Kamis, 27 Januari 2022

Penghapusan Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana

PENGHAPUSAN PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA
Oleh: Paul SinlaEloE - Aktivis PIAR NTT

Saya menjelaskan bahwa ketika saya lihat AM mencekik leher LM dengan kedua tangannya, sebelum saya mencekik AM, saya sebelumnya sempat memukuli tangan AM yang saat itu masih mencekik leher LM, namun AM, tidak juga mau melepas cekikan leher LM, sehingga saat itu saya sempat mengatakan kepada AM, he su kenapa ini, namun AM tetap terus mencekik leher LM, sehingga karena emosi maka saya langsung secapa spontan dengan kedua tangan saya kiri dan kanan yang terbuka langsung mencekik leher AM sambil ditekan, sampai AM melepas cekikan tangan di leher LM sehingga LM terjatuh ke lantai mobil”. Inilah jawban RB kepada penyidik atas pertanyaan 22 yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersangka tertanggal 2 Desember 2021.

Jawaban dari RB ini seharusnya didalami lagi oleh penyidik untuk memastikan apakah tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka, masuk dalam kategori tindak pidana Kejahatan Terhadap Tubuh (misdrijven tegen het lijf) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP ataukah merupakan klaster dari Kejahatan Terhadap Nyawa (misdrijven tegen bet leven), teristimewa Pasal 338 KUHP atau Pasal 340 KUHP.

Interogasi dengan mempergunakan pertanyaan mendalam terkait jawban RB atas pertanyaan 22 pada BAP tersangka, tertanggal 2 Desember 2021 adalah penting sebelum disimpulkan dan mentersangkakan RB. Sebab, penganiayaan yang mengakibatkan kematian yang diatur pada Pasal 351 ayat (3) KUHP dan kejahatan terhadap nyawa khususnya Pasal 338 KUHP serta Pasal 340 KUHP adalah berbeda. Perbedaannya terletak pada niat jahat (mens rea) dari pelaku. Pada Pasal 351 ayat (3) KUHP, mens rea dari pelaku tindak pidana (dader) adalah “menganiaya”. Sedangkan, pada Pasal 338 KUHP dan Pasal 340 KUHP, mens rea dari dader ialah “membunuh”.

 
Konsekuensi hukum dari dugaan adanya salah penerapan pasal (eror juris) dalam penegakan hukum atas kematian AM dan LM, bukanlah materi yang akan dibahas dalam tulisan ini. Tulisan ini tidak juga dimaksudkan untuk menganalisis perbuatan pidana sesuai gambaran fakta pada jawban RB atas pertanyaan 22 pada BAP tersangka tertanggal 2 Desember 2021 dan mendudukannya pada konsep penghapusan pidana (strafuitluitingsgronden). Tulisan ini hanya menguraikan strafuitluitingsgronden dari aspek hukum, dengan harapan pembaca dapat bernalar dan mengaitkannya dengan perbuatan materil dari RB yang mengakibatkan kematian AM dan LM.
 

Kensep Penghapusan Pidana

Penghapusan pidana bagi barang siapa yang melakukan tindak pidana, merupakan kewenangan hakim berdasarkan ketentuan undang-undang dan hukum. Teknisnya, hakim memutus perkara dengan membenarkan atau memaafkan pelaku untuk tidak dipidana atas perbuatannya yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik. Alasan yuridis bagi hakim untuk penghapusan hukuman pidana (strafuitluitingsgronden) bagi barang siapa yang melakukan suatu tindak pidana, dapat berupa alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden) atau alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden).

Pengkategorian alasan penghapusan pidana atau peniadaan pidana menjadi schulduitsluitingsgronden dan rechtvaardigingsgronden, sejalan atau memiliki korelasi dengan ilmu pengetahuan hukum pidana yang melakukan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat/pelaku.

Menurut Moeljatno (2002:137), alasan pemaaf sebagai alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, dimana perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum dan tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi terdakwa tidak dipidana karena tidak ada kesalahan. Sedangkan alasan pembenar oleh Moeljatno (2002:137), dimaknai sebagai alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum, sehingga secara hukum apa yang dilakukan oleh terdakwa telah dipandang menjadi perbuatan yang patut dan benar.

Sederhananya, rechtvaardigingsgrond dalam konsep penghapusan pidana dipahami sebagai alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dari suatu perbuatan pidana. Rechtvaardigingsgrond ini, berkaitan dengan perbuatan jahat (actus reus) dalam suatu tindak pidana (strafbaarfeit). Sedangkan, konsep penghapusan pidana terkait dengan schuldduitsluitingsgrond merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan pelaku/terdakwa, baik itu yang bersifat kesengajaan (dolus) maupun kesalahan karena kealpaan (culpa). Schuldduitsluitingsgrond ini berhubungan dengan keadaan dari pelaku, pertanggungjawaban pidana (toerekeningsvatbaarheid) dan mens rea.

Dalam KUHP, konsep penghapusan pidana ini, diatur dalam Pasal 44 tentang ketidakmampuan seseorang dalam bertanggungjawab, Pasal 48 tentang daya paksa (overmacht), Pasal 49 ayat (1) tentang pembelaan terpaksa (noodweer), Pasal 49 ayat (2) tentang pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), Pasal 50 tentang melaksanakan perintah undang-undang, Pasal 51 ayat (1) tentang menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang dan Pasal 51 ayat (2) tentang menjalankan perintah jabatan yang tidak sah.

 

Noodweer & Noodweer Exces

Substansi dari Pasal 49 ayat (1) KUHP adalah mengatur tentang pembelaan terpaksa (noodweer) dengan rumusan pasal, sebagai berikut: “Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum”.

Rumusan Pasal 49 ayat (1) KUHP, pada dasarnya mengendaki dalam noodweer harus ada serangan atau ancaman serangan dan terhadap ada serangan atau ancaman serangan dimaksud, perlu dilakukan pembelaan diri. Artinya, yang disebut noodweer itu harus memenuhi sayarat terkait serangan atau ancaman serangannya dan syarat yang berhubungan dengan pembelaannya.

Ada 3 (tiga) syarat dalam serangan atau ancaman serangan dalam konteks noodweer, yakni: Pertama, ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu. Istilah sangat dekat pada saat itu yang terdapat dalam rumusan Pasal 49 ayat (1) KUHP, dimaknai oleh Moeljatno (1984:145) dengan diksi “seketika” dan memaknai ancaman seranagn dan serangan seketika (ogenblikkelijk aanranding) itu dari sudut jarak waktu antara serangan dan pembelaan diri. Karenanya, Moeljatno (1984:145) berpendapat bahwa “Serangan seketika itu” berarti antara saat melihat dan mengetahui adanya serangan atau ancaman serangan dengan saat mengadakan pembelaan harus tidak ada jarak waktu yang lama. Artinya, serangan seketika itu juga merupakan serangan atau ancaman serangan yang sudah dimulai dan yang belum diakhiri.

Kedua, serangan atau ancaman serangan dimaksud harus melawan hukum. Untuk dapat dikatakan wederrechtelijkheid, maka penyerang yang melakukan serangan atau ancaman serangan itu harus melawan hak orang lain atau tidak mempunyai hak untuk itu. Artinya, jika serangan atau ancaman serangan itu tidak melawan hukum, maka orang yang melakukan pembelaan diri terhadap serangan atau ancaman serangan itu tidak dapat mengajukan alasan telah melakukan suatu noodweer dalam arti Pasal 49 ayat (1) KUHP.

Ketiga, serangan atau ancaman serangan harus terhadap diri, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri atau orang lain. Secara limittif, Pasal 49 ayat (1) KUHP telah membatasi tentang kepentingan apa yang dapat dibela dalam rangka noodweer, yaitu: a. Diri (lijf) sendiri atau orang lain. Ernst Utrecht (1960:368), menjelaskan bahwa diri (lijf) itu mencakup nyawa dan badan/tubuh manusia. Serangan terhadap nyawa adalah serangan untuk merampas nyawa (pembunuhan), sedangkan serangan terhadap badan/tubuh, contohnya serangan dengan tujuan untuk menganiaya.

b. Kehormatan kesusilaan sendiri atau orang lain. Ernst Utrecht (1960:369) berpendapat bahwa kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP adalah kehormatan dalam arti seksual. Artinya, menyerang kehormatan dalam artian penghinaan bukan kategori noodweer dalam pengertian Pasal 49 ayat (1) KUHP. c. Harta benda (goed) sendiri atau orang lain. Menurut E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi (2012:291), yang dimaksud dengan harta benda dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP adalah tidak saja harta benda yang berwujud, tetapi juga termasuk harta benda yang tidak terwujud.

Terkait dengan syarat pembelaan diri, harus diingat bahwa tidak semua pembelaan diri masuk dalam kategori pembelaan terpaksa. Suatu pembelaan diri dapat dikategorikan pembelaan terpaksa dalam arti Pasal 49 ayat (1) KUHP, haruslah terpaksa dilakukan. Jadi, bukan pembelaan diri merupakan pembelaan terpaksa, melainkan pembelaan diri itu harus terpaksa (noodzakelijk).

Ada (dua) syarat yang harus dipenuhi dari unsur terpaksa ini, yaitu: Pertama, syarat proporsionalitas yang berarti kepentingan orang lain yang dikorbankan dalam pembelaan terpaksa harus seimbang dengan kepentingan yang dilindungi. Kedua, syarat subsidaritas berarti pembelaan harus dilakukan dengan cara yang paling ringan (subsider). Dilampauinya syarat subsidaritas ini, dapat diterima dalam hal pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer excess) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP

Pembelaan terpaksa dalam ilmu hukum pidana dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: noodweer itu sendiri dan noodweer exces atau cara pembelaan yang melampaui batas-batas keperluan pembelaan. Noodweer exces dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP, bahwa: “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana”.

Dijelaskan oleh P. A. F. Lamintang (2013:502), bahwa suatu tindakan yang disebut sebagai noodweer exces dapat diketahui dari perbuatan dalam hal pembelaannya yang melampaui batas. Perbuatan melampaui batas ini bisa meliputi perbuatan melampaui batas keperluan, maupun dapat pula berkenaan dengan perbuatan melampaui batas dari pembelaannya itu sendiri.

Batas-batas dari keperluan yang telah dilampaui itu dapat diketahui dari cara-caranya yang telah dipergunakan untuk melakukan pembelaan. Sedangankan, untuk batas-batas dari sutu pembelaan itu disebut telah dilampaui, jika setelah pembelaan yang sebenarnya itu telah selesai, orang masih tetap menyerang si penyerang, walaupun serangan dari si penyerang itu sendiri sebenarnya telah berakhir.

Menurut Adami Chazawi (2002:51), persamaan antara noodweer exces dengan noodweer adalah: Pertama, pada kedua-duanya ada serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum, yang ditujukan pada 3 (tiga) kepentingan hukum (diri, kehormatan kesusilaan dan harta benda); Kedua, pada kedua-duanya, melakukan perbuatan pembelaan memang dalam keadaan yang terpaksa (noodzakelijk) dalam usaha untuk mempertahankan dan melindungi suatu kepentingan hukum yang terancam bahaya oleh serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum; dan Ketiga, pada kedua-dua pembelaan itu ditujukan untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan hukum (rechtsbelang) diri sendiri atau kepentingan hukum orang lain.

Adami Chazawi (2002:51-53) juga membedakan antara noodweer dengan noodweer exces. Perbedaannya, yaitu: Pertama, bahwa perbuatan apa yang dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa haruslah perbuatan yang seimbang dengan bahaya dari serangan atau ancaman serangan dan perbuatannya haruslah sepanjang perlu serrta tidak diperkenankan melampaui dari apa yang diperlukan dalam pembelaan itu. Tetapi pada noodweer exces, perbuatan apa yang menjadi pilihannya sudah melebihi dari apa yang diperlukan dalam hal pembelaan atas kepentingan hukumnya yang terancam, yang artinya pilihan perbuatan itu sudah tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkan oleh adanya serangan atau ancaman serangan.

Kedua, bahwa dalam hal noodweer, perbuatan pembelaan hanya dapat dilakukan pada ketika adanya ancaman serangan atau serangan sedang berlangsung dan tidak boleh dilakukan setelah serangan terhenti atau tidak ada lagi serangan. Sebaliknya, pada noodweer exces perbuatan pembelaan itu masih boleh dilakukan sesudah serangan terhenti.

Ketiga, tidak dipidananya pelaku yang melakukan pembelaan terpaksa oleh karena kehilangan sifat melawan hukum pada perbuatannya, jadi merupakan alasan pembenar. Dasar peniadaan pidana dalam noodweer terletak pada perbuatannya. Sedangkan, tidak dipidananya pelaku noodweer exces oleh karena adanya alasan penghapus kesalahan pada diri pelaku, jadi merupakan alasan pemaaf. Dasar tidak dipidananya pelaku noodweer exces terletak pada diri orangnya, dan bukan pada perbuatannya.

Pada akhirnya, merujuk pada jawaban RB atas pertanyaan 22 yang terdapat dalam BAP tersangka tertanggal 2 Desember 2021, maka secara yuridis ada kemungkinan RB akan mendapatkan penghapusan pidana karena noodweer atau noodweer exces. Untuk itu, dalam perjuangan demi terwujudnya keadilan hukum, kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum yang adalah tujuan dari penegakan hukum, idealnya kita tidak boleh tunduk pada fakta. Kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru.


DAFTAR BACAAN

1.    Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002.

2.    Ernst Utrecht, Hukum Pidana I, (Cetakan Ke 2), Penerbitan Universitas, Bandung, 1960

3.    E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi. Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit Storia Grafika, Jakarta, 2012.

4.    Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

5.    P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013.

6.    R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Penerbit Politeia, Bogor, 1995.



TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...