Jumat, 27 Maret 2015

Pengorganisiran Rakyat

PENGORGANISIRAN RAKYAT1)
Oleh. Paul SinlaEloE2)


Datanglah kepada rakyat, hiduplah bersama mereka, belajarlah dari mereka, cintailah mereka, mulailah dari apa yang mereka tahu, bangunlah dari apa yang mereka punyai, tetapi pedamping yang baik adalah ketika pekerjaan selesai dan tugas dirampungkan, rakyat berkata: “Kami sendirilah yang mengerjakannya” (Lao Tse, 700 SM).


PENDAHULUAN
Pengorganisiran rakyat sesungguhnya merupakan sebuah pemikiran dan pola kerja yang telah ada dan berlangsung sejak berabad-abad yang lampau. Pada abad ke-20, konsep dan pola kerja pengorganisiran rakyat kembali menjadi populer, sebagai reaksi terhadap gagasan dan praktek-praktek pembangunan atau “modernisasi” yang berujung pada terinjak-injaknya harkat kemanusiaan, perampasan hak-hak rakyat dan pengurasan secara dahsyat berbagai sumber daya alam untuk kepentingan sekelompok kecil manusia di bumi ini.

Di Indonesia, pengorganisiran rakyat muncul pertama kali diakhir tahun 70-an, dimana pada saat itu mayoritas rakyat tidak memiliki kesadaran kritis atas situasi dan kondisi yang melilitnya. Konsekwensinya, rakyat takluk dan hanya bisa patuh terhadap penindasan, pembodohan pemiskinan serta kesewenang-wenangan yang berujung pada bertumubuh dan mapannya system yang Otoriter, Korup dan Miletristik.

MEMAKNAI PENGORGANISIRAN RAKYAT
Pengorganisiran bukanlah kerja-kerja organisatoris untuk membuat sebuah organisasi yang tadinya tidak baik dan tidak berjalan, menjadi suatu organisasi yang baik dan bisa berjalan secara disiplin.

Secara substansial, pengorganisiran merupakan kerja-kerja penyadaran untuk membangun kekuatan rakyat, sehingga rakyat dapat secara optimal memanfaatkan potensi yang dimiliki. Pengorganisiran rakyat dapat juga diartikan sebagai upaya terencana dalam membangun kesadaran rakyat, guna memahami secara kritis akan lingkungannya serta mampu mengambil tindakan yang mandiri, independent dan merdeka (tanpa paksaan) dalam rangka mengatasi persoalan yang dihadapi.

Dengan pemaknaan pengoragnisiran yang seperti ini, maka pengorganisiran pada dasarnya berfungsi untuk membongkar berbagai kesadaran palsu yang ditanamkan oleh regim yang berkuasa secara Otoriter, Korup dan Miletristik demi langgengnya kekuasaan.

PRINSIP-PRINSIP PENGORGANISIRAN RAKYAT
Dalam melakukan kerja-kerja pengorganisiran, ada sejumlah prinsip yang harus dipegang teguh oleh seorang pendamping/organizer, yakni: Pertama, Keberpihakan. Pengorganisiran rakyat harus menitikberatkan dan berpihak pada rakyat kelas bawah yang termarginalkan/dipinggirkan, sehingga dalam melakukan kerja-kerja pengorganisiran, seorang organizer/pendamping tidak boleh terjebak pada kepentingan kelas menengah dan elit.

Kedua, Menjunjung Tinggi Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi prinsip penting dalam pengorganisiran rakyat. Kerja-kerja pengorganisiran rakyat idealnya harus sesuai dengan dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM. Tercapainya hal ini merupakan tujuan pengorganisiran rakyat. Hak asasi manusia misalnya hak untuk hidup layak, pendidikan, politik, hak untuk berpartisipasi dan sejumlah hak lainya. Ketiga, Tanpa Kekerasan. Pengorganisiran rakyat tidak boleh dilakukan dengan cara kekerasan dan harus menolak segala bentuk kekerasan, baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan struktural.

Keempat, Kesetaraan. Budaya yang sangat menghambat perubahan adalah tinggalan budaya feodal. Oleh sebab itu pembongkaran budaya semacam ini bisa dimulai dengan kesetaraan semua pihak, sehingga tidak ada yang merasa lebih tinggi (superior) dan merasa lebih rendah (inferior), dengan demikian juga merupakan pendidikan bagi kalangan kelas bawah untuk bisa memandang secara sama kepada kelompok-kelompok lain yang ada, terutama dalam berhubungan dengan pemerintah dan swasta.

Kelima, Pendekatan Holistik. Pengorganisiran rakyat harus melihat permasalahan yang dihadapi rakyat secara utuh dan jangan sepenggal-sepenggal, misalnya; hanya melihat aspek ekonomi saja, tetapi harus dilihat dari berbagai aspek sehingga pengorganisiran yang dilaksanakan untuk mengatasi berbagai aspek. Keenam, Partisipatif. Pengorganisiran hendaknya mencari berbagai cara untuk memaksimalkan partisipasi tiap rakyat. Memberi kesempatan kepada setiap orang untuk terlibat akif dalam berbagai kegitan/aktivitas karena Semakin aktif rakyat mengambil bagaian, maka tujuan pengorganisiran akan semakin cepat tercapai.

Ketujuh, Praxis. Proses pengorganisiran rakyat harus dilakukan dalam lingkaran Aksi-Refleksi-Aksi secara terus menerus, sehingga semakin lama  kegiatan yang dilaksanakan akan mengalami peningkatan baik secara kuantitas dan terutama kualitas, karena proses yang dijalankan akan belajar dari pengalaman yang telah dilakukan dan berupaya untuk selalu memperbaikinya. Kedelapan, Keterbukaan. Sejak awal dimulainya pengorganisiran rakya, keterbukaan harus di tanamkan pada semua pihak, sehingga bisa dihindari intrik dan provokasi yang akan merusak tatanan yang telah dibangun. Pengalaman yang ada justru persoalan keterbukaan inilah yang banyak menyebabkan perpecahan dan pembusukan dalam pengorganisiran rakyat.

Kesembilan, Kemandirian. Pengorganisiran rakyat pada pelaksanaaannya harus ditumpukan pada potensi yang adatersedia, sehingga penggalian keswadayaan mutlak diperlukan. Dengan demikian apabila ada faktor luar yang akan terlibat lebih merupakan stimulan yang akan mempercepat proses perubahan yang dikehendaki. Apabila hal kemandirian tidak bisa diwujudkan, maka ketergantungan terhadap faktor luar dalam proses pengorganisiran menjadi signifikan.

Kesepuluh, Pembangunan Komunitas. Tujuan pendampingan/pengorganisiran rakyat akhirnya akan bermuara pada pembangunan komunitas. Pembangunan komunitas mencakup usaha memperkuat interaksi sosial, komunikasi, organisasi, meningkatkan dialog sejati dan aksi-aksi sosial, ekonomi, politik, maupun budaya. Bila pembangunan komunitas kehilangan dimensi-dimensi ini, maka komunitas akan terpecah belah, terisolasi dan individualistis. Pendamping/organizer mesti merancang dan mengupayakan kegiatan-kegiatan yang dapat menyatukan mereka dalam suatu kepentingan bersama seperti usaha kolektif, koperasi, sekolah, kesenian rakyat dan lain-lain.

TAHAPAN DALAM PENGORGANISIRAN RAKYAT
Setidaknya ada 10 (sepuluh) tahap yang harus dilalui/dilakukan seorang organizer dalam melakukan kerja-kerja pengorganisiran, yaitu: Pertama, Integrasi. Langkah paling pertama dan utama dari proses pengorganisiran rakyat adalah menyatunya sang organiser dengan rakyat yang hendak diorganisasikan. Kedua, Penyidikan Sosial. Suatu proses yang sistematis mencari tahu tentang masalah-masalah yang mengitari masalah yang dimaksud. Ketiga, Program Percobaan. Seorang “organizer” harus memilih suatu bentuk kegiatan yang berdasarkan kesepakatan dan jika dilakukan berdampak positif bagi banyak orang. Keempat, Landasan Kerja. Dimaksudkan sebagai bagian awal dari pergerakan rakyat berdasarkan hubungan orang per orang untuk menyuarakan kepentingan bersama. Kelima, Pertemuan Teratur. Pertemuan atau rapat dimaksudkan untuk mempertemukan kepentingan pribadi-pribadi sampai menjadi pengesahan umum.

Keenam, Permainan Peran, Merupakan proses pelatihan setiap orang (semua) dalam komunitas berhadapan dengan pihak luar. Ketujuh, Mobilisasi atau Aksi,. Kegiatan mengungkapkan perasaan dan kebutuhan rakyat secara terprogram. Kedelapan, Evaluasi. Merupakan proses peninjauan ulang apakah langkah-langkah yang sudah ditempuh sebelumnya sudah tepat atau tidak. Kesembilan, Refleksi. Proses perenungan ulang secara keseluruhan usaha pembetukan organisasi rakyat yang tangguh dengan melipatkan sebanyak mungkin orang. Kesepuluh, Terbentuknya Organisasi Rakyat (formal/informal). Proses berlangsungnya gagasan di antara anggota bukan lagi oleh orang perorang, melainkan sudah kolektif menghadapi dan menyelesaikan persoalan bersama.

PENYEBAB HANCURNYA PENGORGANISIRAN RAKYAT
Hancur tidaknya suatu pengorganisiran rakyat sangat tergantung dari pendamping/organizer itu sendiri. Ada 4 (empat) faktor utama yang dapat menyebabkan hancurnya pengorganisiran rakyat, yakni: Pertama, Pendamping/organizer tidak memiliki visi dan misi yang tegas dan jelas, serta perencanaan program yang tidak berdasarkan kebutuhan anggota. (NB: Termasuk didalamnya kemampuan dari pendamping/organizer). Kedua, Kurangnya integritas dari pendamping/organizer. (NB: Terutama godaan untuk menjadi popular). Pendamping/organizer yang baik adalah pendamping/organizer yang tidak dikenal oleh lawan. Ketiga, Pendamping/organizer terjebak pada pendekatan kasus. Keempat, Pendamping/organizer tidak mampu membangun basis logistik (fundraising), akibat terlalu bergantung pada pihak lain.

PENUTUP
Demikianlah Sumbangan pemikiran saya. Semoga bermanfaat dan materi ini dapat menjadi bahan pengantar untuk suatu disuksi yang lebih luas.


Tarus Raya, 13 Maret 2015


DAFTAR BACAAN

  1. Ahcmad Wazir Wicaksono dan Taryono Darusman, Pengalaman Belajar Praktek Pengorganisasian Masyarakat di Simpul Belajar, Penerbit Simpul Belajar Pengorganisasian Masyarakat, Bogor, 2001.
  2. Akhmad Fikri, dkk, Menjadi Politisi Ekstra Parlementer, Penerbit LKiS & TAF, Yogyakarta, 1999.
  3. Bill Moyer, Merencanakan Gerakan, Penerbit Pustaka Kendi, Yogyakarta, 2004.
  4. Budi Yana Saefullah, dkk, Pengorganisasian Rakyat (Modul Pelatihan), Penerbit Institute For Civil Society (INCIS), Jakarta, 2003.
  5. Paul SinlaEloE, Memahami Analsis Sosial, Makalah, disampaikan dalam diskusi  thematik  dengan  berthema, “Analisis  Sosial dan Urgensi Pelaksanaannya” yang dilaksanakan oleh PIAR NTT, di Kabupaten Kupang (Diskusi dengan masyarakat basis di Desa Nunsaen, Kecamatan Fatuleu), pada tanggal 03 Februari 2004.
  6. Paul SinlaEloE, Analisis  Sosial dan Urgensi Pelaksanaannya di Era Reformasi,  Makalah, dipresentasikan dalam Pelatihan Kader Kepemimpinan III PERMATAR Periode 2006/2007, yang dilaksanakan oleh Persekutuan Mahasiswa Mataru (PERMATAR), di Aula PEMDA Alor  (Oesapa- KotaKupang), pada tanggal 9 April 2006.
  7. Ritu R. Sharma, Pengantar Advokasi: Panduan Latihan, Penerbit Yayasan Obor Indonesia & Tifa, Jakarta, 2004.
  8. Stefanus Mira Mangngi,  Pengorganisasian Massa (Rakyat): Upaya Menggapai Tatanan Indonesia Baru Yang Lebih Demokratis, Makalah Disampaikan dalam Kegiatan Penerimaan Anggota Baru GMNI Cab. Kota Kupang, yang dilaksanakan oleh GMNI Cab. Kota Kupang, di Aula Seroja, Kanwil Diknas NTT-Kupang, Pada Tanggal, 17 Nopember 2001.
  9. Timur Mahardika, Strategi Membuka Jalan Perubahan, Penerbit Pondok Edukasi, Bantul, 2006.
  10. Valerie Miller & Jane Covey, Pedoman Advokasi: Perencanaan, Tindakan dan Refleksi, Penerbit Yayasan Obor Indonesia & Tifa, Jakarta, 2005.




1) Materi ini dipresentasikan dalam diskusi komunitas, Thema: “Membangun Gerakan Advokasi Berbasis Komunitas”, yang dilaksanakan oleh Rumah Perempuan, di Aula Kantor kelurahan Nefonaek, Kota Kupang, pada tanggal 16 Maret 2015.
2) Aktivis PIAR NTT.


TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...