Selasa, 03 November 2015

Memahami Naskah Akademik

MEMAHAMI NASKAH AKADEMIK
Oleh. Paul SinlaEloE


CATATAN PENGANTAR
Di dalam Ilmu Peraturan Perundang-undangan, Naskah Akademik merupakan prasyarat untuk menyusun rancangan peraturan perundang-undangan. Untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan, maka yang harus dijadikan sebagai acuan utama oleh para pembuat produk hukum adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdapat banyak penambahan ketentuan dan salah satunyaadalah keharusan menyertakan Naskah Akademik dalam rancangan peraturan yang diajukan.

Naskah Akademik sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 adalah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Dalam lampiran tersebut, sistematika Naskah Akademik meliputi: Judul; Kata Pengantar; Daftar Isi; BAB I Pendahuluan;  Bab II Kajian Teoritis dan Praktik Empiris; Bab III Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-undangan Terkait; Bab IV Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis; Bab V Jangkauan, Arah Pengaturan dan Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang atau Peraturan Daerah;  Bab VI Penutup; Daftar Pustaka; Lampiran Rancangan Peraturan Perundang-undangan.


CATATAN TERKAIT DENGAN SISTEMATIKA NASAKAH AKADEMIK
Pendahuluan
Pendahuluan dalam penyusunan bab I Naskah Akademik memuat latar belakang, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan serta metode penelitian. Latar belakang memuat pemikiran dan alasan perlunya penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan dalam membentuk suatu Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. Latar belakang menjelaskan mengenai perlunya suatu kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah dalam latar belakang mempunyai arah pada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis dan yuridis untuk mendukung apakah penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah perlu dilakukan.

Identifikasi masalah memuat rumusan masalah yang ditemukan dan diuraikan dalam Naskah Akademik. Identifikasi masalah mencakup empat hal yang dimuat, yaitu: Pertama, permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi; Kedua, mengapa perlu Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah tersebut; Ketiga, apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis serta yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah; dan Keempat, apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan.

Tujuan perumusan Naskah Akademik disesuaikan dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut; Kedua, merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat; Ketiga, merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis dan yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah; dan Keempat, merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.

Dalam tujuan perumusan Naskah Akademik, kegunaan penyusunan juga dituliskan sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah. Metode yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya sama dengan metode yang dipergunakan dalam melakukan suatu penelitian. Metode penelitian dalam penyusunan Naskah akademik berbasiskan pada metode penelitian hukum yang dapat dilakukan melalui: Pertama, metode yuridis normative, dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak atau dokumen hukum lainnya, hasil penelitian, hasil pengkajian dan refeerensi lainnya serta dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi dan rapat dengar pendapat; Kedua, metode yuridis empiris (penelitian sosiolegal), penelitian yang diawali ddeengan penelitian normatif yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan berpengaruh terhadap peraturan perundang-undangan yang diteliti.

Kajian Teoritis dan Praktik Empiris
Kajian teoritis dan praktik empiris dimasukan dalam bab II dan substansinya memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoritis, asas, praktik, perkembangan pemikiran, implikasi sosial, politik dan ekonomi serta keuangan negara dalam suatu Undang-Undang atau Peraturan Daerah. Bab tentang kajian teoritis dan praktik empiris diuraikan menjadi bagian-bagian sebagai berikut: Pertama, kajian teoritis; Kedua, kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma; Ketiga, kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada serta permasalahan yang dihadapi masyarakat; dan Keempat, kajian terhadap implikasi penerapan sistembaru yang akan diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek keuangan negara.

Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-Undangan Terkait
Evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait dijabarkan dalam bab III. Substansi dari bab III memuat: Pertama, hasil kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang memuat kondisi hukum yang ada; Kedua,  keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah baru dengan peraturan perundang-undangan lain; Ketiga, harmonisasi secara vertikal dan horizontal antar peraturan; dan Keempat, status peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk peraturan perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta peraturan perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau Peraturan Daerah baru.

Uraian dalam bab III ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Kajian ini akan menunjukkan posisi dari Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru.

Analisis terhadap peraturan perundang-undangan terkait dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi serta posisi dari Undang-Undang atau Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil analisis ini menjadi bahan penyusunan landasan filosofis dan landasan yuridis pembentukan Undang-Undang atau Peraturan Daerah.

Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis
Bab IV dari suatu naskah akademik harus menguraikan tentang Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis dengan substansi sebagi berikut: (1). Landasan Filosofis. Landasan filosofis merupakan gambaran bahwa peraturan yang dibentuk berdasarkan pada pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. (2). Landasan Sosiologis. Landasan sosiologis merupakan gambaran bahwa peraturan yang dibentuk adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Landasan sosiologis merupakan gambaran fakta empiris mengenai perkembangan masalah, kebutuhan masyarakat serta negara. (3). Landasan Yuridis. Landasan yuridis merupakan gambaran bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum yang terdapat dalam masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-undangan yang baru.

Jangkauan, Arah Pengaturan dan Ruang Lingkup Materi Muatan Undang-Undang atau Peraturan Daerah
Naskah Akademik berfungsi mengarahkan ruang lingkup muatan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Bab ini merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan serta ruang lingkup materi muatan peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk dalam sistematika naskah akademik diletakan pada bab V.

Materi muatan didasarkan pada uraian dari bab-bab sebelumnya, sedangkan ruang lingkup materi pada dasarnya mencakup: Pertama, ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah dan frasa; Kedua, materi yang akan diatur; Ketiga, ketentuan sanksi; dan Keempat, ketentuan peralihan.

Penutup
Penutup merupakan bab akhir dari suatu Naskah akademik dan berisikan: Pertama, Simpulan. Simpulan merupakan rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori dan asas yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. Kedua, Saran. Saran merupakan uraian yang memuat: (1). perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu peraturan perundang-undangan atau peraturan perundang-undangan di bawahnya; (2). rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan Undang-Undang dalam Program Legislasi Nasional atau Rancangan Peraturan Daerah dalam Program Legislasi Daerah; dan (3). hal lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik.

CATATAN PENUTUP
Keseluruhan materi tentang naskah akademik ini diadopsi dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kiranya materi ini bermanfaat dan dapat mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas.


Kupang, 21 Oktober 2012


----------------------------------------------
Keterangan:
1.       Penulis adalah aktivis PIAR NTT

2.       Tulisan ini merupakan materi pengantar dalam diskusi dengan komunitas dampingan PIAR NTT, dl Kec. Amfoang Selatan, Desa O’aem, Kab. Kupang. Pada tanggal 28 Oktober 2012.

Sabtu, 19 September 2015

Korupsi dan Advokasi Anggaran

ADVOKASI ANGGARAN: Alternatif Dalam Meminimalisir Terjadinya Korupsi
Oleh. Paul SinlaEloE

Korupsi pada dasarnya merupakan budaya kekuasaan karena dilakukan oleh oknum-oknum yang memiliki kekuasaan di lingkungan birokrasi pemerintahan dan pelaku swasta yang bersekongkol dengan oknum-oknum tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi anggaran diartikan sebagai perbuatan setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Menurut Gatot Sulistoni, Ervyn Kaffah & Syahrul (2003), korupsi biasanya terjadi sejak pemerintah mengumpulkan anggaran dari rakyat (pajak, iuran, retribusi, dsb) sebagai penerimaan negara, hingga pada saat anggaran tersebut direalisasikan sebagai anggaran pembangunan. Pada konteks NTT, pendapat yang demikian sejalan dengan hasil audit BPK RI Perwakilan IV Denpasar No. 133/5/XIV/4/05/2004, tanggal 7 Mei 2004. Dalam dokumen ini, jelas terlihat bahwa seluruh Pemkab dan Pemkot yang berada di NTT tidak becus dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Bahkan terdapat indikasi korupsi.

Berkaitan dengan realitas di atas dan mengingat bahwa sampai dengan bulan Agustus 2004, NTT telah menjadi propinsi yang menempati posisi ke-6 terkorup di Indonesia (ICW, 2004), maka pemberantasan korupsi di NTT atau paling tidak meminimalisir terjadinya korupsi di NTT, merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda.

Untuk memberantas korupsi di NTT, bukanlah persoalan yang mudah karena merumuskan strategi pemberantasan yang efektif, idealnya salah satu point yang harus diketahui terlebih dahulu jumlah dari para koruptor secara pasti. Hal ini menjadi penting karena seringkali strategi pemberantasan korupsi dirumuskan bersama-sama dengan para koruptor. Sejalan dengan itu, karena sampai dengan saat ini tidak seorang/lembagapun yang mengetahui jumlah dari para koruptor di NTT secara pasti, maka meminimalisir terjadinya korupsi di NTT adalah suatu pilihan yang bijaksana.

Salah satu satu alternatif yang dapat dipergunakan untuk meminimalisisr terjadinya korupsi di NTT adalah dengan cara melakukan advokasi anggaran (APBD). Advokasi anggaran (APBD) adalah upaya untuk mempengaruhi kebijakan anggaran (APBD) agar kebijakan anggaran (APBD) dapat pro rakyat dan tidak disalahgunakan oleh pejabat negara baik atas nama kepentingan instansi, kelompok yang berkuasa maupun pribadi.

Advokasi anggaran (APBD) dapat dilakukan melalui jalur Litigasi maupun Non Litigasi. Jika kita memerangi para koruptor di NTT untuk meminimalisisr terjadinya korupsi dengan cara melakukan advokasi anggaran (APBD) dari jalur Litigasi, otomatis kita akan berhadapan dengan para koruptor lewat sebuah institusi formal, yakni pengadilan, yang sarat dengan berbagai aturan yang mengikat. Pada hal sudah menjadi rahasia umum bahawa kondisi sistem dan lembaga peradilan kita tidak independent dalam melakukan kerja-kerja judicial. Belum lagi berbagai aturan atau kebijakan yang ada pada saat ini, lebih memihak pada para koruptor.

Namun semua itu tidak berarti bahwa kerja-kerja advokasi ditingkat Litigasi untuk memerangi para koruptor menjadi tidak penting. Menurut Stef Mira Mangngi (2001), Justru dalam kondisi politik, hukum dan ekonomi seperti ini, kasus-kasus korupsi yang diadvokasi lewat jalur Litigasi akan menjadi semacam test case sekaligus untuk membangun opini publik.

Sedangkan apabila kita melakukan perjuangan melawan para koruptor di NTT untuk meminimalisir terjadinya korupsi dengan cara advokasi anggaran (APBD) melalui jalur Non Litigasi, maka kita akan melakukan perlawanan terhadap para koruptor di NTT dengan suatu kombinasi permainan yang lebih kompleks dan bersifat politis.

Bertolak argumen yang demikian, maka dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai bagaimana sehrusnya advokasi anggran (APBD) pada jalur Non Litigasi, dilaksanakan. Secara sederhana langkah-langkah advokasi anggaran (APBD) melalui jalur Non Litigasi dapat dilihat dalam bagan berikut ini:


Bagan diatas ini pada dasarnya merupakan skema dasar dalam melakukan advokasi pada jalur Non Litigasi. Dalam rangka meminimalisir terjadinya korupsi di NTT dengan cara melakukan advokasi anggaran (APBD) melalui jalur Non Litigasi, Sri Mastuti & Dian Kartikasari (2001) berpendapat bahwa langkah-langkah yang tertera dalam bagan di atas ini idealnya harus dikembangkan dan di jabarkan, sebagai berikut: PERTAMA, TENTUKAN ISU. Dalam advokasi anggaran, ada banyak isu yang dapat dimainkan, seperti: kebijakan yang berkaitan dengan pengalokasian anggaran, kebijakan struktur anggaran, kebijakan pengelolaan sumber-sumber penerimaan budgeter dan non budgeter, kebijakan tender proyek, kebijakan kontrol dan akuntabilitas anggaran, dll.

KEDUA, TENTUKAN TARGET YANG INGIN DICAPAI. Untuk menentukan target yang ingin dicapai, hendaknya harus diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama, terfokus. Artinya, hasilnya yang diharapkan harus spesifik dan jelas. Kedua, terukur. Maksudnya, hasil yang ingin dicapai harus memiliki indikator yang jelas. Ketiga, rasional dan realistis. Artinya, sasaran atau hasil yang ingin dicapai dapat dilaksanakan dan diwujudkan. Keempat, waktu. Artinya, harus ada patokan waktu untuk mewujudkan target yang ingin dicapai. KETIGA, MENGUMPULKAN DATA. Data atau Informasi yang harus dicari dan dikumpulkan dalam rangka melakukan advokasi anggaran (APBD) ialah siklus penganggaran dan jadwalnya; Siapa yang terlibat dan berperan setiap tahapan penganggaran; Dapatkan dokumen-dokumen anggaran (pidato pengantar nota keuangan, nota keuangan, Propeda, Renstra, Poldas, Repetada, RASK, RAPBD, APBD, nota perhitungan, LPJ, SKO, dll).

KEEMPAT, MELAKUKAN ANALISIS DATA. Analasis data dapat difokuskan diantarnya pada: (a). Apakah proses pembahasan dilakukan secara terbuka dan partisipatif?; (b). Apakah alokasi anggaran yang diajukan sudah proporsional, rasional, efisien, efektif, akuntabel, dan transparan; (c). Dimana titik lemah dan titik kuat dari APBD. Alangkah baiknya jika kita dapat melakukan analisis ketika masih berupa draft, karena peluang untuk merubahnya akan lebih terbuka, dibanding ketika telah disahkan; (d). Dimana peluang-peluang untuk mempengaruhi kebijakan itu. Dalam menganalisis anggaran (APBD), harus dibuat catatan kritis berdasarkan aspek efisiensi (rasional anggaran=input & output), aspek normatif (kepatutan dengan peraturan terkait), aspek efektivitas (input, outcome, benefit & impact), sekaligus juga harus di buat rekomendasi dan masukan berdasarkan permasalahan yang ditemukan.

KELIMA, MENENTUKAN KONSTITUENSI DAN PENGORGANISASIAN. Konstituensi adalah sekelompok orang yang memiliki kepentingan kelompok yang kita wakili dan orang-orang dari mana kita mendapat dukungan politik. Konstituensi ini bisa beragam kelompok kepentingan, misalnya: komunitas rakyat miskin, kelompok perempuan, kelompok petani, kelompok pengungsi, dan lain sebagiannya. Sesudah kita menentukan konstituensi, idealnya harus dilakukan pengorganisasian. Pengorganisasian merupakan usaha untuk membangun kesadaran kritis dari konstituensi sehingga mereka dapat memahami secara kritis akan lingkungannya serta mampu mengambil tindakan yang mandiri, independent dan merdeka (tanpa paksaan) dalam rangka mengatasi persoalan yang dihadapi.

Dalam pengorganisasian untuk advokasi anggaran (APBD), yang harus dilakukan oleh organizer adalah bangunkan kesadaran konstituensi dengan data, artinya hasil analisis yang telah dilakukan wajib disampaikan pada mereka dan diskusikan secara langsung dengan mereka (terutama tokoh-tokoh kuncinya). Pengorganisasian untuk advokasi anggaran (APBD), harus juga meliputi pembentukan sistematika kerja dalam rangka mencegah terjadinya korupsi. Dalam pengertian ini pengorganisasian tidak selalu berarti formal. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan mendorong pembentukan organisasi-organisasi baru dan membangun koordinasi/jaringan kerja.

KEENAM, ANALISIS POTENSI DAN ANCAMAN. Dua hal yang penting untuk dilakukan dalam menganalisis potensi adalah: Analisis sumbrdaya manusia dan analisis sumberdaya anggaran. Sedangkan dalam menganalisis ancaman, satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah analisis resiko. Ini penting diperhatikan, mengingat kerja advokasi termasuk salah satu pekerjaan yang penuh dengan resiko. Apalagi tidak semua orang dapat menerima apa yang menjadi tuntutan kita. Karena itu, sebaiknya sejak awal kita sudah menyiapkan diri untuk menghadapainya, termasuk ancaman teror, penculikan maupun tuntutan hukum yang mungkin akan diajukan kepada kita.

KETUJUH, BERKOALISI/BERJEJARING. Advokasi anggaran (APBD) harus dilakukan secara berjaringan/berkoalisi. Sebelum memutuskan untuk berkoalisi, lihatlah terlebih dahulu, apakah koalisi sejenis sudah ada atau belum. Kalau sudah ada, cobalah untuk mempertimbangkan bergabung dalam koalisi tersebut. Jika ternyata kita merasa tidak dapat bersinergi dengan koalisi yang ada, maka bangunlah koalisi sendiri. Hal-hal yang perlu di pertimbangkan sebelum memutuskan untuk bergabung dalam suatu koalisi adalah: (a). Apakah anggota dalam koalisi tersebut mempunyai reputasi yang baik?; (b). Siapa yang berperan (Charge) dalam koalisi? Apakah kelompok/organisasi yang ada dalam koalisi dapat bekerja sama dengan anda? Apakah mereka mempunyai skill untuk memimpin?; (c). Apa tujuan, strategi dan pendekatan yang dipakai oleh koalisi? Apakah ada konsensus antar anggota yang kuat dalam persoalan yang menjadi fokus advokasi?; (d). Apakah anggota dari koalisi mempunyai hubungan yang baik?; (e). Apa koalisi mempunyai sumber daya yang memadai untuk melancarkan agendanya?; (f). Peran apa yang ditawarkan pada organisasi anda sebagai anggota dari koalisi. Sedangkan untuk membangun sebuah koalisi pertama-pertama tanyakan terlebih dahulu pada kolega anda, apakah mereka mempunyai cukup waktu, energi dan komitmen yang dibutuhkan untuk suatu koalisi. Kemudian identifikasikanlah organisasi-organisasi yang bisa diajak berkoalisi.

Dalam memilih rekan yang akan diajak untuk membangun suatu koalisi, hal-hal yang mesti dijadikan pertimbangan adalah: (a). Bagaimana visi mereka?; (b). Apakah ada pertentangan ideologi?;  (c). Apa potensi yang mereka miliki dan apa potensi yang lembaga kita miliki?; (d). Keuntungan-keuntugan apa yang dapat diperoleh jika kita melakukan koalisi dengan lembaga tersebut?; (e). Hal-hal apa yang jadi penghambat? Untuk memastikan bahwa koalisi yang kita bangun dapat bekerja secara efektif, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : (a). Mulai dengan membangun kepercayaan; (b). Harus ada kejelasan dalam pembagian kerja yang didasarkan atas potensi masing-masing lembaga; (c). Adanya kesepakatan antara anggota untuk memperjuangkan suatu isu untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan bersama; (d). Tetapkan fokus terhadap isu; (e). Membuat aturan main yang disepakati bersama.

KEDELAPAN, MENGIDENTIFIKASI PELUANG DAN HAMBATAN. Dalam proses penyususnan anggaran, ada empat peluang yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan advokasi anggaran, yakni: Pertama, pada tahap pembuatan draft anggaran. Kedua, pada tahap pembahasan anggaran. Ketiga, pada tahap implementasi anggaran. Keempat, pada tahap evaluasi anggaran. Untuk mengidentifikasi hambatan, yang perlu diketahui adalah apa dan siapa yang menjadi penghambat. Kemudian menyiapkan solusi untuk mengantisipasi dan mengatasinya.

KESEMBILAN, MENENTUKAN STRATEGI ADVOKASI. Kejelian dalam memilih strategi advokasi sangat menentukan keberhasilan dalam melakukan advokasi anggaran. Kesalahan dalam menentukan strategi dapat berakibat fatal sampai pada gagalnya upaya advokasi kita. Secara garis besar strategi advokasi pada jalur Non Litigasi dapat dibagi menjadi dua strategi, yaitu: Pertama, strategi proaktif, yang mana diantaranya adalah lobby, Hearing, dan kampa. Kedua, strategi yang reaktif yang meliputi demonstrasi, legal standing, class action, boikot, revolusi, dll. KESEPULUH, MELAKSANAKAN AKSI. Aksi yang dilaksanakan, idealnya harus berdasarkan strategi advokasi dan harus dilaksanakan secara profesional dan tepat waktu. Jika tidak, maka aksi tersebut dapat dipastikan tidak akan mencapai hasil yang optimal.

KESEBELAS, MONITORING DAN EVALUASI. Monitoring dan evaluasi (Monev), ini harus ditujukan untuk mengetahui apakah strategi yang dipergunakan cukup efektif atau harus dirubah dan apakah isu ini masih dapat diteruskan atau tidak. Untuk melakukan Monev, ada sejumlah prinsip yang harus dipegang teguh, yakni: Pertama, Objektif. Artinya, pelaksanaan monev harus dilakukan atas dasar indikator-indikator yang sudah disepakati tanpa tndensi apriori. Kedua, Transparan (Keterbukaan). Pelaksanaan monev harus dilakukan secara terbuka dan diinformasikan kepada seluruh pihak yang terkait dengan pelaksanaan monev ini. Ketiga, Partisipatif. Pelaksanaan monev harus melibatkan secara aktif dan interaktif bagi para pelaku. Keempat, Akuntabilitas (Tanggung Gugat). Pelaksanaan monev dapat dipertanggungjawabkan secara internal maupun eksternal. Kelima, Tepat Waktu. Pelaksanaan monev harus sesuai waktu yang dijadwalkan. Keenam, Berkesinambungan. Artinya, hasil monev harus dipakai sebagai umpan balik pempurnaan pada kebijakan berikut.

Pada akhirnya harus diingat bahwa keseluruhan langkah dalam melakukan advokasi anggaran (APBD) melalui jalur Non Litigasi untuk meminimalisir terjadinya korupsi di NTT sebagaimana yang telah dipaparkan di atas ini, hendaknya dipahami secara dinamis. Artinya langkah-langkah ini tidaklah bersifat kaku serta dapat dikembangkan dan diterpkan sesuai kebutuhan. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam HU. KURSOR, pada tanggal 3 Desember 2004)


-----------------------

Penulis adalah Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT.

Kamis, 17 September 2015

Memahami Class Action

MEMAHAMI CLASS ACTION
Oleh. Paul SinlaEloE


CATATAN PENGANTAR
Gugatan kelompok atau lebih dikenal dengan nama class action adalah pranata hukum yang berasal dari system common law. Walaupun demikian, dalam perkembangannya banyak juga negara-negara yang menganut sistem civil law (seperti Indonesia) mengadopsi sistem ini, sebagaimana (diantaranya) yang tertera dalam Penjelasan Pasal 46 ayat (1) huruf b UU No. 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen.

Class action merupakan suatu mekanisme yang diberikan kepada sekelompok orang yang mempunyai kepentingan dalam suatu masalah, baik seorang atau lebih anggotanya menggugat atau digugat sebagai perwakilan kelompok tanpa harus turut serta dari setiap anggota kelompok. Persyaratan umum yang perlu ada mencakup banyak orangnya, tuntutan kelompok lebih praktis, dan perwakilannya harus jujur dan adequate (layak). Dapat diterima oleh kelompok, dan mempunyai kepentingan hukum dan fakta dari pihak yang diwakili.

Class action bisa merupakan suatu metode bagi orang perorangan yang mempunyai tuntutan sejenis untuk bergabung bersama mengajukan tuntutan agar lebih efisien, dan seseorang yang akan turut serta dalam class action harus memberikan persetujuan kepada perwakilan.

Kegunaan class action secara mendasar antara lain adalah efisiensi perkara, proses berperkara yang ekonomis, Mendorong bersikap hati-hati (Behaviour Modification) dan merubah sikap pelaku pelanggaran, menghindari putusan yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya putusan inkonsistensi dalam perkara yang sama.

Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002, tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Di Indonesia terminologi class action diubah menjadi Gugatan Perwakilan Kelompok. PERMA No. 1 Tahun 2002 merumuskan Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) sebagai suatu prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau kesamaan dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.

Pengertian tentang Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action), sebagaimana yang diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2002, menunjukan bahwa Syarat dari suatu Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action), sebagai berikut: Gugatan secara perdata; Wakil kelompok (Class Representatif); Anggota kelompok (Class Member); Adanya kerugian yang nyata-nyata diderita dan Kesamaan peristiwa/fakta/dasar hukum (Communality).

PROSEDUR GUGATAN
PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTION)
Ketentuan hukum acara dalam class action di  Indonesia diatur secara khusus dalam PERMA No. 1 Tahun 2002, tentang acara gugatan perwakilan kelompok. Namun, sepanjang tidak diatur PERMA No. 1 Tahun 2002, maka untuk hukum acara dalam class action berlaku juga ketentuan dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku (HIR/RBg).

Untuk mewakili kepentingan hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok (Pasal 4 PERMA No. 1 Tahun 2002). Dalam Ketentuan hukum acara perdata di Indonesia, tidak ada kewajiban bagi para pihak (baik penggugat maupun tergugat) untuk diwakili oleh orang lain atau pengacara selama pemeriksaan di persidangan. Para pihak dapat secara langsung maju dalam proses pemeriksaan di persidangan. Namun seperti halnya proses persidangan yang lazim dilakukan, para pihak biasanya diwakili atau memberikan kuasa kepada pengacara untuk maju dalam persidangan.

Dalam kasus class action, berlaku juga ketentuan hukum acara perdata yang mensyaratkan, apabila wakil kelompok pihak diwakili atau didampingi oleh pengacara, maka diwajibkan untuk membuat surat kuasa khusus antara wakil kelompok kepada pengacara.

Hal yang menarik berkaitan dengan pengacara pada class action adalah dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 dimana pada pasal 2 huruf d menyebutkan bahwa hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompok. Disini terlihat bahwa hakim memiliki kewenangan untuk menilai dan menganjurkan penggantian terhadap pengacara dalam perkara class action. Hal ini tidak dapat ditemukan dalam perkara biasa.

Prosedur dalam class action dilakukan dengan melalui tahapan-tahapan:
1.   Permohonan Pengajuan Gugatan Secara Class Action;
Selain harus memenuhi persyaratan-persyaratan formal surat gugatan yang diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku seperti mencantumkan identitas dari pada para pihak, dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan (Fundamentum Petendi/Posita) dan tuntutan, surat gugatan perwakilan kelompok (class action) harus memuat  hal-hal sebagai berikut: Pertama, Identitis lengkap dan jelas wakil kelompok. Identitas biasanya memuat nama, pekerjaan dan alamat lengkap; Kedua, Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu; Ketiga, Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan; Keempat, Posita (posita adalah dasar atau dalil atau alasan gugatan untuk menuntut hak dan kerugian seseorang melalui pengadilan) dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terperinci; Kelima, Dalam suatu gugatan dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub-kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda; Keenam, Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok.

2.   Proses Sertifikasi/Pemberian Ijin;
Berdasarkan permohonan pengajuan gugatan secara class action tersebut, pengadilan kemudian memeriksa apakah wakil tersebut dijinkan untuk menjadi wakil kelompok, apakah syarat-syarat untuk mengajukan gugatan class action sudah terpenuhi, dan apakah class action merupakan prosedur yang tepat dalam melakukan gugatan dengan kepentingan yang sama tersebut. Setelah Hakim memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan class action, maka: Pertama, Apabila hakim memutuskan bahwa penggunaan tata cara gugatan perwakilan kelompok (class action) dinyatakan tidak sah maka pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu putusan hakim dengan amar putusan menyatakan gugatan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijke Verklaard/NO), demikian pula jika hakim berpendapat bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, maka amar putusannya akan menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa perkara tersebut. Atas putusan ini, maka pihak penggugat dapat mengajukan upaya hukum. Kedua, Apabila hakim menyatakan sah, maka gugatan Class Action tersebut dituangkan dalam penetapan pengadilan kemudian hakim memerintahkan penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim. Ketiga, Setelah model pemberitahuan memperoleh persetujuan hakim pihak penggugat melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan oleh hakim.

3.   Pemberitahuan;
Setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah, hakim memerintahkan kepada penggugat/pihak yang melakukan class action untuk mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim. Setelah usulan model tersebut disetujui oleh hakim, maka penggugat dengan jangka waktu yang ditentukan oleh hakim melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok.

Pemberitahuan kepada anggota kelompok adalah mekanisme yang diperlukan untuk memberikan kesempatan bagi anggota kelompok untuk menentukan apakah mereka menginginkan untuk ikut serta dan terikat dengan putusan dalam perkara tersebut atau tidak menginginkan yaitu dengan cara menyatakan keluar (opt out/kesempatan untuk anggota kelompok menyatakan diri keluar dari class action apabila  tidak menghendaki menjadi bagian dari gugatan) dari keanggotaan kelompok. 

Dalam pemberitahuan tersebut juga memuat batas waktu anggota kelas untuk keluar dari keanggotaan (opt out), lengkap dengan tanggal dan alamat yang dituju untuk menyatakan opt out. Dengan demikian pihak yang menyatakan keluar dari keanggotaan kelompok tidak terikat dengan putusan dalam perkara tersebut.

Menurut pasal 1 PERMA  No. 1 Tahun 2002 yang melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok adalah panitera berdasarkan perintah hakim. Cara pemberitahuan kepada anggota kelompok dapat dilakukan melalui media cetak dan atau elektronik, kantor-kantor pemerintah seperti kecamatan, kelurahan atau desa, kantor pengadilan, atau secara langsung kepada anggota yang bersangkutan sepanjang dapat diindentifikasi berdasarkan persetujuan hakim.

Pemberitahuan wajib dilakukan oleh penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok kepada anggota kelompok pada tahap-tahap: Pertama, Segera setelah hakim memutuskan bahwa pengajuan tata cara gugatan perwakilan kelompok dinyatakan sah (pada tahap ini harus juga memuat mekanisme pernyataan keluar). Kedua, Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian ganti kerugian ketika gugatan dikabulkan. Namun apabila dalam proses pemeriksaan, pihak tergugat mengajukan perdamaian, maka pihak Penggugat untuk dapat menerima atau menolak tawaran perdamaian tersebut juga harus melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompoknya.

Berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2002, Pemberitahuan yang dilakukan harus memuat: Pertama, Nomor gugatan dan identitas penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok serta pihak tergugat atau para tergugat; Kedua, Penjelasan singkat tentang kasus; Ketiga, Penjelasan tentang pendefinisian elompok; Keempat, Penjelasan dari implikasi keturutsertaan sebagai anggota kelompok; Kelima, Penjelasan tentang kemungkinan anggota kelompok yang termasuk dalam definisi kelompok untuk keluar dari keanggotaan kelompok; Keenam, Penjelasan tentang waktu yaitu bulan, tanggal, jam, pemberitahuan penyataan keluar dapat diajukan ke pengadilan; Ketujuh, Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk mengajukan penyataan keluar; Kedelapan, Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok tentang siapa dan tempat yang tersedia bagi penyedian informasai tambahan; Kesembilan, Formulir isian tentang pernyataan keluar anggota kelompok sebagaimana yang diatur dalam lampiran  PERMA No. 1 Tahun 2002; Kesepuluh, Penjelasan tentang jumlah ganti rugi yang akan diajukan.

PERMA No. 1 Tahun 2002 sendiri hanya mengatur mengenai pemberitahuan dan pernyataaan keluar (opt out), sedangkan mengenai pernyataan yang menyatakan sebagai bagian class action (opt in) tidak diatur. Pada mekanisme pemberitahuan ini membuka kesempatan bagi anggota kelompok untuk menyatakan diri keluar dari class action apabila tidak menghendaki menjadi bagian dari gugatan.

Dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 disebutkan bahwa pernyataan keluar adalah suatu bentuk pernyataan tertulis yang ditandatangani dan diajukan kepada pengadilan dan/atau pihak penggugat oleh anggota kelompok yang menginginkan diri keluar dari keanggotaan gerakan perwakilan kelompok/class action. Pihak yang menyatakan diri keluar dari keanggotaan gerakan perwakilan kelompok/class action, maka secara hukum tidak terikat dengan putusan atas gugatan tersebut. Sedang pihak lain (penggugat pasif) yang tidak menyatakan keluar (tidak opt out) akan terikat dalam putusan class action tersebut, baik gugatan dikabulkan maupun gugatan tidak dikabulkan. Dalam hal tuntutan class action ditolak, penggugat pasif ini tidak dapat lagi mengajukan gugatan untuk kasus yang sama. Sebaliknya jika tuntutan class action dikabulkan ia berhak menerima ganti kerugian yang ditetapkan

4.   Pemeriksaan dan Pembuktian dalam class action;
Proses pemeriksaan dan pembuktiaan dalam gugatan class action adalah sama seperti dalam perkara perdata pada umumnya seperti: Pertama, Pembacaan surat gugatan oleh penggugat; Kedua, Jawaban dari tergugat; Ketiga, Replik atau tangkisan Penggugat atas jawaban yang telah disampaikan oleh Tergugat; Keempat,  Duplik atau jawaban Tergugat atas tanggapan penggugat dalam replik; Kelima, Pembuktian yang merupakan penyampaian bukti-bukti dan mendengarkan saksi-saksi; Keenam, Kesimpulan yang merupakan resume dan secara serentak dibacakan oleh kedua belah pihak.

Namun karena gugatan yang akan diperiksa adalah gugatan class action, ada beberapa hal yang memerlukan pemeriksaan lebih khusus lagi seperti: Pertama, Pemeriksaan apakah wakil yang maju dianggap jujur dan benar-benar mewakili kepentingan kelompok. Pemeriksaan ini tidak hanya dilakukan pada saat sertifikasi akan tetapi juga dilakukan pada tahap pemeriksaan, dengan cara memberikan kesempatan kepada anggota kelompok untuk mengajukan keberatan terhadap wakil kelompok yang maju di persidangan. Atas dasar keberatan ini, hakim dapat mengganti wakil kelompok ini dengan yang lain. Sebelum wakil kelompok diganti, maka ia tidak boleh mengundurkan terlebih dahulu. Kedua, Pemeriksaan apakah ada persamaan dalam hukum dan fakta serta tuntutan pada seluruh anggota kelompok. Ketiga, Pembuktian khusus untuk membuktikan masalah yang sama yang menimpa banyak orang. Keempat, Mekanisme pembagian uang ganti kerugian untuk sejumlah besar uang.


5.   Pelaksanaan Putusan;
Setelah proses pemeriksaan telah selesai selanjutnya hakim menjatuhkan suatu putusan. Sama halnya dengan putusan hakim dalam perkara perdata biasa, maka putusan hakim dalam gugatan class action dapat berupa putusan yang mengabulkan gugatan penggugat (baik sebagian maupun seluruhnya) atau menolak gugatan penggugat.

Dalam hal gugatan ganti kerugian dikabulkan, hakim wajib memutuskan jumlah kerugian secara rinci, penentuan kelompok dan atau sub-kelompok yang berhak menerima, mekanisme pendistribusian ganti kerugian dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil kelompok dalam proses penetapan dan pendistribusian.

Pada dasarnya eksekusi putusan perkara gugatan class action dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan atas permohonan pihak yang menang seperti diatur dalam hukum acara perdata. Namun mengingat bahwa eksekusi putusan harus dilakukan sesuai dengan amar putusan dalam perkara yang bersangkutan, sedangkan dalam amar putusan gugatan class action yang mengabulkan gugatan ganti kerugian memuat pula perintah agar penggugat melakukan pemberitahuan kepada anggota kelompok, serta perintah pembentukan komisi independen yang komposisi keanggotaannya ditentukan dalam amar putusannya guna membantu kelancaran pendistribusian, maka eksekusi dilakukan setelah diadakannya pemberitahuan kepada anggota kelompok, komisi telah terbentuk, tidak tercapai kesepakatan anatara kedua belah pihak tentang penyelesaian ganti kerugian dan tergugat tidak bersedia secara sukarela melaksanakan putusan.

Dalam eksekusi tersebut paket ganti kerugian yang harus dibayar oleh tergugat akan dikelola oleh komisi yang secara administratif di bawah koordinasi panitera pengadilan agar pendistribusian uang ganti kerugian dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan besarnya kerugian yang dialami oleh kelompok.

PERDAMAIAN DALAM GUGATAN
PERWAKILAN  KELOMPOK  (CLASS ACTION)
Dalam gugatan class action dimungkinkan terjadi perdamaian (dading) antara penggugat dengan tergugat. Hakim berkewajiban mendorong para pihak untuk menyelesaikan perkara dimaksud melalui perdamaian, baik pada awal persidangan maupun selama berlangsungnya pemeriksaan perkara (pasal 6 PERMA No. 1 Tahun 2002 ).

Sebelum dilakukan upaya perdamaian dalam class action, pihak penggugat (wakil kelompok) harus mendapatkan persetujuan dari anggota kelompok. Persetujuan ini dapat menggunakan mekanisme pemberitahuan. Umumnya upaya perdamaian dilakukan di luar proses persidangan. Apabila pihak penggugat (wakil kelompok) dan tergugat sepakat dilakukan perdamaian, maka diantara para pihak dilakukan perjanjian perdamaian. Lazimnya perjanjian perdamaian dibuat secara tertulis di atas kertas bermaterai.

Berdasarkan perjanjian perdamaian antara kedua belah pihak, maka hakim menjatuhkan putusannya (acte van vergelijk) yang isinya menghukum kedua belah pihak mematuhi isi perdamaian yang telah dibuat. Kekuatan putusan perdamaian sama dengan putusan biasa dan dapat dilaksanakan seperti putusan-putusan lainnya. Dalam hal para pihak sepakat melakukan perdamaian, maka tidak dimungkinkan upaya banding.

CATATAN PENUTUP
Demikianlah materi ini dibuat sebagai bahan pembelajaran bersama dalam rangka membangun gerakan bersama untuk memperjuangkan hak konsumen. Semoga bermanfaat.


Kupang, 31 Oktober 2009



DAFTAR BACAAN
  1. Emerson Yuntho, Class Action Sebuah Pengantar, Penerbit Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 2005.
  2. UU No. 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen.
  3. PERMA No. 1 Tahun 2002, tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.


----------------------------------------------
KETERANGAN:
1.   Tulisan ini merupakan materi dasar untuk memperkuat kapasitas dari Community Organizer yang dimiliki oleh PIAR NTT.
2.   Penulis adalah Aktivis PIAR NTT

Minggu, 06 September 2015

Bantuan Hukum

BANTUAN HUKUM
Oleh: Paul SinlaEloE - Aktivis PIAR NTT



Meskipun Bantuan Hukum tidak secara tegas dinyatakan sebagai tanggung jawab Negara, namun harus diingat bahwa salah satu tujuan bernegara yang merupakan "kontrak politik" antara rakyat dengan negara yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Poin penting dari tujuan bernegara ini adalah seluruh komponen masyarakat di Indonesia harus dilindungi, termasuk didalamnya dilindungi dari aspek hukum.

Perlindungan hukum bagi seluruh komponen masyarakat di Indonesia ini dipertegas dengan amant Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum". Dalam konteks negara hukum, pengakuan, penghormatan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia bagi setiap individu termasuk hak atas Bantuan Hukum, wajib dilakukan oleh negara. Penyelenggaraan pemberian Bantuan Hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus sebagai implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (Access to Justice) dan kesamaan di hadapan hukum (Equality Before The Law).

Di Indonesia pelaksanaan bantuan hukum publik Pro Bono (Cuma-Cuma) belum berjalan secara maksimal. Hal ini ditandai oleh adanya disparitas kedudukan antara advokat dan lembaga-lembaga bantuan hukum perguruan tinggi maupun lembaga swadaya masyarakat yang menjadikan proses bantuan hukum terhenti secara administratif.

Dengan hadirnya UU No. 16 Tahun 2011, tentang Bantuan Hukum (UU BANKUM), yang diundangkan pada 2 November 2011 dalam LN-RI Tahun 2011 Nomor 104, Tambahan LN-RI Nomor 5246, beragam harapan mulai muncul demi terbangunnya sebuah sistem bantuan hukum yang dapat diakses oleh semua kelompok masyarakat baik itu perempuan, anak maupun laki-laki, terutama mereka yang termarginalkan serta dari kalangan tidak mampu (Miskin).

Bantuan hukum dalam UU BANKUM dimaknai sebagai jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Bantuan hukum diberikan oleh lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum, yang meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum dari penerima bantuan hukum. Dalam pelaksanaannya, pemberi bantuan hukum diberikan hak melakukan rekrutmen terhadap Advokat, Paralegal, Dosen, dan Mahasiswa Fakultas Hukum.

Pada sisi yang lain, hadirnya UU BANKUM ini masih menyimpan sejumlah cacat bawaan yang dapat menghambat proses implementasinya. Secara kontekstual celah kelemahan yang nampak, antara lain: Pertama, problematika ruang lingkup bantuan hukum meliputi: Kasus Perdata, Pidana, dan Tata Usaha Negara, baik melalui jalur litigasi maupun non litigasi. Bantuan hukum hanya diberikan kepada klien dengan latar belakang miskin (aspek ekonomi). Seharusnya kasus di Mahkamah Konstitusi juga masuk dalam ruang lingkup bantuan hukum. Kriteria penerima bantuan hukum sangat sempit dan hanya dilihat dari aspek ekonomi. Padahal bantuan hukum seharunya juga dapat diberikan kepada kelompok rentan seperti anak, perempuan, penyandang disabilitas, kelompok marginal dan masyarakat adat.

Bantuan hukum juga tidak mengcover kasus-kasus yang berdimensi struktural, kecuali kasus struktural tersebut dialami oleh masyarakat miskin. Padahal kasus struktural tidak selalu dialami oleh masyarakat miskin. Dalam penanganan kasus, apakah lembaga bantuan hukum dapat dieksepsi jika menangani kasus yang bukan “orang miskin”?

Kedua, Kewenangan Menteri Hukum dan HAM di dalam penyelenggaraan bantuan hukum sangat besar yang meliputi menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan bantuan hukum, menyusun dan menetapkan standar Bantuan Hukum, menyusun dan mengelola anggaran, melaporkan penyelenggaraan bantuan hukum kepada DPR serta melakukan verifikasi dan akreditasi. Kewenangan tersebut akan melahirkan Abuse Of Power karena antara pengambil kebijakan, pelaksanaan dan pemberian anggaran berada di satu tangan.

Kewenangan menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan bantuan hukum beserta anggarannya dapat menyebabkan intervensi dan ketidakindependensian dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum. Selain itu, terdapat peluang terjadinya Conflict Of Interest apabila perkara-perkara yang ditangani oleh lembaga bantuan hukum berhadapan secara langsung dengan pemerintah yang memiliki kewenangan akreditasi/verifikasi dan memberikan dana kepada lembaga tersebut. Lembaga yang mengkritisi kebijakan Pemerintah dapat dipersulit untuk mendapatkan akreditasi/verifikasi dan akses dana bantuan hukum. Mengingat uang yang dikelola dari APBN/APBD dalam pemberian bantuan hukum cukup besar akan membuka peluang lahan korupsi baru apabila pengawasan publik tidak berjalan.

Persoalan lain terkait dengan implementasi UU BANKUM adalah apakah advokat yang berada pada 300-an lebih Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang telah diakreditasi dan diverifikasi sebelumnya oleh Kementerian Hukum dan HAM cq BPHN boleh mendapatkan imbalan dari Negara terkait dengan layanan bantuan hukum yang di berikan? Pengaturan tentang persoalan inipun masih terdapat kerancuan dan belum ada kepastian hukumnya. Kerancuan dan persoalan ini berawal dari keterbatasan pemahaman para pembuat UU BANKUM terkait konsep Pro Bono Publico dan Legal Aid.

Secara sederhana legal aid (Bantuan Hukum) dan Pro Bono Publico (Bantuan Hukum Cuma-Cuma) merupakan dua hal yang berbeda. Bantuan Hukum (legal aid) merupakan kebijakan pemerintah untuk memberikan bantuan hukum kepada warga negaranya yang tidak mampu melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum.

Konsep Legal Aid merujuk pada pengertian “State Subsidized”, yakni pelayanan hukum yang dibiayai atau disubsidi oleh negara. Ide bantuan hukum yang dibiayai negara (Publicly Funded Legal Aid) pertama kali diimplementasikan di Inggris dan Amerika Serikat. Konsep ini lahir sebagai sebuah konsekuensi dari perkembangan konsep negara kesejahteraan (Welfare State) dimana pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.

Pada sisi yang lain, konsep Pro Bono Publico mengakar kepada nilai luhur pribadi advokat yang peduli dan ingin membantu proses hukum mereka yang membutuhkan. Pro Bono merupakan kewajiban yang melekat pada setiap individu advokat berkaitan dengan kekhasan profesinya yang disebut sebagai profesi terhormat (officium nobile). Kata “officium nobile” mengandung arti yang serupa dengan ungkapan “noblesse oblige”, yaitu kewajiban perilaku yang terhormat (honorable), murah-hati (generous), dan bertanggung jawab (responsible).

Dalam dunia hukum, Pro Bono Publico menjadi salah satu strategi untuk membela kepentingan umum, selain  Legal Aid. Bantuan hukum dalam konsep Pro Bono Publico meliputi 4 (empat) elemen, yaitu: 1). Meliputi seluruh kerja-kerja di wilayah hukum; 2). Sukarela; 3). Cuma-Cuma; dan 4). Untuk Masyarakat yang kurang terwakili dan rentan.

Keempat unsur ini merupakan sebuah Konsekuensi Ethic dari profesi advokat sebagai profesi terhormat/mulia (Officium Nobile). Kewajiban etik dari mereka yang berprofesi mulia ini diatur melalui UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dan teknisnya dijabarkan dalam PP No. 83 Tahun 2008, tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma. Untuk implementasi, organisasi advokat idealnya harus membuat peraturan organisasi tentang petunjuk pelaksanaan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma, serta harus membentuk unit kerja dari organisasi advokat yang akan meaksanakannya. hal ini akan menjadi sistem pemberian bantuan hukum yang dibangun oleh organisasi advokat sebagai bagian dari gerakan Pro Bbono Publico.

Pada akhirnya, terlepas dari segala kekurangan dari UU BANKUM, inilah produk hukum yang di miliki dan harus dilaksanakan oleh Indonesia dalam rangka memenuhi, melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (Access to Justice) dan kesamaan di hadapan hukum (Equality Before The Law).




Kupang, 29 Juli 2015
Tulisan ini pernah dipublikasikan  dalam, http://www.zonalinenews.com/2015/08/bantuan-hukum/, pada tanggal 24 Agustus 2015

TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...