Oleh. Paul SinlaEloE2)
CATATAN
PENGANTAR
Sesuai dengan Term of Reference (TOR) yang
diberikan oleh penyelenggara kegiatan kepada saya, maka pada kesempatan ini
saya diminta untuk menyampaikan pemikiran mengenai Model Pengawasan LSM Terhadap Pembangunan Infrastruktur. Namun
tanpa seijin penyelenggara kegiatan, saya merubah judulnya menjadi sebagaimana
yang tertera dalam makalah ini. Untuk itu saya mohon maaf.
Agar diskusi ini lebih terfokus pada judul,
maka makalah ini akan dijabarkan dengan sistematika sebagai berikut: Pertama, Catatan Pengantar. Kedua, Buruknya Pembangunan Infrastruktur.
Ketiga, PIAR NTT dan Pengawasan Anti
Korupsi. Keempat, Catatan Penutup.
BURUKNYA
PEMBANGUNAN INFRATRUKTUR
Pembangunan
infrastruktur diyakini oleh para pengambil kebijakan di Indonesia dapat mendongkrak
pembangunan ekonomi. Logika pikir ini bertolak dari asumsi bahwa jika
inrastruktur dibangun serta diperbaiki, maka investasi yang lebih besar dapat
terjadi dan akan berdampak pada peningkatkan ekonomi dan daya saing. Untuk itulah,
Percepatan pembangunan infrastruktur dijadikan prioritas oleh Rezim Indonesia
Bersatu dan telah dituangkan dalam dokumen Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025.
Dalam
dokumen MP3EI 2011-2025, Nusa Tenggara Timur (NTT) berada dalam satu group
bersama Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB), dengan fokus pembangunan pada
sektor parawisata dan daya dukung pembangunan nasional. Konsekwensinya ketiga
provinsi ini selalu dipromosikan oleh pemerintah kepada investor lokal maupun
asing, serta memfasilitasi para investor terebut dengan perangkat aturan dan
pembangunan infrastruktur seperti bandara, pelabuhan umum, pelabuhan parawisata,
jalan-jalan raya dan jembatan ke pusat-pusat sumber daya alam dan budaya3).
Keseriusan
pemerintah dalam pelaksanaan pembanguan infrastrukturpun patut dipertanyakan
karena terkesan hanya asal-asalan dan hanya merupakan upaya bagi-bagi proyek pengerjaan.
Untuk proyek-proyek besar pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan,
pelabuhan, listrik, dan lain-lain) selalu menempatkan pemerintah pusat sebagai
pengatur dan pengelola (tentu dengan keterlibatan daerah). Sedangkan untuk
proyek-proyek infrastruktur dalam skala yang lebih kecil merupakan domain
pemerintah daerah sepenuhnya4).
Ketidakeseriusan
para pengambil kebijakan dalam melakukan pembangunan infrastruktur dibuktikan dengan
melihat hasil survey dari KPPOD Tahun 20125). Temuan dari dari KPPOD menunjukan
bahwa dalam kurun waktu 2007 dan 2010 anggaran belanja Pemda di kabupaten/kota
di Indonesia untuk pembangunan infrastruktur mengalami peningkatan berkisar
antara 11% - 13%. Namun ternyata peningkatan pada sisi anggaran tidak secara
signifikan menyebabkan peningkatan kualitas infrastruktur (khususnya jalan),
bahkan malah semakin tinggi tingkat kerusakannya. Pada tahun 2007, panjang
jalan kabupaten/kota dengan kualitas rusak-parah mencapai 24,9% dan pada tahun
2010 meningkat menjadi 44.4%. Hal ini membuktikan bahwa peningkatan investasi
publik untuk infrastruktur ternyata tidak produktif bagi penciptaan pertumbuhan
ekonomi.
Buruknya
pengerjaan proyek infrastruktur juga disebabkan oleh faktor korupsi. PIAR NTT6) dalam catatan korupsi akhir tahun 2011
menemukan bahwa dari 131 kasus korupsi yang dipantau, korupsi di sektor
pengadaan barang dan jasa menempati peringkat teratas dengan jumlah 71 (54%)
kasus. Faktor korupsi juga sangat memperburuk kinerja investasi karena untuk
dapat mengerjakan proyek infrastruktur, pelaksana proyek selalu menyuap pejabat
publik atau pemenang tender senantiasa memberi komisi balas jasa atas proyek
infrastruktur fisik yang dimenangkan sehingga mengorbankan mutu dari infrstruktur
yang dibangun7). Akibatnya peningkatan
pada sisi anggaran tidak menyebabkan peningkatan kualitas infrastruktur, malah
semakin parah tingkat kerusakannya dan banyak infrastruktur yang hancur setelah
peresmian. Bahkan ada jembatan yang sudah roboh sebelum dipergunakan8).
PIAR NTT DAN PENGAWASAN ANTI KORUPSI
Pengawasan anti korupsi merupakan
tanggungjawab seluruh komponen bangsa9). PIAR NTT yang merupakan organisasi masyarakat sipil10) dalam kerja-kerja pengawasan pembangunan infrastruktur dan
advokasi pemberantasan korupsi, memfokuskan diri pada upaya membenahi kembali sistem hukum pengadaan barang dan jasa11).
Pendekatan yang dipakai oleh PIAR NTT untuk
pengawasan pembangunan infrastruktur adalah pengawasan anti korupsi berbasis
masyarakat. Model pengawasan anti korupsi berbasis masyarakat yang didesain
oleh PIAR NTT ini, idealnya harus diterapkan dalam setiap tahapan pembangunan,
mulai dari tahapan perencanaan, tahapan penetapan program/proyek sampai pada
tahapan pertanggungjawaban.
PIAR NTT dalam kerja-kerja pengawasan anti
korupsi berbasis komunitas, bekerja secara komplementer dalam 3 (tiga) aras
advokasi, yakni Aras grass root, stakeholder dan decision makers12). Aktivitas yang sudah dilakukan oleh PIAR NTT pada
setiap aras advokasi tersebut adalah: Pertama,
di aras grass root. Melakukan
pendidikan anti korupsi dan pendidikan hukum kritis di komunitas-komunitas
dampingan, bersama komunitas dampingan membentuk forum pengawasan proyek
infrastruktur, Mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan
penganggaran, Bersama masyarakat mendesain dokumen perencanaan pada level desa
yang mampu mencegah terjadinya korupsi, Melakukan riset anggaran bersama
komunitas dampingan, melakukan advokasi anggaran berbasis masyarakat,
Memfasilitasi pembentukan kelompok masyarakat untuk mengawasi pengelolaan
anggran, Mendorong dan memperkuat kapasitas komunitas melakukan
kontrol/pemantauan anggran, Bersama masyarakat melakukan pengawasan proyek
pembangunan infrastruktur, Bersama masyarakat melaporkan kasus dugaan korupsi
pada penegak hukum dan membentuk zona anti korupsi di wilayah dampingan.
Kedua, di aras stakeholder. Membentuk forum-forum multy Stakeholder untuk mengawasi
proses perencanaan dan penganggaran (NB: termasuk
juga mengawasi proyek pembangunan infrastruktur), Melakukan pemantauan dan
advokasi korupsi, Mendorong berbagai kebijakan pelayanan publik yang bebas
korupsi, Mendorong akses dan kualitas pelayanan publik yang berpihak pada
masyarakat, melalui pembentukan tim kerja multy stakeholder/Tim Gugus
tugas/task force untuk mengawal dan mengasistensi terhadap implementasi dari
regulasi tentang penataan layanan publik (disektor pendidikan dan kesehatan)
yang berpihak pada masyarakat, Melakukan kampanye anti pemiskinan,
Melakukan kampanye anti korupsi,
Melakukan pemantauan peradilan dan mempersiapkan kader-kader yang anti korupsi
untuk duduk dalam jabatan-jabat politik pada setiap level pemerintahan.
Ketiga, di aras decision
makers. Melakukan lobby dan pressure untuk
merubah prespektif dan mainset dari para pengambil kebijakan serta melakukan
indoktrinisasi nilai-nilai anti korupsi dalam pengelolaan anggaran, Mendorong
komitmen dari para pemimpin untuk memiliki keberpihakan dan sensitive pada
persoalan masyarakat terutama yang berkaitan dengan kemiskinan dan pemberantasan
korupsi.
CATATAN
PENUTUP
Demikianlah sumbangan pemikiran saya mengenai
Masyarakat Sipil dan Pengawasan Anti
Korupsi dalam Pembangunan Infrastruktur. Kiranya bermanfaat dan ini dapat
mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas
Kupang,
13 Desember 2013
LAWAN KEKUATAN POLITIK
KORUPTIF
Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu
dengan apa yang ada padamu … (Ibrani, 13:5)
CATATAN KAKI:
1) Kertas Kerja ini di presentasikan dalam Diskusi Publik, Thema: “Membuka Ulang Model Pengawasan Pembamgunan
Infrastruktur”, yang dilaksanakan
oleh BEM Univ. Nusa Cendana, di Aula Utama
Kampus Univ. Nusa Cendana, pada tanggal 14 Desember 2013.
2) Koord. Divisi Anti Korupsi PIAR NTT
3) Kebijakan pembanginan infra struktur yang tertuang dalam dokumen MP3EI 2011-2025 ini, sejalan dengan hasrat para pemodal untuk
mengeksploitasi sumber daya parawisata, pertambangan dan pertanian di NTT. Implementasi
MP3EI ini telah membuat Investor dalam negeri dan luar negeri, investor besar dan investor kecil
berbondong-bondong untuk berburu untung di NTT. Semua itu didasari klaim bahwa
pembangunan itu penting dan berguna untuk rakyat miskin serta didasarkan atas
kehendak untuk memperbaiki kehidupan mereka. Lih. Cypri Jehan Paju Dale, Kuasa, Pembangunan dan Pemiskinan
Sistemik, Penerbit Sunspirt books, Nggarong-Manggari, 2013.
4) Untuk proyek yang berskala kecil pemerintah daerah diberi “hadiah
hiburan” dengan mendapat kewenangan
mutlak melakukan pembangunan infrastruktur sesuai dengan kebutuhan
masing-masing, baik yang dikerjakan dengan anggaran sendiri maupun bekerjasama
dengan pihak swasta.
5) Survey KPPOD pada tahun 2012,
dilakukan di 41 kabupaten/kota untuk menguji sejauh mana peningkatan anggaran
pemerintah daerah di sektor infrastruktur (contoh kasus:
jalan-jembatan-irigasi) dapat meningkatkan kualitas infrastruktur yang ada,
serta melihat bagaimana pengaruh korupsi terhadap kualitas tata kelola
infrastruktur.
6) Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR),
adalah organisasi Masyarakat Sipil/non pemerintah yang bersifat independent dan
non profit di NTT yang pendiriannya telah dilegalformalkan dengan Akte Notaris
Nomor 71 pada tanggal 15 Nopember 2002, dan terdaftar pada Pengadilan Negeri
Kupang, dengan nomor 1/AN/PIAR/Lgs/2002/PN.KPG, pada tanggal, 23 November 2002.
PIAR NTT dalam kerja-kerjanya konsern pada isue Hak Asasi Manusia, Penegakan
Hukum dan Pemberantasan Korupsi.
7) Catatan korupsi akhir tahun
2011 yang di launching pada tanggal 9 Desember 2011, menunjukan bahwa dari 131
kasus korupsi yang ada modus utamanya adalah mark up dengan jumlah kasus
sebanyak 47 (36%) kasus, mark down sebanyak 6 (6%) kasus dan terdapat 18 (14%)
kasus yang merupakan kasus korupsi akibat pengerjaan proyek yang tidak sesuai
bestek. Sedangkan 60 (46%) kasusnya merupakan kasus yang tidak memiliki
keterkaitan dengan pengadaan barang dan jasa. Data PIAR NTT hasil pemantaun
peradilan tahun 2013 juga mempertegas bahwa korupsi dalam pengadaan barang dan
jasa masih menjadi trend di NTT sebab sejak januari 2013 sampai dengan sekarang
Pengadilan TIPIKOR di NTT sudah menangani 71 kasus dan terbanyak adalah kasus
yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa.
8) Roboh tiang beton (tiang
aboutmen) bagian bawah jembatan Noemuti/Kote di Kab. TTU-NTT adalah fakta yang
tidak dapat dipungkiri. Pembangunan jembatan Noemuti – Kote ini bersumber dari
dana PPID TA 2011 sebesar Rp. 18 Milyar, untuk membiayai 9 Paket proyek. Namun dalam
Implementasinya Pemkab TTU memecahnya menjadi 14 paket proyek yang mana
didalamnya adalah pembangunan jembatan Noemuti – Kote dengan Nilai Kontrak Rp.3.515.133.000 dan dikerjakan oleh PT Sari Karya Mandiri
berdasarkan oleh Nomor PU.600/PPK-DPPID-16/XI/2011. Untuk pembangunan tahap kedua
dilakukan pada tahun 2013 dengan pagu anggaran sebesar Rp, 5 Miliar dan
kontraktor pelaksananya juga adalah PT. Sari Karya Mandiri.
9) Dasar hukum dari keikutsertaan masyarakat dalam pengawasan untun
memberantas korupsi adalah Pertama, UUD 1945, Pasal 28, Pasal 28C (1), Pasal
28C (2), Pasal 28D (1), Pasal 28D (3), Pasal 28E (2), Pasal 28E (3), Pasal 28F,
Pasal 28H (2), Pasal 28I (1), Pasal 28I
(5). Kedua, TAP MPR No.XI Tahun 1998, Tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih dan Bebas dari KKN. Ketiga, Pasal 9 UU No. 28 Tahun 1999, Tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih, Berwibawa dan Bebas dari KKN. Keempat,
Pasal 41 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999,
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kelima, PP No. 68 Tahun 1999,
Tentang Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara.
Keenam, PP No. 71 Tahun 1999, Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
10)
Istilah masyarakat sipil (Civil Society), berasal dari proses sejarah
masyarakat barat. Civil Society sebagai sebuah konsep, Akar perkembangannya
dapat dirunut mulai dari Cicero yang pada abad ke-18 mempergunakan istilah Societes
Civilis dalam filsafat politiknya dan dalam tradisi eropa dianggap sama dengan
pengertian Negara. Dalam perkembangannya setelah abad ke-18, istilah Civil
Society ini pernah juga dipahami sebagai antitesis dari negara (state).
Masyarakat sipil (Civil Society) juga dapat dimaknakan sebagai wilayah-wilayah
kehidupan sosial yang terorganisir (menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan
dan refleksi mandiri), tidak terkungkung oleh kondisi material, serta tidak
terkooptasi di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Lih. Muhamad
AS Hikam, Demokasi dan Civil Society,
Penerbit LP3ES, Jakarta, 1999.
11) Salah satu langkah untuk pemberantasan korupsi
di sektor pengadaan barang dan jasa adalah Membenahi kembali sistem hukum
pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa
selama ini hanya diatur dalam KEPPRES/PERPRES. Didalam KEPPRES/PERPRES
kesalahan prosedur pengadaan barang dan jasa belum atau tidak digolongkan
sebagai tindak korupsi, sebelum atau asal tidak ada kerugian keuangan negara.
Karenanya dalam rangka pemberantasan korupsi, sudah seharusnya pengadaan barang
dan jasa diatur dengan Undang-Undang. Jika diatur dengan Undang-Undang,
pelanggaran prosedur dan tidak ada kehati-hatian untuk memastikan kepatuhan
hukum pada pelaksana proyek (Panitia Lelang, Pimpro, Benpro), Pengguna anggaran
di daerah (Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Dinas/Badan/Kantor) dapat dipidana
sebagi melangggar ketentuan Undang-Undang Pengadaan barang dan jasa serta dapat
dituduh melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
12) Paul
SinlaEloE, Korupsi dan Kemiskinan,
Makalah, dipresentasikan dalam seminar, “Menggagas Pemberantasan Korupsi dan
Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur”, yang diselenggarakan oleh Persekutuan
Mahasiswa Mataru (PERMATAR), di Aula Asrama PEMDA Alor (Oesapa-Kupang), pada
Tanggal 2 Juli 2008.