PENCAPLOKAN TANAH ADAT
Oleh: Paul SinlaEloE -
Staf Divisi Advokasi
PIAR NTT
Makalah ini disampaikan dalam diskusi gerilya yang berthema, “Masyarakat Adat dan Hak Atas Tanah”, yang dilaksanakan oleh PIAR NTT, di Kabupaten Kupang
Makalah ini disampaikan dalam diskusi gerilya yang berthema, “Masyarakat Adat dan Hak Atas Tanah”, yang dilaksanakan oleh PIAR NTT, di Kabupaten Kupang
(Diskusi dengan Masyarakat Adat di Desa Fatumonas Kecamatan Amfoang Selatan),
pada tanggal 14 November 2004 s/d 16 November 2004
pada tanggal 14 November 2004 s/d 16 November 2004
Prolog
Tanah adat adalah istilah yang disematkan pada lahan yang dimilliki secara kolektif oleh sebuah etnis atau suku. Tanah ini berasal dari generasi leluhur dan diwariskan terus menerus ke generasi penerusnya, sejak sebelum Indonesia merdeka.
Tanah adat adalah istilah yang disematkan pada lahan yang dimilliki secara kolektif oleh sebuah etnis atau suku. Tanah ini berasal dari generasi leluhur dan diwariskan terus menerus ke generasi penerusnya, sejak sebelum Indonesia merdeka.
Bagi Masyarakat Hukum Adat, tanah merupakan
aset yang sangat berharga. Tidak hanya sebagai tempat untuk menjalani rutinitas
kehidupan sehari-hari, tanah juga menjadi simbol dan prestise yang menunjukkan
eksistensi suatu suku.
Masyarakat Hukum Adat memiliki
tata guna lahan dengan kearifannya. Dalam
pengelolaan tanah adatnya, Masyarakat Hukum Adat sering meminjamkan tanah
adatnya kepada pihak luar yang membutuhkan, tetapi selamanya tidak boleh
dijualnya. Masyarakat Hukum Adat hanya akan mengkuasakan tanah adatnya kepada
pihak luar dalam kapasitas sebagai hak pakai dan buakn sebagai hak milik.
Tanah adat selalu dicaplok oleh penyelenggara
negara yang berkolaborasi dengan pengusaha, untuk alasan pengadaan tanah demi berjalannya proyek-proyek pembangunan. Argumen yang sering
dipergunakan oleh penyelenggara negara dalam urusan pencaplokan adalah karena tanah
milik masarakat adat secara peraturan perundangan berada di bawah
kekuasaan negara, sehingga tanah dimaksud adalah tanah negara.
Cara Penguasa Mencaplok Tanah Adat
Pencaplokan tanah milik Masyarakat
Hukum Adat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penggusuran dengan
menggunakan kekerasan, penaklukan dan manipulasi ideologi dengan cara-cara yang
melanggar Hak Asai Manusia. Seluruh tindak tanduk penguasa untuk menaklukan Masyarakat
Hukum Adat yang mempertahankan tanah adatnya, selalu dikalim sebagai bahagian
dari upaya untuk menegakan stabilitas nasional agar proses pembangunan berlangsung
terus.
Upaya Masyarakat Hukum Adat
untuk mempertahankan hak-haknya akan diklaim oleh penuasa sebagai upaya-upaya
melawan hukum, menghambat pembangunan dan dijadikan pembenaran oleh negara dan
aparatnya untuk mengkriminlisasi Masyarakat Hukum Adat. Agar tidak mudah
diperdaya, berikut ini akan dipaparkan beberapa cara yang lasim digunakan pemerintah
dan/atau pengusaha untuk mencaplok tanah Masyarakat Hukum Adat, yakni: Pertama,
Membuat kecelakaan masal seperti kebakaran, yang kemudian wilayah tersebut
tidak diizinkan lagi untuk dibangun oleh penghuni lama;
Kedua, Mengembangkan calo-calo tanah yang beroperasi dari rumah ke rumah, untuk
menyebarkan issue bahwa tanah adat yang dimilikinya adalah bermasalah dari segi
peraturan perundang-undangan. Tujuan aktivitas ini adalah mendapatkan harga
tanah yang rendah/murah; Ketiga, Alasan register tanah, pemancangan
palang, pematokan tanah, pranata tanah, penggusuran daerah/wilayah yang
ternyata akan dijadikan area proyek tertentu;
Keempat, Melakukan intimidasi, teror dan kekerasan seperti dengan menjadikan
lokasi/tanah, daerah yang dibebaskan sebagai areal latihan perang-perangan bagi
militer, atau melakukan tindakan kekerasan penangkapan dan memenjarakan
tokoh-tokoh Masyarakat Hukum Adat yang paling keras mempertahankan hak-hak
mereka atas tanahnya; Kelima, Melakukan delegitimasi (tidak mengakui)
penguasaan/hak milik atas tanah dengan dalil warga Masyarakat Hukum Adat tidak
memiliki bukti formal seperti setifikat; Keenam, Memanipulasi tanda
tangan persetujuan masayarakat adat untuk pelepasan hak atas tanah;
Ketujuh, Melancarkan tuduhan sebagai pembangkang, pengacau atau anti pembangunan
kepada Masyarakat Hukum Adat yang kritis memperjuangkan hak-haknya (hak atas
tanah). Kedelapan, Manipulasi makna pengorbanan. Selalu dikatakan bahwa Masyarakat
Hukum Adat yang bersedia melepasakan haknya adalah sebagai contoh, dan bahkan
di daulat sebagai “tokoh pembangunan”,dan memunculkan slogan-slogan bahwa
“tidak ada kemakmuran tanpa pengorbanan dari rakyat/masayarakat adat”.
Kesembilan, Melabelkan Masyarakat Hukum Adat yang kritis dengan stigma/cap sosial dan politik (seperti
pemberian kode eks tapol atau PKI) dan ‘mematikan’ hak-hak dari Masyarakat
Hukum Adat yang berusaha mempertahankan tanahnya yang diambil untuk kepentingan
proyek; Kesepuluh, Pendekatan dengan mengembangkan pola transmigrasi
massal kepada untuk Masyarakat Hukum Adat yang tanahnya akan digunakan sebagai
areal proyek-proyek raksasa; Kesebelas, Mencatat, mengidentifikasi dan
mendatakan tentang tanah adat yang dianggap oleh pemerintah dan/atau pengusaha
adalah bermasalah lalau menetapkan ganti rugi tanah secara sepihak;
Langkah Menghadapi Penguasa dan Pengusaha
Dalam Urusan Pencaplokan Tanah Adat
Indonesia adalah Negara hukum
(Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945). Secara hukum hak Masyarakat Hukum Adat atas tanah diakui keberadaannya
dan dilegitimasi dalam dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan dijabarkan dalam sejumlah
produk hukum diantaranya UU No. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria/UUPA. Hak Masyarakat Hukum Adat atas
tanah merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu Masyarakat Hukum Adat,
yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.
Dalam UUPA, Pengakuan akan hak Masyarakat Hukum Adat atas
tanah, disertai dengan 2 (dua) syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai
pelaksanaannya. Berdasarkan Pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang
menurut kenyataannya masih ada”. Dengan
demikian, tanah adat tidak dapat dialihkan menjadi tanah hak milik, apabila
tanah adat dimaksud menurut kenyataan masih ada, misalnya dibuktikan dengan
adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau kepala adat bersangkutan. Sebaliknya,
tanah adat dapat dialihkan menjadi tanah hak milik, apabila tanah adat tersebut
menurut kenyataannya tidak ada atau statusnya sudah berubah menjadi “bekas tanah
adat”.
Mengingat bahwa kenyataannya
tanah adat masih ada dan dapat dibuktikan keberadaannya, maka berikut ini
adalah langkah-langkah untuk menghadapi pemerintah yang berusaha mencaplok/meyerobot
tanah milik Masyarakat Hukum Adat: Pertama, Jika ada orang yang datang
melakukan survey di lokasi tanah milik Masyarakat Hukum Adat, maka Masyarakat
Hukum Adat berhak bertanya apa maksud dan tujuan dilakukn survey; Kedua,
Saat memperoleh jawaban dari pelaku survey, maka sebaiknya informasi yang
diterima harus dicatat baik-baik untuk dijadikan dokumentasi;
Ketiga, Apabila setelah survey dan dilanjutkan dengan pengukuran, maka Masyarakat
Hukum Adat perlu mempertanyakn apa maksud dan tujuan pengukuran. Bila jawaban
tentang maksud dan tujuan pengukurn tidak jelas, maka sebaiknya pengukuran itu
harus di hentikan sampai memperoleh keterangan yang jelas dari pemerintah
dan/atau pengusaha tentang tujuan pengukuran; Keempat, Bila pemerintah
dan/atau pengusaha melakukn pendekatan dengan Masyarakat Hukum Adat, maka
sebaiknya jangan diputuskan oleh satu orang saja, tetapi harus mengumpulkan
semua orang yang memiliki hak atas tanah dimaksud, untuk bermusyawarah;
Kelima, Apabila dalam pendekatan dengan Masyarakat Hukum Adat, pemerintah atau
pengusaha melakukan tekanan dan pemaksaan kehendak serta menggunakn istilah
tanah negara, maka Masyarakat Hukum Adat harus memertanyakan kepada mereka
bahwa bukankah Masyarakat Hukum Adat adalah bagian dari warga negara yang
mendiami wilayahnya sebelum Indonesia merdeka; Keenam, Dalam musyawarah
adat menyangkut tanah, maka Masyarakat Hukum Adat perlu mempertimbangkan nilai
sosio religius, ekonomis dan dampak politik yang akan terjadi di kemudian hari
atas tanah milik suku; Ketujuh, Masyarakat Hukum Adat harus mencatat
selurh penyelewengan yang dibuat oleh aparat pemerintah dan pengusaha secara
berurutan. Kalau dapat, saksi yang terlibat di dalamnya disebutkan pula;
Kedelapan, Jika Masyarakat Hukum Adat ditekan karena mempertahankan haknya atas
tanah, maka Masyarakat Hukum Adat harus bermusyawarah untuk menentukan sikap
dengan cara damai, misalnya membuat surat penolakan atau datang ke pihak legislatif
untuk mengadukan perilaku dan sikap aparat pemerintah dan/atau pengusaha. Kesembilan,
Pada saat itu juga, Masyarakat Hukum Adat harus segera mendatangi
instansi-instansi terkait untuk menyampaikan keberatan atas kegiatan pengukuran
dalam kawasan tanah Masyarakat Hukum Adat; Kesepuluh, Ketika membuat
surat penolakan atau pengaduan yang disampaiakan pada pihak legislatif,
sebaiknya Masyarakat Hukum Adat mengemukakan hal-hal yang berkaitan dengan
sejarah kepemilikan lahan, fungsi lahan/lokasi menurut masyarkat, upaya-upaya
intimidasi, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia;
Kesebelas, Bila Masyarakat Hukum Adat kurang memahami persoalan hukum positif
(negara), maka Masyarakat Hukum Adat dapat meminta bantuan kepada lembaga
konsultasi hukum atau kepada Organisasi Non Pemerintah yang bergerak di bidang
hukum; Keduabelas, Apabila ada gejala yang meresahkan dalam pengukuran
tanah milik Masyarakat Hukum Adat, maka Masyarakat Hukum Adat harus segera
meminta orang-orang yang melakukan pengukuran untuk menghentikn kegiatanya;
Ketigabelas, Bila ada negosiasi antara Masyarakat Hukum Adat dengan pemerintah
dan/atau pengusaha, maka hasil kesepakatan harus di buat tertulis. Dalam
kesepakatan itu, harus ditentukan luas dan batas wilayah yang disepakati. Jika pemerintah
dan/atau pengusaha melanggar kesepakatan dan penyerobotan lahan yang tidak
disepakati antara Masyarakat Hukum Adat dengan pemerintah dan/atau pengusaha,
maka harus dijelaskan memang bahwa kesepakatan itu harus batal demi hukum; dan Keempatbelas,
Jika pemerintah dan/atau pengusaha memaksakan diri untuk tetap melakukan
kegiatan serta menambah luas lokasi diluar kesepakatn masyarakt adat, maka Masyarakat
Hukum Adat harus bersatu untuk melawannya. Jika Masyarakat Hukum Adat bersatu,
maka pemerintah dan/atau pengusaha akan kesulitan, bahkan tidak akan berhasil dalam
mewujudkan kehendaknya
Epilog
Diakhir materi ini, saya
ingin menyampaikan beberapa hal yang harus dingat oleh kita bersama dalam
mempertahankan hak kita atas tanah, yakni: Pertama, Masyarakat Hukum
Adat yang tanah adatnya dicaplok, warus membentuk wadah/organisasi untuk berjuang
mempertahankan hak-haknya; Kedua, Melakukan diskusi yang kontinyu untuk
membahas masalah yang dihadapi. Ketiga, Layangkan surat pengaduan/protes
kepada instansi-instansi terkait tentang masalah yang dialmi secara jelas.
Lebih tepat lagi, jika di buat kronologis kejadian dengan menjelaskan pelaku,
korban, tanggal/waktu kejadian, lokasi masalah dan bentuk masalah yang
dihadapi;
Keempat, Publikasikan setiap peristiwa terkait pencaplokan tanah adat di media
massa; Kelima, Mendatngi kantor legislatif untuk mendialogkan masalah
yang dihadapi; Keenam, Unjuk rasa/demonstrasi sebagai bentuk protes dan
penolakan; dan Ketujuh, Meminta dampingan Lembaga Batuan Hukum (LBH), Lembaga
Advokasi, atau Organisasi Non Pemerintah yang peduli terhadap masalah sosial
rakyat termasuk hak-hak Masyarakat Hukum Adat atas tanah.