Minggu, 21 April 2013

Penegakan Hukum Kasus Pembunuhan


PENEGAKAN HUKUM KASUS PEMBUNUHAN1)

Oleh. Paul SinlaEloE2)

CATATAN PENGANTAR
Indonesia adalah negara hukum3). Itulah amanat konstitusi sebagaimana yang tertera dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebagai sebuah negara hukum idealnya kekuasaan yang menjalankan pemerintahan harus berdasarkan pada hukum, tunduk pada kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menjalankan ketertiban hukum demi terwujudnya suatu kehidupan yang damai, aman dan tentram.

Walaupun demikian, fakta membuktikan bahwa upaya untuk mewujudkan suatu kehidupan yang damai, aman dan tentram di Indonesia belum dapat berjalan sebagaimana mestinya akibat lemahnya penegakan hukum. Karenanya, mendiskusikan tentang persoalan penegakan hukum di Indonesia merupakan sesuatu yang sangat relevan. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih kepada penyelenggara kegiatan yang sudah melibatkan saya dalam diskusi ini.

Sesuai dengan Term of Reference (TOR) yang diberikan oleh penyelenggara kegiatan kepada saya, maka pada kesempatan ini saya diminta untuk menyampaikan pemikiran mengenai Penegakan Hukum Kasus Pembunuhan di Nusa Tenggara Timur. Agar diskusi ini lebih terfokus pada judul, maka makalah ini akan dijabarkan dengan sistematika sebagai berikut: Pertama, Catatan Pengantar. Kedua, Delik Pembunuhan Dalam Prespektif Hukum. Ketiga, Kasus Pembunuhan dan Penegakan hukum. Keempat, Supremasi hukum harus ditegakan. Kelima, Catatan Penutup.

DELIK PEMBUNUHAN DALAM PRESPEKTIF HUKUM
Pembunuhan adalah suatu tindakan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan cara yang melanggar hukum, maupun yang tidak melawan hukum. Tindak pidana (delik) pembunuhan di Indonesia diatur secara gamblang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) khususnya pada Buku II Bab XIX tentang Kejahatan Terhadap Nyawa, yang terdiri dari 13 pasal, yakni mulai dari Pasal 338 sampai dengan Pasal 350 KUHP.4)

Uraian tentang jenis tindak Kejahatan Terhadap Nyawa (misdrijven tegen het leven)5) sesuai dengan KUHP, dapat dilihat dalam pasal-pasal berikut ini: Pertama, Pasal 338 KUHP, mengatur tentang sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. Kedua, Pasal 339 KUHP, mengatur tentang pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh sesuatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.

Ketiga, Pasal 340 KUHP, mengatur tentang sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun. Keempat, Pasal 341 KUHP, mengatur tentang seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama 7 tahun. Kelima, Pasal 342 KUHP, mengatur tentang melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Keenam, Pasal 343 KUHP, mengatur tentang orang lain yang turut melakukan sebagai pembunuhan atau pembunuhan dengan rencana.

Ketujuh, Pasal 344 KUHP, mengatur tentang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Kedelapan, Pasal 345 KUHP, mengatur tentang sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri atau memberi sarana kepadanya diancam pidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun kalau orang itu jadi bunuh diri. Kesembilan, Pasal 346 KUHP, mengatur tentang seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Kesepuluh, Pasal 347 KUHP, pada ayat (1) mengatur tentang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita “tanpa persetujuannya”, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Dan pada ayat (2) mengatur jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita itu, dikenakan pidana penjara paling lama 15 tahun.

Kesebelas, Pasal 348 KUHP, pada ayat (1) mengatur tentang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita “dengan persetujuannya”, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan. Dan pada ayat (2) mengatur jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita itu, dikenakan pidana penjara paling lama 7 tahun. Keduabelas, Pasal 349 KUHP, mengatur tentang seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan pengguguran kandungan sebagaimana diatur dalam Pasal 346, 347, dan 348 KUHP, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pekerjaannya.

Ketigabelas, Pasal 350 KUHP mengatur tentang pemidanaan karena pembunuhan, pembunuhan dengan rencana, atau karena salah satu kejahatan menurut Pasal 344, 347, dan 348, dapat dijatuhkan pencabutan hak tersebut pasal 35 nomor 1-5, yaitu (1) hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; (2) hak memasuki angkatan bersenjata; (3) hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; (4) hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; (5) hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.

KASUS PEMBUNUHAN DAN PENEGAKAN HUKUM
Penegakan hukum merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum baik yang bersifat penindakan maupun pencegahan yang mencakup seluruh kegiatan baik teknis maupun administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sehingga nilai-nilai dasar dari hukum, yakni: Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian dapat terwujud.

Dalam kaitannya penegakan hukum terhadap kasus pembunuhan, pada tanggal 23 Maret 2013, Indonesia di buat geger dengan peristiwa penyerangan biadab di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, Yogyakarta, yang mengakibatkan terbunuhnya empat orang penduduk Yogyakarta kelahiran Nusa Tenggara Timur (NTT). Peristiwa memilukan sekaligus memalukan ini menunjukan bahwa tempat dimana seharusnya setiap warga negara merasakan aman dibawah perlindungan aparatusnya, justru terjadi kejahatan kemanusiaan yang merendahkan nilai-nilai dan martabat kemanusiaan. Tragedi di LP Cebongan ini menunjukan bahwa kewibawaan hukum telah dibunuh.6)

Pada konteks NTT yang masih merupakan bagian integral dari Negara Indonesia, juga terdapat sejumlah kasus pembunuhan yang menarik perhatian publik berkaitan dengan proses penegakan hukumnya. Ironinya, kasus-kasus ini sampai dengan sekarangi belum mampu diungkap oleh aparat penegak hukum secra tuntas. Kasus-kasus dimaksud adalah Kasus pembunuhan Yohakim Atamaran di Flores Timur, Kasus pembunuhan Paulus Usnaat di ruang tahanan Polsek Nunpene di Timor Tengah Utara (TTU), Kasus Pembunuhan Obadja Nakmofa di Kota Kupang dan Kasus pembunuhan Deviyanto Nurdin Yusuf di Maumere, di Kabupaten Sikka.

Hasil Investigasi7) PIAR NTT8) menunjukan bahwa terdapat sejumlah indikasi keganjilan dalam pengungkapan keempat kasus ini. Untuk kasus kematian Yohakim Atamaran, Kapolres Flores Timur menyimpulkan bahwa korban meninggal karena kecelakaan lalu lintas pada hal dalam penyelidikan dan penyidikan telah dikatakan pada publik bahwa kasus ini adalah kasus pembunuhan dan sudah cukup bukti. Dalam perkembangannya saksi mahkota menarik keterangannya dan dikatakan penyidikan tak bisa dilanjutkan. Begitu juga dengan kematian Paulus Usnaat di TTU. Kapolres TTU menyimpulkan bahwa korban meninggal bukan karena dibunuh, tapi bunuh diri. Pada hal pihak penyidik dalam publikasinya mengatakan bahwa dalam kerja-kerja penyidikan, pihak Polres TTU telah menemukan 5 (lima) alat bukti. Dalam perkembangannya pihak Kejaksaan menyuruh penyidik Kepolisian mencari saksi lain di luar tersangka dan hal ini menyulitkan proses penyidikan dan kasus ini menjadi terkatung-katung.

Pada kasus kematian Deviyanto Nurdin bin Yusuf pun demikian. Kapolres Sikka telah menyimpulkan bahwa korban meninggal karena kecelakaan lalu lintas tunggal. Hal ini sangat aneh karena pada awalnya pihak Kepolisian telah menyataan bahwa kasus ini adalah kasus pembunuhan dan sudah cukup bukti. Dalam perkembangannya dokter ahli forensik yang mengotopsi jenazah korban mencabut keterangannya tanpa alasan yang jelas. Akibatnya, alat bukti pun dinyatakan kurang dan akhirnya Reskrim Polda NTT mengeluarkan SP3. Sedangkan unuk kasus kematian Obadja Nakmofa sampai saat ini pihak Kepolisian masih melengkapi berkas perkara untuk di limpahkan kembali ke pihak Kejaksaan. Salah satu kesulitan pihak kepolisian untuk memenuhi tuntutan pihak Kejaksaan adalah pihak Kepolisian harus melampirkan Barang Bukti berupa pisau yang diigunakan untuk membunuh Obaja. Karena Barang Bukti berupa pisau belum bisa ditemukan oleh tim penyidik Polda NTT, maka penanganan kasus ini pun akhirnya berulang tahun.

SUPREMASI HUKUM HARUS DITEGAKKAN
Istilah supremasi hukum merupakan rangkaian dari perpaduan kata supremasi dan kata hukum, yang bersumber dari terjemahan bahasa Inggeris yakni kata Supremacy dan kata Law. Menurut Teori Kedaulatan Hukum (Rechts Souvereineteit), supremasi hukum (supremacy of law/law’s supremacy) bermakna bahwa hukum memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Baik penguasa, rakyat maupun negara, semua harus tunduk pada hukum. Dalam negara hukum modern, supremasi hukum menunjuk pada ”the rule of law, and not of man” (hukum yang memerintah dalam suatu negara, bukan kehendak manusia).9) Itu berarti, supremasi hukum tidak sekedar tersedianya peraturan (gezetz, wet, rule), tetapi lebih dari itu, yakni perlunya kemampuan menegakkan kaidah (recht, norm).

Dengan logika pikir seperti ini, maka penegakan supremasi hukum dapat dipahami sebagai upaya untuk menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi yang dapat melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun termasuk oleh penyelenggara Negara. Dalam upaya penegakan Supremasi hukum harus tidak boleh mengabaikan 3 (tiga) Nilai dasar dari hukum itu sendiri, yakni: keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.10)

Untuk mewujudkan supremasi hukum di Indonesia, saat ini diperlukan pembenahan terkait dengan sistem hukum.. Sistem hukum dimaksud terdiri dari 4 (empat) komponen, yakni:11) Pertama, Komponen Struktur Hukum (Legal Structure). Komponen struktur hukum ini  merupakan “motor penggerak” yang memungkinkan sistem hukum dapat bekerja secara nyata dalam masyarakat. Sistem struktural ini yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik dan sangat tergantung dari penegak hukum dan/atau lembaga penegak hukum. Karenanya, dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, penegak hukum dan/atau lembaga penegak hukum harus terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan.

Kedua Komponen Substansi Hukum (Legal Substance). Komponen substansi hukum merupakan keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan yang dipergunakan oleh pihak yang berkompeten untuk mengatur subjek hukum. Hal ini disebut sebagai sistem Substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living l­aw), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books).

Ketiga Komponen Budaya Hukum (Legal Culture). Komponen budaya hukum ini berkaitan sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum

Keempat komponen dampak hukum (Legal Impact)12). Komponen dampak hukum yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang berpengaruh pada perubahan sosial. Komponen dampak hukum13) ini nantinya difungsikan sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) dengan penekanan pada mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-badan peradilan yang akan menghasilkan jurisprudensi.

PENUTUP
Demikianlah sumbangan pemikiran saya mengenai Penegakan Hukum Kasus Pembunuhan. Kiranya bermanfaat dan ini dapat mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas.

DAFTAR BACAAN
  1. Eko Prasetyo, Pengadilan HAM Untuk Para Jenderal, Artikel dalam Jurnal Ilmu Sosial Transformatif (WACANA), Edisi 17/2004 - Negeri Tentara: Membongkar Politik ekonomi militer, Penerbit insist Press, Yogyakarta, 2004.
  2. Lawrence M, Friedman, Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1977
  3. Lawrence M. Friedman, American Law: An Invalueable Guide To The Many Faces Of The Law, And How It Affects Our Daily Lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984.
  4. Paul SinlaEloE, Rekrutmen Pimpinan Penegak Hukum, makalah yang dipresentasikan dalam Kegiatan Deseminasi Rekomendasi Kebijakan Hukum Nasional yang berthema: “Perekrutan Pimpinan Badan-Badan Lain Terkait Dengan  Kekuasaan Kehakiman (POLRI, KEJAKSAAN, KPK, KY dan KOMNAS HAM) Dalam Sistem Ketatanegaraan”, yang dilaksanakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN), di Restoran Nelayan-Kota Kupang, pada tanggal 12 November 2012.
  5. PIAR NTT, Kumpulan Dokument Pendampingan/Advokasi Kasus Pembunuhan di Nusa Tenggara Timur, Tidak diterbitkan, Kota Kupang, 2005 – 2012.
  6. R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Penerbit Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006.
  7. Roscoe Pound tentang hukum sebagai sarana rekayasa social. Lihat Roscoe Pound, Filsafat Hukum, Jakarta: Penerbit Bhratara, Jakarta, 1978.
  8. Syafran Sofyan, Supremasi Hukum Dalam Rangka Mendukung Percepatan Daerah Tertinggal, makalah yang untuk di presentasikan dalam Kuliah Hukum dan HAM, Forkon Angkatan VI (Bupati, Walikota, Ketua DPRD), yang dilaksanakan oleh Lemhannas RI, di Jakarta, pada tanggal 21 Maret 2012.
  9. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit Rarifa Aditama, Bandung, 2003.
  10. Undang-Undang Dasar 1945.
  11. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia.


CATATAN KAKI:
1) Kertas Kerja ini di presentasikan dalam Panel Diskusi, Thema: “Meningkatnya Budaya Kekerasan berujung Pembunuhan Baik oleh Sipil Maupun Aparat di Nusa Tenggara Timur Secara Khusus Dan Indonesia Pada Umumnya Serta Solusi Penangannya”, yang dilaksanakan oleh GMKI Cab. Kupang – Komisariat Teologi, di Aula Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW), pada tanggal 20 April 2013.
2) Aktivis PIAR NTT.
3) Suatu Negara disebut sebagai Negara hukum, minimal memiliki ciri, sebagai berikut: PERTAMA,  Adanya pemenuhan, penghormtan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi. KEDUA, Terdapat Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak. KETIGA, Adanya jaminan kepastian hukum dimana ketentuan hukumnya dapat dipahami dan dilaksanakan serta aman dalam melaksanakannya.Lihat Paul SinlaEloE, Rekrutmen Pimpinan Penegak Hukum, makalah yang dipresentasikan dalam Kegiatan Deseminasi Rekomendasi Kebijakan Hukum Nasional yang berthema: “Perekrutan Pimpinan Badan-Badan Lain Terkait Dengan Kekuasaan Kehakiman (POLRI, KEJAKSAAN, KPK, KY dan KOMNAS HAM) Dalam Sistem Ketatanegaraan”, yang dilaksanakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN), di Restoran Nelayan-Kota Kupang, pada tanggal 12 November 2012.
4) R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Penerbit Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006.
5) Jika dilihat dari motivasi pelaku tindak kejahatan terhadap nyawa, maka terdapat 2 (dua) unsur Penting, yakni: PERTAMA, UNSUR KESENGAJAAN (OPZET). Kesengajaan itu harus mengandung 3 (tiga) unsur tindakan pidana, yaitu: (1). Perbuatan yang dilarang; (2). Akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu; (3). bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Unsur kesengajaan juga, dapat dibedakan dalam 3 (tiga) kategori, yani: (1). kesengajaan yang bersifat tujuan untuk mencapai sesuatu (opzet als oogmerk); (2). kesengajaan yang bukan mengandung suatu  btujuan, melainkan disertai dengan keinsyafan bahwa suatu akibat pasti akan terjadi. (opzet bij zekerheidsbewustzijn) atau kesengajaan secara insyaf kepastian; (3). kesengajaan seperti sub 2 tetapi dengan disertai keinsyafan hanya ada kemungkian (bukan kepastian) bahwa suatu akibat akan terjadi (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn) atau kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan. KEDUA, UNSUR KEALPAAN (CULPA). Culpa adalah suatu perbuatan tindak pidana yang diperbuat oleh pelaku dalam keadaan tidak berhati-hati. Intisari dari tindak pidana culpa adalah ketidak hati-hatian atau kealpaan pelaku yang menyebabkan terjadi suatu tindak pidana. Lihat. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit Rarifa Aditama, Bandung, 2003, Hal. 66.
6) Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menegaskan kasus penyerangan Lemabga Pemasyarakatan Cebongan bukan pelanggaran hak asasi manusia. (Argumen selengkapnya Lihat: http://www.antaranews.com/berita/368668/menhan-kembali-tegaskan-kasuscebongan-bukan-pelanggaran-ham?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter). Berkaitan dengan pernyataan dari Menteri Pertahanan ini, maka Pertanyaannya adalah apakah mentri pertahanan sudah memahami Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia dengan benar..???? Pertanyaaan ini menjadi penting karena indikasi pelanggaran HAM itu ada dan sangat transparan. INDIKASI PERTAMA pelanggaran HAM adalah adanya upaya perampasan hak hidup terhadap korban penembakan yang dilakukan oleh anggota grup II Kopassus Kartasura. Dalam Pasal 4 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia, tertulis, setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. INDIKASI KEDUA, Setiap Orang Berhak Hidup Tenteram, Aman, Damai, Bahagia, Sejahtera Lahir Dan Batin. Indikasi kedua pelanggaran HAM, yaitu adanya intimidasi terhadap petugas sipir penjaga LP cebongan yang dilakukan oleh para pelaku. pada saat kejadian, mereka mengancam sipir dengan menggunakan senjata dan granat. INDIKASI KETIGA, Kejadian tersebut menimbulkan rasa yang tidak nyaman di masyarakat, warga Sleman khususnya, dan warga Yogyakarta pada umumnya. Dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan jika setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. INDIKASI KEEMPAT, Ketika keempat tahanan dipindahkan dari rutan POLDA Yogyakarta ke Lp Kelas II B, Cebongan, Sleman, keempatnya mendapat pengawalan ketat dari pihak Kepolisian. Namun, saat sudah dititipkan, tidak ada penjagaan sama sekali dari pihak Kepolisian. Padahal, Pihak LP Cebongan telah meminta Bantuan penjagaan kepada pihak Kepolisian sehingga seolah ada pembiaran dari pihak Kepolisian. Selain itu, Argumen dari Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro ini sebenarnya agak mengejutkan tapi sangat tidak mengherankan karena patut diduga ini adalah bagian dari strategi militer untuk menghindari pengadadilan HAM. Bandingkan dengan, Eko Prasetyo, Pengadilan HAM untuk Para Jenderal, Artikel dalam Jurnal Ilmu Sosial Transformatif (WACANA), Edisi 17/2004 - Negeri Tentara: Membongkar Politik Ekonomi Militer, Penerbit insist Press, Yogyakarta, 2004, Hal.197-228.
7) Hasil invetigasi secara lengkap, lihat PIAR NTT, Kumpulan Dokument Pendampingan/Advokasi Kasus Pembunuhan di Nusa Tenggara Timur, Tidak diterbitkan, Kota Kupang, 2005 – 2012.
8) Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR), adalah organisasi non pemerintah yang bersifat independent dan non profit di NTT yang pendiriannya telah dilegalformalkan dengan Akte Notaris Nomor 71 pada tanggal 15 Nopember 2002, dan terdaftar pada Pengadilan Negeri Kupang, dengan nomor 1/AN/PIAR/Lgs/2002/PN.KPG, pada tanggal, 23 November 2002. PIAR NTT dalam kerja-kerjanya konsern pada isue Hak Asasi Manusia, Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi.
9) Syafran Sofyan, Supremasi Hukum Dalam Rangka Mendukung Percepatan Daerah Tertinggal, makalah yang untuk di presentasikan dalam Kuliah Hukum dan HAM, Forkon Angkatan VI (Bupati, Walikota, Ketua DPRD), yang dilaksanakan oleh Lemhannas RI, di Jakarta, pada tanggal 21 Maret 2012.
10) Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1983, Hal. 19
11)  Lawrence M, Friedman, Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1977, P. 6-7.
12) Pada awalnya Friedman hanya membagi sistem hukum kedalam 3 (tiga) komponen. Dalam perkembangan pemikirannya, baru ditambahkan Komponen dampak hukum. Lihat Lawrence M. Friedman, American Law: An Invalueable Guide To The Many Faces Of The Law, And How It Affects Our Daily Lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984, P. 16
13) Komponen dampak hukum ini sejalan dengan pemikirannya Roscoe Pound tentang hukum sebagai sarana rekayasa social. Lihat Roscoe Pound, Filsafat Hukum, Jakarta: Penerbit Bhratara, Jakarta, 1978, 7


TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...