran Berkeadilan Gender

ANGGARAN BERKEADILAN GENDER*)

Oleh. Paul SinlaEloE**)


CATATAN PENGANTAR

Dalam konsep negara kesejahteraan (Welfare State), suatu pemerintahan harus menjalankan amanahnya untuk mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat. Agar amanah tersebut bisa terwujud, maka perlu perubahan paradigma pemerintah, yaitu melihat bahwa masyarakat tidak homogen.

Konsekwensi dari masyarakat yang bersifat heterogen memunculkan fakta bahwa ada kebutuhan-kebutuhan spesifik dari masing-masing kelompok masyarakat. Misalnya, kelompok dengan kemampuan berbeda (disability) memiliki kebutuhan khusus dalam hal prasarana publik yang ramah dengan kondisi mereka. Begitu pula dengan perempuan dan laki-laki. Perempuan memiliki kebutuhan yang berbeda dibandingkan dengan laki-laki, misalnya karena perbedaan fisik (perempuan hamil, sementara laki-laki tidak) maupun karena perbedaan karena kontruksi sosial (perempuan lebih banyak mengurus rumah tangga, sementara laki-laki tidak).

Pemahaman dan pemenuhan atas kebutuhan yang berbeda ini merupakan pijakan awal jika ingin melakukan penguatan dan pemberdayaan kelompok-kelompok yang selama ini kurang beruntung (seperti kelompok miskin, perempuan, kemampuan berbeda) menuju tercapainya keseteraan dan keadilan gender. Dengan mengakomodasikan adanya kebutuhan yang berbeda diharapkan penyelesaian masalah pembangunan akan dilakukan secara efektif dan tepat sasaran. Hal inilah yang melatarbelakangi perlunya strategi pembangunan yang dinamakan dengan strategi pengarusutamaan gender.

Berkaitan dengan itu dan sesuai dengan permintaan panitia berdasarkan Term of Reference (TOR) yang diberikan kepada saya, maka makalah yang berjudul Anggaran Berkeadilan Gender ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Pertama, Catatan Pengantar. Kedua, Pengarusutamaan Gender. Ketiga, Memahami Anggaran Berkeadilan Gender. Keempat, Analasis Gender Dalam Dokumen Anggaran. Kelima, Catatan Penutup.


PENGARUSUTAMAAN GENDER

Sesuai dengan INPRES No. 9 Tahun 2000, tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, disebutkan bahwa yang dimaksud pengarusutamaan gender adalah Sebuah proses yang memasukan analisa gender ke dalam program-program kerja dan seluruh kegiatan instansi pemerintah dan organisasi kemasyarakatan lainnya, mulai dari tahap perencanaan program, pelaksanaan program sampai monitoring dan evaluasi program tersebut.

Dalam Kepemendagri No. 132 Tahun 2003, tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan Daerah, disebutkan bahwa pengarusutamaan gender adalah salah satu strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program, proyek dan kegiatan di berbagai kehidupan dan pembangunan.

Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008, tentang Tahapan Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, mengamanatkan untuk Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam merumuskan rencana kerja daerahnya harus mempertimbangkan analisis kemiskinan dan kesetaraan gender dalam menyusun kebijakan, program serta kegiatan pembangunan. Hal tersebut kemudian diperkuat lagi dengan keluarnya Permendagri No. 15 Tahun 2008, tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Daerah.

Pengarusutamaan gender dalam konteks penganggaran yang berkeadilan gender, dapat diwujudkan dengan strategi, sebagai berikut: Pertama, Mengalokasikan anggaran untuk bagian pemberdayaan perempuan. Kedua, Mengalokasikan anggaran untuk program perempuan. Ketiga, Mengintegrasikan gender di setiap program yang ada di semua sektor. Keempat, Mengintegrasikan gender di program di sektor pendidikan dan kesehatan.

Dengan melakukan strategi pengarusutamaan gender, diharapkan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan akan berkeadilan gender karena telah mengakomodasi pemenuhan kebutuhan yang berbeda antar kelompok masyarakat dan antara laki-laki dan perempuan.



MEMAHAMI ANGGARAN BERKEADILAN GENDER

Anggaran berkeadilan gender sering disalahpahami sebagai anggaran khusus untuk perempuan. Pemahaman yang keliru ini acap kali berdampak pada tingginya resistensi terhadap upaya mewujudkan anggaran yang berkeadilan gender. Bahkan pemahaman yang keliru seperti ini bisa menghambat gerakan untuk kesetaraan gender dan keadilan gender itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan anggaran berkeadilan gender, ada beberapa konsep penting, yakni: Pertama, Anggaran berkeadilan gender bukanlah semata anggaran yang terpisah bagi laki-laki dan perempuan. Kedua, Anggaran berkeadilan gender merupakan strategi untuk mengintegrasikan isu gender dalam proses penganggaran. Ketiga, Anggaran berkeadilan gender dapat menterjemahkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam anggaran. Keempat, Anggaran berkeadilan gender terdiri atas seperangkat alat dan kerangka kerja analisis, proses dan politik. Kelima, Anggaran berkeadilan gender dapat menilai dampak belanja pemerintah terhadap gender, yang berguna untuk mengatasi kesenjangan gender. Keenam, Anggaran yang berkeadilan terhadap kebutuhan laki-laki dan perempuan serta memberi manfaat kepada laki-laki dan perempuan secara setara.

Konsep anggaran berkeadilan gender ini pada dasarnya bertujuan untuk: Pertama, Untuk memperkuat posisi masyarakat terlibat dalam pembuatan kebijakan ekonomi. Kedua, Untuk mengukur komitmen pemerintah dalam rangka penerapan kebijakan pengarusutamaan gender. Ketiga, Untuk mengintegrasikan pengarusutamaan gender kedalam analisa dan kebijakan ekonomi makro. Keempat, Untuk meningkatkan alokasi anggaran bagi perempuan, khususnya, perempuan miskin yang selama ini kurang mendapat manfaat dari alokasi anggaran. Contohnya, meningkatkan anggaran untuk menurunkan angka kematian ibu ketika melahirkan, Meningkatkan pelayanan kesehatan dasar dan kesehatan reproduksi bagi ibu dan anak, Menekan jumlah penderita HIV/AIDS dan mengatasi penularannya, Mengurangi angka buta huruf perempuan, Melakukan sosialisasi budaya anti kekerasan terhadap perempuan, Memberikan pelayanan korban kekerasan terhadap perempuan, dan lain-lain.

Kelima, Untuk meningkatkan alokasi anggaran bagi peningkatan keadilan gender pada semua sektor, termasuk yang khusus dialokasikan untuk pemberdayaan perempuan. Keenam, Untuk melakukan realokasi belanja publik yang tidak berkeadilan gender bagi pencapaian tujuan Pembangunan Milenium (MDGs). Ketujuh, Untuk meningkatkan efektifitas penggunaan anggaran dalam mewujudkan keadilan gender. Caranya dengan membiayai sejumlah kebutuhan yang dapat mengubah kondisi (memenuhi kebutuhan praktis gender) dan posisi (memenuhi kebutuhan strategis gender) yang lebih baik bagi perempuan dan laki-laki. Kedelapan, Untuk membuka ruang bagi masyarakat untuk melakukan monitoring serta evaluasi terhadap belanja dan penerimaan pemerintah agar arah dan capaian program-program yang ada dapat mengurangi ketidakadilan gender.

Anggaran berkeadilan gender ini bisa dimanfaatkan sebagai: Pertama, strategi dan alat yang efektif untuk mengurangi kemiskinan karena dapat mendorong pemerintah untuk fokus pada program peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya kepada kelompok-kelompok marjinal, termasuk kelompok perempuan miskin yang menjadi kepala keluarga. Kedua, Mengurangi kesenjangan sosial, ekonomi, politik dan gender antara laki-laki dan perempuan dimana pemerintah lebih fokus dalam membuat prioritas pembangunan yang ditujukan dengan meningkatkan kesejahteraan perempuan yang memiliki tingkat kehidupan yang rendah secara sosial, ekonomi, politik dan gender. Ketiga, Membantu mempromosikan akuntabilitas penggunaan sumber daya publik, termasuk anggaran belanja publik, kepada masyarakat khususnya perempuan yang umumnya terpinggirkan dibandingkan dengan laki-laki dalam hal pengambilan keputusan mengenai penggunaan anggaran belanja publik tersebut.


ANALISIS GENDER DALAM DOKUMEN ANGGARAN

Analisis gender untuk anggaran yang berkeadilan gender merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk melihat sejauh mana dokumen anggaran telah mengakomodasi perspektif gender dalam program dan kegiatan atau belum. Asumsinya adalah program dan kegiatan yang didukung dengan alokasi anggaran yang memadai seharusnya merupakan upaya untuk mengatasi kesenjangan gender dalam rangka mencapai keadilan dan kesetaraan gender.

Perencanaan program dan penganggaran yang Berkeadilan Gender harus dibuat secara spesifik sesuai dengan karakteristik suatu wilayah tertentu. Karena itu, dalam perencanaan program dan penganggaran perlu di awali dengan mengetahui fakta ketidakadilan gender dan data terpilah pada suatu wilayah terlebih dahulu.

Untuk dapat memasukkan persoalan-persoalan ketidakadilan gender ke dalam program pelayanan publik yang juga harus tercermin dalam anggaran publik pada suatu daerah tertentu, idealnya harus dimiliki terlebih dahulu indikator keadilan gender. Indikator keadilan gender itu diantaranya: (Liaht Bagan).



Dalam hal untuk melihat dan atau menganalisis/mengkritisi suatu dokumen anggaran dalam hal ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) apakah sudah berkeadilan gender atau tidak, maka harus diketahui terlebih dahulu beberapa ciri dari anggaran yang berkeadilan gender, seperti:

  1. Pada sisi pendapatan, ciri-ciri anggaran berkeadilan gender diantaranya adalah: Pertama, Tidak memberikan beban pembayaran pajak dan retribusi bagi perermpuan dan laki-laki terkait untuk pemenuhan kesehatan reproduksi dasar, seperti: memeriksakan kehamilan, konsultasi KB, dan menjadi peserta KB. Kedua, Tidak membebankan biaya visum kepada korban kekerasan, misalnya dalam kasus perempuan korban perkosaan yang harus divisum sebagai alat bukti. Ketiga, Tidak membebankan biaya kepada anak perempuan atau anak laki-laki yang akan membuat akta kelahiran.
  2. Dari sisi belanja, anggaran berkeadilan gender cirinya dalam menjawab kebutuhan praktis dan strategis gender, yang lazimnya disebar atas tiga kategori belanja sebagai berikut: Pertama, Alokasi anggaran belanja target khusus gender. Alokasi anggaran ini lebih diperuntukkan dalam menjawab kebutuhan praktis gender, baik kebutuhan laki-laki atau kebutuhan perempuan. Kedua, Alokasi anggaran untuk meningkatkan kesempatan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Alokasi anggaran ini lebih ditujukan untuk menjawab kebutuhan strategis gender, dalam kerangka mengatasi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, Alokasi anggaran mengedepankan pengarusutamaan gender (PUG/Gender Mainstreaming). Alokasi anggaran berada di semua urusan pemerintahan. Alokasi anggaran ini dibagi atas dua peruntukan utama, yakni: (a). Penyiapan prasyarat yang dibutuhkan agar analisis gender dapat diterapkan dalam perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi program atau kegiatan umum. (b). Untuk melaksanakan program atau kegiatan yang sudah didesain dengan menggunakan perspektif gender.


CATATAN PENUTUP

Untuk mendorong terwujudnya anggaran yang berkeadilan gender, idealnya dalam proses penyusunan anggaran samnpai pada pertanggungjawaban anggaran, analisa gender harus dipergunakan. Analisis gender itu meliputi: Pertama, Melakukan pemetaan situasi kondisi perempuan dan laki-laki, anak perempuan dan anak laki-laki menurut kelompok yang berbeda berdasarkan kelas sosialnya. (Adanya data kuantitatif dan kualitatif tentang situasi dan kondisi perempuan dan laki-laki, anak perempuan serta anak laki-laki). Kedua, Menganalisa kebutuhan, baik laki-laki maupun perempuan, antara lain dengan menggunakan data statistik terpilah, menggunakan Indeks Pembangunan Manusia, Indeks Pembangunan Perempuan dan data-data kualitatif serta data lain yang menunjang.

Ketiga, Menelaah dan melihat apakah kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan sektor-sektor pembangunan, sudah berkeadilan gender. Keempat, Menetapkan distribusi alokasi anggaran sesuai dengan hasil analisa keadilan gender. Kelima, Memeriksa apakah anggaran yang dirancang sesuai dengan kebijakan anggaran yang berkeadilan gender. Keenam, Menguji dampak dari belanja atau pengeluaran-pengeluaran yang telah dialokasikan berdasarkan pos-pos anggaran menurut sektor pembangunan, telah berhasil mengurangi kesenjangan dalam konteks gender.


--------------------------------------

Catatan Kaki:

*). Makalah ini di Presentasikan dalam Diskusi: ”Membaca Anggaran yang Berperespektif Gender”, yang dilaksanakan oleh Rumah Perempuan, di Sekretariat Rumah Perempuan, Kota Kupang, pada tanggal 8 Februari 2011.

**). Staf Divisi Anti Korupsi PIAR NTT



DAFTAR BACAAN

1. Maya Rostanty, Mewujudkan Anggaran Responsive Gender, (Modul Pelatihan), Penerbit PATTIRO, Jakarta, 2007.

2. Paul SinlaEloE, Korupsi dalam Pengelolaan APBD, Artikel, Harian Umum Timor Express, pada tanggal 10 Juli 2009.

3. Sri Mastuti, Rinusu dan Jamaruddin, Panduan Menilai APBD Berkeadilan, Penerbit LGSP & CiBa, Jakarta, 2009.

4. Susan Dewi R, Tips & Trik Mengkritisi APBD, Penerbit PATTIRO, Jakarta, 2006.

5. INPRES No. 9 Tahun 2000, tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.

6. KEPEMENDAGRI No. 132 Tahun 2003, tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Daerah.

7. PERATURAN PEMERINTAH No. 8 Tahun 2008, tentang Tahapan Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.

8. PERMENDAGRI No. 15 Tahun 2008, tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Daerah.

TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...