PENEGAKAN HUKUM KASUS PEMBUNUHAN1)
Oleh.
Paul SinlaEloE2)
Indonesia adalah negara hukum3). Itulah amanat konstitusi sebagaimana yang tertera dalam
pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebagai sebuah negara hukum idealnya kekuasaan yang menjalankan
pemerintahan harus berdasarkan pada hukum, tunduk pada kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk
menjalankan ketertiban hukum demi terwujudnya suatu kehidupan yang
damai, aman dan tentram.
Walaupun demikian, fakta membuktikan
bahwa upaya untuk mewujudkan suatu kehidupan yang damai, aman dan tentram di Indonesia belum dapat berjalan sebagaimana mestinya
akibat lemahnya penegakan hukum. Karenanya, mendiskusikan
tentang persoalan penegakan hukum di Indonesia merupakan sesuatu yang sangat
relevan. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih kepada penyelenggara kegiatan
yang sudah melibatkan saya dalam diskusi ini.
Sesuai dengan Term of Reference (TOR) yang diberikan oleh penyelenggara kegiatan
kepada saya, maka pada kesempatan ini saya diminta untuk menyampaikan pemikiran
mengenai Penegakan Hukum Kasus Pembunuhan
di Nusa Tenggara Timur. Agar diskusi ini lebih terfokus pada judul, maka
makalah ini akan dijabarkan dengan sistematika sebagai berikut: Pertama, Catatan Pengantar. Kedua, Delik Pembunuhan Dalam Prespektif
Hukum. Ketiga, Kasus Pembunuhan dan
Penegakan hukum. Keempat, Supremasi
hukum harus ditegakan. Kelima,
Catatan Penutup.
DELIK PEMBUNUHAN
DALAM PRESPEKTIF HUKUM
Pembunuhan adalah suatu tindakan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan cara yang melanggar hukum, maupun yang tidak melawan hukum. Tindak pidana (delik)
pembunuhan di Indonesia diatur secara gamblang dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) khususnya pada Buku II Bab XIX tentang Kejahatan Terhadap Nyawa,
yang terdiri dari 13 pasal, yakni mulai dari Pasal 338 sampai dengan Pasal 350
KUHP.4)
Uraian tentang jenis tindak Kejahatan Terhadap
Nyawa (misdrijven tegen het leven)5) sesuai dengan KUHP, dapat dilihat dalam pasal-pasal
berikut ini: Pertama, Pasal
338 KUHP, mengatur tentang sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. Kedua, Pasal 339 KUHP, mengatur tentang pembunuhan yang
diikuti, disertai atau didahului oleh sesuatu perbuatan pidana yang dilakukan
dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, diancam
dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20
tahun.
Ketiga, Pasal 340 KUHP,
mengatur tentang sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang
lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun. Keempat, Pasal 341 KUHP,
mengatur tentang seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak,
pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian dengan sengaja merampas
nyawa anaknya, diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara
paling lama 7 tahun. Kelima,
Pasal 342 KUHP, mengatur tentang melakukan pembunuhan anak sendiri dengan
rencana, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun. Keenam, Pasal 343 KUHP, mengatur
tentang orang lain yang turut melakukan sebagai pembunuhan atau pembunuhan
dengan rencana.
Ketujuh, Pasal
344 KUHP, mengatur tentang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana
penjara paling lama 12 tahun. Kedelapan,
Pasal 345 KUHP, mengatur tentang sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri
atau memberi sarana kepadanya diancam pidana dengan pidana penjara paling lama
4 tahun kalau orang itu jadi bunuh diri. Kesembilan,
Pasal 346 KUHP, mengatur tentang seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama 4 tahun. Kesepuluh,
Pasal 347 KUHP, pada ayat (1) mengatur tentang sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang wanita “tanpa persetujuannya”, diancam dengan
pidana penjara paling lama 12 tahun. Dan pada ayat (2) mengatur jika perbuatan
itu mengakibatkan matinya wanita itu, dikenakan pidana penjara paling lama 15
tahun.
Kesebelas, Pasal
348 KUHP, pada ayat (1) mengatur tentang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita “dengan persetujuannya”, diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 tahun 6 bulan. Dan pada ayat (2) mengatur jika perbuatan itu
mengakibatkan matinya wanita itu, dikenakan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Keduabelas, Pasal 349 KUHP,
mengatur tentang seorang tabib, bidan atau juru obat membantu melakukan
pengguguran kandungan sebagaimana diatur dalam Pasal 346, 347, dan 348 KUHP,
maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan
dapat dicabut hak untuk menjalankan pekerjaannya.
Ketigabelas, Pasal
350 KUHP mengatur tentang pemidanaan karena pembunuhan, pembunuhan dengan
rencana, atau karena salah satu kejahatan menurut Pasal 344, 347, dan 348,
dapat dijatuhkan pencabutan hak tersebut pasal 35 nomor 1-5, yaitu (1) hak
memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; (2) hak memasuki
angkatan bersenjata; (3) hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasarkan aturan-aturan umum; (4) hak menjadi penasihat atau pengurus menurut
hukum hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas
orang yang bukan anak sendiri; (5) hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan
perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.
KASUS PEMBUNUHAN DAN PENEGAKAN
HUKUM
Penegakan
hukum merupakan suatu rangkaian kegiatan
dalam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum baik yang bersifat
penindakan maupun pencegahan yang mencakup seluruh kegiatan baik teknis maupun
administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum sehingga nilai-nilai dasar dari hukum, yakni: Keadilan,
Kemanfaatan dan Kepastian dapat terwujud.
Dalam kaitannya penegakan hukum terhadap
kasus pembunuhan, pada tanggal 23 Maret 2013,
Indonesia di buat geger dengan peristiwa penyerangan biadab di Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Sleman, Yogyakarta, yang mengakibatkan terbunuhnya empat orang penduduk
Yogyakarta kelahiran Nusa Tenggara Timur (NTT). Peristiwa memilukan sekaligus
memalukan ini menunjukan bahwa tempat dimana seharusnya setiap warga negara merasakan
aman dibawah perlindungan aparatusnya,
justru terjadi kejahatan kemanusiaan
yang merendahkan nilai-nilai dan martabat kemanusiaan. Tragedi di LP Cebongan ini menunjukan bahwa kewibawaan
hukum telah dibunuh.6)
Pada konteks NTT yang masih merupakan bagian
integral dari Negara Indonesia, juga terdapat sejumlah kasus pembunuhan yang
menarik perhatian publik berkaitan dengan proses penegakan hukumnya. Ironinya,
kasus-kasus ini sampai dengan sekarangi belum mampu diungkap oleh aparat
penegak hukum secra tuntas. Kasus-kasus dimaksud adalah Kasus pembunuhan Yohakim
Atamaran di Flores Timur, Kasus pembunuhan Paulus Usnaat di ruang tahanan
Polsek Nunpene di Timor Tengah Utara (TTU), Kasus Pembunuhan Obadja Nakmofa di
Kota Kupang dan Kasus pembunuhan Deviyanto Nurdin Yusuf di Maumere, di
Kabupaten Sikka.
Hasil
Investigasi7) PIAR NTT8) menunjukan bahwa terdapat sejumlah
indikasi keganjilan dalam pengungkapan keempat kasus ini. Untuk kasus kematian
Yohakim Atamaran, Kapolres Flores Timur menyimpulkan bahwa korban meninggal
karena kecelakaan lalu lintas pada hal dalam penyelidikan dan penyidikan telah dikatakan
pada publik bahwa kasus ini adalah kasus pembunuhan dan sudah cukup bukti. Dalam
perkembangannya saksi mahkota menarik keterangannya dan dikatakan penyidikan
tak bisa dilanjutkan. Begitu juga dengan kematian Paulus Usnaat di TTU.
Kapolres TTU menyimpulkan bahwa korban meninggal bukan karena dibunuh, tapi
bunuh diri. Pada hal pihak penyidik dalam publikasinya mengatakan bahwa dalam
kerja-kerja penyidikan, pihak Polres TTU telah menemukan 5 (lima) alat bukti.
Dalam perkembangannya pihak Kejaksaan menyuruh penyidik Kepolisian mencari
saksi lain di luar tersangka dan hal ini menyulitkan proses penyidikan dan
kasus ini menjadi terkatung-katung.
Pada
kasus kematian Deviyanto Nurdin bin Yusuf pun demikian. Kapolres Sikka telah
menyimpulkan bahwa korban meninggal karena kecelakaan lalu lintas tunggal. Hal
ini sangat aneh karena pada awalnya pihak Kepolisian telah menyataan bahwa
kasus ini adalah kasus pembunuhan dan sudah cukup bukti. Dalam perkembangannya
dokter ahli forensik yang mengotopsi jenazah korban mencabut keterangannya
tanpa alasan yang jelas. Akibatnya, alat bukti pun dinyatakan kurang dan
akhirnya Reskrim Polda NTT mengeluarkan SP3. Sedangkan unuk kasus kematian Obadja
Nakmofa sampai saat ini pihak Kepolisian masih melengkapi berkas perkara untuk
di limpahkan kembali ke pihak Kejaksaan. Salah satu kesulitan pihak kepolisian untuk memenuhi tuntutan pihak
Kejaksaan adalah pihak Kepolisian harus melampirkan Barang Bukti berupa pisau
yang diigunakan untuk membunuh Obaja. Karena Barang Bukti berupa pisau belum
bisa ditemukan oleh tim penyidik Polda NTT, maka penanganan kasus ini pun
akhirnya berulang tahun.
SUPREMASI HUKUM HARUS
DITEGAKKAN
Istilah supremasi hukum merupakan rangkaian
dari perpaduan kata supremasi dan kata hukum, yang bersumber dari terjemahan
bahasa Inggeris yakni kata Supremacy dan
kata Law. Menurut Teori
Kedaulatan Hukum (Rechts Souvereineteit), supremasi
hukum (supremacy of law/law’s supremacy)
bermakna bahwa hukum memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Baik
penguasa, rakyat maupun negara, semua harus tunduk pada hukum. Dalam negara
hukum modern, supremasi hukum menunjuk pada ”the rule of law, and not of
man” (hukum yang memerintah dalam suatu negara, bukan kehendak manusia).9) Itu berarti, supremasi hukum tidak sekedar tersedianya
peraturan (gezetz, wet, rule), tetapi lebih dari itu, yakni perlunya
kemampuan menegakkan kaidah (recht, norm).
Dengan logika pikir seperti ini, maka
penegakan supremasi hukum dapat dipahami sebagai upaya untuk menegakkan dan
menempatkan hukum pada posisi tertinggi yang dapat melindungi seluruh lapisan
masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun termasuk oleh
penyelenggara Negara. Dalam upaya penegakan Supremasi hukum harus tidak boleh
mengabaikan 3 (tiga) Nilai dasar dari hukum itu sendiri, yakni: keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian.10)
Untuk mewujudkan supremasi hukum di
Indonesia, saat ini diperlukan pembenahan terkait dengan sistem hukum.. Sistem hukum dimaksud terdiri
dari 4 (empat) komponen, yakni:11) Pertama, Komponen Struktur Hukum (Legal Structure). Komponen struktur hukum ini merupakan “motor penggerak” yang memungkinkan
sistem hukum dapat bekerja secara nyata dalam masyarakat. Sistem
struktural ini yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan
baik dan sangat tergantung dari penegak hukum dan/atau lembaga penegak hukum.
Karenanya, dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, penegak hukum
dan/atau lembaga penegak hukum harus terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Hukum tidak dapat berjalan atau tegak
bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen.
Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan
aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan.
Kedua Komponen Substansi Hukum (Legal Substance). Komponen substansi hukum merupakan keseluruhan asas-hukum,
norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis,
termasuk putusan pengadilan yang dipergunakan oleh pihak yang berkompeten untuk
mengatur subjek hukum. Hal ini
disebut sebagai sistem Substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu
dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang
berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan
baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law),
bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books).
Ketiga Komponen Budaya Hukum (Legal Culture). Komponen
budaya hukum ini berkaitan sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum
adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana
hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya
dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat
maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir
masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan
masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum
Keempat komponen dampak
hukum (Legal Impact)12). Komponen dampak hukum
yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang berpengaruh pada
perubahan sosial. Komponen dampak hukum13) ini nantinya difungsikan
sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering)
dengan penekanan pada mekanisme penyelesaian kasus oleh badan-badan peradilan
yang akan menghasilkan jurisprudensi.
PENUTUP
Demikianlah sumbangan pemikiran saya mengenai Penegakan Hukum Kasus Pembunuhan.
Kiranya bermanfaat dan ini dapat mengantarkan kita pada suatu diskusi yang
lebih luas.
DAFTAR BACAAN
- Eko Prasetyo, Pengadilan HAM Untuk Para Jenderal, Artikel dalam Jurnal Ilmu Sosial Transformatif (WACANA), Edisi 17/2004 - Negeri Tentara: Membongkar Politik ekonomi militer, Penerbit insist Press, Yogyakarta, 2004.
- Lawrence M, Friedman, Law and Society An Introduction, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1977
- Lawrence M. Friedman, American Law: An Invalueable Guide To The Many Faces Of The Law, And How It Affects Our Daily Lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984.
- Paul SinlaEloE, Rekrutmen Pimpinan Penegak Hukum, makalah yang dipresentasikan dalam Kegiatan Deseminasi Rekomendasi Kebijakan Hukum Nasional yang berthema: “Perekrutan Pimpinan Badan-Badan Lain Terkait Dengan Kekuasaan Kehakiman (POLRI, KEJAKSAAN, KPK, KY dan KOMNAS HAM) Dalam Sistem Ketatanegaraan”, yang dilaksanakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN), di Restoran Nelayan-Kota Kupang, pada tanggal 12 November 2012.
- PIAR NTT, Kumpulan Dokument Pendampingan/Advokasi Kasus Pembunuhan di Nusa Tenggara Timur, Tidak diterbitkan, Kota Kupang, 2005 – 2012.
- R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Penerbit Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006.
- Roscoe Pound tentang hukum sebagai sarana rekayasa social. Lihat Roscoe Pound, Filsafat Hukum, Jakarta: Penerbit Bhratara, Jakarta, 1978.
- Syafran Sofyan, Supremasi Hukum Dalam Rangka Mendukung Percepatan Daerah Tertinggal, makalah yang untuk di presentasikan dalam Kuliah Hukum dan HAM, Forkon Angkatan VI (Bupati, Walikota, Ketua DPRD), yang dilaksanakan oleh Lemhannas RI, di Jakarta, pada tanggal 21 Maret 2012.
- Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit Rarifa Aditama, Bandung, 2003.
- Undang-Undang Dasar 1945.
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia.
CATATAN KAKI:
1) Kertas
Kerja ini di presentasikan dalam Panel Diskusi, Thema: “Meningkatnya Budaya Kekerasan berujung Pembunuhan Baik oleh Sipil
Maupun Aparat di Nusa Tenggara Timur Secara Khusus Dan Indonesia Pada Umumnya
Serta Solusi Penangannya”, yang dilaksanakan oleh GMKI Cab. Kupang –
Komisariat Teologi, di Aula Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana
(UKAW), pada tanggal 20 April 2013.
2)
Aktivis PIAR NTT.
3)
Suatu Negara disebut sebagai Negara hukum, minimal memiliki ciri, sebagai
berikut: PERTAMA, Adanya pemenuhan, penghormtan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi. KEDUA, Terdapat Peradilan yang bebas dari
suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak. KETIGA, Adanya
jaminan kepastian hukum dimana ketentuan hukumnya dapat dipahami dan dilaksanakan
serta aman dalam melaksanakannya.Lihat Paul SinlaEloE, Rekrutmen
Pimpinan Penegak Hukum, makalah yang dipresentasikan dalam Kegiatan
Deseminasi Rekomendasi Kebijakan Hukum Nasional yang berthema: “Perekrutan
Pimpinan Badan-Badan Lain Terkait Dengan Kekuasaan Kehakiman (POLRI, KEJAKSAAN,
KPK, KY dan KOMNAS HAM) Dalam Sistem Ketatanegaraan”,
yang dilaksanakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN), di Restoran Nelayan-Kota
Kupang, pada tanggal 12 November 2012.
4) R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP
dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Penerbit Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2006.
5) Jika dilihat dari motivasi pelaku tindak
kejahatan terhadap nyawa, maka terdapat 2 (dua) unsur Penting, yakni: PERTAMA,
UNSUR KESENGAJAAN (OPZET). Kesengajaan itu harus mengandung 3 (tiga) unsur tindakan pidana, yaitu:
(1). Perbuatan yang dilarang; (2). Akibat yang menjadi pokok alasan diadakan
larangan itu; (3). bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Unsur kesengajaan
juga, dapat dibedakan dalam 3 (tiga) kategori, yani: (1). kesengajaan yang
bersifat tujuan untuk mencapai sesuatu (opzet als oogmerk); (2).
kesengajaan yang bukan mengandung suatu btujuan, melainkan disertai
dengan keinsyafan bahwa suatu akibat pasti akan terjadi. (opzet bij
zekerheidsbewustzijn) atau
kesengajaan secara insyaf kepastian; (3). kesengajaan seperti sub 2 tetapi
dengan disertai keinsyafan hanya ada kemungkian (bukan kepastian) bahwa suatu
akibat akan terjadi (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn) atau
kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan. KEDUA, UNSUR KEALPAAN (CULPA). Culpa adalah suatu perbuatan tindak pidana yang diperbuat oleh pelaku
dalam keadaan tidak berhati-hati. Intisari dari tindak pidana culpa adalah
ketidak hati-hatian atau kealpaan pelaku yang menyebabkan terjadi suatu tindak
pidana. Lihat. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,
Penerbit Rarifa Aditama, Bandung, 2003, Hal. 66.
6) Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menegaskan kasus
penyerangan Lemabga Pemasyarakatan Cebongan bukan pelanggaran hak asasi
manusia. (Argumen selengkapnya Lihat: http://www.antaranews.com/berita/368668/menhan-kembali-tegaskan-kasuscebongan-bukan-pelanggaran-ham?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter). Berkaitan dengan pernyataan dari Menteri Pertahanan ini, maka Pertanyaannya adalah apakah mentri pertahanan sudah memahami
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia dengan benar..????
Pertanyaaan ini menjadi penting karena indikasi pelanggaran HAM itu ada dan
sangat transparan. INDIKASI PERTAMA pelanggaran HAM adalah adanya upaya
perampasan hak hidup terhadap korban penembakan yang dilakukan oleh anggota
grup II Kopassus Kartasura. Dalam Pasal 4 dan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia, tertulis, setiap orang berhak untuk
hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. INDIKASI
KEDUA, Setiap Orang Berhak Hidup Tenteram, Aman, Damai, Bahagia, Sejahtera
Lahir Dan Batin. Indikasi kedua pelanggaran HAM, yaitu adanya intimidasi terhadap
petugas sipir penjaga LP cebongan yang dilakukan oleh para pelaku. pada saat
kejadian, mereka mengancam sipir dengan menggunakan senjata dan granat. INDIKASI
KETIGA, Kejadian tersebut menimbulkan rasa yang tidak nyaman di masyarakat,
warga Sleman khususnya, dan warga Yogyakarta pada umumnya. Dalam Pasal 30
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan jika
setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. INDIKASI KEEMPAT,
Ketika keempat tahanan dipindahkan dari rutan POLDA Yogyakarta ke Lp Kelas II
B, Cebongan, Sleman, keempatnya mendapat pengawalan ketat dari pihak
Kepolisian. Namun, saat sudah dititipkan, tidak ada penjagaan sama sekali dari
pihak Kepolisian. Padahal, Pihak LP Cebongan telah meminta Bantuan penjagaan
kepada pihak Kepolisian sehingga seolah ada pembiaran dari pihak Kepolisian.
Selain itu, Argumen dari Menteri Pertahanan
Purnomo Yusgiantoro ini sebenarnya agak mengejutkan tapi sangat tidak
mengherankan karena patut diduga ini adalah bagian dari strategi militer untuk
menghindari pengadadilan HAM. Bandingkan dengan, Eko Prasetyo, Pengadilan HAM untuk Para Jenderal,
Artikel dalam Jurnal Ilmu Sosial Transformatif (WACANA), Edisi 17/2004 - Negeri
Tentara: Membongkar Politik Ekonomi Militer, Penerbit insist Press, Yogyakarta,
2004, Hal.197-228.
7) Hasil invetigasi
secara lengkap, lihat PIAR NTT, Kumpulan Dokument Pendampingan/Advokasi Kasus Pembunuhan di Nusa Tenggara Timur,
Tidak diterbitkan, Kota Kupang, 2005 – 2012.
8) Perkumpulan
Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR), adalah organisasi non
pemerintah yang bersifat independent dan non profit di NTT yang pendiriannya
telah dilegalformalkan dengan Akte Notaris Nomor 71 pada tanggal 15 Nopember
2002, dan terdaftar pada Pengadilan Negeri Kupang, dengan nomor
1/AN/PIAR/Lgs/2002/PN.KPG, pada tanggal, 23 November 2002. PIAR NTT dalam
kerja-kerjanya konsern pada isue Hak Asasi Manusia, Penegakan Hukum dan
Pemberantasan Korupsi.
9) Syafran Sofyan, Supremasi Hukum Dalam Rangka Mendukung
Percepatan Daerah Tertinggal, makalah yang untuk di presentasikan dalam
Kuliah Hukum dan HAM, Forkon Angkatan VI (Bupati, Walikota, Ketua DPRD), yang
dilaksanakan oleh Lemhannas RI, di Jakarta, pada tanggal 21 Maret 2012.
11) Lawrence M, Friedman, Law
and Society An Introduction, Prentice Hall Inc, New Jersey, 1977, P.
6-7.
12) Pada awalnya Friedman hanya membagi sistem hukum kedalam 3 (tiga)
komponen. Dalam perkembangan pemikirannya, baru ditambahkan Komponen dampak
hukum. Lihat Lawrence M. Friedman, American Law: An Invalueable Guide To The
Many Faces Of The Law, And How It Affects Our Daily Lives, W.W. Norton
& Company, New York, 1984, P. 16
13)
Komponen dampak hukum ini sejalan dengan pemikirannya Roscoe Pound tentang hukum sebagai sarana rekayasa social.
Lihat Roscoe Pound, Filsafat Hukum,
Jakarta: Penerbit Bhratara, Jakarta, 1978, 7