Masih segar dalam ingatan publik, artis papan atas Indonesia Nikita Mirzani alias
(NM) dan Puty Revita Sari alias (PR) finalis Miss Indonesia 2014, ditangkap pada Kamis, 10 Desember 2015,
terkait kasus prostitusi artis di kamar Hotel Indonesia-Kempinski,
Jakarta Pusat, dalam keadaan tanpa busana. Pada saat
penangkapan, pihak Kepolisian juga mengamankan barang bukti berupa pakaian dalam, kunci
hotel, kondom, bukti transfer dan Handphone. Mereka ditangkap bersama Ferry Okviansah alias (F) dan Ronal Rumagit alias
(O).
Terungkapnya kasus prostitusi dikalangan artis ini, merupakan hasil kerja
cerdas dari pihak Kepolisian. Menurut Kepala Subdit III
Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim POLRI, Kombes Pol. Umar Surya Fana, sebagaimana yang di
publish oleh berbagai media (cetak, online dan elektronik), bahwa anak buahnya
sempat menyamar sebagai pengguna jasa ‘esek-esek’ kalangan artis. Anak
buahnya, menyamar sebagai pengusaha dan memesan NM dan PR melalui mucikari O, F dan
AS. Setelah itu, ditransfer uang muka sebesar Rp.10 juta dan disepakati bertemu
untuk menindaklanjuti kesepakatan di hotel yang disepakati, pada tanggal 10 Desember
2015, pukul 21.00 WIB.
Dari penyelidikan, diketahui bahwa yang menentukan tempatnya atau
hotelnya adalah
NM dan
PR.
Selain itu, NM dan PR juga yang menentukan tarif kencannya. NM mematok tarif sekali
kencan short time (3 jam) sebesar Rp.65 juta dan
tarif yang dipatok oleh PR adalah Rp.50 juta untuk sekali kencan short time (3
jam). Dalam
penyelidikan, terungkap juga bahwa untuk ”mendapatkan” PR, anggota Kepolisian
yang menyemar sebagai pengusaha memesan pada O, lalu O meminta pada F dan kemudian
F membawa PR ke hotel yang disepakati untuk menjalankan kesepakatan. Sedangkan,
NM diboking oleh anggota Kepolisian yang menyemar sebagai pengusaha dengan cara
memesan pada O dan kemudian O meminta pada F, namun karena F tidak mempunyai
koneksi dengan NM, maka F menghubungi AS dan selanjutnya AS membawa NM ke hotel
yang disepakati untuk kepentingan pemenuhan kesepakatan.
Berdasarkan hasil penyelidikan, pihak Kepolisian juga berkesimpulan
bahwa NM dan PR adalah korban TPPO. Sedangkan, O dan F dikategorikan sebagai
mucikari dan ditetapkan sebagai tersangka karena oleh pihak Kepolisian
diduga
melakukan TPPO sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 UUPTPPO
jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Substansi dari Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana
adalah mengatur tentang peran dari pelaku terkait dengan keturutsertaan (deelneming) dalam suatu tindak pidana
dengan kategori peran sebagai berikut, yakni: Orang yang melakukan (pleger) suatu tindak pidana/TPPO, Orang yang menyuruh orang
lain untuk melakukan suatu tindak pidana/TPPO (doenpleger) dan orang yang turut serta
melakukan suatu tindak pidana/TPPO (medepleger).
Tersangka lainnya dalam kasus ini adalah AS yang juga dikategorikan
sebagai mucikari oleh pihak Kepolisan dan menjadi buronan polisi ketika kasus
ini mulai terungkap. AS ditangkap pada tanggal 16 Januari 2016, Pukul 01.00 WIB, di Pelabuhan Bakauheuni, Lampung Selatan, ketika tersangka yangberniat menyebarang dari Lampung menuju
Jakarta. Dari pengkapan tersebut, pihak Kepolisian juga mengamankan barang bukti berupa sebuah telepon genggam, sebuah memory card,
sebuah SIM A atas nama Sahrri Armansir Sungkar, dan sebuah tas warna kuning berisi pakaian. Mucikari AS ini, juga
dijadikan tersangka dengan mempergunakan Pasal 2 UUPTPPO
jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Memaknai Pasal 2
UUPTPPO
Perdagangan orang sebagai tindak pidana sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 2 UUPTPPO, diklaster dalam 2 (dua) kategori delik, yakni delik formil dan delik materil yang
dirumuskan secara berurutan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO dan Pasal 2 ayat (2)
UUPTPPO
Materi TPPO yang diatur dalam rumusan delik Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO adalah
setiap
orang akan
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00
(seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah), jika melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di Wilayah
Negara Republik Indonesia.
Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO ini memiliki unsur-unsur sebagai berikut: Pertama, Unsur Pelaku atau orang yang melakukan TPPO yang dalam UUPTPPO tdibagi menjadi 4 (empat) kategori, yakni Orang Perseorangan, Korporasi, Kelompok Terorganisasi dan Penyelenggara Negara. Walaupun dalam Pasal 2 UUPTPPO disebutkan bahwa pelakunya adalah setiap orang yang berdasarkan Pasal 1 angka 4 UUPTPPO diartikan sebagai orang perseorangan atau korporasi yang melakukan TPPO, namun tidak menutup kemungkinan bahwa Kelompok Terorganisasi dan Penyelenggara Negara juga bisa menjadi pelaku TPPO dalam Pasal 2 UUPTPPO (Bandingkan dengan amanat Pasal 8 UUPTPPO dan Pasal 16 UUPTPPO).
Kedua, Unsur Perbuatan. Istilah perbuatan ini dimaknai sebagai
setiap
tindakan aktif dan/atau pasif yang dilakukan secara sadar maupun tidak, yang berdasarkan
Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO perbuatan dimaksud meliputi perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang.
Ketiga, Unsur Kesengajaan yang dimaknai oleh Leden Marpaung (2005:13)
sebagai kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Unsur
kesengajaan ini
bisa ditemukan dalam rumusan kalimat, yakni: “ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain”.
Keempat, Unsur Tujuan. Sesuatu yang ingin diwujudkan atau hendak
dicapai oleh pelaku TPPO dari tindakan atau
perbuatan yang dilakukan, dalam hal ini mengeksploitasi
orang. Kelima, Unsur Locus Delictie. Tempat terjadinya TPPO adalah di
Wilayah Negara Republik Indonesia.
Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO ini dirumuskan oleh para perumus
sebagai delik formil untuk menjerat setiap orang yang melakukan TPPO. Hal
ini dapat dibuktikan dengan adanya kata ‘untuk tujuan’ sebelum frasa
‘mengeskploitasi orang tersebut’ pada rumusan
Pasal
2 ayat (1) UUPTPPO. Dalam bagian penjelasan dari Pasal 2 ayat (1)
UUPTPPO, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan delik formil ialah adanya TPPO
cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak
harus menimbulkan akibat. Artinya, setiap orang akan dihukum bukan karena
akibat yang ditimbulkan dari suatu TPPO, tetapi karena perbuatan yang dilarang
dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO telah dilakukan.
Rumusan delik dari Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO,
memiliki kemiripan dengan rumusan tindak pidana yang terdapat pada Pasal 2 ayat (2) UUPTPPO.
Apalagi, sanksi sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO, juga
berlaku dan dikenakan pada setiap tindakan dari pelaku yang mengakibatkan
orang tereksploitasi (Pasal 2 ayat (2) UUPTPPO). Perbedaannya
dengan Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO adalah Pasal 2 ayat (2) UUPTPPO ini
didesain oleh para perumus sebagai delik materil karena penekanannya pada unsur
akibat, yakni tereksploitasi orang. Artinya, unsur perbuatan yang dilarang tidak menjadi persoalan sebab setiap
orang akan dihukum apabila unsur akibat yang dilarang telah terwujud. Dengan kata lain, sempurnanya
suatu tindak pidana pada delik materil bukan bergantung pada selesainya wujud perbuatan tetapi ditentukan pada apakah dari wujud perbuatan itu, akibat yang dilarang
telah timbul atau belum (Satochid Kartanegara, Tanpa
Tahun:136-137).
Prostitusi Sebagai TPPO
Prostitusi berasal dari bahasa Latin prostituere atau prostauree, yang berarti membiarkan diri berbuat zinah,
melakukan persundalan, percabulan, pergendekan
(Kartini Kartono, 2009:207). Dalam bahasa Inggris prostitusi
disebut prostitution yang artinya tidak jauh beda dengan bahasa latin,
yaitu pelacuran, persundalan atau ketunasusilaan.
Pada era kekinian, prostitusi sudah bermetamorfosa menjadi cabang dari industri
yang selevel dengan pornografi atau tari telanjang. Dalam konteks yang lebih
luas, prostitusi disejajarkan dengan eksploitasi aktivitas seksual dan
pertunjukan yang berkenaan dengan seksualitas untuk menghibur orang lain, demi mendapatkan materi yang dibutuhkan dalam kehidupan. Jadi, pelacuran itu tidak sebatas hanya.
Di Indonesia, istilah prostitusi dipahami sama dengan istilah pelacuran yang dimaknai sebagai pekerjaan yang menukarkan hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi jual beli atau perdagangan. Dengan kata
lain, pelacuran itu adalah penjualan jasa
seksual, seperti seks oral atau berhubungan seks sebagai mata pencaharian.
Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur.
Pelacuran dalam UUPTPPO, dikategorikan
sebagai salah satu bentuk dari tindakan eksploitasi, walaupun tindakan tersebut
dilakukan dengan atau tanpa persetujuan korban (Pasal 1 angka 7
UUPTPPO). Namun demikian, tidak semua tindak pelacuran masuk
dalam kategori TPPO karena yang
diperdagangkan dalam pelacuran adalah layanan seksual dan bukan orang.
Pelacuran dikategorikan sebagai TPPO sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2
UUPTPPO, apabila kegiatan pelacuran
tersebut pada prosesnya harus ada perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan cara ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat, sehingga seseorang dijadikan sebagai pelacur.
Secara sederhana, pelacuran dikatakan bukan sebagai suatu
TPPO dapat diketahui dari cara seseorang menjadi pelacur. Jika seseorang yang
sudah dewasa menjadi pelacur secara sukarela atau tidak berdasarkan paksaan, maka
tidak dapat dimasukan kedalam kategori TPPO
versi Pasal 2 UUPTPPO. Sedangkan, jika seseorang
menjadi pelacur dengan cara ketidaksukarelaan, seperti: ditipu, dipaksa, diiming-imingi, diculik, dijebak
atau
praktek-praktek serupa perbudakan, penghambaan dan termasuk didalamnya adalah
partisipasi secara tidak sukarela dalam pelacuran, maka
dapat dijerat dengan Pasal 2 UUPTPPO.
Seseorang yang dijadikan sebagai pelacur dengan cara
penjeratan
hutang
adalah bagian dari TPPO dan dapat dipidana dengan Pasal 2 UUPTPPO. Pelacuran dengan jeratan hutang, dapat juga terjadi dalam
situasi ketika seseorang setuju untuk bekerja dalam industri pelacuran tetapi
tidak mengetahui dan tidak menyetujui bahwa penghasilan dan kebebasannya akan
diambil darinya.
Pihak Kepolisian Hanya Ingin Menjerat
Mucikari
Jika dicermati konstruksi hukum yang dibangun oleh
pihak Kepolisian dalam penegakan hukum kasus pelacuran/prostitusi artis dengan menjadikan artis NM dan PR sebagai korban, serta menetapkan AS, O dan F sebagai tersangka karena
mereka diduga sebagai mucikari atau germo, maka dapat
disimpulkan bahwa yang ingin dijerat oleh pihak Kepolisian dalam kasus ini
hanyalah mereka yang diduga sebagai mucikari.
Apabila pihak
Kepolisian hanya ingin menjerat mucikari dalam kasus pelacuran/prostitusi artis ini, maka sebenarnya pihak Kepolisian bisa
mempergunakan Pasal 296 KUHPidana dan Pasal 506
KUHPidana. Kedua pasal ini dirancang oleh para pembuat
KUHPidana untuk menghukum orang yang
kerjaannya menyediakan dan menarik keuntungan dari suatu layanan seksual atau yang lebih dikenal dengan istilah lain sebagai mucikari, germo atau perantara.
Dalam Pasal
296 KUHPidana diatur bahwa: “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau
memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya
sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama
satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
Sedangkan, pada Pasal 506 KUHPidana pada
intinya ditegaskan bahwa barang siapa yang terbukti menarik keuntungan dari
perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencaharian, akan
dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.
Menurut Umar Husain (2015), kasus prostitusi/pelacuran artis yang
melibatkan AS, O, F,
NM dan
PR, bukanlah kasus TPPO, tetapi lebih mengarah pada kerjasama bisnis. Sehingga
penggunaan Pasal 2 UUPTPPO untuk menjerat tersangkanya adalah tidak tepat. Sebab, fakta menunjukkan bahwa dalam kasus yang melibatkan
AS, O, F, NM dan PR, inisiatif
aktivitas ‘jual-beli’ tersebut, muncul dari pihak yang
dianggap sebagai korban yang meminta tolong kepada pihak ketiga agar dicarikan
pasar.
Argumen dari Umar
Husain ini
memiliki nilai kebenaran, karena walaupun NM
dan PR yang adalah artis dan oleh pihak Kepolisian dikategorikan sebagai korban
TPPO, namun pihak kepolisian belum dapat membuktikan bahwa NM dan PR telah memenuhi
kriteria dari korban TPPO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3
UUPTPPO,
yakni: “Seseorang
yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau
sosial, yang diakibatkan TPPO”.
Pihak kepolisian juga bisa mempergunakan Pasal 12
UUPTPPO, jika hanya ingin menjerat mucikari/germo. Karena, Pasal 12 UUPTPPO
dirancang untuk menghukum: Setiap orang
yang menggunakan atau memanfaatkan korban TPPO dengan cara melakukan
persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindakpidana
perdagangan orang, mempekerjakan korban TPPO untuk meneruskan praktik
eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil TPPO dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan
Pasal 6.
Pasal 12 UUPTPPO ini tidak saja dapat dipergunakan oleh pihak Kepolisian untuk menghukum mucikari/germo, tetapi bisa juga diterapkan untuk mereka yang dikategorikan sebagai pengguna/penikmat layanan dari pelacur. Syarat bagi pihak Kepolisian agar bisa menggunakan Pasal 12 UUPTPPO adalah pihak Kepolisian harus memastikan dan membuktikan bahwa NM dan PR dalam kasus pelacuran/prostitusi artis adalah korban TPPO sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 UUPTPPO.
Berpijak pada fakta hukum terkait kasus pelacuran/prostitusi artis
yang melibatakan NM, PR, AS, O dan F, maka
dapat ditarik suatu titik simpul bahwa pihak Kepolisian diduga telah keliru
dalam menerepkan pasal dan/atau aturan (error
in juris) karena menggunakan Pasal 2 UUPTPPO untuk menjerat mereka yang
diduga sebagai mucikari dalam penegakan hukum kasus pelacuran/prostitusi artis
dengan korban NM dan PR.
---------------------------------------------------