Selasa, 03 Oktober 2017

Instrumen Melawan Perdagangan Orang

INSTRUMEN MELAWAN PERDAGANGAN ORANG
Oleh. Paul SinlaEloE



Perdagangan orang sudah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Perdagangan orang merupakan tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Saat ini perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi maupun tidak terorganisasi, baik bersifat antar negara maupun dalam negeri. Bahkan perdagangan orang telah menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Sebagai sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan, tidaklah mengherankan apabila banyak negara (termasuk Indonesia), bersepakat untuk memberantas perdagangan orang dari muka bumi. Disahkan dan diundangkannya UU No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang/UUPTPPO, dalam LN RI Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan LN RI Nomor 4720, pada tanggal Tanggal 19 April 2007, merupakan salah satu wujud dari komitmen Indonesia dalam melawan perdagangan orang.

Dalam konteks itu, memahami substansi dari UUPTPPO dalam rangka berperang melawan perdagangan orang adalah sesuatu yang mutlak diperlukan. Karenanya, tulisan ini akan menguraikan secara ringkas dan sederhana tentang materi muatan dan ruang lingkup dari instrumen utama yang dimiliki Indonesia untuk melawan perdagangan orang.

Materi Muatan UUPTPPO
Dalam ilmu perundang-undangan, materi muatan dipahami sebagai materi yang dimuat dalam suatu produk hukum sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki. Secara substansi, materi muatan dalam UUPTPPO dikonstruksikan untuk mengantisipasi dan menjerat pelaku yang melakukan semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan antar wilayah dalam negeri maupun secara antar negara.

Perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum, merupakan bagian yang diatur dalam materi muatan dari UUPTPPO. Selain itu, UUPTPPO dalam materi muatannya juga mengatur tentang hak korban atas restitusi yang harus diberikan oleh pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), sebagai ganti kerugian (baik materil maupun imateril) bagi korban. Sedangkan hak rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi, dimandatkan dalam materi muatan dari UUPTPPO untuk dilakukan oleh negara, terutama bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat TPPO.

Poin penting lainnya yang terdapat dalam materi muatan dari UUPTPPO, yakni pencegahan dan penanganan TPPO yang tanggungjawabnya diserahkan kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga untuk dilaksanakan secara komprehensif dan terpadu dalam wadah gugus tugas. Aspek lainnya dari materi muatan UUPTPPO adalah kerja sama internasional dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya.

Keseluruhan substansi dari materi muatan yang terdapat dalam UUPTPPO ini, diuraikan secara terperinci dalam 9 (sembilan) Bab dan dijabarkan dalam 67 pasal. Pada Bab I dari UUPTPPO, diatur tentang ketentuan umum yang dalam Pasal 1 memuat 15 (lima belas) rumusan akademik mengenai pengertian istilah dan frasa. Materi tentang TPPO diatur dalam Bab II dan diuraikan mulai dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 18. UUPTPPO juga mengatur tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan TPPO dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 27 yang merupakan inti dari Bab III.

Aturan mengenai penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, diatur dalam 15 pasal yang terdapat dalam Bab IV UUPTPPO, yakni mulai dari Pasal 28 sampai dengan Pasal 42. Pengaturan terkait perlindungan saksi dan korban, terdapat pada Bab V dan dijabarkan dalam UUPTPPO mulai dari Pasal 43 sampai dengan Pasal 55. Dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 58 yang terdapat pada Bab VI UUPTPPO, diatur tentang pencegahan dan penanganan. Sedangkan pengaturan mengenai kerja sama internasional dan peran serta masyarakat diatur pada Bab VII UUPTPPO dan diperincikan dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 63.

Ketentuan peralihan diatur dalam Pasal 64 UUPTPPO yang terdapat pada Bab VIII. Substansi ketentuan peralihan dalam UUPTPPO adalah penyesuaian pengaturan hubungan hukum atau tindakan hukum yang sudah ada berdasarkan produk hukum yang lama terhadap produk hukum yang baru. Pengaturan tentang ketentuan peralihan dalam UUPTPPO, bertujuan untuk: (a). Menghindari terjadinya kekosongan hukum; (b). Menjamin kepastian hukum; (c). Memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan dari produk hukum; dan (d). Mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.

Pada Bab yang terakhir dari UUPTPPO, yakni Bab IX diatur tentang ketentuan penutup yang diuraikan mulai dari Pasal 65 sampai dengan Pasal 67. Ketentuan Penutup dari UUPTPPO, pada intinya memuat ketentuan mengenai: Pertama, penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan produk hukum. Kedua, status produk hukum yang sudah ada. Ketiga, saat mulai berlaku dari produk hukum.

Dalam UUPTPPO, terdapat bagian terkait penjelasan umum dan ada juga bagian penjelasan pasal demi pasal. Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan UUPTPPO yang telah tercantum secara singkat dalam butir konsiderans, serta asas, tujuan, atau materi pokok yang terkandung dalam batang tubuh. Sedangkan, bagian penjelasan pasal demi pasal berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk UUPTPPO atas norma tertentu yang terdapat dalam batang tubuh.

Ruang Lingkup UUPTPPO
Ruang lingkup atau batasan pemberlakuan dari UUPTPPO tidak berbeda dengan ruang lingkup berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana). Hal ini disebabkan karena TPPO merupakan kekhususan dari disiplin ilmu pidana. Ruang lingkup pemberlakuan UUPTPPO dikelompokan dalam 2 (dua) kategori, yakni menurut waktu dan menurut tempat.

Batasan pemberlakuan UUPTPPO menurut waktu adalah kapan (menyangkut waktu) seseorang melakukan suatu tindak pidana khususnya TPPO. Sedangkan ruang lingkup berlakunya UUPTPPO menurut tempat, merupakan pemberlakuan UUPTPPO dengan berpatokan pada wilayah hukum atau teritorial dimana terjadinya suatu TPPO sekaligus dengan subjek hukumnya atau siapa pelakunya.

Ruang lingkup UUPTPPO dibatasi dengan asas-asas hukum pidana. Artinya, ketika UUPTPPO diimplementasikan, asas-asas hukum pidana harus dijadikan sebagai pedoman. Menurut Paul SinlaEloE (2017:25), asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan bersifat abstrak, serta bukan merupakan hukum yang konkrit, namun terdapat dalam setiap sistem hukum dan menjelma dalam setiap produk hukum.

Asas hukum memiliki makna yang hampir sama dengan norma hukum. Norma hukum merupakan pedoman untuk berperilaku dalam masyarakat, berupa aturan hukum yang dibuat oleh pihak berwenang dan apabila terjadi pelanggaran atas norma, maka pelanggar akan di berikan sanksi.

Secara konseptual, Paul SinlaEloE (2017:25) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara norma hukum dan asas hukum. Norma hukum merupakan penjabaran atas ide atau konsepsi, sedangkan asas hukum merupakan konsepsi dasar yang dijabarkan dalam norma hukum.

Dalam pemberlakuan UUPTPPO, terdapat sejumlah asas hukum pidana yang merupakan batasan yang tidak boleh dilanggar dan harus dipedomani. Asas-asas dimaksud adalah asas teritorial, asas personalitas (asas nasional aktif), asas perlindungan (asas nasional pasif) dan asas universal yang merupakan pedoman dalam pemberlakuan UUPTPPO berdasarkan tempat. Asas lainnya adalah asas legalitas yang dipergunakan untuk menjadi pedoman dalam pemberlakuan UUPTPPO menurut waktu.

Ruang Lingkup TPPO
Ruang lingkup bisa dimaknai sebagai batasan dalam hal materi dan/atau subjek yang diatur dari suatu produk hukum. Menurut Paul SinlaEloE (2017:14-16), ruang lingkup atau batasan dari TPPO dalam UUPTPPO dapat diklaster dalam 3 (tiga) kategori, yakni: ruang lingkup pelaku, ruang lingkup korban dan ruang lingkup tindakan.

Pelaku dalam konteks UUPTPPO dipahami sebagai pihak atau subjek hukum yang melakukan TPPO. Ruang lingkup pelaku ini, meliputi: Pertama, orang perseorangan, yang mencakup setiap individu/perorangan yang secara langsung melakukan TPPO; Kedua, korporasi, yaitu kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum yang dalam kerja-kerjanya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga terjadi TPPO;

Ketiga, kelompok terorganisasi, yakni kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertindak dengan tujuan melakukan satu atau lebih TPPO dengan tujuan memperoleh keuntungan materiil atau finansial baik langsung maupun tidak langsung (Penjelasan Pasal 16 UUPTPPO); dan Keempat, penyelenggara negara, yakni pegawai negeri atau pejabat pemerintah (NB: termasuk anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat keamanan, penegak hukum atau pejabat publik) yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan TPPO atau mempermudah terjadinya TPPO.

Korban berdasarkan Pasal 1 angka 3 UUPTPPO, dipahami sebagai seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan TPPO. Menurut Farhana (2012:158), ruang lingkup dari korban kejahatan termasuk korban TPPO, mencakup 3 (tiga) hal, yaitu: (1). Siapa yang menjadi korban; (2). Penderitaan atau kerugian apakah yang dialami oleh korban; (3). Siapa yang bertanggungjawab dan/atau bagaimana penderitaan dan kerugian yang dialami korban dapat dipulihkan.

Ruang lingkup tindakan merupakan setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur TPPO (Pasal 1 angka 2 UUPTPPO). Rumusan Pasal 1 angka 2 UUPTPPO menunjukan bahawa faktor penentu (determinant) dalam setiap TPPO adalah setiap perbuatan/tindakan yang pada hakikatnya menyebabkan tereksploitasinya seseorang dalam penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan TPPO.

Dalam UUPTPPO, tindakan-tindakan yang disebut TPPO dikonstruksi dan dijabarkan sebagai berikut: Pertama, memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah Negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain; Kedua, penyalahgunaan kekuasaan mengakibatkan terjadinya TPPO; Ketiga, berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan TPPO, dan tindak pidana itu tidak terjadi; Keempat, membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan TPPO;

Kelima, melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi; Keenam, membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia;

Ketujuh, melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi; Kedelapan, melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi; Kesembilan, merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan TPPO; Kesepuluh, menggunakan atau memanfaatkan korban TPPO dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban TPPO, mempekerjakan korban TPPO untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil TPPO;

Kesebelas, memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya TPPO; Keduabelas, memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan TPPO; Ketigabelas, melakukan penyerangan fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan dalam perkara TPPO;

Keempatbelas, sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara TPPO; Kelimabelas, membantu pelarian pelaku TPPO dari proses peradilan pidana; Keenambelas, memberitahukan identitas saksi atau korban padahal kepadanya telah diberitahukan bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus dirahasiakan.



-------------------------------
KETERANGAN:
1.   Penulis adalah aktivis PIAR NTT
2.    Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam http://www.zonalinenews.com/2017/09/instrumen-melawan-perdagangan-orang/, pada tanggal 27 September 2017.

TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...