Rabu, 04 Juli 2018

Penghapusan Pidana Bagi Korban Perdagangan Orang

PENGHAPUSAN PIDANA BAGI KORBAN PERDAGANGAN ORANG1)

Oleh: Paul SinlaEloE2)


Dalam suatu peristiwa hukum terkait dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), dapat dipastikan akan menimbulkan kerugian di pihak korban. baik itu yang bersifat materil dan/atau imateril. Karenanya, tidaklah mengherankan apabila para pengambil kebijakan telah merumuskan dan memasukan sejumlah pasal terkait dengan perlindungan korban dalam UU No. 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang (UUPTPPO), sebagai wujud kepedulian Negara terhadap Korban TPPO yang berdasarkan Pasal Pasal 1 angka 3 UUPTPPO dipahami sebagai seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan TPPO.


Salah satu pasal dalam UUPTPPO yang dirumuskan oleh pengambil kebijakan dalam rangka melindungi korban adalah Pasal 18 UUPTPPO yang mengamantkan bahwa: ”Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana”. Secara substansi, Pasal 18 UUPTPPO ini dirancang oleh pengambil kebijakan untuk melindungi korban dengan cara memberikan penghapusan pidana bagi korban TPPO yang dipaksa oleh pelaku TPPO untuk melakukan tindak pidana.


Konsep Penghapusan Pidana

Penghapusan atau peniadaan pidana (strafuitluitingsgronden) bagi orang/korban TPPO yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh orang lain/pelaku TPPO, merupakan kewenangan hakim berdasarkan ketentuan undang-undang dan hukum. Teknisnya, hakim memutus perkara dengan membenarkan atau memaafkan pelaku untuk tidak dipidana atas perbuatannya yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik. Alasan yuridis bagi hakim untuk penghapusan hukuman pidana (strafuitluitingsgronden) bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana, dapat berupa alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden) atau alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden).


Pengkategorian alasan penghapusan pidana menjadi alasan pembenar dan alasan pemaaf ini, sejalan atau memiliki korelasi dengan ilmu pengetahuan hukum pidana yang melakukan pembedaan antara ‘dapat dipidananya perbuatan’ dan ‘dapat dipidananya pembuat/pelaku’. Menurut Moeljatno (2002:137), alasan pemaaf sebagai alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, dimana perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum dan tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi terdakwa tidak dipidana karena tidak ada kesalahan, sedangkan alasan pembenar dimaknai sebagai alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum, sehingga secara hukum apa yang dilakukan oleh terdakwa telah dipandang menjadi perbuatan yang patut dan benar.


Secara sederhana, alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) dalam konsep penghapusan pidana dipahami sebagai alasan yang menghapuskan sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dari suatu perbuatan pidana. Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) ini, berkaitan dengan actus reus atau perbuatan jahat dalam suatu tindak pidana (strafbaarfeit). Sedangkan, konsep penghapusan pidana terkait dengan alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) merupakan alasan yang menghapuskan kesalahan pelaku/terdakwa, baik itu yang bersifat kesengajaan (dolus) maupun kesalahan karena kealpaan (culpa). Alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) ini berhubungan dengan keadaan dari pelaku, pertanggungjawaban pidana (toerekeningsvatbaarheid) dan mens rea (niat jahat).


Penghapusan Pidana Versi Pasal 18 UUPTPPO

Kata ‘dipaksa’ yang terdapat dalam rumusan Pasal 18 UUPTPPO, merupakan kata kerja pasif dan dimaknai sebagai suatu keadaan di mana seseorang/korban TPPO disuruh melakukan sesuatu sedemikian rupa sehingga melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendak sendiri (Penjelasan Pasal 18 UUPTPPO). Secara substansi, istilah ‘dipaksa’ yang terdapat pada Pasal 18 UUPTPPO, memiliki kesamaan dengan istilah ‘daya paksa’ atau ‘overmacht’ yang dalam Memori Van Toelichting (penjelasan KUHPidana Belanda) dimaknai sebagai setiap kekuatan, setiap paksaan, setiap dorongan yang tidak dapat dielakan. 


Daya paksa atau overmacht, oleh Satochid Kartanegara (Tanpa Tahun:446) diartikan sebagi paksaan yang menimbulkan keadaan tak berdaya. Pendapat dari Satochid Kartanegara ini penekanannya lebih kepada akibat dari suatu paksaan yang menghasilkan suatu ketidakberdayaan karena situasi. Sedangkan daya paksa (overmacht) dalam Memori Van Toelichting (penjelasan KUHPidana Belanda) pengertiannya lebih dititik beratkan pada pilihan tindakan yang harus dilakukan oleh orang yang dipaksa. Jika mengacu pada apa yang diuraikan dalam Memori Van Toelichting (penjelasan KUHPidana Belanda) dan pendapat dari Satochid Kartanegara, maka dapat ditarik suatu titik simpul bahwa yang dimaksud dengan ‘daya paksa’ atau ‘overmacht adalah setiap kekuatan, setiap paksaan, setiap dorongan yang tidak dapat dielakan sehingga menimbulkan keadaan tak berdaya.


Konsep tentang daya paksa (overmacht) dalam ilmu hukum pidana, pada intinya melarang untuk mempidanakan atau menghukum setiap orang yang melakukan tindak pidana karena didorong oleh daya paksa. Jika mengacu pada Memori Van Toelichting (penjelasan KUHPidana Belanda), maka daya paksa atau overmacht ini dapat berwujud paksaan fisik dan psikis maupun oleh keadaan dan oleh Jan Engbertus Jonkers (1987:261), diketegorikan dalam 3 (tiga) klaster, yakni: Pertama, daya paksa yang besifat mutlak (vis absoluta); Kedua, daya paksa yang bersifat relatif (vis compulsiva); dan Ketiga, keadaan terpaksa/darurat (noodtoestand).


Daya paksa yang besifat mutlak (vis absoluta) senantiasa terjadi dalam hal orang yang dipaksa untuk melakukan suatu tindak pidana/TPPO, tidak dapat berbuat lain selain mengikuti apa yang dikehendaki oleh orang yang memaksa (R. Sugandhi, 1980:55). Itu berarti, orang yang dipaksa tersebut mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat dielakkan olehnya dan tidak mungkin memilih jalan lain. Sedangkan untuk suatu daya paksa bersifat relatif (vis compulsiva), maka orang yang dipaksa atau terpaksa untuk melakukan suatu tindak pidana/TPPO, masih mempunyai kesempatan untuk memilih tindakan mana/apa yang akan dilakukan (R. Sugandhi, 1980:55). Daya pakasa yang bersifat relatif ini, sering juga disebut sebagai kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak.


Menurut Moeljanto (2002:140), daya paksa relatif (vis compulsiva) dapat dibedakan menjadi daya paksa dalam arti sempit (overmacht in engere zin) sebagai paksaan atau daya paksa yang berasal oleh orang lain dan keadaan terpaksa/darurat (noodtoestand). Perbedaan antara keadaan terpaksa/darurat (noodtoestand) dengan daya paksa dalam arti sempit (overmacht in engere zin) terletak pada apa yang memaksa. Pada noodtoestand, daya paksa dimaksud tidak disebabkan oleh orang lain sebagaimana overmacht in engere zin, melainkan disebabkan oleh keadaan tertentu. Perbedaan lainnya adalah kalau daya paksa (overmacht) baik itu yang bersifat relatif (vis compulsiva) maupun yang besifat mutlak (vis absoluta), masuk dalam kategori alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden) dari konsep penghapusan atau peniadaan pidana (strafuitluitingsgronden), sedangkan noodtoestand merupakan strafuitluitingsgronden yang berkategori alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden).


Satochid Kartanegara (Tanpa Tahun:451) menjelaskan bahwa noodtoestand merupakan keadaan ketika suatu kepentingan hukum dalam keadaan bahaya dan untuk dapat terhindar bahaya itu, terpaksa dilanggar kepentingan hukum yang lain. Itu berarti, dalam suatu keadaan terpaksa/darurat (noodtoestand) terdapat suatu pertentangan antara 2 (dua) macam kepentingan hukum yang berbeda. Selain itu, keadaan terpaksa/darurat (noodtoestand), dapat juga terjadi ketika terdapat kondisi dimana ada pertentangan antara suatu kepentingan hukum dengan suatu kewajiban hukum. Pertentangan antara dua macam kewajiban hukum yang berbeda, masuk juga dalam kategori noodtoestand atau keadaan terpaksa/darurat (Satochid Kartanegara, Tanpa Tahun:452).


Pada konteks noodtoestand, Satochid Kartanegara (Tanpa Tahun:451-452) mengartikan kepentingan hukum sebagai suatu atau segala kepentingan yang diperlukan manusia menyangkut berbagai segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, anggota masyarakat, maupun bagian dari suatu Negara, yang wajib dijaga dan dipertahankan kebebasannya agar tidak dilanggar oleh perbuatan orang lain. Sedangkan, kewajiban hukum dimaknai oleh Satochid Kartanegara (Tanpa Tahun:451-452) sebagai kewajiban yang dibebankan pada subjek hukum untuk tunduk serta menjalankan setiap hukum yang berlaku dan apabila tidak dipatuhi, akan berakibat hukum bagi pelakunya.


Walaupun konsep tentang keadaan terpaksa/darurat (noodtoestand) sudah diakui dalam ilmu hukum pidana di Indonesia sejak awal kemerdekaan, namun konsep tentang keadaan terpaksa/darurat (noodtoestand) ini merupakan hal yang terabaikan dari UUPTPPO. Buktinya, konsep penghapusan atau peniadaan pidana (strafuitluitingsgronden) bagi korban TPPO yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 18 UUPTPPO beserta penjelasannya, hanya mengatur tentang orang/korban TPPO yang melakukan suatu tindak pidana karena dipaksa oleh orang/pelaku TPPO yang dalam perspektif hukum pidana tidak mencakup aspek kondisi atau keadaan terpaksa/darurat (noodtoestand) yang memaksa orang/korban TPPO yang melakukan suatu tindak pidana.


Pasal 18 UUPTPPO Mengabaikan Konsep Pembelaan Terpaksa

Salah satu poin penting yang terabaikan juga dalam UUPTPPO termasuk didalamnya rumusan delik Pasal 18 UUPTPPO beserta penjelasannya adalah tidak terdapatnya konsep pembelaan terpaksa (noodweer). Padahal, berdasarkan pengalaman advokasi kasus TPPO yang dilakukan oleh berbagai lembaga yang konsern terhadap korban TPPO, diantaranya Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR-NTT), Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC), Rumah Perempuan Kupang serta LAKMAS Cendana Wangi, ditemukan bahwa pembelaan terpaksa (noodweer) ini merupakan tindakan yang paling sering dilakukan oleh korban TPPO.


Secara substansi, konsep tentang pembelaan terpaksa (noodweer), berbeda dengan konsep daya paksa (overmacht). Adami Chazawi (2002:49-50) berpendapat bahwa setidaknya terdapat 4 (empat) perbedaan antara noodweer dan overmacht, yakni: Pertama. Daya paksa terjadi apabila perbuatan yang menjadi pilihan oleh orang yang diserang adalah berupa perbuatan yang memang dimaksudkan dan dinginkan si penyerang dan pada pembelaan terpaksa, perbuatan yang menjadi pilähan orang yang diserang adalah berupa perbuatan yang tidak menjadi tujuan atau maksud si penyerang; Kedua. Pada daya paksa, orang yang diserang terpaksa melakukan perbuatan yang dihendaki si penyerang, karena orang yang diserang tidak berdaya untuk melawan serangan yang memaksa itu. Sedangkan pada pembelan terpaksa, orang yang melakukan pembelaan terpaksa ada kemampuan berbuat untuk melwan serangan oleh si penyerang;


Ketiga, Pada pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan terhadap serangan-serangan yang bersifat melawan hukum dalam tiga bidang alah: tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda. Sedangkan untuk daya paksa, tidaklah ditentukan bidang kepentingan hukum apa dalam hal penyerangan yang dapat dilakukan daya paksa; dan Keempat, Pada daya paksa dapat terjadi dalam hal keadaan darurat, yaitu terjadi dalam hal konflik antara dua kepentingan hukum, konflik antara dua kewajiban hukum dan konflik antara kewajiban hukum dengan kepentingan hukum. Sebaliknya, pembelan terpaksa tidak dapat terjadi dalam keadaan darurat.


Menurut R. Sugandhi (1980:58-59), suatu tindakan dikategorikan sebagai noodweer apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: (1). Tindakan yang dilakukan itu harus benar-benar terpaksa untuk mempertahankan (membela) dalam artian pertahanan atau pembelaan itu harus demikian perlu sehingga boleh dikatakan tidak ada jalan lain yang lebih baik dari tindakan yang dilakukan; (2). Pembelaan atau pertahanan yang harus dilakukan itu hanya terhadap kepentingan-kepentingan diri sendiri atau orang lain, peri kesopanan atau kesusilaan, dan harta benda kepunyaan sendiri atau kepunyaan orang lain; dan (3). Harus ada serangan yang melawan hukum dan ancaman yang mendadak (pada saat itu juga). Untuk dapat dikatakan “melawan hukum”, penyerang yang melakukan serangan itu harus melawan hak orang lain atau tidak mempunyai hak untuk itu.


Pembelaan terpaksa (noodweer) oleh E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi (2012:289-292), dikategorikan sebagai kewajiban mutlak dari setiap individu termasuk korban TPPO untuk membela atau mempertahankan dan melindungi kepentingan hukum (rechtsbelang) dirinya sendiri atau orang lain dari suatu ancaman serangan atau serangan (aanranding) yang bersifat melawan hukum (wederrechtlijk) yang terjadi atau dikhawatirkan akan segera menimpa (onmiddelijk dreigend) atas diri/badan (lijf), kehormatan/kesusilaan (eerbaarheid), atau barang-barang (goederen) dan langsung dihadapi atau di respons seketika itu (ogenblikklijk).


Pembelaan terpaksa atau noodweer dalam ilmu hukum pidana dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: noodweer (pembelaan terpaksa) itu sendiri dan noodweer exces. Menurut Satochid Kartanegara (Tanpa Tahun:480), yang dimaksud dengan noodweer exces adalah cara pembelaan diri yang melampaui batas-batas keperluan pembelaan. P. A. F. Lamintang (2013:502), menjelaskan bahwa suatu tindakan yang disebut sebagai noodweer exces dapat diketahui dari perbuatan dalam hal pembelaannya yang melampaui batas. Perbuatan melampaui batas ini bisa meliputi perbuatan melampaui batas keperluan maupun dapat pula berkenaan dengan perbuatan melampaui batas dari pembelaannya itu sendiri. Batas-batas dari keperluan yang telah dilampaui itu dapat diketahui dari cara-caranya yang telah dipergunakan untuk melakukan pembelaan. Sedangankan, untuk batas-batas dari sutu pembelaan itu disebut telah dilampaui, jika setelah pembelaan yang sebenarnya itu telah selesai, orang masih tetap menyerang si penyerang, walaupun serangan dari si penyerang itu sendiri sebenarnya telah berakhir.


Persamaan antara pembelaan terpaksa yang melampau batas (noodweer exces) dengan pembelaan terpaksa (noodweer) menurut Adami Chazawi (2002:51) adalah: Pertama, pada kedua-duanya ada serangan atau ancaman serangan yang meawan hukum, yang ditujukan pada 3 (tiga) kepentingan hukum (tubuh, kehormatan kesusilaan dan harta benda); Kedua, pada kedua-duanya, melakukan perbuatan pembelaan memang dalam keadaan yang terpaksa (noodzakelijk) dalam usaha untuk mempertahankan dan melindungi suatu kepentingan hukum yang terancam bahaya oleh serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum; dan Ketiga, pada kedua-dua pembelaan itu ditujukan untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan hukum (rechtsbelang) diri sendiri atau kepentingan hukum orang lain.


Adami Chazawi (2002:51-53) juga membedakan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dengan pembelaan terpaksa yang melampau batas (noodweer exces). Perbedaannya, yaitu: Pertama, bahwa perbuatan apa yang dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa haruslah perbuatan yang seimbang dengan bahaya dari serangan atau ancaman serangan, perbuatannya haruslah sepanjang perlu dalam hal pembelaan terpaksa, tidak diperkenankan melampaui dari apa yang diperlukan dalam pembelaan itu. Tetapi pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, ialah perbuatan apa yang menjadi pilihannya sudah melebihi dari apa yang diperlukan dalam hal pembelaan atas kepentingan hukumnya yang terancam, yang artinya pilihan perbuatan itu sudah tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkan oleh adanya serangan atau ancaman serangan;


Kedua, bahwa dalam hal pembelaan terpaksa, perbuatan pembelaan hanya dapat dilakukan pada ketika adanya ancaman serangan atau serangan sedang beriangsung dan tidak boleh dilakukan setelah serangan terhenti atau tidak ada lagi serangan. Tetap pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, perbuatan pembelaan itu masih boleh dilakukan sesudah serangan terhenti; dan Ketiga, tidak dipidananya si pembuat pembelaan terpaksa oleh karena kehilangan sifat melawan hukum pada perbuatannya, jadi merupakan alasan pembenar. Dasar peniadaan pidana karena pembelaan terpaksa terletak pada perbuatannya. Sedangkan, tidak dipidananya si pembuat pembelaan terpaksa yang melampaul batas oleh karena adanya alasan penghapus kesalahan pada diri si pembuat, jadi merupakan alasan pemaaf. Dasar tidak dipidananya si pembuat dalam pembelaan yang melampaui batas terletak pada diri orangnya, dan bukan pada perbuatannya

 

DAFTAR BACAAN 

  1. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002.
  2. E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi. Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit Storia Grafika, Jakarta, 2012.
  3. J. E. Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, (Judul Asli: Handboek Van Het Nederlandsch-Indische Strafrech), diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Bina Aksara, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1987.
  4. Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
  5. P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013.
  6. R. Sugandhi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Berikut Penjelasannya, Penerbit Usaha Nasional, Surabaya, 1980.
  7. Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Ke Satu, diperbanyak oleh Balai Lektur Mahasisiwa, Jakarta, Tanpa Tahun.
  8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.


1) Tulisan pernah dipresentasikan dalam diskusi terbatas “Perlindungan Hukum Bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang”, yang dilaksanakan oleh Lembaga Advokasi Masyarakat Sipil Cendana Wangi (Lakmas CW - NTT), di Kantor Lakmas CW - NTTKefamenanu, pada tanggal 20 Juni 2018.

2) Aktivis PIAR NTT

TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...