Kamis, 02 Februari 2012

Melawan Pemiskinan

MAYARAKAT SIPIL DAN UPAYA
MELAWAN PEMISKINAN1)
Oleh. Paul SinlaEloE2)


PENDAHULUAN
Kemiskinan merupakan persoalan yang dihadapi oleh Indonesia sejak merdeka sebagai sebuah negara bangsa Pada tanggal 17 Agustus 1945 dan hingga kini belum mampu ditanggulangi. Ketidakmampuan Indonesia dalam menanggulangi masalah kemiskinan ini disebabkan karena strategi penanggulangan kemiskinan yang ditawarkan oleh para pengambil kebijakan (Decision Makers) dan stakeholders lainnya, belum menjawab akar persoalan kemiskinan itu dan hanya merespon dampak dari persoalan kemiskinan yang diperparah dengan cara pandang yang senantiasa bertolak dari asusmsi bahwa penyebab kemiskinan adalah berasal dari kaum miskin itu sendiri (Blamming the Victim) dan masalah ekonomi semata. Padahal realita menunjukan bahwa kemiskinan yang terjadi di Indonesia lebih disebabkan oleh suatu proses pemiskinan atau yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan struktural.

Secara teoritis, paham kemiskinan struktural dapat dipahami dan disimpulkan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memepertahankan seluruh hak-hak dasarnya sehingga orang tersebut tidak dapat mengembangkan hidupnya secara bermartabat. Pada konteks Indonesia, kemiskinan struktural ini selain ditengarai oleh kebijakan yang tidak bijak dari para pemegang kebijakan, juga ditopang oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan bernegara yang tidak menguntungkan. Dikatakan tidak menguntungkan karena kehidupan bernegara di Indonesia tidak hanya melahirkan kemiskinan tetapi juga melanggengkan kemiskinan.

Tatanan kehidupan bernegara yang tidak menguntungkan akibat perlakuan negara yang tidak adil, diskriminatif, eksploitatif ini, telah menyebabkan banyak warga masyarakat yang gagal memperoleh peluang dan atau akses untuk mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya. Bahkan mereka yang malang semakin terjerumus dan terjebak dalam kehidupan yang serba berkekurangan atau tak setara dengan tuntutan hidup yang layak dan bermartabat sebagai manusia.

Dari realitas yang demikian dan mengingat bahwa sampai dengan saat ini proses pemiskinan di Indonesia masih terus terjadi dan semakin menjadi-jadi, maka upaya penanggulangan kemiskinan struktural adalah sesuatu yang mutlak diperlukan. Kemiskinan struktural ini hanya dapat ditanggulangi jika hak-hak dasar dari kaum miskin ditegakan3). Hak-hak dasar dari kaum miskin yang harus ditegakan dalam rangka penanggulangan kemiskinan struktural, idealnya meliputi4): Pertama, hak atas pangan. Kedua, hak atas kesehatan. Ketiga, hak atas pendidikan. Keempat, hak atas pekerjaan dan kesempatan berusaha. Kelima, hak atas perumahan dan tempat tinggal yang layak. Keenam, hak atas air bersih dan sanitasi. Ketujuh, hak atas tanah. Kedelapan, hak atas sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kesembilan, hak atas rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan. Kesepuluh, hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik.

MENGAPA MASYARAKAT SIPIL5) HARUS TERLIBAT 
DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN..??
Di Indonesia, penanggulangan kemiskinan struktural dengan pendekatan yang berbasis hak dasar (Right-Based Approach) ini, idealnya harus dilaksanakan oleh Negara/Pemerintah karena secara yuridis formal, tugas utama dari Negara/Pemerintah adalah untuk mensejahterakan rakyat demi terwujudnya masyarakat yang adil di dalam kemakmuran dan makmur di dalam keadilan.

Namun, penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan berbasis hak dasar (Right-Based Approach) ini, tidak bisa begitu saja diharapkan atau diserahkan kepada Negara/Pemerintah, walaupun Pemerintah Indonesia (BAPPENAS dan MENKOKESRA) telah berhasil melahirkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) melalui suatu proses yang relatif partisipatif dan menempatkan masyarakat miskin sebagai subyek yang memang harus dihargai dan dipenuhi hak-hak dasarnya. Mengapa demikian? karena “sudah menjadi rahasia umum bahwa aktor utama atau pelaku bermasalah dalam hal kemiskinan struktural adalah Negara/Pemerintah”.

Dengan kondisi bernegara di Indonesia yang seperti ini, maka untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat dan terpenuhinya hak-hak dasar dari kaum miskin, otomatis Lembaga-Lembaga Non Pemerintah (Non Government Organization/NGO) dan seluruh Stakeholder demokrasi yang di golongkan sebagai organisasi masyarakat sipil harus berkolaborasi atau sama-sama bekerja dengan pemerintah dalam hal penanggulanagan kemiskinan dengan maksud proses pemiskinan bisa diatasi atau paling tidak dapat dikurangi.

Dalam kaitannya dengan kolaborasi antara Pemerintah dan NGO untuk penanggulanagan kemiskinan ini, maka ada 2 (dua) permasaalahan yang harus segera diintervensi, yakni: Pertama, kurangnya koordinasi antara departemen/Dinas pemerintah yang bertanggung jawab untuk program penanggulangan kemiskinan. Kedua, ada kebutuhan untuk memberdayakan kelompok miskin dan terpinggirkan untuk berpartisipasi lebih aktif dalam proses pengambilan keputusan dalam rangka membuat kebijakan dan alokasi anggaran yang lebih responsif terhadap kebutuhan mereka.

PROGRAM SAPA: Wujud Partisipasi Masyarakat Sipil
a. Mengenal Program Sapa6)
SAPA merupakan kerjasama antara pemerintah (Tim koordinasi Penanggulangan Kemiskinan-TKPK, berbasis di Departemen Kesejahteraan Rakyat), pemerintah daerah di 15 kabupaten terpilih dan kota (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah-TKPKD) dan LSM/NGO. Kerjasama ini bertujuan meningkatkan kapasitas TKPK dan TKPKD untuk mengembangkan inovasi dan koordinasi lintas sektoral di tingkat nasional dan daerah untuk membuat program penanggulangan kemiskinan lebih responsif terhadap hasil Musrenbang (Majelis Perencanaan Pembangunan) mekanisme perencanaan bottom up.

Kolaborasi ini juga memiliki tujuan untuk mendorong sinergi antara usaha-usaha dari TKPK dan TKPKD dengan pekerjaan yang sedang berlangsung dari LSM untuk memberdayakan kelompok-kelompok akar rumput untuk berpartisipasi dalam lembaga-lembaga Musrenbang. Dalam jangka pendek, dampak paling langsung dari program SAPA adalah meningkatnya partisipasi kelompok miskin dan marginal dalam pengambilan keputusan lembaga-lembaga dan penyediaan pelayanan dasar lebih responsif dalam 15 kabupaten/kota. Tujuan jangka panjangnya, SAPA diharapkan dapat memberikan kontribusi langsung terhadap pengurangan jumlah orang miskin di Indonesia dan pengurangan angka kematian ibu.

Program SAPA sedang mengembangkan praktek-praktek terbaik mengenai koordinasi lintas sektoral untuk program penanggulangan kemiskinan dan pelembagaan partisipasi kelompok-kelompok miskin dan terpinggirkan dalam pengambilan keputusan lembaga-lembaga di 15 kabupaten dan kota yang telah dipilih di seluruh Indonesia. Model kolaborasi dan partisipasi yang menangani isu-isu kemiskinan lokal dan kapasitas pemangku kepentingan lokal akan di replikasi ke kabupaten dan kota di masa depan.

b. SAPA Stakeholder - Elemen Masyarakat Sipil
Stakeholder SAPA yang merupakan elemen masyarakat sipil adalah ACE (Asosiation Komunitas Empowwerment), ASPPUK (Asosiasi Pengembangan Perempuan Usaha Kecil), Cakrawala Timur, FIK Ornop (Forum Informasi dan Komunikasi Organisasi non-pemerintah) Sulawesi Selatan, FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi anggaran), FPPM (Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat), IDEA (Lembaga Pengembangan dan Analisis Ekonomi), Inisiatif, IRE (Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan), Kaukus 17++.

Selain itu ada juga lembaga seperti: KOMPIP (Konsorsium Monitoring dan Pemberdayaan Institusi Publik), Konsorsium Solo, KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), Lakpesdam NU, Pattiro (Pusat Telaah dan Informasi Regional), pergerakan, Prakarsa, Konflik RACA (Rapid Agraria Appraisal) Institut, WDC (Women Development Center), WRI (Women Research Institute), IPCOS, Wahid Institute, MITRA SAMYA, PPSW, COMBINE dan BINA DESA.

c. Struktur Organisasi SAPA
Dewan Pemerintahan: Sekretaris Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan-TKPK, Perwakilan dari lima belas kabupaten/kota, Wakil dari LSM, Wakil dari Ford Foundation. Badan Koordinasi: Sujana Royat, Sekretaris Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan–TKPK dan Fakhrulsyah Mega, Perwakilan Masyarakat Sipil dalam Koordinasi Tim Penanggulangan Kemiskinan-TKPK.

Koordinator Daerah7): (1). Banda Aceh kota, Aceh, Azharuddin dari Ikatan Santri Dayah Aceh. (2). Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, Kominta Sari Purba dari Bestari Indonesia. (3). Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Surahmat dari divisi Bantuan Hukum Serikat Petani Pasundan. (4). Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Umar Alam dari Perkumpulan Inisiatif. (5). Kabupaten Garut, Jawa Barat, Yudi Kurnia dari YAPEMAS. (6). Kabupaten Subang, Jawa Barat, Deden dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Indonesia. (7). Tasikmalaya kota, Eva Patimah dari SNT-YSNI. Kota Solo, Jawa Tengah, Zakaria dari Kaukus 17++. (8). Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Gunung Wiryanto dari FORMASI Kebumen. (9). Kabupaten Gunung Kidul, (10). Yogyakarta, Triwahyuni Suci Wulandari dari IDEA Yogyakarta. (11). Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Mulyadi Prajitno dari YKPM Makassar. (12). Kabupaten Jembrana, Bali, Luh Debora Murty dari Yayasan Maha Bhoga Marga. (13). Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Siti Sanisah dari Konsorsium Lombok Tengah. (14). Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Paul SinlaEloE dari PIAR NTT. (15). Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Daden Sukendar dari PPSW Pasoendan.

PENUTUP
Demikianlah sumbangan pemikiran saya mengenai Masyarakat Sipil Dan Upaya Melawan Pemiskinan. Kiranya bermanfaat dan ini dapat mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas.


-----------------------------------
 
Catatan Kaki:
1) Materi ini dipresentasikan dalam Diskusi Multistakeholder untuk implementasi program perluasan pelembagaan partisipasi Perempuan Miskin & Kelompok Marginal dalam perencanaan dan penganggaran demi pemenuhan hak-hak dasar warga di Kota Kupang, yang dilaksanakan oleh Bengkel APPeK dengan dukungan Asosiation Comunitas Empowwerment (ACE), di Aula BKKBN Prov NTT, Kota Kupang, pada tanggal 13 Januari 2012.
2) Koordinator Daerah Kota Kupang, Untuk program “Kemitraan Strategis Penanggulangan Kemiskinan/Strategi Alliancefor Poverty Alleviation (Program SAPA), Juga Staf Divisi Anti Korupsi PIAR NTT.
3) Sarah Lery Mboeik, Kemiskinan dan persoalannya di Nusa Tenggara Timur, Makalah, disampaikan pada Lokakarya dan Pelatihan, Fasilitator Participatory Poverty Assessment (PPA), yang dilaksanakan atas kerjasama PIAR NTT & OXFAM GB, di Hotel Maya, Kota Kupang, pada tanggal 26-31 Juli 2005.
4) Kesepuluh hak dasar rakyat ini dapat dilihat dalam batang tubuh UUD 1945.
5) Istilah masyarakat sipil (Civil Society), berasal dari proses sejarah masyarakat barat. Civil Society sebagai sebuah konsep, Akar perkembangannya dapat dirunut mulai dari Cicero yang pada abad ke-18 mempergunakan istilah Societes Civilis dalam filsafat politiknya dan dalam tradisi eropa dianggap sama dengan pengertian negara (The State). Dalam perkembangannya setelah abad ke-18, istilah Civil Society ini pernah juga dipahami sebagai antitesis dari negara (state). Masyarakat sipil (Civil Society) dapat dimaknakan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisir (menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri), tidak terkungkung oleh kondisi material, serta tidak terkooptasi di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Dengan pemaknaan seperti ini, maka yang disebut sebagai masyarakat sipil tersebut harus memiliki 3 (tiga) ciri, yakni: Pertama, adanya kemandirian dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat terutama ketika berhadapan dengan negara. Kedua, adanya ruang publik yang bebas sebagai wahana keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melaluiwacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik. Ketiga, adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar tidak interfensionis. Dari pengertian masyarakat sipil diatas, maka pengejawantahan masyarakat sipil dapat mewujud dalam bentuk organisasi/asosiasi yang dibuat oleh masyarakat diluar pengaruh negara, seperti Lembaga-Lembaga Non Pemerintah (Non Government Organization/NGO), pers, organisasi keagamaan, organisasi sosial, paguyuban dan organisasi/asosiasi lainnya. Lihat, Muhamad AS Hikam, Demokasi dan Civil Society, Penerbit LP3ES, Jakarta, 1999. Lihat juga, Paul SinlaEloE, Peranan Masyarakat Sipil dalam Pemantauan Peradilan, Makalah, dipresentasikan dalam Semiloka: “MEMBANGUN KOMITMEN MULTIPIHAK DALAM MEWUJUDKAN LEMBAGA PERADILAN YANG MANDIRI, FAIR, NETRAL, KOMPETEN DAN BERWIBAWA”, yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial-RI bekerjasama dengan FH-Universitas Mataram, di Hotel Lombok Raya, Mataram, pada tanggal 24 Agustus 2006.
6) Untuk informasi lebih lengkap berkaitan dengan Program SAPA bisa di lihat dalam http://www.sapa.or.id.
7) Koordinator Program SAPA di daerah bekerja berdasarkan SK Deputi MENKOKESRA Bidang koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Nomor: 02/KMK/D.VII/III/2011, Tentang Pembentukan Satuan Unit Kerja Pengelolaan Program Kemitraan Stratrgis Peninggulangan Kemiskinan (SAPA/ Strategi Alliancefor Poverty Alleviation), tertanggal 31 Maret 2011. Tugas Utama dari Unit Kerja Pengelola program SAPA ditingkat Daerah adalah: Pertama, Mengkoordinasikan pelaksanaan program SAPA yang dilaksanakan oleh pengelola program SAPA di wilayah kerja Kordinator Daerah. Kedua, Bersama TKPKD mengkoordinasikan pengendalian program PNPM Mandiri yang dilaksanakan oleh TIM Pelaksana Program PNPM Mandiri. Ketiga, Melalui secretariat TKPKD mengkoordinasikan para pemangku kepentingab penanggulanagan kemiskinan daerah agar terjadi sinergi antar pihak. Keempat, Bersama secretariat TKPKD mengelola pusat informasi kemiskinan daerah (Resource Center).


Rabu, 01 Februari 2012

Korupsi Dana Bansos di Nusa Tenggara Timur ???

KORUPSI DANA BANTUAN SOSIAL..???*
Paul SinlaEloE**

  • Pemerintahan daerah merupakan penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD RI Tahun 1945. Demikianlah yang tertera dalam pasal 1 angka 2 UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah.
  • Dalam menjalankan fungsi Pemerintahan Daerah dibidang kemasyarakatan dan guna memelihara kesejahteraan masyarakat dalam skala tertentu, Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan sosial kepada kelompok/anggota masyarakat yang dilakukan secara selektif dan tidak mengikat.
  • Bantuan sosial untuk organisasi kemasyarakatan harus didasarkan pada kriteria kejelasan peruntukan penggunaannya, dengan memperhatikan kaedah dalam rangka optimalisasi fungsi APBD sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, Tentang Pengelolaan keuangan daerah khususnya Pasal 16 ayat (3) menyebutkan bahwa pengalokasian bantuan sosial tahun demi tahun harus menunjukkan jumlah yang semakin berkurang agar APBD berfungsi sebagai instrumen pemerataan dan keadilan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.

  • Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan Buletin Teknis Nomor 10 tentang Belanja Bantuan Sosial Bab III Ketentuan Belanja Bansos bagian 3.5.1 Penerima Bantuan Sosial pada Paragraf 1 yang menyatakan bahwa, “Penerima belanja bantuan sosial dapat meliputi anggota masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan termasuk di dalamnya bantuan untuk lembaga non pemerintah bidang pendidikan dan keagamaan namun harus dipilih secara selektif yaitu yang perlu dilindungi dari kemungkinan terjadinya risiko sosial”. Pada Paragraf 4 juga menyatakan bahwa, “Belanja bantuan sosial dapat juga diberikan kepada lembaga pendidikan, keagamaan atau lembaga sosial lain yang menangani individu/kelompok masyarakat yang memiliki risiko sosial. Belanja bantuan sosial dapat diberikan dalam bentuk penyelenggaraan sekolah, kegiatan penyuluhan, pendampingan dan advokasi untuk individu atau masyarakat yang memiliki risiko sosial”.
  • Pada Konteks Nusa Tenggara Timur (NTT), Belanja Daerah pada APBD NTT TA 2010 ditargetkan sebesar Rp.1.257.423.965.150,00 dengan realisasi sebesar Rp.1.148.082.389.719,00 atau 91,30%. Dari total belanja yang demikian, Belanja Bantuan Sosial ditargetkan sebesar Rp.52.957.700.000,00 dengan realisasi sebesar Rp.49.739.497.703,00 atau 93,92%. Sesuai dengan perencanaan, dana bantuan sosial ini akan dipergunakan untuk: Pertama, Belanja bantuan sosial organisasi masyarakat dengan besaran anggaran Rp.24.200.000.000,00, namun yang direalisasikan hanya sebesar Rp.22.714.227.703,00. Kedua, Belanja bantuan sosial organisasi sosial/kelompok masyarakat dengan total anggaran Rp.13.573.500.000,00 dan yang direalisasi hanya sejumlah Rp.12.867.070.000,00. Ketiga, Belanja Bantuan pendidikan sebanyak Rp.15.184.200.000,00, tetapi yang berhasil direalisasikan Cuma sebesar Rp.14.158.200.000,00. Keseluruhan dana bantuan sosial dalam APBD NTT TA 2010 ini di kelola oleh Biro Keuangan dan Biro Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Daerah Provinsi NTT.
  • Dalam pengelolaan anggaran bantuan social ini, diketahui terdapat sejumlah permasaalahan, yakni: Pertama, Mekanisme pencairan dana realisasi biaya penunjang kegiatan pemerintahan dan kemasyarakatan tidak didukung dokumen memadai. Salah satu kegiatan yang ditangani oleh Biro Keuangan dalam belanja bantuan sosial organisasi kemasyarakatan adalah bantuan biaya penunjang kegiatan pemerintahan dan kemasyarakatan lainnya, dengan anggaran dalam DPPA Perubahan T.A. 2010 sebesar Rp.17.400.000.000,00. Pengujian pada penatausahaan Belanja Bantuan Sosial periode bulan Januari s.d. September 2010 diketahui bahwa terdapat realisasi sebesar Rp.6.509.000.000,00 dalam bentuk pemberian tunai dengan bukti berupa kuitansi tanda terima oleh pihak internal Pemerintah Provinsi NTT. (NB: Wawancara dengan Kuasa Pengguna Anggaran Belanja Bantuan Sosial pada Biro Keuangan dijelaskan bahwa realisasi tersebut digunakan untuk pemberian bantuan tunai kepada masyarakat pada saat pihak internal Pemerintah Provinsi NTT melaksanakan kunjungan ke daerah-daerah di wilayah Provinsi NTT. Tidak ada bukti tanda terima oleh masyarakat sebagai dokumen pertanggungjawaban pemberian bantuan tersebut. Selain itu, tidak ada dokumen pendukung berupa rincian penggunaan dana atau proposal atau dokumen lain yang dipersamakan. Pada 90 lembar kuitansi (42%) dari total 214 kuitansi, dokumen pencairan dana didukung nota dari Gubernur NTT yang berisi pengajuan penyiapan dana). Selain itu, ditemukan juga Dalam dokumen penatausahaan Belanja Bantuan Sosial diketahui terdapat Belanja Bantuan Sosial sebesar Rp.4.086.500.000,00 yang diterima oleh pihak internal dengan bukti hanya berupa kwitansi internal dan Nota Gubernur, dengan rincian: (1). Bantuan biaya penunjang kegiatan pemerintahan dan kemasyarakatan yang diberikan kepada pihak internal (eksekutif) Provinsi NTT, seluruhnya 70 kuitansi sebesar Rp.2.666.500.000,00, (2). Bantuan biaya penunjang kegiatan pemerintahan dan kemasyarakatan yang diberikan kepada pihak internal (legislatif) Provinsi NTT dalam rangka bantuan pemberdayaan masyarakat, seluruhnya 55 kuitansi sebesar Rp.1.420.000.000,00. (NB: Wawancara dengan Kuasa Pengguna Anggaran Belanja Bantuan Sosial pada Biro Keuangan Sekretariat Daerah Provinsi NTT dijelaskan bahwa realisasi tersebut digunakan untuk pemberian bantuan tunai kepada masyarakat pada saat pihak internal Pemerintah Provinsi NTT melaksanakan kunjungan ke daerah-daerah di wilayah Provinsi NTT. Tidak ada bukti tanda terima dan proposal dari pihak penerima bantuan sebagai dokumen pertanggungjawaban pemberian bantuan tersebut. Selain itu, tidak ada dokumen pendukung berupa rincian penggunaan dana atau proposal/permohonan dana). Kedua, Realisasi belanja bantuan sosial tidak sesuai peruntukan. Berdasarkan pengujian pencatatan dan dokumen pendukung realisasi belanja bantuan sosial pada kegiatan bantuan biaya penunjang kegiatan pemerintahan dan kemasyarakatan lainnya yang dikelola oleh Biro Keuangan diketahui bahwa terdapat transaksi sebesar Rp.607.341.000,00 yang tidak sesuai peruntukan. Realisasi sebesar Rp.173.246.000,00 digunakan untuk membayar tagihan biaya iklan dan penggunaan repiter radio. Realisasi sebesar Rp.434.095.000,00 digunakan untuk membiayai perjalanan dinas. Hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip bantuan sosial yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, Realisasi belanja bantuan sosial belum dilengkapi dengan pertanggungjawaban. Realisasi belanja bantuan sosial pada Biro Keuangan sebesar Rp.13.117.064.303,00 belum dilengkapi dengan pertanggungjawaban penggunaan dana dari penerima bantuan kepada pemberi bantuan, terdiri dari: (1). Belanja Bantuan Sosial Kepada Lembaga/Organisasi Sosial Kemasyarakatan pada kode rekening 5.1.5.01.01 dengan anggaran sejumlah Rp.9.874.304.303,00. (2). Belanja Bantuan Kepada Orang/Kelompok Masyarakat/Anggota Masyarakat pada kode rekening 5.1.5.01.02 dengan anggran sebesar Rp.1.051.660.000,00. (3). Belanja Bantuan Pendidikan pada kode rekening 5.1.5.01.03 dengan anggaran sebanyak Rp.2.191.100.000,00. (NB: Wawancara dengan Kuasa Pengguna Anggaran Belanja Bantuan dijelaskan bahwa bantuan yang diberikan bersifat bantuan lepas dan tidak ada penyampaian pelaporan/pertanggungjawaban bantuan dari penerima bantuan. Pemeriksaan secara uji petik terhadap realisasi Belanja Bantuan Sosial Kepada Lembaga/Organisasi Sosial Kemasyarakatan (5.1.5.01.01) pada Biro Kesejahteraan Rakyat diketahui belanja bantuan sosial sebesar Rp.216.800.000,00 belum dilengkapi dokumen pertanggungjawaban penggunaan dana dari penerima bantuan. Dengan demikian, pada kedua satuan kerja tersebut, nilai belanja bantuan sosial yang belum dilengkapi dengan pertanggungjawaban adalah sebesar Rp.13.333.864.303,00).
  • Realita pengelolaan anggaran bantuan sosial yang seperti ini secara yuridis tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pada Pasal 61 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Setiap pengeluaran harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih”.
  • Pengelolaan dana bantuan sosial yang seperti ini, juga bertentangan dengan: Pertama, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pada Pasal 45 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Bantuan sosial digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat” dan pada pasal 45 ayat (2) yang menyatakan bahwa, “Bantuan sosial diberikan tidak secara terus menerus/tidak berulang setiap tahun anggaran, selektif, dan memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya”. Kedua, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 133 ayat (2) yang menyatakan bahwa, “Penerima subsidi, hibah, bantuan sosial, dan bantuan keuangan bertanggung jawab atas penggunaan uang/barang dan/atau jasa yang diterimanya dan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penggunaannya kepada kepala daerah”. Ketiga, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 224 yang menyatakan bahwa, “Bendahara pengeluaran yang mengelola belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, bantuan keuangan, belanja tidak terduga, dan pembiayaan melakukan penatausahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
  • Selain itu, pengelolaan dana bantuan social yang demikian, juga tidak sesuai dengan Peraturan Gubernur NTT No. 37 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Belanja Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial, Bagi Hasil Bantuan Keuangan, dan Belanja Tidak Terduga Provinsi NTT khususnya pada: Pertama, Pasal 12 ayat (1) yang menyatakan bahwa, ”Belanja Bantuan Sosial digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan yang bersifat sosial kemasyarakatan dalam dalam bentuk uang dan/atau barang kepada organisasi/kelompok/anggota masyarakat”. ayat (2) yang menyatakan bahwa, ”Bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara selektif, tidak secara terus menerus/tidak mengikat serta memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah”. Ayat (4) yang menyatakan bahwa, ”Penerima bantuan diwajibkan menyampaikan pertanggungjawaban penggunaan dana kepada pemberi bantuan”. Kedua, Pasal 14 ayat (3) yang menyatakan bahwa, ”Dokumen kelengkapan terdiri dari proposal dari pemohon yang meminta bantuan social kepada Pemerintah Provinsi NTT”. Ketiga, Pasal 23 ayat (1) yang menyatakan bahwa, ”Penerima belanja subsidi, hibah, bantuan sosial, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga bertanggungjawab atas penggunaan uang/barang dan/atau jasa yang diterimanya dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan dan wajib menyampaikan pertanggungjawaban penggunaannya kepada Gubernur NTT melalui PPKD dan SKPD/Biro yang bersangkutan”. Ayat (3) yang menyatakan bahwa, ”SKPD/Biro yang membidangi wajib mengingatkan kewajiban dari penerima belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. ayat (5) yang menyatakan bahwa, ”Hibah/bantuan sosial dalam bentuk uang kepada organisasi nonpemerintah dan masyarakat dipertanggungjawabkan dalam bentuk bukti tanda terima uang dan bukti-bukti penggunaan dana sesuai Naskah Perjanjian Hibah Daerah/proposal permohonan bantuan atau dokumen lain yang dipersamakan paling lama tiga bulan setelah pelaksanaan kegiatan”.
  • Keseluruhan informasi ini diolah dari dokumen LHP BPK RI Nomor: 1.a/LHP-LKPD/XIX.KUP/2011, Tertanggal 16 juni 2011, LHP BPK RI Nomor: 1.b/LHP-LKPD/XIX.KUP/2011, Tertanggal 16 juni 2011, LHP BPK RI Nomor: 30/S/XIX.KUP/01/2011, Tertanggal 31 Januari 2011, Dok. APBD Prov. NTT TA. 2010, Dok. APBD Prov. NTT TA. 2011 dan dipadukan dengan Hasil Investigasi PIAR NTT Tahun 2010 - 2011.

---------------------------------------------------
Keterangan:
*. Pointers untuk Diskusi Terbatas, MEMBEDAH KORUPSI DI NTT (Suatu Catatan Kritis Awal Tahun), yang dilaksanakan oleh Lembaga Bhakti Flobamora di Restoran Nelayan, Kota Kupang, pada tanggal 6 Januari 2012.
**. Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT.
TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...