Kamis, 11 Juni 2009

Pendidikan Pembebasan


PENDIDIKAN PEMBEBASAN 
Oleh. Paul SinlaEloE


Apagunanya kita memiliki sekian ratus ribu alumni sekolah yang cerdas, tapi massa-rakyat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum terdidik itu akan menjadi penjajah Rakyat dengan modal kepintaran mereka! (Y. B. Mangunwijaya, 1999). Inilah realita pendidikan yang terjadi di Indonesia. Pendidikan hanya Merupakan momen “ritualisasi” dan cenderung tidak begitu signifikan. Pendidikan yang dijalankan tidak mampu menghasilkan insan-insan Terdidik yang memiliki karakter manusiawi. Pendidikan yang diajarkan sangat miskin dari sarat keilmuan dan ketrampilan yang meniscayakan jaminan atas perbaikan kondisi sosial yang ada. Pendidikan hanya menjadi “barang dagangan” yang dibeli oleh siapa saja yang sanggup memperolehnya. Akhirnya, pendidikan belum menjadi bagian utuh dan integral yang menyatu dalam pikiran masyarakat keseluruhan.

Mirisnya lagi, pendidikan di Indonesia kerapkali dijadikan sebagai alat penindas. Penindasan di dunia pendidikan dapat dilihat dalam Kebijakan Ujian Nasional yang membodohkan, komersialisasi pendidikan yang tersistematis, hingga masalah kekerasan dalam pendidikan merupakan muara dari pendidikan yang membelenggu. Pendidikan yang membuat peserta didik/murid dan juga pendidik/guru semakin larut dalam drama penindasan, dimana yang sering menjadi pesakitan adalah peserta didik/murid.

Untuk keluar dari belenggu itu, salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengubah orientasi pendidikan yang bersifat menindas menuju ke arah pembebasan. Paulo Freire telah membuktikan bahawa pendidikan sangat penting peranannya bagi perubahan dan pembebesan manusia dari penindasan moral. Freire berbicara panjang lebar tentang hal ini berkaitan dengan suatu konteks di mana ada begitu banyak rakyat jelata yang ditindas oleh berbagai kebijakan yang membodohkan,  khususnya di kalangan para pertani di Brazil.

Pendidikan pembebasan dalam pemahaman Paulo Freire merupakan pendidikan yang mampu membuat kaum tertindas atau mereka yang terbelenggu oleh suatu keadaan, menjadi suatu kemerdekaan, kemandirian, tak terikat atau terjerat dalam keadaan yang mendominasi dirinya. Dengan pemahaman yang seperti ini, sebenarnya Freire ingin mengajak atau mengarahkan pendidikan untuk membentuk manusia bebas, manusia otonom yang menguasai dirinya sendiri, juga bagaimana mengarahkan pendidikan agar manusia berfikir kritis dan menganggap dirinya sebagai subyek atas dunia dan realitas.

Bagi kelompok pedagogi kritis, Paulo Freire dianggap telah berhasil merumuskan konsep pendidikan yang mampu memberikan jalan bagi massa-rakyat menuju pada pembebebasan. Tidak seperti yang dipikirkan oleh kaum tradisional yang mengatakan bahwa pendidikan bersifat  netral. Justru bagi Freire, pendidikan tidak bebas nilai dan selalu memiliki keberpihakan terlepas pada siapakah keberpihakan itu.

Menolak Pendidikan Gaya Bank
Pemikiran Paulo Freire dalam memandang pendidikan sebagai alat penindasan sekaligus alat pembebasan, tertuang dalam ilustrasinya yang menggambarkan praktek pendidikan selama ini sebagai konsep gaya bank. Pendidikan gaya bank melibatkan dua pihak yang memiliki relasi yang berbeda: pendidik/guru dan pesertadidik/murid. Pendidik/guru menceritakan isi pelajaran yang menyangkut nilai-nilai maupun segi-segi empiris dengan cara yang kaku dan tidak hidup. Realitas yang diungkapkan oleh pendidik/guru dalam proses pendidikan tersebut seolah-olah sesuatu yang tidak dapat bergerak, statis, dan terpisah satu sama yang lain.

Pendidikan tak ubahnya seperti kegiatan menabung di mana peserta didik/murid sebagai celengan yang dengan sesuka hati diisi oleh pendidik/gurunya. Pendidik/guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal, dan diulangi dengan patuh oleh para pesertadidik/murid. Pendidikan yang dilakukan sangat jauh dari proses komunikasi.

Dalam pendidikan gaya bank, pengetahuan dianalogikan sebagai sebuah anugerah yang dimiliki oleh “Yang MahaTahu” (pendidik/guru) dan ditransfer kepada “Yang Maha Tidak Tahu” (peserta didik/murid). Inilah saat di mana ideologi penindasan itu muncul, ketika pendidik/guru menganggap peserta didik/murid sebagai makhluk bodoh yang harus dicerdaskan. Dalam prakteknya, hal yang seringkali menjadi senjata bagi pendidik/guru adalah kelihaian mereka dalam merumuskan kata-kata yang terdengar merdu namun kosong tanpa makna. Para peserta didik/murid dipaksa untuk mencatat, menghafal, dan mengulangi kata-kata tersebut tanpa menyadari makna kata-kata tersebut bagi diri mereka dan lingkungan sosial.

Pendidikan dengan gaya bank ini hanya merupakan upaya memproyeksi kebodohan mutlak kepada orang lain. Dengan pendidikan gaya bank ini berakibat pada mengurangnya daya kreatif para murid, bahkan menghilangkan kepercayaan diri mereka. Di pihak lain, pendidikan gaya bank ini sangat menguntungkan kepentingan para penindas yang tidak ingin dunia menyingkapkan keadaan yang nyata untuk perubahan. Kepentingan para penindas terletak dalam mengubah kesadaran kaum tertindas bukan mengubah keadaan yang menekan mereka. Akibatnya tidak pernah mengarahkan orang yang belajar untuk memandang realitas dengan cara dan sikap yang kritis.

Untuk melakukan perlawanan terhadap pendidikan dengan gaya bank ini, Freire menciptakan sistim pendidikan yang baru yang disebut pendidikan pengajuan problem (problem-posing education). Sistem pendidikan yang ditawarkan oleh Freire ini adalah pendidik/guru dan peserta didik/murid sama-sama menjadi subyek yang dipersatukan oleh obyek yang sama yaitu sama-sama berpikir. Sistem pendidikan yang ditawarkan oleh Freire ini dapat di pahami melalui skema adalah sebagai berikut: (Lihat Gambar).


Dalam “problem-posing education”’ ini guru dan murud saling belajar. Guru  melibatkan diri dan merangsang murid untuk berpikir kritis tentang dunia melalui suatu proses dan membuka rahasia realitas yang penuh tantangan hingga mampu memahami kontradiksi sosial, politik dan ekonomi, serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut.

Model pendidikan yang ditawarkan oleh Freire ini sangat mengutamakan atau menekankan pada 3 (tiga) hal yakni:
1.      Konsientisasi (Penyadaran)
Istilah ini mempunyai pengertian yang sangat mendasar bagi setiap pribadi orang yang mengalami penindasan. Konsientisasi merupakan upaya penyadaran diri atas keadaan yang dialaminya. Penyadaran diri ini tidak hanya berhenti pada tahap refleksi, tetapi harus merembes sampai pada tahap aksi nyata sehingga antara refleksi dan aksi nyata merupakan proses timbal balik secara terus menerus.

Manusia tidak hanya sekedar ada dalam dunia tetapi harus terlibat langsung dalam hubungan dengan dunia. Hubungan manusia dengan realitas sebagai subyek yang terarah kepada obyek menghasilkan pengetahuan yang diekspresikan melalui bahasa. Semakin cermat dan tepat manusia menangkap gejala atau masalah dalam kaitan kausalitas, semakin kritis pemahaman mereka atas realitas. Dan akhirnya setiap pemahaman realistis akan diikuti oleh aksi.

2.      Dialog
Dialog adalah unsur yang sangat penting dalam pendidikan untuk menganalisa serta merupakan hakekat mendasar untuk mentransformasikan dunia melalui kata-kata. Dalam dialog ini ada hubungan antara sesama manusia dan dengan dunia untuk memberikan nama kepada dunia serta menampilkan diri sebagai manusia. Dialog mempersatukan refleksi dan aksi serta menampilkan karya mencipta. Hal ini didominasi oleh orang-orang yang terlibat langsung demi pembebasan manusia. Upaya dialog harus berdasarkan pada cinta kasih, kerendahan hati dan kepercayaan yang mendalam terhadap sesama manusia.

Kepercayaan itu nampak dalam kemampuan untuk membuat dan menciptakan kembali manusia yang seutuhnya. Dialog yang berakar pada cinta kasih, kerendahan hati dan kepercayaan itu menjadi hubungan horizontal yang logis dan saling mempercayai. Dialog juga harus mempunyai harapan dan melibatkan pemikiran yang kritis.

3.      Humanisasi
Masalah sentral yang lain adalah humanisasi. Sejarah telah membuktikan bahwa hal ini adalah merupakan panggilan manusia yang sejati. Humanisasi sering disangkal, diputarbalikan, diekploitasi sehingga adanya kekerasan terhadap kaum tertindas. Karena itu maka ada kerinduan kaum tertindas akan kebebasan dan keinginannya untik merebut kembali kemanusiaannya yang hilang. Hal yang sangat penting dalam hal ini adalah peran ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam tangan humanisasi revolusioner kedua-duanya digunakan untuk menunjukkan humanisasi. Humanisme revolusioner tidak memperlakukan kaum tertindas sebagai obyek analisa lalu menyodorkan mitos ideologi penindasan, yaitu Memutlakkan Kebodohan. Sebaliknya para revolusioner humanis harus memulai berdialog dengan rakyat sehingga pengalaman empiris rakyat akan realitas dipupuk oleh pengetahuan kritis yang akhirnya lambat-laun berubah menjadi pengetahuan kausalitas realistis.

Pada akhirnya, pendapat dari Eko Prasetyo (2008), sangat relevan untuk dijadikan permenungan berkaitan dengan sistem pendidikan di Indonesia saat ini. Menurut Eko Prasetyo (2008), pendidikan kerap kali melahirakn orang pintar tapi tidak mempunyai nyali. Itu yang mengantarkan para intelektual menjadi budak kekuasaan dan kekuatan modal. Intelektual yang seperti ini senantiasa: ”MEMBUAT PENINDASAN JADI TERASA ILMIAH”.


Kupang, 15 Januari 2009




------------------------------------
Penulis: Aktivis PIAR NTT

TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...