PERDAGANGAN ANAK
Oleh: Paul SinlaEloE – Aktivis PIAR NTTTulisan ini pernah dipublikasikan dalam HU. Victory News, Jumat, 07 Agustus 2020
Secara yuridis, pelarangan agar Anak tidak boleh diperdagangkan diantaranya terdapat dalam Pasal 76F Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak (UUPA), yang menegaskan bahwa: “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan Anak”. Berdasarkan amanat Pasal 83 UUPA, maka setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76F, akan di,pidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Ironisnya, dalam UUPA tidak dijelaskan
pada bagian penjelasan pasal demi pasal dan/atau tidak didefinisikan pada bagian
ketentuan umum tentang apa yang dimaksud dengan perdagangan anak maupun apa
arti dari penjualan anak. UUPA juga tidak menguraikan tentang apa perbedaan dari aspek hukum terkait
dengan kedua istilah tersebut, terutama dalam hal makna, tindakan (proses dan
cara) maupun tujuan atau akibat. Fakta ini merupakan salah satu cacat bawaan dari UUPA dan akan berdampak pada proses penegakan hukum. Sebab, setiap orang yang melakukan penjualan anak tidak dapat dipidana karena telah
terbukti melakukan perdagangan anak dan begitu juga sebaliknya.
Terlepas dari cacat
bawaan yang terdapat pada UUPA, dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang/UUPTPPO, terdapat 2 (dua) pasal yang secara khusus mengatur tentang perdagangan anak.
Salah satunya adalah Pasal 6 UUPTPPO yang dihadirkan untuk tujuan melindungi Anak, agar tidak menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang/TPPO. Pasal 6 UUPTPPO dirancang untuk mempidanakan pelaku
yang melakukan TPPO terhadap Anak, dengan rumusan delik sebagai berikut: “setiap orang yang melakukan pengiriman Anak ke dalam
atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut
tereksploitasi
Pada bagian Penjelasan Pasal 6 UUPTPPO, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan frasa
“pengiriman Anak ke dalam negeri” adalah pengiriman anak antar daerah dalam
wilayah negara Republik Indonesia. Sedangkan,
istilah “eksploitasi” berdasarkan Pasal 1 angka
7 UUPTPPO diartikan sebagai tindakan
dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada
pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa
perbudakan, penindasan, pemerasan,
pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum
memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan
seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun
immateriil.
Rumusan delik dari
Pasal 6 UUPTPPO, pada intinya dirancang hanya untuk mempidanakan setiap orang yang
melakukan pengiriman Anak. Sedangkan, proses perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pemindahan atau penerimaan Anak, tidak dapat dijerat dengan pasal
ini. Frasa ‘dengan cara apapun’ yang terdapat dalam Pasal 6
UUPTPPO menunjukkan bahwa semua cara yang dilakukan oleh
pelaku dan mengakibatkan tereksploitasinya Anak, termasuk cara-cara yang tercantum dalam Pasal 2 UUPTPPO, yakni: dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, dapat dijerat dengan Pasal ini.
Pasal 6 UUPTPPO ini didesain oleh para perumus sebagai delik materil. Artinya, TPPO sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UUPTPPO dikatakan telah sempurna dan pelakunya
dapat dipidana, apabila unsur akibat yang dilarang telah terwujud. Karena dikonstruksi sebagai delik materil, maka aspek pencegahan terjadinya eksploitasi Anak
dalam Pasal 6 UUPTPPO, terkesan diabaikan. Padahal, Pasal 56 UUPTPPO telah
mengamanatkan bahwa tujuan pencegahan TPPO adalah mencegah sedini mungkin terjadinya TPPO. Bahkan, rumusan norma yang terdapat pada Pasal 6 UUPTPPO ini dikonstruksi dengan kurang mempertimbangkan hak-hak anak yang harus dilindungi. Hal ini
bertentangan dengan semangat zaman (zeitgeist) yang terdapat dalam UUPA.
Konsekuensinya, perbuatan
mengirim Anak ke luar negeri ataupun ke dalam negeri khususnya untuk tujuan eksploitasi, belum dapat dilakukan penegakan hukumnya, jika akibat dari
perbuatan mengirim Anak belum terwujud. Artinya, Pasal 6 UUPTPPO hanya dapat dilakukan penegakan
hukumnya apabila perbuatan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan
cara apapun, sudah menimbulkan akibat, yakni Anak tereksploitasi.
Dengan kata lain, untuk melakukan penegakan hukum
berdasarkan Pasal 6 UUPTPPO, harus menunggu Anak yang dikirim ke luar negeri atau ke dalam negeri
untuk dieksploitasi, sudah tereksploitasi di luar
negeri
atau di dalam negeri, sebagai akibat dari
rangkaian perbuatan pengiriman Anak ke luar negeri atau ke dalam
negeri.
Berpijak pada
realita yang demikian, maka bisa ditarik
suatu titik simpul bahwa UUPTPPO maupun UUPA tidak dapat
menjangkau keseluruhan TPPO dengan korban Anak. Itu berarti, sudah saatnya Pasal 6 UUPTPPO harus disempurnakan, sehingga bisa
diimplementasikan dengan tidak mengabaikan kepentingan terbaik Anak. Selain
itu, sudah saatnya juga istilah perdagangan anak dan penjualan anak harus
didefinisikan secara hukum dan dimasukkan dalam hukum positif, sehingga aspek
kepastian, kemanfaatan dan keadilan yang adalah tujuan dari hukum, dapat
diwujudkan.