PEMBEBASAN TANAH
(Suatu Tinjauan Terhadap Definisi Kepentingan Umum)
Oleh. Paul SinlaEloE
Begitu banyak pertanyaan yang
akan muncul apabila tanah dijadikan topik utama dalam pembicaraan. Salah satu
pertanyaan mendasar yang sudah lazim sehubungan dengan tanah adalah: Mengapa UU
No. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang bertujuan
untuk membela kepentingan dan kedaulatan rakyat demi mensejahteraan rakyat
sudah genap 40 tahun diberlakukan, tetapi rakyat tidak semakin sejahtera,
melainkan dalam satu dekade terakhir ini semakin banyak reaksi dan konflik yang
timbul sehubungan dengan sumber daya agraria yang paling pokok yaitu tanah…?
Tulisan ini akan mencoba memberikan salah satu jawaban dari begitu banyak
jawaban yang mungkin ada, berkaitan dengan pertanyaan tersebut.
Pentingnya tanah telah mendapat perhatian dari para Founding Fathers And Also Some Mother bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan dengan dicantumkannya Pasal 33 ayat (3) dari UUD 1945 dengan rumusan sebagai berikut: “Tanah atau bumi, air dan ruang angkasa dikuasai oleh negera dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Sayangnya, didalam praktek penekanan lebih diberikan pada konsepsi mengenai penguasaan negara dan tak jarang ungkapan demi kemakmuran rakyat hanya dijadikan sebagai argumen pembenaran atas penguasaan tersebut (Dr. Tom Therik, 1998).
Dalam hal pembebasan tanah
untuk proyek-proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, selalu dan
selalu menjadi kasus pelik walaupun telah diatur didalam PERMENDAGRI No. 15
Tahun 1975. Sebab masing-masing pasal pada aturan ini, saling kontradiksi. Disatu
sisi menekankan musyawarah mufakat, disisi yang lain membolehkan adanya
indikasi pemaksaan.
Sebenarnya ada aturan yang
lebih baik dari PERMENDAGRI tersebut, yakni KEPPRES No. 55 Tahun 1993 yang lebih
mengutamakan musyawarah mufakat. Dalam KEPPRES No. 55 Tahun 1993, secara tegas diatur bahwa, seandainya
musyawarah mufakat itu gagal dalam artian bahwa rakyat tidak ingin menyerahkan
tanahnya, maka sipembebas tanah bisa meneruskan upaya ini melalui Presiden.
Tetapi didalam pelaksanaannya pemerintah senantiasa tidak menghiraukan aturan
ini. Malahan, pemerintah terkesan sengaja tidak melaksanakan KEPPRES No. 55 Tahun 1993, karena
rakyat atau para pemilik tanah pada umumnya, masih banyak yang tidak sepenuhnya
mengerti peraturan hukum. Apalagi meraka jarang dilibatkan sejak awal oleh
panitia pembebasan tanah. Sehingga, kalaupun mereka menerima ganti rugi yang
nilainya ditetapkan oleh pemerintah, itu bukan berarti dilandasi atas dasar
kesukarelaan melainkan lantaran tidak paham dan/atau takut.
Pasal 18 UU No. 5 Tahun
1960, telah mengamantkan bahwa, untuk Kepentingan Umum termasuk kepentingan bangsa dan
negara serta kepentingan bersama dari rakyat, maka hak-hak atas tanah dapat dicabut
dengan memberikan ganti rugi yang layak sesuai dengan cara yang diatur dalam UU
No. 20 Tahun 1961, Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Bergerak
Yang Ada diatasnya.
Bertalian dengan Kepentingan
Umum, Dr. Muchsan (1997) berpendapat bahwa, “definisi Kepentingan Umum tidak
boleh abstrak“. Kalau dicermati secara jujur seluruh peraturan perundangan
yang berhubungan dengan tanah, maka akan didapati kalimat sakti dari pemerintah
untuk mendapatkan tanah rakyat, yaitu: “demi Kepentingan Umum untuk bangsa dan
negara“. Tetapi tidak ada definisinya. Ketidakjelasan ini menyebabkan kepastian
hukum di Indonesia dalam permasalahan tanah menjadi sumir dan belum bahkan tidak akan pernah
terwujud. Bukti nyatanya dapat dilihat pada kasus Celah Timor yang meliputi
kasus tanah Kuanheum dan kasus pembebasan tanah Bolok, serta berbagai kasus
pembebasan tanah diseluruh Indonesia. Dari kesemuanya itu dalih pemerintah
tetap sama yaitu demi Kepentingan Umum.
Di negara yang demokrasi
hukumnya sudah lebih baik seperti Belanda, telah diatur secara tegas dalam Onteigenings
Wet yang mendefinisikan Kepentingan Umum menjadi 27 jenis yang
diantaranya untuk irigasi, makam dan jalan raya. Di Belanda, kalau ada rakyat
yang tergusur mereka berhak bertanya untuk apa tanah yang dibebaskan tersebut.
Kalau tidak termasuk didalam ke-27 jenis tadi, maka mereka dibolehkan untuk
menolak keinginan dari pada decision maker tersebut. Apabila terjadi sengketa, pemerintah atau rakyat bisa maju ke pengadilan.
Pengadilan dengan demikian menjadi pihak ke-3. Ini sangat berbeda dengan di
Indonesia, karena selain menjadi panitia pembebas pemerintah juga menjadi
panitia (wasit). Sehingga kalau panitia dan wasit berada disatu pihak, maka
sudah bisa dipastikan hasil yang akan dicapai tersebut.
Belajar dari berbagai sengketa
pertanahan di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa sangat diperlukan suatu
kebijakan yang berorientasi pada pemerataan penguasaan tanah dan pengakuan terhadap
hak-hak tanah masyarakat, termasuk juga hak masyarakat adat atas tanah (Noer
Fauzi, 1998). Suatu hal yang juga sangat urgen dan cukup relevan adalah
dipikirkan untuk diundangkannya suatu undang-undang yang mengatur perbuatan
pemerintah dalam proses pembebasan tanah, yang didalamnya juga harus mengatur
tentang definisi Kepentingan Umum. (Tulisan ini pernah dipublkikasikan
dalam Harian Umum Sasando Pos, 19 Juni 2000).
-------------------------------
Penulis: Mahasiswa FH Univ. Kristen Aartha Wacana