MEMAKNAI HAK
MENGUASAI NEGARA
Oleh: Paul SinlaEloE - Aktivis PIAR NTT
Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Umum
Victory News, tanggal 4 September 2019
Negara diberi hak (hak berian/kewenangan)
untuk menguasai Sumberdaya Agraria, karena bumi,
air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
merupakan kekayaan nasional (Pasal 1 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960, Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria/UUPA) dan Negara merupakan organisasi
kekuasaan seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 Ayat (1) UUPA). Wewenang yang
bersumber pada hak menguasai dari Negara ini, secara definitive
dibatasi oleh kewajiban etis, yakni digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam
masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur
(Pasal 2 Ayat (3) UUPA).
Wewenang atas penguasaan Sumberdaya Agraria berdasarkan sifatnya dan pada
azasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat (Penjelasan Pasal 2 UUPA). Namun
demikian, pelaksanaan Hak Menguasai
Negara dapat dikuasakan kepada Daerah-Daerah Swatantra dan Masyarakat Hukum
Adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah (Pasal 2 Ayat (4)
UUPA). Ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (4) UUPA berkaitan erat dengan azas otonomi dan medebewind
(penugasan pemerintah pusat kepada daerah dan
desa dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tugas tertentu) dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Karenanya, segala sesuatunya harus
diselenggarakan menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan nasional.
Dalam perspektif Hukum Administrasi Negara, dasar
perolehan kewenangan Negara sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1)
UUPA Juncto Pasal 2 Ayat (4) UUPA,
disebut dengan istilah ‘atribusi’. Kewenangan atributif ini, merupakan wewenang
yang diperoleh secara atribusi bersifat
asli (orisinil) berasal dari
peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat
menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada.
Menurut Jean Bodin (1530–1596), konsep Hak Menguasai Negara merupakan
turunan dari Teori Kedaulatan (sovereignty
theory). Argumennya, kedaulatan merupakan atribut maupun ciri khusus dan
bahkan menjadi hal pokok bagi setiap kesatuan yang berdaulat atau dikenal
dengan sebutan Negara. Tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat
membatasi kekuasaan Negara. Teori Kedaulatan ini kemudian melahirkan penguasaan
Negara atas seluruh wilayah dalam kedaulatan Negara beserta isinya. Berdasarkan
kedaulatan tersebut, maka harta kekayaan (property)
yang menjadi hak warga Negara tergantung pada diskresi dari pemegang kedaulatan.
Dalam ajaran kontrak sosial, Jean Jacques Rousseau (1712-1778) menegaskan bahwa kedaulatan pada
hakikatnya bukanlah kekuasaan dan kekuasaan Negara adalah bukan kekuasaan tanpa
batas. Kekuasaan Negara dibatasi oleh hukum
alam dan hukum Tuhan, serta hukum umum yang berlaku pada semua bangsa yang
dinamakan leges imperii. Kekuasaan Negara
sebagai suatu badan atau organisasi rakyat, bersumber dari hasil perjanjian
masyarakat (contract soscial) yang esensinya merupakan suatu bentuk
kesatuan untuk membela dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan pribadi dan
milik setiap individu.
Di Indonesia, konsep Hak Menguasai Negara
seringkali dipergunakan secara tidak tepat dan/atau diterapkan dengan tidak
sempurna. Pada tataran implementasi, penekanan dari konsep Hak Menguasai Negara
atas Sumberdaya Agraria di Indonesia, lebih dititikberatkan pada aspek
penguasaan Negara dan tak jarang ungkapan demi kemakmuran rakyat hanya
dijadikan sebagai pembenaran atas penguasaan tersebut. Pengelolaan Sumberdaya
Agraria oleh Negara yang dilakukan dengan cara perampasan, pencaplokan,
penggusuran adalah potret buram yang seringkali terjadi dalam implementasi konsep
Hak Menguasai Negara. Inilah realita yang terjadi dalam kehidupan bernegara di
Indonesa, sejak merdeka sebagai sebuah negara bangsa.
Penerapan konsep terkait Hak Menguasai Negara
yang tidak tepat dan/atau tidak sempurna ini, telah berdampak pada: Pertama, ketidakpastian dalam
penguasaan dan pemilikan Sumberdaya Agraria; Kedua, ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan Sumberdaya
Agraria; Ketiga, ketidakadilan dalam
relasi produksi dan distribusi Sumberdaya Agraria; dan Keempat, ketidakpastian, ketimpangan dan ketidaksesuaian dalam
alokasi ruang dan pendayagunaan Sumberdaya Agraria.
Konsekuensinya adalah para subjek hukum (Rakyat, Masyarakat Adat, Negara, Institusi
Keagamaan, Pemilik Modal, Korporasi dan Partai Politik,), saling berkonflik
untuk memperebutkan Sumberdaya Agraria. Karenanya, memaknai konsep Hak
Menguasai Negara secara benar dan mengimplementasikannya secara sempurna adalah
hal yang penting dan mendesak untuk segera diwujudkan demi tercapainya
masyarakat Indonesia yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
Secara yuridis, konsep terkait hak Negara
dalam menguasai Sumberdaya Agraria, telah diatur secara tegas dalam UUPA. Pada
Pasal 2 Ayat (2) UUPA dijabarkan bahwa dalam mengimplementasikan Hak Menguasai
Negara, Negara hanya diberi wewenang untuk: Pertama, mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; Kedua, menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; dan Ketiga, menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang
mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Konsep terkait hak Negara dalam menguasai Sumberdaya
Agraria, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) UUPA, pada
dasarnya menghendaki agar konsep dikuasai oleh Negara, haruslah diartikan
mencakup makna penguasaan oleh Negara dalam arti luas yang bersumber dan
berasal dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya”. Termasuk pula di dalamnya kepemilikan publik oleh
kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Artinya, makna dari
istilah “dikuasai oleh Negara” yang terdapat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 maupun
Pasal 2 Ayat (2) UUPA, tidak boleh diartikan sebagai pemilikan dalam arti hukum
perdata (privat) oleh Negara. Sebab, apabila
Hak Menguasai Negara diartikan sebagai memiliki (eigensdaad), maka tidak ada jaminan bagi pencapaian tujuan dari hak
menguasai tersebut, yakni sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pemaknaan Hak Menguasai Negara yang bukan
dalam arti perdata (privat) ini,
sejalan dengan Putusan Mahkaman Konstitusi No.
35/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; Putusan
Mahkaman Konstitusi No. 50/PUU-X/2012 tentang pengujian UU No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum; dan Putusan
Mahkaman Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian UU No. 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam pertimbangan hukum pada Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian Undang-Undang Minyak dan Gas,
Undang-Undang Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang Sumber Daya Air, Mahkamah
Konstitusi menafsirkan Hak Menguasai Negara bukan dalam makna Negara memiliki (eigensdaad), tetapi dalam pengertian
bahwa Negara merumuskan kebijakan (beleid),
melakukan pengaturan (regelendaad),
melakukan pengurusan (bestuurdaad),
melakukan pengelolaan (beheersdaad),
dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad)
yang semuanya ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Pada akhirnya, harus dipahami bahwa Hak
Menguasai Negara adalah instrumen yang wajib dipergunakan oleh Negara untuk
mencapai tujuan, yakni kemakmuran rakyat. Dalam perspektif hukum, konesp Hak Menguasai
Negara terkait dengan Sumberdaya Agraria dapat dijelaskan sebagai hubungan
hukum antara Negara sebagai subjek dan objeknya adalah Sumberdaya Agraria.
Hubungan hukum ini melahirkan hak dan kewajiban bagi Negara. Negara diberi hak
(hak berian/kewenangan) untuk menguasai Sumberdaya Agraria dengan kewajiban
bahwa penggunaan Sumberdaya Agraria tersebut harus dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.