PENDIDIKAN PEMBEBASAN
Oleh. Paul SinlaEloE
Oleh. Paul SinlaEloE
Apagunanya kita memiliki sekian ratus ribu
alumni sekolah yang cerdas, tapi massa-rakyat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum
terdidik itu akan menjadi penjajah Rakyat dengan modal kepintaran mereka! (Y.
B. Mangunwijaya, 1999). Inilah realita pendidikan yang terjadi di Indonesia. Pendidikan hanya Merupakan momen
“ritualisasi” dan cenderung tidak begitu signifikan. Pendidikan yang dijalankan
tidak mampu menghasilkan insan-insan Terdidik yang memiliki karakter manusiawi.
Pendidikan yang diajarkan sangat miskin dari sarat keilmuan dan ketrampilan
yang meniscayakan jaminan atas perbaikan kondisi sosial yang ada. Pendidikan
hanya menjadi “barang dagangan” yang dibeli oleh siapa saja yang sanggup memperolehnya.
Akhirnya, pendidikan belum menjadi bagian utuh dan integral yang menyatu dalam
pikiran masyarakat keseluruhan.
Mirisnya lagi, pendidikan di Indonesia kerapkali
dijadikan sebagai alat penindas. Penindasan di
dunia pendidikan dapat dilihat dalam Kebijakan Ujian Nasional yang membodohkan,
komersialisasi pendidikan yang tersistematis, hingga masalah kekerasan dalam
pendidikan merupakan muara dari pendidikan yang membelenggu. Pendidikan yang
membuat peserta didik/murid dan juga pendidik/guru semakin larut dalam drama
penindasan, dimana yang sering menjadi pesakitan adalah peserta didik/murid.
Untuk keluar dari belenggu itu, salah satu cara yang
dilakukan adalah dengan mengubah orientasi pendidikan yang bersifat menindas
menuju ke arah pembebasan. Paulo Freire telah membuktikan bahawa pendidikan sangat penting peranannya bagi
perubahan dan pembebesan manusia dari penindasan moral. Freire berbicara
panjang lebar tentang hal ini berkaitan dengan suatu konteks di mana ada begitu
banyak rakyat jelata yang ditindas oleh berbagai kebijakan yang membodohkan, khususnya di kalangan para pertani di Brazil.
Pendidikan pembebasan dalam pemahaman Paulo Freire
merupakan pendidikan yang mampu membuat kaum tertindas atau mereka yang terbelenggu
oleh suatu keadaan, menjadi suatu kemerdekaan, kemandirian, tak terikat atau
terjerat dalam keadaan yang mendominasi dirinya. Dengan pemahaman yang seperti
ini, sebenarnya Freire ingin mengajak atau mengarahkan pendidikan untuk
membentuk manusia bebas, manusia otonom yang menguasai dirinya sendiri, juga
bagaimana mengarahkan pendidikan agar manusia berfikir kritis dan menganggap
dirinya sebagai subyek atas dunia dan realitas.
Bagi kelompok pedagogi kritis, Paulo Freire dianggap
telah berhasil merumuskan konsep pendidikan yang mampu memberikan jalan bagi
massa-rakyat menuju pada pembebebasan. Tidak seperti yang dipikirkan oleh kaum
tradisional yang mengatakan bahwa pendidikan bersifat netral. Justru bagi
Freire, pendidikan tidak bebas nilai dan selalu memiliki keberpihakan terlepas
pada siapakah keberpihakan itu.
Menolak Pendidikan Gaya Bank
Pemikiran Paulo Freire dalam memandang pendidikan
sebagai alat penindasan sekaligus alat pembebasan, tertuang dalam ilustrasinya
yang menggambarkan praktek pendidikan selama ini sebagai konsep gaya bank. Pendidikan
gaya bank melibatkan dua pihak yang memiliki relasi yang berbeda: pendidik/guru
dan pesertadidik/murid. Pendidik/guru menceritakan isi pelajaran yang
menyangkut nilai-nilai maupun segi-segi empiris dengan cara yang kaku
dan tidak hidup. Realitas yang diungkapkan oleh pendidik/guru dalam proses
pendidikan tersebut seolah-olah sesuatu yang tidak dapat bergerak, statis, dan
terpisah satu sama yang lain.
Pendidikan tak ubahnya seperti kegiatan menabung di
mana peserta didik/murid sebagai celengan yang dengan sesuka hati diisi oleh pendidik/gurunya.
Pendidik/guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang
diterima, dihafal, dan diulangi dengan patuh oleh para pesertadidik/murid. Pendidikan
yang dilakukan sangat jauh dari proses komunikasi.
Dalam pendidikan gaya bank, pengetahuan dianalogikan
sebagai sebuah anugerah yang dimiliki oleh “Yang MahaTahu” (pendidik/guru) dan
ditransfer kepada “Yang Maha Tidak Tahu” (peserta didik/murid). Inilah saat di
mana ideologi penindasan itu muncul, ketika pendidik/guru menganggap peserta
didik/murid sebagai makhluk bodoh yang harus dicerdaskan. Dalam prakteknya, hal
yang seringkali menjadi senjata bagi pendidik/guru adalah kelihaian mereka
dalam merumuskan kata-kata yang terdengar merdu namun kosong tanpa makna. Para
peserta didik/murid dipaksa untuk mencatat, menghafal, dan mengulangi kata-kata
tersebut tanpa menyadari makna kata-kata tersebut bagi diri mereka dan
lingkungan sosial.
Pendidikan dengan gaya bank
ini hanya merupakan upaya memproyeksi kebodohan mutlak kepada orang lain.
Dengan pendidikan gaya bank ini berakibat pada mengurangnya daya kreatif para murid,
bahkan menghilangkan kepercayaan diri mereka. Di pihak lain, pendidikan gaya
bank ini sangat menguntungkan kepentingan para penindas yang tidak ingin
dunia menyingkapkan keadaan yang nyata untuk perubahan. Kepentingan para
penindas terletak dalam mengubah kesadaran kaum tertindas bukan mengubah
keadaan yang menekan mereka. Akibatnya tidak pernah mengarahkan orang yang
belajar untuk memandang realitas dengan cara dan sikap yang kritis.
Untuk melakukan perlawanan terhadap pendidikan
dengan gaya bank ini, Freire menciptakan sistim pendidikan yang baru yang
disebut pendidikan pengajuan problem (problem-posing education). Sistem
pendidikan yang ditawarkan oleh Freire ini adalah pendidik/guru dan peserta
didik/murid sama-sama menjadi subyek yang dipersatukan oleh obyek yang sama
yaitu sama-sama berpikir. Sistem
pendidikan yang ditawarkan oleh Freire ini dapat di pahami melalui skema adalah
sebagai berikut: (Lihat Gambar).
Dalam “problem-posing education”’ ini guru dan murud saling
belajar. Guru melibatkan diri dan
merangsang murid untuk berpikir kritis tentang dunia melalui suatu proses dan
membuka rahasia realitas yang penuh tantangan hingga mampu memahami kontradiksi sosial,
politik dan ekonomi, serta mengambil tindakan untuk melawan unsur-unsur yang
menindas dari realitas tersebut.
Model pendidikan yang ditawarkan oleh Freire ini sangat mengutamakan atau
menekankan pada 3 (tiga) hal yakni:
1.
Konsientisasi
(Penyadaran)
Istilah ini mempunyai pengertian yang sangat
mendasar bagi setiap pribadi orang yang mengalami penindasan.
Konsientisasi merupakan upaya penyadaran diri atas keadaan yang
dialaminya. Penyadaran diri ini tidak hanya berhenti pada tahap refleksi,
tetapi harus merembes sampai pada tahap aksi nyata sehingga antara refleksi dan
aksi nyata merupakan proses timbal balik secara terus menerus.
Manusia tidak hanya sekedar ada dalam dunia tetapi
harus terlibat langsung dalam hubungan dengan dunia. Hubungan manusia dengan
realitas sebagai subyek yang terarah kepada obyek menghasilkan
pengetahuan yang diekspresikan melalui bahasa. Semakin cermat dan
tepat manusia menangkap gejala atau masalah dalam kaitan kausalitas,
semakin kritis pemahaman mereka atas realitas. Dan akhirnya setiap pemahaman realistis akan diikuti
oleh aksi.
2. Dialog
Dialog adalah unsur yang sangat
penting dalam pendidikan untuk menganalisa serta merupakan hakekat mendasar
untuk mentransformasikan dunia melalui kata-kata. Dalam dialog ini ada hubungan
antara sesama manusia dan dengan dunia untuk memberikan nama kepada dunia serta
menampilkan diri sebagai manusia. Dialog mempersatukan refleksi dan aksi serta
menampilkan karya mencipta. Hal ini didominasi oleh orang-orang yang terlibat
langsung demi pembebasan manusia. Upaya dialog harus berdasarkan pada cinta
kasih, kerendahan hati dan kepercayaan yang mendalam terhadap sesama manusia.
Kepercayaan itu nampak dalam
kemampuan untuk membuat dan menciptakan kembali manusia yang seutuhnya. Dialog
yang berakar pada cinta kasih, kerendahan hati dan kepercayaan itu menjadi
hubungan horizontal yang logis dan saling mempercayai. Dialog juga harus
mempunyai harapan dan melibatkan pemikiran yang kritis.
3. Humanisasi
Masalah sentral yang lain
adalah humanisasi. Sejarah telah membuktikan bahwa hal ini adalah merupakan
panggilan manusia yang sejati. Humanisasi sering disangkal, diputarbalikan,
diekploitasi sehingga adanya kekerasan terhadap kaum tertindas. Karena itu maka
ada kerinduan kaum tertindas akan kebebasan dan keinginannya untik merebut
kembali kemanusiaannya yang hilang. Hal yang sangat penting dalam hal ini
adalah peran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam tangan humanisasi
revolusioner kedua-duanya digunakan untuk menunjukkan humanisasi. Humanisme
revolusioner tidak memperlakukan kaum tertindas sebagai obyek analisa lalu
menyodorkan mitos ideologi penindasan, yaitu Memutlakkan Kebodohan. Sebaliknya para revolusioner
humanis harus memulai berdialog dengan rakyat sehingga pengalaman empiris
rakyat akan realitas dipupuk oleh pengetahuan kritis yang akhirnya lambat-laun
berubah menjadi pengetahuan kausalitas realistis.
Pada akhirnya, pendapat dari Eko Prasetyo (2008), sangat relevan untuk
dijadikan permenungan berkaitan dengan sistem pendidikan di Indonesia saat ini.
Menurut Eko Prasetyo (2008), pendidikan kerap kali melahirakn orang pintar tapi
tidak mempunyai nyali. Itu yang mengantarkan para intelektual menjadi budak
kekuasaan dan kekuatan modal. Intelektual yang seperti ini senantiasa: ”MEMBUAT
PENINDASAN JADI TERASA ILMIAH”.
Kupang,
15 Januari 2009
------------------------------------
Penulis: Aktivis PIAR NTT